Anda di halaman 1dari 5

Ternyata Kabah Tidak Melayang-layang - Cerpen - Horison Online

Ditulis oleh Agus Fahri Husein Minggu, 27 Maret 2011 13:10

Nama saya Haji Likin bin Haji Bangga. Bapak saya namanya Haji Bangga. Begitulah dia selalu memulai ceritanya. Tidak peduli orang memperhatikan atau tidak, dia terus bercerita. Suaranya memaksa semua orang untuk mendengar ceritanya. Orangnya kecil kurus, dan ada bekas cacar di mukanya, jika berjalan kakinya setengah diseret, selalu membawa tas kecil kemana-mana. Kebiasaan mengalungkan sorban di lehernya, membuatnya tampak kumuh dan dirundung masalah.

Saya berjualan sembako di rumah. Istri saya yang banyak duit. Dia bos ikan laut di pasar. Pergi haji ini atas kemauannya dan pakai duitnya dia.

Itulah tampaknya masalahnya, dia tidak ikhlas diongkosi pergi haji oleh istrinya. Perasaan tidak berdaya dan disepelekan jelas tampak pada wajahnya. Dia terus bercerita persoalan-persoalan rumah tangganya, istrinya terutama, juga mertuanya yang perempuan, yang ikut berangkat haji. Dan karena itu dia menuduh, istrinya lebih sibuk mengurusi ibu mertuanya itu daripada dia, suaminya. Dia sama sekali tidak memiliki keahlian bercerita. Karena itu ketika tokoh yang saya ceritakan ini memulai ceritanya, sungguh kami semuanya ingin cepat-cepat membungkamnya, sekiranya kami tidak sedang berada di tanah suci dan menunaikan ibadah haji.

Kami sudah pulang dari Arafah, dan karena itu sudah haji. Tokoh ini sebenarnya bukan tanggung jawab saya, sebab bukan anggota regu saya. Tetapi ketika tiba di Mekkah, dia tidak kebagian kamar di regunya. Jadi bersama dua orang lagi dia dititipkan ke kamar saya. Mengenai kamar maktab ini tidaklah seperti yang dijanjikan di tanah air. Janjinya: kami akan mendapatkan maktab dekat Masjid Haram, sehingga setiap shalat wajib kami bisa turun ke masjid dan cukup berjalan kaki. Kenyataannya: kami mendapatkan maktab jauh dari Masjid Haram, terletak di desa Sisyah, kecamatan Ajiziah. Disediakan angkutan bis yang jumlahnya tidak memadai dibandingkan banyaknya jamaah. Belakangan saya ketahui memang dilematis, jumlah bis ditentukan tidak berdasarkan jumlah jamaah, tetapi berdasarkan daya tampung jalanan kota Mekkah. Jika disediakan bis yang cukup untuk semua jamaah, maka jalanan kota Mekkah akan macet total.

Karena sewa maktab jauh dari Masjid Haram lebih murah, maka kami mendapat pengembalian dari sisa sewa maktab itu sebesar SAR 250,- (Rp.750.000,- jika kursnya Rp. 3000,-). Jika kamu ingin lebih cepat sampai Masjid Haram, bisa menggunakan taksi, bentuknya minibus, atau kadang cuma mobil pickup, perorang SAR 5,- dan berangkat setelah mobil penuh. Soal jarak maktab dan Masjid Haram yang jauh ini, dikatakan oleh para petugas haji, hanyalah ujian. Kami sudah berusaha mendapatkan maktab yang dekat Masjid Haram, tetapi Allah

1/5

Ternyata Kabah Tidak Melayang-layang - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Agus Fahri Husein Minggu, 27 Maret 2011 13:10

berkehendak lain. Demikianlah agar para jamaah haji bersabar. Ternyata tukang maktab juga turut menguji kesabaran jamaah haji.

Haji Likin bin Haji Bangga tidak mendapat perhatian dari saya, sebab bukan anggota regu saya. Baiklah saya katakan, saya bersepuluh, saya, kakak dan adik-adik ipar saya, bersama istri masing-masing, jadi kami satu regu, saya ketua regunya, di tambah satu orang lagi Ibu... Nasution (orang Batak). Laki-laki dan perempuan dipisahkan kamarnya, jadi masing-masing lima, ditambah Haji Likin dan dua orang lagi lainnya seperti sudah saya ceritakan. Karena kami berkeluarga maka semua belanja makanan dan minuman jadi satu. Kakak ipar saya yang perempuan yang pegang duitnya. Saya beli kopi instan satu botol, bersama gula, dan alat masaknya yang bertenaga listrik. Tentu saja karena kami keluarga, kakak dan adik-adik ipar bikin kopi dari kopi yang saya beli itu.

Haji Likin mendapat perhatian saya ketika tanpa canggung dia ikut ambil bagian dalam acara itu, juga sama tanpa canggungnya memakai alat-alat kami. Bahkan juga ketika kami tidak sedang bikin kopi. Sekali-dua kali saya perhatikan, tidak menampakkan perasaan apa pun. Akhirnya kami putuskan untuk memindahkan peralatan memasak kopi ke kamar istri saya. Jika kami ingin minum kopi, kami akan ke kamar perempuan, semua tetangga sudah tahu bahwa kami sepuluh orang sekeluarga, suami-istri. Saya bukannya tidak mau berbagi kopi dengan Haji Likin, tetapi saya tidak mau orang meminum kopi saya, memakai peralatan saya tanpa ijab-qob ul . Haram bagi dia, tidak ikhlas bagi saya.

Syukurlah Haji Likin jarang sekali ada di kamar. Sebentar saja dia ada di kamar, tergesa-gesa pergi lagi dengan tas kecil dan kalung sorbannya. Juga ketika kami beritahu bahwa istrinya baru saja dari dokter karena terserang flu berat. Di Mekkah hampir semua orang terkena flu.

Biar dirasakan. Itulah akibatnya kalau nggak memperhatikan suami. Kualat dia! jawabnya acuh. Dan dia berlalu.

Kemudian secara tidak sengaja saya ketahui kemana dia perginya, setelah saya kehabisan bekal rokok. Rokok Indonesia di Mekkah adalah barang mahal, di samping langka juga illegal dan haram. Belinya harus sembunyi-sembunyi. Di luar musim haji saya dengar sangat ketat peraturannya. Di musim haji agak dikendorkan, karena banyaknya orang asing. Jika ketahuan merokok di lingkungan Masjid Haram, bisa kena denda SAR 8.000,- (Rp. 24.000.000,-), jika tidak kuat membayar denda, maka akan dibawa keluar tanah haram dan dicambuk. Jika

2/5

Ternyata Kabah Tidak Melayang-layang - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Agus Fahri Husein Minggu, 27 Maret 2011 13:10

tertangkap sedang berjualan rokok, dendanya lebih besar lagi: SAR 200.000,- (Rp. 600.000.000,-), itu jumlah yang fantastis. Pasti orang memilih dicambuk daripada membayar denda.

Ketika saya lagi kebingungan mencari rokok, orang-orang menyarankan untuk mencari Haji Likin. Akhirnya ketahuan, seharian dan semalaman itu dia pergi berkeliling ke maktab-maktab lainnya, naik-turun dari lantai 1 sampai 10, berdagang rokok. Dia berhubungan dengan sopir-sopir bis yang kebanyakan orang Madura, yang memperoleh kiriman rokok dari tanah halal sekitar Mekkah. Harga sebungkus rokok Indonesia adalah 35.000,- jika dengan rupiah, atau 15 jika dengan riyal, berlaku untuk semua merek. Di tanah halal, Jeddah misalnya, harganya tidak sampai separuhnya.

Haji Likin tampaknya menyadari ketergantungan saya kepadanya mengenai rokok ini. Jadi dia seperti mendapat angin segar. Mulai banyak lagi omongnya, dan bertingkah mencari perhatian. Ketika dia mendapat giliran flu berat, dia menurunkan kasur dari ranjangnya, memiringkan ranjang disamping kasur dan menyampirkan kain ihram, sarung, dan sorban di ranjang itu sehingga membentuk penyekat. Karena dia mendapat tempat tidur di tepi, maka dia memperoleh kamar selebar kasur yang dibatasi tembok dan ranjang yang dimiringkan itu. Dia tidur di dalamnya dan tidak terlihat oleh orang lain di dalam kamar itu. Suaranya saja yang terus terdengar berbicara sendiri, kadang pelan, tetapi lebih sering keras. Kami semua di kamar itu sudah maklum, bahkan ada di antara kami yang menganggapnya stress, karena itu tidak digubris.

Tidak seperti diceritakan orang-orang. Setiap malam saya pergi ke Masjid Haram, ternyata kabah tidak melayang-layang di udara. Kabah berada di bawah. Saya sudah buktikan, sudah saya raba-raba, tidak melayang-layang. Mana keajaiban itu? Kalimat-kalimat ini terus diulang-ulang. Setelah lebih dari satu jam dia masih mengulang-ulang terus perkataan itu, akhirnya saya tengok juga. Dia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ketika saya sibakkan, ternyata matanya terpejam. Dan ketika saya sentuh keningnya, terasa panas sekali. Saya memanggil istrinya, dan juga dokter, agar memeriksa kondisi Haji Likin.

Ketika dokter dan istrinya datang, Haji Likin dibangunkan. Ia tampak kebingungan. Dia minta AC dimatikan. Lalu kami mematikan AC.

Apa Pak Dokter melihat kabah melayang-layang?

3/5

Ternyata Kabah Tidak Melayang-layang - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Agus Fahri Husein Minggu, 27 Maret 2011 13:10

Ah, enggak juga.... dokter memeriksa dengan stetoskopnya, dan menulis resep di buku kesehatan milik Haji Likin lalu memberikannya ke asistennya untuk mengambilkan obat di pos kesehatan.

Setelah memberi sedikit nasihat, dokter itu segera pergi, ada pasien di kamar lainnya. Istrinya tetap di kamar kami, pergi sebentar ke kamarnya mengambil roti. Selebihnya kami tidak tahu, karena dia masuk ke balik sekat ranjang miring itu bersama suaminya. Dua hari kemudian baru Haji Likin mengembalikan ranjang ke posisinya semula. Dan selama dua hari itu, istrinya jadi terbiasa terlihat di kamar kami. Pagi hari biasanya dia membawa soto yang dibeli dari pedagang Madura di bawah, dan menunggui suaminya sampai selesai makan dan minum obat. Istrinya tidak banyak bicara, hanya tersenyum saja kepada penghuni kamar lainnya ketika datang maupun ketika hendak pergi. Dengan cara itu dia minta suaminya dimaklumi. Posturnya tinggi dan agak gemuk, karena itu Haji Likin tampak kecil sekali jika berada di dekatnya.

Menjelang thawaf wada, yaitu thawaf perpisahan dengan kabah, Haji Likin bertanya kepada saya: Pak Haji jujur ya. Kabah itu melayang-layang di udara atau tidak?

Saya kepingin tertawa terbahak-bahak, tetapi melihat raut wajahnya yang begitu serius saya menjadi jatuh iba.

Ji, kata saya. Siapa yang cerita seperti itu?

Orang-orang di kampung, yang tahun kemarin pergi haji. Saya jadi penasaran sekali. Kenapa saya tidak melihat kabah melayang-layang? Pak Haji melihat tidak?

Kabah itu bangunan dari batu, Ji. Diselimuti kain hitam. Kalau lagi banyak angin, mungkin saja selimutnya berkibar-kibar, tetapi bangunan kabahnya ya tidak mungkin melayang-layang.

Nah, begitu. Saya kan jadi lega. Saya percaya Pak Haji. Jadi orang-orang di kampung itu pembohong semua.

4/5

Ternyata Kabah Tidak Melayang-layang - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Agus Fahri Husein Minggu, 27 Maret 2011 13:10

Saya tidak lagi menjawab. Merasa lega juga bisa memberi pengertian, yang sebenarnya tidak perlu itu. Tetapi kemudian saya merasa khawatir, jangan-jangan ini ujian juga, karena saya merasa lebih tahu daripada Haji Likin. Mudah-mudahan Allah mengampuni kami semua, karena bagaimanapun, kami semua telah datang memenuhi panggilan-Nya.***

Catatan:

Maktab = tempat tinggal jamaah haji, dalam hal ini kebanyakannya adalah hotel. Thawaf = ritual berjalan mengelilingi kabah sebanyak 7 kali dengan posisi kabah di sisi kiri badan. Joomla SEO by AceSEF

5/5

Anda mungkin juga menyukai