PendahuIuan Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Selanjutnya disebutkan dalam UU ini bahwa wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap disebut sebagai kawasan hutan. Peranan hutan sedemikian penting bagi ndonesia, sehingga terus menjadi suatu yang menarik untuk membicarakan masalah kehutanan di ndonesia. Hutan di ndonesia yang memiliki peranan ekologis, ekonomis dan sosial budaya terus dijadikan pembicaraan, baik secara ilmiah, politis maupun lainnya dengan alasan utama keberadaannya secara fisik atau faktual semakin berkurang karena berbagai hal, yaitu baik karena hal-hal yang legal masupun yang tidak legal. Secara umum hutan di ndonesia terbagi menjadi hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Mengutip Basuni dan Kosmaryandi (2008) disebutkan bahwa terjadi kondisi yang berbeda antara luasan kawasan huitan dengan luasan kawasan konservasi, yaitu terjadi penurunan pada luasan kawasan hutan pada kurun waktu 1999 2004 (120,35 juta Ha menjadi 108,34 juta Ha) dan sebaaliknya terjadi penambahan lasan kawasan konservasi pada kurun waktu 1999 2005 (20,50 juta Ha menjadi 23,60 juta Ha). Hal pertama dapat diduga terjadi karena adanya konversi kawasan hutan menjadi kawasan dengan peruntukan lain, sedangkan hal kedua terjadi karena adanya penunjukan dan penetapan beberapa kawasan hutan (hutan produksi dan hutan
lindung) menjadi kawasan konservasi, khususnya taman nasional. Namun
patut disimak pernyataan Menteri Kehutanan akhir-akhir ini (2010) dalam berbagai kesempatan yang dapat disimak melalui media massa, yaitu hanya ada sekitar 45 juta Ha hutan primer yang dalam keadaan baik, sehingga fokus dalam "penyelamatan hutan diarahkan terhadap hutan primer yang 45 juta Ha tersebut. Tentu saja pernyataan Menteri Kehutanan ini patut untuk dicermati dan mendapatkan perhatian yang seksama. Patut juga diduga bahwa hutan primer yang masih dalam keadan baik adalah kawasan konservasi. Berbagai data tentang kerusakan hutan mendukung kebenaran dugaan dimaksud, yaitu kerusakan kawasan hutan yang terendah terjadi pada kawasan konservasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kerusakan pada kawasan konservasi paling rendah dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya? Apakah ini disebabkan pengelolan kawasaan konservasi, mulai dari aspek perencaaan saampai pemantauan kawasan dilaksanakan dengan baik? Bila ini semua jawabannya "Ya, maka sesuatu yang membanggakan. Namun sebaliknya, bila jawabannya "Tidak, maka tentu saja harus dicari tahu yang menjadi penyebabnya. Ada yang mencoba memberikan alternatif jawaban mengapa kawasan konservasi relatif lebih baik, yaitu letaknya sebagian besar jauh dari masyarakat dan masih rendah tingkat keterbukaannya. Suatu jawaban atau dugaan yang dapat diterima secara logika. Namun pertanyaan berikutnya adalah sampai kapan kawasan konservasi ini terus "jauh dari masyarakat dan "tertutup atau berakses rendah? Menyimak pemaparan di atas, maka menjadi suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan bahwa pengelolan kawasan konservasi harus efektif dan efisien. Pengelolaan yang demikian harus dimulai dengan aspek perencanaan yang dilakukan dengan baik dan tepat melalui pendekatan dari berbagai aspek.
Aspek Yang TerIupakan DaIam Perencanaan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) yang secara umum dibedakan menjadi Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sejalan dengan definisi ini, maka fokus dalam pengelolaan kawasan konservasi pada upaya-upaya yang langsung berkaitan dengan tumbuhan, satwa dan ekosistem. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga, melindungi, melestarikan dan mengawetkan tumbuhan, satwa dan ekosistem ini, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan kawasan konservasi, termasuk pada aspek perencanaan seringkali mengabaikan aspek-aspek yang dianggap tidak berkaitan. Akibatnya perencanaan yang dilakukan tidak komprehensif, sehingga menjadikan pengelolaan tidak efektif dan efisien yang pada gilirannya menyebabkan kekurangberhasilan mencapai tujuan penetapandan penunjukan suatu kawasan konservasi. Hal pertama yang menyebabkan kegagalan dalam perencanaan konservasi adalah bermula pada pemahaman yang membenturkan kepentingan manusia dengan alam (ekosistem). Beberapa ilmuwan memgemukakan konsep ekosentris untuk menjawab berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi. Para ilmuwan ini menyebutkan bahwa pendekatan pembangunan yang cenderung mementingkan manusia atau disebut antroposentris sudah harus ditinggalkan karena akan mengabaikan kehidupan yang lain diluar manusia. Pemahaman seperti ini kemudian menimbulkan suatu perdebatan yang tiada ujung pangkalnya, karena masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Pendekatan ekosentris secara ekstrim bahkan tidak jarang mengabaikan kepentingan manusia yang merupakan makhluk Tuhan dengan tugas sebagai pengelola alam (kalifah di muka bumi). Yang menjadi permasalahan kemudian adalah paham ekosentris tersebut banyak diacu oleh para perencana konservasi secara kurang bijaksana, yaitu memandang
ekosistem hanya sebagai ekosistem. Hal yang dilupakan adalah untuk
apakah ekosistem tersebut ada (diciptakan Tuhan?). Seringkali disampaikan bahwa kegagalan dalam mengelola suatu kawasan konservasi disebabkan ketidakberhasilan dalam menerjemahkan eksistensi ekosistem dan tindakan konservasi melalui suatu perencanaan yang mampu mengaktualisasikan semua nilai atau eungsi yang dikandung dalam kawasan konservasi beserta tindakan konservasi. Hal kedua yang menyebabkan kegagalan dalam perencanaan konservasi adalah pemahaman bahwa tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan semata-mata menjadi tanggungjawab pengelola memicu awal terjadinya kegagalan. Kondisi ini menyebabkan semua aspek manajemen dilakukan dengan tidak menyertakan pihak-pihak lain. Dengan demikian, mulai dari perencanaan sampai pemantauan kawasan dilakukan dengan tanpa melibatkan pihak lain diluar unsur pengelola. Eksistensi ekosistem yang dipertahankan dengan tindakan konservasi bukanlah suatu tujuan dan pengelola kawasan konservasi tidak akan mampu untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam kesuksesan tindakan konservasi yang harus dimulai dengan perencanaan yang baik dan tepat. Eksistensi ekosistem beserta yang dikandungnya harus dimaknai dengan apa manfaatnya bagi kehidupan manusia dan bagaimana mekanisme pemanfaatan melalui suatu tindakan konservasi. Untuk itu diperlukan pelibatan berbagai pihak, yaitu mulai dari perencanaan sampai pemantauan konservasi, yaitu yang bisa dimulai dari "pihak-pihak paling dekat dengan kawasan konservasi. Pendekatan Ekonomi DaIam Perencanaan Konservasi lmu Ekonomi mengenal suatu pemahaman bahwa segala sesuatu akan bernilai bila memiliki manfaat. Dalam kaitan ini, manusia merupakan makhluk ekonomi, sehingga akan rela memberikan korbanan dalam berbagai bentuk untuk memperoleh manfaat suatu barang atau jasa
tertentu. Kawasan konservasi dalam sudut pandang lmu Ekonomi tidak
ubahnya sebagai suatu sumberdaya yang lain, yaitu akan bernilai bila memiliki manfaat. Artinya, tindakan konservasi merupakan suatu hal yang rasional bilamana kawasan konservasi tersebut memiliki manfaat atau fungsi bagi keberlanjutan kehidupan, termasuk bagi manusia. Dengan demikian, maka pengelolaan kawasan konservasi di antaranya harus direncanakan dengan pendekatan ekonomi. Pendekatan ekonomi dalam perencaanaan konservasi dapat diberi makna sebagai penggunaan penilaian ekonomi terhadap semua yang terdapat pada kawasan konservasi dan bagaimana memperoleh nilai manfaatnya untuk kesejahteraan secara lestari, sehingga diperoleh suatu alasan yang kuat untuk melakukan tindakan konservasi. Dalam hal ini termasuk di antaranya perencanaan mempertahankan dan meningkatkan nilai ekonomi konservasi melalui suatu tindakan konservasi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pemberian nilai ekonomi kawasan konservasi adalah: (1) identifikasi dan inventarisasi sumberdaya (jenis dan jumlah); (2) identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya; (3) pengelompokan manfaat sumberdaya dalam bentuk pemanfaatan langsung dan tidak langsung; (4) pengelompokan manfaat sumberdaya dalam bentuk barang dan jasa; (5) pengelompokan sumberdaya dalam mekanisme pemberian nilai (pasar dan bukan pasar); serta (6) pemberian nilai total kawasan konservasi. Semua langkah dalam penilaian harus dilakukan secara cermat, khususnya pada pemberian manfaat dan fungsi sumberdaya (Langkah ke 2) dan pengelompokan manfaat sumberdaya dalam pemanfaatan langsung dan tidak langsung (Langkah ke 3). Dalam hal ini, suatu sumberdaya bisa memiliki lebih dari satu manfaat dan fungsi. Langkah ke
2 sangat mempengaruhi ketepatan dalam melakukan Langkah ke 3,
sedangkan Langkah ke 3 akan menentukan bagaimana memperoleh manfaat sumberdaya secara optimal. Yang perlu diperhatikan pada penilaian manfaat kawasan konservasi adalah: (1) tidak diperkenankan terjadi pemanfaatan berupa pemungutan sumberdaya yang berada dalam kawasan konservasi, sehingga tidak terjadi pemberian nilai manfaat langsung dari pemungutan sumberdaya; (2) penilaian bersifat dinamis yang dipengaruhi berbagai hasil penemuan mengenai manfaat dan fungsi suatu sumberdaya serta perubahan-perubahan harga sumberdaya;dan (3) nilai yang ditetapkan relatif di bawah nilai yang sebenarnya karena keterbatasan kemampuan dalam mengidentifikasi dan menginventarisasi manfaat serta fungsi sumberdaya dan keterbatasan pasar dalam memberikan harga; serta (4) manfaat yang terkandung dalam kawasan konservasi banyak berupa jasa yang seolah-olah sudah sesuatu yang tersedia begitu adanya, sehingga seolah-olah tidak bernilai. Pemberian nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang terdapat pada kawasan konservasi merupakan bahan yang sangat penting dalam merencanakan konservasi. Namun demikian hal ini tidaklah cukup, karena pemberian nilai saja tidak berarti apa-apa. Yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana agar perencanaan dengan pendekatan ekonomi akan dapat diimplementasikan dalam perencanaan konservasi yang dapat mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan efisien. Pendekatan SosiaI Kemasyarakatan DaIam Perencanaan Konservasi Sebagian wilayah kawasan konservasi berbatasan langsung dengan pemukiman masyarakat, bahkan pada sebagian kawasan konservasi, terutama taman nasional, terdapat pemukiman penduduk
yang berada di dalam kawasan. Hal ini memberikan gambaran adanya
keterikatan masyarakat tersebut dengan kawasan konservasi yang juga seringkali berkecenderungan dianggap sebagai ancaman bagi pengelolaan kawasan konservasi. Memandang masyarakat sekitar dan di dalam kawasan sebagai suatu ancaman dalam pengelolaan kawasan merupakan "awal kesalahan. Pandangan ini menyebabkan beban yang semakin berat bagi pengelola kawasan. Kawasan konservasi di ndonesia pada umumnya memiliki areal yang luas, terutama taman nasional yang bahkan ada yang mencapai luasan jutaan hektar, dengan sumberdaya manusia terbatas, sarana dan peralatan kerja yang terbatas serta pendanaan yang terbatas. Kondisi yang demikian semestinya mendorong pemikiran bagaimana pengelola mendapatkan bantuan dari pihak lain dan bukan sebaliknya malahan mendapatkan pertentangan dari pihak lain, khususnya masyarakat sekitar kawasan. Sebenarnya terdapat persamaan harapan antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi, yaitu keberlanjutan eksistensi kawasan konservasi. Masyarakat berharap dengan keberlanjutan ketersediaan sumberdaya yang berada pada kawasan konservasi akan menjamin keberlangsungan kehidupan melalui pemanfaatan berbagai sumberdaya yang terdapat pada kawasan konservasi. Di lain pihak, pengelola kawasan melakukan tindakan konservasi dengan tujuan untuk mencapai tujuan konservasi, yaitu menjamin keberlangsungan alam dengan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Dengan demikian, mengapa terjadi kondisi yang "tidak bersahabat antara masyarakat dengan pengelola kawasan? Hal ini terjadi karena pendekatan yang berbeda dalam mencapai harapan yang sama. Pengelola kawasan berpandangan bahwa yang dilakukan oleh masyarakat merupakat tindakan eksploratif yang merusak kawasan. Sebaliknya, masyarakat berpandangan bahwa hak-hak yang dimiliki terhadap kawasan yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang dari satu generasi ke
generasi serta merta dicabut oleh pengelola kawasan dengan
ditetapkannya kawasan hutan menjadi kawasan konservasi. Komunikasi merupakan kata kunci untuk menjembatani kesenjangan pemahaman dalam pemanfaatan kawasan konservasi antara masyarakat dengan pengelola kawasan. Dalam hal ini komunikasi diberi makna sebagai suatu proses yang dilakukan oleh pengelola kawasan untuk memahami nilai-nilai yang diberikan masyarakat terhadap kawasan konservasi dan memasukkannya ke dalam berbagai perencanaan tindakan konservasi yang kemudian dibahas secara seksama dengan masyarakat untuk bersama-sama mencapai kesepahaman dalam perencanaan dan implementasi tindakan konservasi. Integrasi Pendekatan Ekonomi dan SosiaI Kemasyarakatan DaIam Perencanaan Konservasi Penilaian ekonomi terhadap sumberdaya pada suatu kawasan konservasi di antaranya dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat terhadap berbagai kebutuhan sumberdaya yang terdapat pada kawasan konservasi. Kebutuhan-kebutuhan ini selanjutnya dimasukkan dalam perencanaan untuk dapat dipenuhi. Namun tetap menjadi catatan bahwa dilarang adanya pemanfaatan sumberdaya yang bersifat pemungutan dari dalam kawasan. Pertanyaannya adalah apakah bila sudah terjadi pemanfaatan oleh masyarakat terhadap sumberdaya tertentu, apalagi yang sudah bersifat budaya dan ritual seperti perburuan satwa tertentu pada waktu tertentu haruskah serta merta dihentikan? Duduk bersama antara masyarakat dengan pengelola kawasan atas dasar kepentingan dan harapan yang sama terhadap eksistensi kawasan konservasi merupakan "langkah pertama dan penting untuk dilakukan. Hal yang ditargetkan untuk dicapai dalam komunikasi antara masyarakat dan pengelola kawasan adalah: (1) menempatkan konservasi sebagai prioritas dalam upaya keberlangsungan sumberdaya;
(2) menyepakati kebersamaan dalam pengelolaan kawasan
konservasi dengan tujuan mencapai pengelolaan yang efektif dan efisien, khususnya terhadap hal-hal yang memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat; (3) membatasi aktivitas masyarakat yang bersifat budaya dan ritual pada kondisi yang tidak mengancam kawasan; (4) menyepakati maksimalisasi pemanfaatan sumberdaya bagi masyarakat pada kawasan yang terbatas; (5) merencanakan secara bersama untuk memperoleh manfaat ekonomi secara maksimal dari eksistensi kawasan konservasi; (6) menyepakati tanggung jawab bersama terhadap kondisi kawasan konservasi; dan (7) konsistensi dalam menjaga komitmen. Masyarakat dengan demikian ditempatkan pada bagian tidak terpisahkan dengan kawasan konservasi dan pengelola kawasan.
Sebagaimana diketahui, permasalahan utama dalam pengelolaan kawasan konservasi di antaranya disebabkan "ketidakpastian manfaat yang diperoleh dari kawasan konservasi, sehingga tindakan konservasi sering dianggap sebagai cost center. Akibatnya adalah berbagai keterbatasan yang menyertai tindakan konservasi, di antaranya anggaran yang terbatas dibandingkan dengan kebutuhan. Namun, berbagai penelitian menunjukkan betapa besar nilai ekonomi suatu kawasan konservasi, sehingga pada tempatnya bilamana disediakan anggaran yang lebih mencukupi dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi. Pada kenyataannya tidaklah demikian, tetap saja dana untuk konservasi terbatas. Hal ini disebabkan nilai ekonomi konservasi "tidak nyata, yaitu tidak langsung dalam bentuk yang dapat dinikmati. Bahkan yang semestinya dapat dinikmati, seperti kayu, tumbuhan, satwa, dan lainnya tidak diperkenankan untuk dilakukan pemungutan.
Pengintegrasian pendekatan ekonomi dan sosial kemasyarakatan
dalam merencanakan konservasi merupakan salah satu faktor penting untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Berbagai informasi mengenai fungsi, manfaat dan nilai ekonomi sumberdaya pada kawasan konservasi harus disampaikan pada masyarakat dan menjadi pengetahuan sangat penting bagi masyarakat. Selanjutnya perlu disusun suatu perencanaan konservasi secara bersama antara pengelola kawasan dengan masyarakat dengan tujuan untuk mencapai tujuan konservasi dan memperoleh manfaat ekonomi secara maksimal. Perencanaan konservasi dengan demikian tidak hanya dibatasi pada areal kawasan konservasi, namun juga menjangkau peningkatan kesejahteraaan masyarakat dan peningkatan kualitas tempat tinggal dan berpencaharian kebutuhan hidup masyarakat. Termasuk dalam hal ini perencanaan untuk dapat memperoleh jasa lingkungan kawasan konservasi, seperti membangun penmbangkit listrik tenaga air, merencanakan pembuatan saluran irigasi sederhana, merencanakan mengembangkan plasma nutfah berbagai tumbuhan bernilai ekonomi di luar kawasan, dan sebagainya.