MENDESAK KOMNAS HAM MENUNTASKAN BERBAGAI KASUS PELANGGARAN BERAT HAM DI PAPUA Pelanggaran-pelanggaran Berat HAM yang telah terjadi di seantero tanah Papua semenjak tahun 1961-2003 yang tidak tertangani dan terus berlangsung adalah bukti ketidakseriusan dan ketidakmauan (unwillingnessy) negara mendorong penegakan HAM bagi masyarakat Papua. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua menyesalkan ketiadaan kemajuan penegakan dan perlindunagan HAM di Papua akibat ketidakseriusan dan ketidakmauan negara tersebut. Seringkali yang terjadi adalah pembiaran dan pemberian perlindungan terhadap pelaku oleh negara, sehingga kasus demi kasus terjadi. Pemenuhan aspirasi masyarakat Papua berupa pembentukan tim-tim berdasarkan ketentuan undang-undang dan keputusan presiden masih sarat dengan motiI politik meredam gejolak yang bisa mengakibatkan instabilitas pemerintahan di Papua, bukan untuk memenuhi tanggung jawab dan memberikan keadilan bagi korban, keluarga korban dan masyarakat Papua. Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi telah mengakibatkan ribuan korban jiwa dari masyarakat sipil Papua, mulai sejak masuknya Tanah Papua ke dalam NKRI dan pengiriman pasukan TNI pada 1961-1968, kemudian dilanjutkan dengan kasus PEPERA 1969, Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1961-1990an, hingga kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 1998-2003, seperti kasus Biak Bardarah pada Juni 1996, kasus Sorong Berdarah (Boswesen) pada 1996, kasus Timika Berdarah pada 2003, kasus Abepura Berdarah 2001, kasus Wasior Berdarah 2001, kasus pembunuhan di luar prosedur hukum (Extra Judicial Killing) Theys Hiyo Eluay dan penghilangan orang secara paksa (involuntary and enIorced dissapearances) Aristoteles Masoka pada November 2001, kasus Wamena Berdarah pada 4 April 2003, kasus Kimam Berdarah pada 2003, kasus Wutung Berdarah pada 2003 dan kasus-kasus lainnya. Dari keseluruhan kasus kejahatan kemanusian yang terjadi di Tanah Papua, hanya kasus Abepura Berdarah 2001 yang dibawa ke pengadilan dan saat ini dalam proses pemeriksaan saksi di Pengadilan HAM Makasar. Serta kasus pembunuhan Theys H Eluayyang disidangkan di pengadilan militer di Surabaya, bukan sebagai kasus pelanggaran HAM. Sementara kasus hilangnya Aristoteles Masoka t' yang saat itu bersama Theys H Eluay t' tidak pernah melalui proses dan pertanggungjawaban hukum. Inilah yang mendorong adanya tuntutan kebenaran dan keadilan mesyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia, dalam hal ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, yang berdasarkan Undang-Undang 39 Tahun1999 Tentang HAM dan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM memiliki kewajiban melakukan pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM bagi masyarakat Papua. Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua mendesak Komnas HAM agar : 1. Mengumumkan kepada publik hasil kerja Tim Penyelidikan Pelangggaran Berat HAM untuk kasus Wamena dan Wasior, khususnya kepada masyarakat Papua selaku korban. 2. Memebentuk Tim Penyelidik Pelanggaran Berat HAM Penghilangan Orang Secara Paksa Aristoteles Masoka (sopir pribadi Theys H Eluay) yang hilang bersamaan dengan terbunuhnya Theys H Eluay pada November 2001. 3. Membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM atas kasus Wutung Berdarah, Kasus PEPERA 1969, kasus Biak Berdarah 1996, kasus Kimam Berdarah, kasus Timika Berdarah 2003, kasus Wasior Berdarah 2001 dan kasus Wamena Berdarah pasca pembobolan gudang senjata Makodim 1702 Jayawijaya 2003 di Wamena. 1akarta, 28 1uli 2004 KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PAPUA Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), IKOHI Papua, KontraS, KontraS Papua, Komunitas Masyarakat Papua, Solidaritas Nasional Untuk Papua (SNUP), Pokja Papua, PBHI, LBH 1akarta, Crisis Center PGI .
Groansicht des Bildes mit der Bildunterschrift. Pegiat Hak Asasi Manusia di Indonesia kuatirkan prospek penegakan Hak Asasi Manusia di tahun 2010
Terlalu banyak kasus pelanggaran HAM yang penyelesaiannya tetap saja menemui jalan buntu di tahun 2009 lalu. Sepanjang tahun lalu dalam catatan berbagai lembaga pengamat HAM, praktis tak ada kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil diungkap. Sehingga, tidak banyak yang bisa diharapkan mengenai penegakkan HAM di tahun 2010. Bahkan banyak yang mencemaskan pelanggaran hak-hak dasar rakyat akan terus marak. RaIendi Djamin dari Kelompok Kerja HAM HRWG:'Proses legislasi nasional terbukti telah mengagendakan RUU yang mengancam kebebasan dasar manusia seperti RUU zakat yang mengancam kebebasan beragama berkeyakinan. Dan RUU rahasia negara yang mengancam kebebasan berekspresi. Kebijakan hukum dan HAM akan semakin jauh dari penghormatan HAM. Ini tercermin dari sikap dan langkah kebijakan oleh aparat pemerintah yang mengancam kebebasan Iundamental. Misalnya semangat untuk membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, membatasi kebebasan berekspresi terutama pada dunia maya termasuk kebebasan pers. Niat pemerintah untuk memberantas maIia peradilan dengan membentuk satgas MaIia hukum dipandang positiI. Namun para pegiat HAM mencemaskan langkah itu hanya akan dijalankan setengah hati. Ini karena masih sangat kurangnya independensi dan akuntabilitas aparat penegak hukum. Hal lain yang disorot adalah maraknya upaya pejabat pemerintah untuk memberangus para pengkritik dengan memanIaatkan perangkat hukum. Khususnya pengaduan dengan pasal pencemaran nama terhadap aktiIis atau warga yang bermaksud mengungkap kasus korupsi dan pelanggaran lain. Ini dialami sejumlah aktivis lembaga anti korupsi ICW yang berusaha mengungkap sejumlah kasus, serta Kordinator Kontras Usman Hamid yang gigih memperjuangkan dibongkarnya kasus pembunuhan Munir. Para aktiIis HAM juga menunjuk kasus Prita Mulyasari yang diperkarakan secara pidana karena mempermasalahkan buruknya pelayanan sebuah rumah sakit swasta. Zaenal Abidin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengungkapkan kekuatirannya:'Kalau beberapa macam regulasi yang masih eksis dan sering dipakai oleh aparat untuk mengekang kebebasn sipil itu tetap berlanjut, maka saya Iikir tahun 2010 kondisinya juga tidak akan berbeda dengan tahun 2009. bahkan lebih buruk karena ini praktis sasaran orang orang yang dikritik itu para pejabat publik dan mereka menggunakan beberapa regulasi itu untuk kembali menyerang balik pengkritik. Nah artinya sistem yang dibangun negara dengan berbagai macam ratiIikasi itu mengalami kemunduran dan ini masih akan berlangsung Para pegiat HAM juga menyorot sejumlah skandal hukum dan politik yang pada gilirannya dipandang makin menyuramkan prospek penegakkan hukum dan HAM. Seperti kasus Bank Century dan upaya pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya terkait konIlik dengan kepolisian, yang dikenal sebagai kasus Cicak lawan Buaya. Para pegiat HAM menegaskan, dengan keadaan seperti itu, yang benar-benar dibutuhkan langkah terobosan pemerintah. Pertama-tama dengan bergerak cepat menuntaskan seluruh masalah hukum dan politik yang menghambat penegakan HAM di tahun 2009. RaIendi Dajmin dari HRWG lebih lanjut menjelaskan, 'Membatalkan RUU yang mengancam kebebasan Iundamental dan memprioritaskan program legislasi yang menghormati dan menjamin HAM seperti RUU bantuan hukum, ratiIikasi kovenan perlindungan buruh migran. Membatalkan segala segala upaya atau rencana kebijakan hukum dan HAM yang mengancam kebebasan Iundamental dan merampas kesejahteraan. Mengganti menghukum dan mengadili semua pejabat publik yang terlibat skandal dan mengantinya dengan pejabat yang kredible dan akuntabel Betapapun, lembaga-lembaga HAM Indonesia mencatat perkembangan penting di tahun 2009. Yakni munculnya gerakan spontan dan kreatiI dari masyarakat umum dalam mendukung korban kesewenangan dan melawan lembaga-lembaga yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memberangus penegakkan hukum. Seperti pengumpulan uang receh hingga ratusan juta rupiah sebagai tanda solidaritas bagi Prita Mulyasari yang dihukum denda dalam kasus RS Omni, serta dukungan luar biasa bagi KPK untuk Kasus Cicak Buaya. CONTOH KASUS Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini. Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang- Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy MustaIa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares. Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatiInya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan. Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan "diskriminatiI'' dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, "Bagi saya bukan Iair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia''
Pelanggaran Hak Asasi Anak di Indonesia Hak asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia semenjak dia lahir. Hak pertama yang kita miliki adalah hak untuk hidup seperti di dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak asasi manusia, 'Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraI hidupnya, ayat (2) 'Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan bathin, dan ayat (3) 'Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Seiring berjalannya waktu, hak asasi manusia (HAM) mulai dilindungi oleh setiap negara. Salah satunya adalah Indonesia, hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan 'Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Meskipun di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang HAM, masih banyak pula pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya, antara lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur tentang ratiIikasi konversi hak anak. Persoalan mungkin dapat menjadi rumit ketika seorang anak mengalami diskriminasi berlapis, yaitu seorang anak perempuan. Pertama, karena dia seorang anak dan yang kedua adalah karena dia seorang perempuan. Di kasus inilah keberadaan anak perempuan diabaikan sebagai perempuan. Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya pernikahan dini, minimnya pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini banyak terjadi di pedesaan, 46,5 perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5 menikah sebelum mencapai 16 tahun. Survey terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25 dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003). Contoh kasus paling nyata dan paling segar adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal dengan Syekh Puji dengan LutIiana UlIa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang perlindungan anak. Kasus ini juga ikut membuat Seto Mulyadi, Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjun langsung. Menurutnya perkawinan antara Syekh Puji dengan LutIiana UlIa melanggar tiga Undang Undang sekaligus. Pelanggaran pertama yang dilakukan Syekh Puji adalah terhadap Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dengan anak-anak dilarang. Pelanggaran kedua, dilakukan terhadap Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang melarang persetubuhan dengan anak. Dan yang terakhir, pelanggaran yang dilakukan terkait dengan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Setelah menikah, anak itu dipekerjakan dan itu seharusnya dilarang. Selain itu, seharusnya di umur LutIiana UlIa yang sekarang adalah masa untuk tumbuh dan berkembang, bersosialisasi, belajar, menikmati masa anak-anak dan bermain.(dari berbagai sumber/sir) (Redaksi/malangpost) PeIanggaran HAM dan DiaIog di Papua PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyatakan tekadnya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tanah Papua (Red; Papua dan Papua Barat).
Sayangnya, tekad tersebut tak dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit untuk segera menyelesaikannya hingga tuntas. Malahan, di tahun 2010 yang baru saja kita lewati, pelanggaran HAM di Papua terus terjadi, dan meningkat secara singniIikan.
Berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh aparat Militer IndonesiaTentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)yang seharusnya memberi rasa aman bagi warga masyarakatnya.
Ini menunjukan 'ketidakmampuan seorang SBY dan Negara melindungi masyarakatnya di tanah Papua. Bukan tidak mungkin, ini akan memicu bangkitnya gerakan 'separatis di Papua yang tentu akan berdampak besar bagi keutuhaan negara republik Indonesia.
Pelanggaran HAM
Saat ini negara lebih memilih menggunakan cara-cara kekerasaanOperasi Militeruntuk menyelesaikan konIlik Papua. Dengan menempuh jalan kekerasaan, tentu ini akan menimbulkan banyak pelanggaran HAM yang juga akan memberikan citra buruk Indonesia di mata dunia internasional.
Beberapa contoh yang dapat ditemui di tahun 2010 kemarin; misalkan, muncul video kekerasan dalam pelaksanaan patroli pada 16 Maret 2010. Dalam video tersebut diperlihatkan bagaimana puluhan warga Papua di tendang dengan sepatu laras. Punggung mereka terus dipukuli. Bahkan ada yang menggunakan helm tempur untuk memukul kepala korban.
Berikutnya, peristiwa pembunuhan Kinderman Gire, seorang Pendeta Gereja GIDI Toragi, di Distrik Tinggi Nambut pada tanggal 17 Maret 2010 yang di duga dilakukan oleh aparat Militer Indonesia.
Mereka curigai Kinderman sebagai anggota 'separatis, padahal ia hanya seorang pendeta biasa. Ia dibawa dan disiksa hingga mukanya bengkak dan menghitam. Sekitar dua minggu kemudian, warga menemukan kepala pendeta Kinderman tersangkut di pinggir sungai Tinggin, Yamo, Gurage.
Berikutnya lagi, kasus kekerasan warga sipil saat diinterogasi yang terekam dan sempat beredar di situs Youtube pada 30 Mei 2010. Di dalam video tersebut, terlihat dua orang warga bernama Anggen Pugu Kiwo dan Telangga Gire diinterogasi mengenai keberadaan senjata dan pimpinan Operasi Papua Merdeka (OPM). Interogasi ini disertai tindak kekerasan yang tak manusiawi.
Keduanya diikat dan ditempatkan terpisah. Korban ini diinjak, dipukul, dan sempat diancam akan ditembak. Bahkan salah satu korban disulut dengan bara kayu yang masih berasap di alat kelaminnya. Selama 48 jam keduanya mengalami penyiksaan yang hebat. (The Jakarta Globe, 22 November 2010)
Tiga contoh kasus diatas menunjukan bagaimana pelanggaran HAM di Papua masih berlangsung sejak wilayah ini berintegrasi ke dalam negara Indonesia sejak tahun 1969 melalui proses penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang masih dianggap 'tidak sah oleh sebagian besar rakyat Papua.
Pandangan LSM
Human Right Watch (HRW) dalam beberapa laporannya mengkritik pemerintah Indonesia yang terus menerus melakukan pelanggaran HAM di Papua. Mereka juga menyoroti kebijakan negara yang mengharuskan wartawan asing, diplomat, serta lembaga HAM internasional untuk harus memiliki 'surat jalan untuk memasuki Papua.
Bukankah ini sebuah 'imits yang diciptakan oleh negara, bahwa Papua saat ini tidak aman untuk di kunjungi. Ini tentu akan memberikan citra buruk di mata dunia internasional. Jika pemerintah beranggapan tidak ada pelanggaran HAM di Papua atau wilayah ini aman-aman saja, maka kebijakan tersebut harus di cabut.
Selain HRW, Amnesty International dan Asian Human Rights Commision (AHRC) juga sering mengeluarkan laporan tentang pelanggaran HAM yang terus terjadi Papua. Bahkan, ada dugaan telah terjadi 'slow motion genocida di Papua.
Menanggapi isu 'slow motion genocida, tepatnya tanggal 22 November 2010 lalu, telah berlangsung dengar pendapat antara beberapa aktivis Papua Merdeka di bawah pimpinan Octovianus Mote, dengan anggota Kongres AS di Washintong DC. Ini sebuah peristiwa bersejarah yang tentu tak bisa dianggap remeh, walaupun hanya dihadiri sedikit anggota Kongres.
Berbagai lembaga HAM di Indonesia, seperti Komnas HAM, Imparsial, KontraS, dan Elsham juga secara berkala membuat laporan terkait pelanggaran HAM di Papua. Mereka sering menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak memakai jalan kekerasaan untuk menyelesaikan konIlik di Papua.
Namun, hingga saat ini negara terus menerus melakukan tindakan kekerasaan, terutama melalui operasi Militer. Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa jalan kekerasaan tidak akan pernah menyelesaikan konIlik, malahan ia justru menambah masalah baru di Papua.
Meretas 1alan
Untuk mengakhiri konIlik di Papua, lebih khusus pelanggaran HAM , Lembaga Ilmu Pengetahuaan Indonesia (LIPI) pernah membuat sebuah proposal yang disebut dengan 'Papua Road Map sejak tahun 2009 lalu.
Ada empat usulan, pertama, menghilangkan sikap diskriminatiI dan menghapus kebijakan- kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua.
Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.
Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan. Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.
Proposal yang diajukan LIPI perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, juga rakyat Papua. Pemerintah harus mengakui, bahwa selama ini telah bertindak salah dalam menyelesaikan konIlik di tanah Papua. Tentu rakyat Papua juga harus membuka diri.
Pemerintah tak perlu mencurigai usulan LIPI sebagai peluang untuk rakyat Papua menyatakan sikap mereka untuk segera 'memisahkan diri dari negara Indonesia. Rakyat Papua juga demikian, dimana tidak memandang dialog sebagai peluang untuk menggapai sebuah kemerdekaan.
Banyak diantara kita yang mungkin masih ingat, di tahun 1999 bagaimana embargo yang di jatuhkan dunia internasional, terutama Amerika Serikat kepada Indonesia ketika terjadi pelanggaran HAM berat di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Embargo ini di jatuhkan ketika aparat Militer Indonesia (Red, Kopassus) membunuh ratusan warga Timtim. Kemudian embargo dicabut tahun 2010 kemarin, walau beberapa pelaku belum di sidangkan.
Tentu ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. SBY-Boedino beserta Kabinte Indonesia Bersatu Jilid II punya pekerjaan besar untuk menyelesaikan konIlik di Papua secara adil, bermartabat dan menyeluruh.
Sekarang tinggal memilih, apakah tetap pakai cara kekerasaanoperasi militer atau cara damai, yakni; pemerintah menggelar dialog dengan orang Papua yang di mediasi oleh pihak ketiga. Semoga!