Anda di halaman 1dari 16

PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

Pembangunan hukum Nasional, termasuk didalamnya pembangunan hukum, tidak


selayaknya dilihat dan dipahami hanya sebagai subyek pembangunan, tetapi juga sekaligus
sebagai obyek pembangunan.
Sebagai subyek pembangunan, hukum dituntut agar dapat tidak hanya berIungsi sebagai
sarana pembangunan ('Law is a tool oI social engineering), tetapi sebagai upaya
menciptakan system hukum nasional, maka dalam pembangunannya dibutuhkan pola pikir,
yang melihat hukum dan memahami hukum sebagai suatu system, yaitu system hukum
nasional, yang dibangun dengan cara antara lain menerapkan prinsip 'good governance dan
dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan system politik dan ketatanegaraan
sesuai dengan amandemen UUD 1945.
Dalam kedudukanya sebagai obyek pembangunan nasional, maka pembangunan hukum,
apalagi pembangunan yang berbasis APBN, maka dalam pelaksanaan pembangunannya
dimasa datang, dibutuhkan tidak hanya Visi dan Misi yang jelas, namun sekaligus dan lebih
penting lagi adalah pemikiran (konsepsi), tentang indikator-indikator dan pengukuran kinerja
keberhasilannya yang jelas, serta pengawasan yang baik dan dengan pembiayaan yang cukup.
Perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu dari
system otoritarian kepada system demokrasi dan dari system sentralisitik kepada system
desentralisasi, akan berdampak pada system hukum yang dianut selama ini yang menitik
beratkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berphak kepada kepentingan
penguasa daripada kepentingan rakyat, dan produk hukum yang lebih mengutamakan
kepentingan pemerintah pusat dari kepentingan pemerintah daerah.
leh karena itu, pembangunan hukum nasional tidak sekedar diarahkan bagi terwujudnya
system hukum yang menjamin berIungsinya hukum sebagai sarana perubahan social, tetapi
melalui pembangunan nasional, dapat diciptakan system hukum nasional bagi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, antara lain menjadi dasar hukum yang dapat
mencegah dan menyelesaikan konIlik-konIlik yang terjadi dalam proses pembangunan.

Maksud dan Tujuan :
Maksud dan tujuan Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional adalah untuk menghasilkan
bahan-bahan hukum dalam arti seluas-luasnya yang dapat yang dapat memberikan masukan
bagi konsep perencanaan pembangunan hukum nasional yang sistematis, berkesinambungan,
berkualitas dan terukur.
Ruang Lingkup
Penyusunan Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional diwujudkan dalam suatu grand
design yang meliputi :
1.Penetapan prioritas pembangunan hukum nasional
2.Tolok ukur kualitas pembangunan hukum nasioinal
3.Tolok ukur keberhasilan pembangunan hukum nasional
4.Pengelompokan bidang pembangunan hukum`
5.Recana aksi nasional dalam jangka panjang, menengah dan tahunan.
Visi dan Misi Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional
Visi Pembangunan hukum Nasional.
1.Mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu bangsa yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
2.Memperkuat landasan hukum bagi keutuhan kedaulatan Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Misi Pembangunan Hukum nasional menciptakan grand design pembangunan hukum
nasioal yang memuat :
1.Penetapan prioritas pembangunan hukum nasional
2.Tolok ukur kualitas pembangunan hukum nasional
3.Tolok ukur keberhasilan pembangunan hukum nasional
4.Pengelompokan bidang Pembangunan Hukum
5.Rencana aksi nasional dalam jangka pajang, menengah dan tahunan.
Pendekatan Pembangunan Hukum Nasional
Pembangunan Hukum Nasioal harus menggunakan pendekatan nasional, transnasional dan
internasional dalam satu garnd design pembangunan hukum nasional. Dalam kaitan ini
pendekatan pembangunan hukum nasioanal wajib mempertimbangkan kultur local, termasuk
tradisi atau adapt istiadat dan perkembangan masyarakat internasional.
Implementasi grand Design Pembangunan Hukum Nasional
1.Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang.
a.Naskah Akademik.
Naskah akademik adalah suatu naskah yang memuat konsep-konsep, pemikiran, pemikiran,
pendapat teoritis yang bersumber pada penelitian, studi kepustakaan, studi komparatiI,
sebagai bahan justiIikasi bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang.
b.Naskah RUU
(1) Penyusunan draIt RUU dengan Iocus materi yang diatur
(2) Prosedur pembahasan
- Pembentukan Tim Naskah draIt RUU
- Mengundang para pakar dari akademisi dan isntansi terkait
- Pembahasan terbatas di Perguruan Tinggi
(3) Proses Sosialisasi dan partisipasi
(4) Proses Penyempurnaan Naskah RUU
2. Pola Penegakan Hukum;
3. Pola Pemberdayaan Hukum dalam masyarakat.
Tolok Ukur Pembangunan Hukum Nasional yang berkualitas
1.Transparansi
2.Akuntabilitas
3.Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (protection oI human right)
4.Akses Masyarakat kepada keadilan
5.Partisipasi dan control masyarakat.


Persepsi Hukum dan Pembangunan
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

back ke articles

Kalau secara gamblang Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu konsep
yang di dalamnya terdapat perihal usul tentang perubahan perilaku manusia
yang diinginkan, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat Pembangunan
Hukum adalah bagaimana merubah perilaku manusia kearah kesadaran dan
kepatuhan hukum terhadap nilai-nilai yang hidup dan diberlakukan dalam
masyarakat. Tegasnya membangun perilaku manusia dan masyarakat harus
di dalam konteks kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dimana mereka
mengerti dan bersedia menjalankan kewajiban hukumnya sebagai warganegara dan
mengerti tentang bagaimana menuntut hak-hak yang dijamin secara hukum dalam proses
hukum itu sendiri.

Pembangunan harus juga ditujukan bagaimana merubah prilaku rakyat bangsa Indonesia,
dari perilaku yang serba terbelakang menuju kearah perilaku yang lebih maju sosial
ekonomi, budaya, akhlak serta perilaku yang sejahtera dengan memahami hak dan
kewajibannya sebagai warganegara. Dalam konteks ini jelas pembangunan tidak dapat
dipisahkan dari kesadaran dan kepatuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai
hukum. Pembangunan hukum harus dilakukan secara simultan dengan perencanaan
pembangunan lainnya yang dilaksanakan dalam proses perencanaan pembangunan suatu
bangsa secara global, karena sasaran akhir (goal end) perencanaan pembangunan adalah
~prilaku manusia yang mematuhi nilai-nilai pembangunan itu sendiri.

Atas dasar pemikiran ini pembangunan hukum yang bermuara pada kesadaran dan
kepatuhan hukum masyarakat haruslah mendapat perhatian yang utama dari seluruh
aspek pembangunan yang direncanakan. Perlu kita ketahui bahwa hukum sebagai suatu
disiplin ilmu sebenarnya mempunyai 2 (dua) obyek, yaitu obyek formil dan obyek materil.
Obyek formil dari ilmu hukum adalah bagaimana meletakkan dasar dan pegangan agar
terciptanya ketertiban, ketenteraman, kepatutan dan keadilan bagi individu dan
masyarakat, sedang Obyek Materiil dari ilmu hukum adalah bagaimana menciptakan
terbentuknya budaya perilaku manusia dan masyarakat yang sadar dan patuh serta
memahami betul terhadap hak dan kewajibannya sebagai bagian dari komunitas suatu
masyarakat, dari suatu bangsa dan/atau suatu negara.

Kita sangat prihatin melihat budaya prilaku hukum bangsa kita yang semu dimana
sebenarnya di dalamnya penuh dengan potensi kekerasan dan ketidakpedulian dengan
tertib yang dituntut di dalam habitatnya. Potensi prilaku hukum ini dapat digambarkan
seperti budaya perilaku berlalu-lintas di jalanan. Kepatuhan berlalu-lintas di jalanan lebih
dapat terjadi jika ada polisi lalu-lintas yang siap selalu mengawasi para pemakai jalan atau
pengendara di jalanan, jika Poltas tidak ada maka semua rambu-rambu lalu lintas
cenderung untuk dilanggar terutama pelanggaran terhadap tanda lampu lalu lintas yang
ada di persimpangan-persimpangan jalan. Tertib tidaknya suatu masyarakat terhadap
hukum dapat diukur dari kesadaran masyarakat dalam berlalu-lintas di jalanan umum.

Bahkan tidak sedikit pula banyak pemakai jalan (pengendara) yang cenderung melanggar
rambu -rambu jalanan dan sama sekali tidak memperdulikannya sekalipun ada Polisi
Lalu-Lintas yang menjaganya saat itu. Pembangunan Hukum agaknya tidak dapat berjalan
mulus jika akar masalah yang merupakan indikator-indikator gagalnya suatu
pembangunan itu tidak diselesaikan, misalnya antara lain yang menyangkut : 1) aspek
kesejahteraan (prosperity) yang di dalamnya menyangkut beberapa indikator antara lain
indikator tersedianya lapangan pekerjaan dengan gaji yang ~cukup ; 2) aspek sarana dan
pra-sarana jalan yang mengakomodir kenyamanan dan keamanan para pengendara
pemakai jalan ; 3) aspek profesionalnya para penegak hukum ; 4) aspek terjaminnya
kebutuhan masyarakat yang menyangkut sandang, pangan dan papan ; 5) aspek
berjalannya system yang kondusif dari infrastruktur dan suprastruktur yang menyangkut
bidang pelayanan publik ; serta banyak lagi aspek-aspek lainnya yang tidak dapat
disebutkan mengingat terbatasnya kolom.

Tegasnya Pembangunan Hukum tidak dapat dilakukan secara parsial atau merupakan
suatu konsep yang berdiri sendiri. Masyarakat cenderung tidak patuh pada semua rambu-
rambu norma dan hukum jika aspek yang mendasar yang menyangkut kebutuhan
hidupnya terancam dan/atau sulit dapat terpenuhi di tengah-tengah system global dimana
mereka hidup. 1ika ini terjadi, jangan berharap banyak masyarakat kita mau dengan sadar
mematuhi semua norma dan kaidah hukum yang berlaku di negara kita. Hal ini secara
berantai akan melahirkan dampak dari hasil Pembangunan yang semu. Apakah itu
pembangunan demokrasi, pembangunan moral dan akhlak bangsa, pembangunan phisik
berupa sarana dan pra-sarana berupa gedung-gedung perkantoran dan super market, atau
pembangunan sarana pendidikan yang hanya melahirkan dan memproduksi para pencari
kerja. Pembangunan hukum harus dilakukan secara simultan dan sinergi dengan aspek
pembangunan lainnya. Tanpa seperti itu ia menjadi utopia, sehingga hukum hanya bisa
dipatuhi oleh masyarakat di dalam system pemerintahan yang otoriter.

ANALISIS PENYA1IAN LAPORAN KEUANGAN


DAERAH SESUAI DENGAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2005 TENTANG
STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAH (SAP) (Studi
Kasus pada Pemerintah Kota Blitar)
30 10 2007
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Era globalisasi saat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat kita hindari oleh seluruh
masyarakat dunia. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia memiliki
kewajiban untuk secara terus-menerus berpartisipasi dalam mewujudkan kepemerintahan
yang baik (good governance). World Bank dalam Mardiasmo (2004:18) mendefenisikan Good
governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang sejalan dengan
prisip demokrasi, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara
politik dan administratif. Kepemerintahan yang baik setidaknya ditandai dengan tiga elemen
yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan
memperoleh informasi. Partisipasi maksudnya mengikutsertakan keterlibatan masyarakat
dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Sedangkan akuntabilitas adalah
pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
&ntuk mewujudkan good governance diperlukan perubahan paradigma pemerintahan
yang mendasar dari sistem lama yang serba sentralistis, dimana pemerintah pusat sangat kuat
dalam menentukan kebijakan. Paradigma baru tersebut menuntut suatu sistem yang mampu
mengurangi ketergantungan dan bahkan menghilangkan ketergantungan pemerintah daerah
kepada pemerintah pusat, serta bisa memberdayakan daerah agar mampu berkompetisi baik
secara regional, nasional maupun internasional. Menanggapi paradigma baru tersebut maka
pemerintah memberikan otonomi kepada daerah seluas-luasnya yang bertujuan untuk
memungkinkan daerah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri agar berdaya guna
dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta dalam
rangka pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan
memberikan otonomi seluas-luasnya dan secara proporsional kepada daerah yang diwujudkan
dengan adanya pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
&ntuk mewujudkan good governance tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan
otonomi daerah, maka diperlukan reformasi pengelolaan keuangan daerah dan reformasi
keuangan negara. Peraturan perundangan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan
daerah yaitu &ndang-&ndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
direvisi menjadi &ndang-&ndang Nomor 32 Tahun 2004 dan &ndang-&ndang 25 Tahun 1999
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi
&ndang-&ndang Nomor 33 tahun 2004. Sedangkan tiga paket perundang-undangan dibidang
keuangan negara yang menjadi landasan hukum bagi reformasi di bidang keuangan negara
sebagai upaya untuk mewujudkan good governance yaitu &ndang-&ndang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan &ndang-&ndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta &ndang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengawasan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara yang memayungi pengelolaan keuangan negara
maupun keuangan daerah.
Seiring dengan reformasi di bidang keuangan negara, maka perlu dilakukan
perubahan-perubahan di berbagai bidang untuk mendukung agar reformasi di bidang
keuangan negara dapat berjalan dengan baik. Salah satu perubahan yang signifikan adalah
perubahan di bidang akuntansi pemerintahan karena melalui proses akuntansi dihasilkan
informasi keuangan yang tersedia bagi berbagai pihak untuk digunakan sesuai dengan tujuan
masing-masing. Perubahan dibidang akuntansi pemerintahan yang paling diinginkan adalah
adanya standar akuntansi pemerintah. Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada
standar akuntansi pemerintah sesungguhnya adalah dalam rangka peningkatan kualitas
laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dimaksud dapat meningkatkan
kredibilitasnya dan pada gilirannya akan dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Sehingga, good governance dapat tercapai.
Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) memerlukan waktu yang lama.
Awalnya, dengan berlakunya &ndang &ndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, daerah diberi kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan pengelolaan
keuangannya sendiri. Hal ini tentu saja menjadikan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
menjadi entitas-entitas otonom yang harus melakukan pengelolaan dan pertanggung jawaban
keuangannya sendiri mendorong perlunya standar pelaporan keuangan. Peraturan Pemerintah
Nomor 105 Tahun 2000 yang merupakan turunan dari &ndang-&ndang Nomor 22 Tahun 1999
dalam pasal 35 mengamanatkan bahwa "penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah, meskipun belum ada
standar akuntansi pemerintahan yang baku.
Belum adanya standar akuntansi pemerintahan yang baku memicu perdebatan siapa
yang berwenang menyusun standar akuntansi keuangan pemerintahan. Sementara itu,
pelaporan dan penyajian keuangan harus tetap berjalan sesuai dengan peraturan perundangan
meskipun standar belum ada. &ntuk mengisi kekosongan sambil menunggu penetapan yang
berwenang menyusun dan menetapkan standar akuntansi pemerintahan dan terutama upaya
untuk mengembangkan sistem pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntable
maka pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan
mengambil inisiatif untuk membuat pedoman penyajian laporan keuangan. Maka lahirlah
sistem akuntansi keuangan daerah dari Departemen Keuangan yang diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.07/2001 tanggal 5 Juni 2001. Dari Departemen Dalam
Negeri keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tanggal 18 Juni 2002
tentang Pedoman Pengurusan, Pertangungjawaban dan Pengawasan Keuangan Derah serta
Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Penyusunan Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kedua keputusan ini bukanlah standar akuntansi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 maupun standar
akuntansi pada umumnya.
Menteri Keuangan sebenarnya mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
308/KMK.012/2002 tanggal 13 Juni 2002 yang menetapkan adanya Komite Standar Akuntansi
Pemerintah Pusat dan Daerah (KSAPD). Keanggotaan Komite ini terdiri dari unsur Departemen
Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
Organisasi Profesi Akuntan IAI, dan juga kalangan perguruan tinggi. Dalam keputusan
tersebut juga diatur bahwa standar akan disusun oleh KSAPD tetapi pemberlakuannya
ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. KASPD bekerja dan menghasilkan Draft
Publikasian Standar Akuntansi berupa Kerangka Konseptual dan tiga Pernyataan Standar.
KSAPD melakukan due process atas keempat draft ini sampai dengan meminta pertimbangan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK berpendapat belum dapat memberikan
persetujuan atas Draft SAP tersebut karena belum mengakomodasi seluruh unsur yang
semestinya terlibat dan penyusun tidak independen karena diangkat hanya dengan Surat
Keputusan Menteri Keuangan.
Perkembangan berikutnya, KSAPD tetap bekerja dengan menambah pembahasan atas
delapan draft baru yang dianggap diperlukan dalam penyusunan laporan keuangan
pemerintah. Draft ini juga mengalami due process yang sama seperti sebelumnya. Dengan
terbitnya &ndang-&ndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara yang
mengamanatkan perlunya standar akuntansi, KSAPD terus berjalan. Pasal 32 ayat 1 &ndang-
&ndang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa bentuk dan isi laporan
pertanggunggjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan. Selanjutnya pasal 32 ayat 2 &ndang-&ndang Nomor 17 Tahun 2003
menyebutkan bahwa standar akuntansi pemerintahan disusun oleh suatu komite standar yang
independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat
pertimbangan dari BPK.
Kemudian pada tahun 2004 terbit &ndang-&ndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan negara kembali mengamanatkan penyusunan laporan pertanggungjawaban
pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Pasal 56 ayat 4
&ndang-&ndang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa
pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang
memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi
pemerintah. Pasal 57 ayat 1 &ndang-&ndang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam
rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan dibentuk
Komite Standar Akuntasi Pemerintahan. Pasal 57 ayat 2 &ndang-&ndang Nomor 1 Tahun 2004
menyebutkan bahwa Komite Standar Akuntansi Pemerintahan bertugas menyusun standar
akuntansi pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi yang berlaku umum. Pasal 57 ayat 3 &ndang-
&ndang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pembentukan, susunan, kedudukan,
keanggotaan, dan masa kerja Komite Standar Akuntansi Pemerintahan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Komite standar yang dibentuk oleh Menteri Keuangan sampai dengan pertengahan
tahun 2004 telah menghasilkan draf SAP yang terdiri dari Kerangka konseptual dan 11
pernyataan standar, kesemuanya telah disusun melalui due procees. Proses penyusunan (Due
Process) yang digunakan ini adalah proses yang berlaku umum secara internasional dengan
penyesuaian terhadap kondisi yang ada di Indonesia. Penyesuaian dilakukan antara lain
karena pertimbangan kebutuhan yang mendesak dan kemampuan pengguna untuk memahami
dan melaksanakan standar yang ditetapkan.
Tahap-tahap penyiapan SAP yaitu (Supriyanto:2005):
a. Identifikasi Topik untuk Dikembangkan Menjadi Standar
b. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di dalam Komite
c. Riset Terbatas oleh Kelompok Kerja
d. Penulisan draf SAP oleh Kelompok Kerja
e. Pembahasan Draf oleh Komite Kerja
f. Pengambilan Keputusan Draf untuk Dipublikasikan
g. Peluncuran Draf Publikasian SAP (Exposure Draft)
h. Dengar Pendapat Terbatas (Limited Hearing) dan Dengar Pendapat Publik (Publik
Hearings)
i. Pembahasan Tanggapan dan Masukan Terhadap Draf Publikasian
j. Finalisasi Standar
Sebelum dan setelah dilakukan public hearing, Standar dibahas bersama dengan Tim
Penelaah Standar Akuntansi Pemerintahan BPK. Setelah dilakukan pembahasan berdasarkan
masukan-masukan komite melakukan finalisasi standar kemudian komite meminta
pertimbangan kepada BPK melalui Menteri Keuangan. Namun draf SAP ini belum diterima oleh
BPK karena komite belum ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Suhubungan dengan hal
tersebut dan atas amanat dari &ndang-&ndang Nomor 1 Tahun 2004, keluarlah Keputusan
Presiden Nomor 84 Tahun 2004 yang menetapkan keanggotaan komite dan namanya pun
berubah menjadi Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP). Keanggotaan KSAP terdiri dari
sembilan orang yang seluruhnya adalah orang-orang yang bekerja dalam KSAPD sesuai
keputusan Menteri Keuangan Nomor 308/KMK.012/2002. Komite tersebut segera bekerja
untuk menyempurnakan kembali draf SAP yang pernah diajukan kepada BPK agar pada awal
tahun 2005 dapat segera ditetapkan.
Pada tahun 2004 juga telah terbit &ndang-&ndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah pasal 184 menyebutkan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah
disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Draf SAP diajukan
kembali kepada BPK pada bulan Nopember 2004 dan mendapatkan pertimbangan dari BPK
pada bulan Januari 2005. BPK meminta langsung kepada Presiden RI untuk segera
Menetapkan Standar Akuntansi Pemerintahan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Proses
penetapan PP SAP pun berjalan dengan Koordinasi antara Sekretariat Negara, Departemen
Keuangan, dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta pihak terkait lainnya hingga
penandatanganan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan oleh Presiden pada tanggal 13 Juni 2005. Dari uraian diatas dapat dikemukakan
bahwa dengan terbitnya Standar Akuntansi Pemerintah selain untuk mewujudkan good
governance juga merupakan jawaban atas penantian adanya pedoman pelaporan keuangan
yang dapat berterima umum yang telah diamanatkan oleh beberapa peraturan perundang-
undangan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, &ndang-&ndang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, &ndang-&ndang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan &ndang-&ndang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah ini menjadi dasar bagi semua entitas pelaporan dalam
menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban kepada berbagai pihak khususnya
pihak-pihak di luar eksekutif. Standar akuntansi berguna bagi penyusun laporan keuangan
dalam menentukan informasi yang harus disajikan kepada pihak-pihak di luar organisasi. Para
pengguna laporan keuangan di luar organisasi akan dapat memahami informasi yang disajikan
jika disajikan dengan kriteria/persepsi yang dipahami secara sama dengan penyusun laporan
keuangan. Bagi auditor, khususnya eksternal auditor, standar akuntansi digunakan sebagai
kriteria dalam menilai informasi yang disajikan apakah sesuai dengan prinsip akuntansi
berterima umum. Dengan demikian SAP menjadi pedoman untuk menyatukan persepsi antara
penyusun, pengguna, dan auditor.
Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada standar akuntansi pemerintah
sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan good governance.
Alasannya adalah terpenuhinya tiga elemen good governance yaitu akuntabilitas, transparansi,
dan partisipasi.. Pertama, akuntabilitas karena dengan adanya standar, pengungkapan
efektivitas dan efisiensi APBN/APBD menjadi bersifat kredibel dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua, transparansi karena dengan adanya standar, BPK menjadi
mudah menyingkat tempat-tempat sembunyi korupsi karena mempunyai basis baku, mantap
dan komprehensif dalam tugas pemeriksaan keuangan dan audit atas laporan keuangan.
Ketiga, partisipasi karena dengan adanya standar, rakyat pada tiap daerah melalui DPRD
makin mampu mengendalikan keuangan daerahnya karena pemerintah tidak bisa mencatat
pemakaian sumber daya sesuai keinginannya.
Lampiran IV Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/2429/SJ tahun 2005
menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah mulai berlaku untuk pelaporan tahun anggaran 2005. Akibatnya, penyusunan dan
penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 menurut SAP akan mengalami kesulitan
karena pada tahun 2005 dasar hukum yang dipakai pemerintah daerah dalam penyusunan dan
penyajian laporan pertangungjawaban keuangan daerah adalah Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 29 Tahun 2002. &ntuk itu, pemerintah daerah perlu menyusun strategi
implementasi penyajian laporan keuangan Tahun anggaran 2005 menurut SAP. Strategi
tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan kepala daerah, tetapi Pemerintah Kota Blitar
belum melaksanakannya. &ntuk tahun anggaran 2005, berarti pemerintah daerah menyajikan
laporan keuangan dalam dua versi, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005.
Penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 sesuai SAP dapat dilakukan dengan
teknik memetakan atau konversi ketentuan-ketentuan di Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 tahun 2002 ke dalam ketentuan-ketentuan SAP. Konversi mencakup (KSAP:2006):
a. Jenis laporan
Laporan keuangan menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002 terdiri
atas Laporan Perhitungan APBD, Nota perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca
Daerah. Laporan keuangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 terdiri
atas Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus kas, dan Catatan atas laporan
keuangan.
b. Basis akuntansi
Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan daerah menurut Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 adalah basis kas modifikasi. Maksudnya
transaksi penerimaan dan pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima atau
dibayar (dasar kas) dan pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk mengakui
transaksi dan kejadian dalam periode berjalan meskipun penerimaan atau pengeluaran kas
dari transaksi dan kejadian yang dimaksud belum terealisasi. Sedangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 adalah basis kas menuju akrual (cash toward accrual).
Maksudnya basis kas untuk pendapatan dan beban, sedangkan basis akrual untuk aktiva,
kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.
c. Penilaian pos-pos laporan keuangan, khususnya aktiva.
d. Struktur APBD, terutama struktur belanja
e. Klasifikasi anggaran pendapatan dan belanja, serta klasifikasi aset, kewajiban, ekuitas, arus
kas
f. Catatan atas laporan keuangan
Catatan atas laporan keuangan merupakan komponen laporan keuangan yang baru yang
kedudukannya menggantikan Nota Perhitungan APBD. Catatan atas laporan keuangan
sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 4
belum memperoleh porsi pengaturan secara cukup dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 Tahun 2002. Oleh karena itu penyusunan Catatan atas laporan keuangan dapat
langsung mengacu kepada PSAP Nomor 4 sedangkan materi dari Nota Perhitungan
Anggaran digunakan sebagai salah satu bahan.
&ntuk Pemerintah Kota Blitar, konversi tidak mencakup 3 hal. Pertama, basis
akuntansi untuk aktiva, kewajiban, dan ekuitas masih menggunakan basis kas modifikasi,
sedangkan untuk pendapatan dan belanja telah menggunakan basis kas. Saldo aktiva,
kewajiban, dan ekuitas tetap sama jika menggunakan basis kas modifikasi atau basis
akrual sehingga keadaan ini tidak menyebabkan perbedaan saldo. Kedua, penilaian aktiva
karena Pemerintah Kota Blitar belum melakukan depresiasi atas aset tetapnya dan
penilaian atas Investasi jangka panjang, khususnya saham yang masih berdasarkan harga
perolehan. Ketiga,catatan atas laporan keuangan.
Mengacu pada permasalahan yang kemungkinan mucul sehubungan dengan
diterbitkannya PP No 24 tahun 2005 tentang Standart Akuntansi Pemerintah sebagaimana
yang diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
Analisis Penyajian Laporan Keuangan Daerah sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)"
( Studi kasus pada Pemerintah Kota Blitar)

1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimana bentuk laporan keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2005 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 serta perbedaan antara
dua ketentuan tersebut dalam hal penyajian laporan keuangan daerah?
b. Bagaimana teknik konversi untuk menyajikan laporan keuangan daerah dari ketentuan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 ke ketentuan di Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005?
c. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Pemerintah Kota Blitar dalam melaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005?

1.3 Pembatasan masalah
Agar dalam pembahasan pokok permasalahan lebih terfokus, maka penulis memberi batasan
pada perumusan masalah yang telah dibuat, yaitu:
a. Penyajian laporan keuangan yang akan diteliti dibatasi pada lingkungan yang terbatas
yaitu Pemerintah Kota Blitar.
b. Penyajian laporan keuangan daerah yang diteliti dibatasi pada Neraca, Laporan Arus Kas,
dan Laporan Realisasi Anggaran.
c. Penulis membatasi pembahasan penyajian laporan keuangan untuk tahun anggaran 2005.
d. Pengidentifikasian masalah yang muncul hanya dibatasi pada saat penerapan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 di Pemerintah Kota Blitar.

1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui bentuk dan teknik penyajian laporan keuangan daerah sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
b. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam melaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005

1.5 Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
derajat kesarjanaan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi &niversitas Brawijaya.
b. Menguraikan bentuk dan teknik penyajian laporan keuangan suatu daerah yang sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan kendala-kendala yang dihadapi
suatu pemerintah daerah tertentu dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2005.
c. Menambah wacana pengetahuan dan penelitian dalam akuntansi sektor publik melalui
pengembangan akuntansi pemerintahan untuk diteruskan dalam penelitian lainnya yang
relevan.

Anda mungkin juga menyukai