Anda di halaman 1dari 8

PERNYATAAN SIKAP

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PAPUA


MENDESAK KOMNAS HAM MENUNTASKAN BERBAGAI KASUS
PELANGGARAN BERAT HAM DI PAPUA
Pelanggaran-pelanggaran Berat HAM yang telah terjadi di seantero tanah Papua semenjak
tahun 1961-2003 yang tidak tertangani dan terus berlangsung adalah bukti ketidakseriusan
dan ketidakmauan (unwillingnessy) negara mendorong penegakan HAM bagi masyarakat
Papua. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua menyesalkan ketiadaan kemajuan penegakan
dan perlindunagan HAM di Papua akibat ketidakseriusan dan ketidakmauan negara tersebut.
Seringkali yang terjadi adalah pembiaran dan pemberian perlindungan terhadap pelaku oleh
negara, sehingga kasus demi kasus terjadi. Pemenuhan aspirasi masyarakat Papua berupa
pembentukan tim-tim berdasarkan ketentuan undang-undang dan keputusan presiden masih
sarat dengan motiI politik meredam gejolak yang bisa mengakibatkan instabilitas
pemerintahan di Papua, bukan untuk memenuhi tanggung jawab dan memberikan keadilan
bagi korban, keluarga korban dan masyarakat Papua.
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi telah mengakibatkan ribuan korban jiwa dari
masyarakat sipil Papua, mulai sejak masuknya Tanah Papua ke dalam NKRI dan pengiriman
pasukan TNI pada 1961-1968, kemudian dilanjutkan dengan kasus PEPERA 1969, Daerah
Operasi Militer (DOM) sejak 1961-1990an, hingga kasus-kasus pelanggaran berat HAM
yang terjadi sejak 1998-2003, seperti kasus Biak Bardarah pada Juni 1996, kasus Sorong
Berdarah (Boswesen) pada 1996, kasus Timika Berdarah pada 2003, kasus Abepura Berdarah
2001, kasus Wasior Berdarah 2001, kasus pembunuhan di luar prosedur hukum (Extra
Judicial Killing) Theys Hiyo Eluay dan penghilangan orang secara paksa (involuntary and
enIorced dissapearances) Aristoteles Masoka pada November 2001, kasus Wamena Berdarah
pada 4 April 2003, kasus Kimam Berdarah pada 2003, kasus Wutung Berdarah pada 2003
dan kasus-kasus lainnya.
Dari keseluruhan kasus kejahatan kemanusian yang terjadi di Tanah Papua, hanya kasus
Abepura Berdarah 2001 yang dibawa ke pengadilan dan saat ini dalam proses pemeriksaan
saksi di Pengadilan HAM Makasar. Serta kasus pembunuhan Theys H Eluayyang
disidangkan di pengadilan militer di Surabaya, bukan sebagai kasus pelanggaran HAM.
Sementara kasus hilangnya Aristoteles Masoka t' yang saat itu bersama Theys H Eluay t'
tidak pernah melalui proses dan pertanggungjawaban hukum.
Inilah yang mendorong adanya tuntutan kebenaran dan keadilan mesyarakat Papua terhadap
pemerintah Indonesia, dalam hal ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
RI, yang berdasarkan Undang-Undang 39 Tahun1999 Tentang HAM dan Undang-Undang
No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM memiliki kewajiban melakukan pemajuan,
perlindungan dan penegakan HAM bagi masyarakat Papua.
Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua mendesak Komnas HAM agar :
1. Mengumumkan kepada publik hasil kerja Tim Penyelidikan Pelangggaran Berat
HAM untuk kasus Wamena dan Wasior, khususnya kepada masyarakat Papua selaku
korban.
2. Memebentuk Tim Penyelidik Pelanggaran Berat HAM Penghilangan Orang Secara
Paksa Aristoteles Masoka (sopir pribadi Theys H Eluay) yang hilang bersamaan
dengan terbunuhnya Theys H Eluay pada November 2001.
3. Membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM atas kasus Wutung
Berdarah, Kasus PEPERA 1969, kasus Biak Berdarah 1996, kasus Kimam Berdarah,
kasus Timika Berdarah 2003, kasus Wasior Berdarah 2001 dan kasus Wamena
Berdarah pasca pembobolan gudang senjata Makodim 1702 Jayawijaya 2003 di
Wamena.
1akarta, 28 1uli 2004
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PAPUA
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), IKOHI Papua, KontraS, KontraS
Papua, Komunitas Masyarakat Papua, Solidaritas Nasional Untuk Papua (SNUP),
Pokja Papua, PBHI, LBH 1akarta, Crisis Center PGI .


Groansicht des Bildes mit der Bildunterschrift.
Pegiat Hak Asasi Manusia di Indonesia kuatirkan prospek penegakan Hak Asasi
Manusia di tahun 2010

Terlalu banyak kasus pelanggaran HAM yang penyelesaiannya tetap saja menemui jalan
buntu di tahun 2009 lalu. Sepanjang tahun lalu dalam catatan berbagai lembaga pengamat
HAM, praktis tak ada kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil diungkap. Sehingga, tidak
banyak yang bisa diharapkan mengenai penegakkan HAM di tahun 2010. Bahkan banyak
yang mencemaskan pelanggaran hak-hak dasar rakyat akan terus marak.
RaIendi Djamin dari Kelompok Kerja HAM HRWG:'Proses legislasi nasional terbukti telah
mengagendakan RUU yang mengancam kebebasan dasar manusia seperti RUU zakat yang
mengancam kebebasan beragama berkeyakinan. Dan RUU rahasia negara yang mengancam
kebebasan berekspresi. Kebijakan hukum dan HAM akan semakin jauh dari penghormatan
HAM. Ini tercermin dari sikap dan langkah kebijakan oleh aparat pemerintah yang
mengancam kebebasan Iundamental. Misalnya semangat untuk membatasi kebebasan
beragama dan berkeyakinan, membatasi kebebasan berekspresi terutama pada dunia maya
termasuk kebebasan pers.
Niat pemerintah untuk memberantas maIia peradilan dengan membentuk satgas MaIia hukum
dipandang positiI. Namun para pegiat HAM mencemaskan langkah itu hanya akan
dijalankan setengah hati. Ini karena masih sangat kurangnya independensi dan akuntabilitas
aparat penegak hukum.
Hal lain yang disorot adalah maraknya upaya pejabat pemerintah untuk memberangus para
pengkritik dengan memanIaatkan perangkat hukum. Khususnya pengaduan dengan pasal
pencemaran nama terhadap aktiIis atau warga yang bermaksud mengungkap kasus korupsi
dan pelanggaran lain. Ini dialami sejumlah aktivis lembaga anti korupsi ICW yang berusaha
mengungkap sejumlah kasus, serta Kordinator Kontras Usman Hamid yang gigih
memperjuangkan dibongkarnya kasus pembunuhan Munir.
Para aktiIis HAM juga menunjuk kasus Prita Mulyasari yang diperkarakan secara pidana
karena mempermasalahkan buruknya pelayanan sebuah rumah sakit swasta.
Zaenal Abidin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengungkapkan
kekuatirannya:'Kalau beberapa macam regulasi yang masih eksis dan sering dipakai oleh
aparat untuk mengekang kebebasn sipil itu tetap berlanjut, maka saya Iikir tahun 2010
kondisinya juga tidak akan berbeda dengan tahun 2009. bahkan lebih buruk karena ini praktis
sasaran orang orang yang dikritik itu para pejabat publik dan mereka menggunakan beberapa
regulasi itu untuk kembali menyerang balik pengkritik. Nah artinya sistem yang dibangun
negara dengan berbagai macam ratiIikasi itu mengalami kemunduran dan ini masih akan
berlangsung
Para pegiat HAM juga menyorot sejumlah skandal hukum dan politik yang pada gilirannya
dipandang makin menyuramkan prospek penegakkan hukum dan HAM. Seperti kasus Bank
Century dan upaya pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya terkait konIlik
dengan kepolisian, yang dikenal sebagai kasus Cicak lawan Buaya.
Para pegiat HAM menegaskan, dengan keadaan seperti itu, yang benar-benar dibutuhkan
langkah terobosan pemerintah. Pertama-tama dengan bergerak cepat menuntaskan seluruh
masalah hukum dan politik yang menghambat penegakan HAM di tahun 2009.
RaIendi Dajmin dari HRWG lebih lanjut menjelaskan, 'Membatalkan RUU yang
mengancam kebebasan Iundamental dan memprioritaskan program legislasi yang
menghormati dan menjamin HAM seperti RUU bantuan hukum, ratiIikasi kovenan
perlindungan buruh migran. Membatalkan segala segala upaya atau rencana kebijakan
hukum dan HAM yang mengancam kebebasan Iundamental dan merampas kesejahteraan.
Mengganti menghukum dan mengadili semua pejabat publik yang terlibat skandal dan
mengantinya dengan pejabat yang kredible dan akuntabel
Betapapun, lembaga-lembaga HAM Indonesia mencatat perkembangan penting di tahun
2009. Yakni munculnya gerakan spontan dan kreatiI dari masyarakat umum dalam
mendukung korban kesewenangan dan melawan lembaga-lembaga yang menyalahgunakan
kekuasaan untuk memberangus penegakkan hukum. Seperti pengumpulan uang receh hingga
ratusan juta rupiah sebagai tanda solidaritas bagi Prita Mulyasari yang dihukum denda dalam
kasus RS Omni, serta dukungan luar biasa bagi KPK untuk Kasus Cicak Buaya.
CONTOH KASUS
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan
dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan
tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar
berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu
keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing
hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan
tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-
Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer)
disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun
sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy MustaIa
menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam
mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatiInya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah
melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa
tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan "diskriminatiI'' dengan keputusan terhadap
terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim
dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari
Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat
Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta
mengatakan, "Bagi saya bukan Iair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir
rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia''

Pelanggaran Hak Asasi Anak di Indonesia
Hak asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia semenjak dia lahir. Hak
pertama yang kita miliki adalah hak untuk hidup seperti di dalam Undang Undang No. 39
tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak asasi manusia, 'Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraI hidupnya, ayat (2) 'Setiap orang berhak
hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan bathin, dan ayat (3) 'Setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Seiring berjalannya waktu, hak asasi manusia (HAM) mulai dilindungi oleh setiap negara.
Salah satunya adalah Indonesia, hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang
Undang No. 39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan 'Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia,
yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Meskipun di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang HAM, masih banyak pula
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang baru-baru
ini sedang marak adalah pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya
sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya, antara lain Undang Undang No.
4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur
tentang perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak,
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur tentang ratiIikasi konversi hak anak.
Persoalan mungkin dapat menjadi rumit ketika seorang anak mengalami diskriminasi
berlapis, yaitu seorang anak perempuan. Pertama, karena dia seorang anak dan yang kedua
adalah karena dia seorang perempuan. Di kasus inilah keberadaan anak perempuan diabaikan
sebagai perempuan.
Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya pernikahan dini, minimnya
pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Pernikahan dini banyak terjadi di pedesaan, 46,5 perempuan menikah sebelum mencapai 18
tahun dan 21,5 menikah sebelum mencapai 16 tahun. Survey terhadap pekerja seks
komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25 dari mereka pertama
kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003).
Contoh kasus paling nyata dan paling segar adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai
Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal dengan Syekh Puji dengan LutIiana UlIa (12 tahun). Di
dalam pernikahan itu seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang
Undang perlindungan anak.
Kasus ini juga ikut membuat Seto Mulyadi, Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) terjun langsung. Menurutnya perkawinan antara Syekh Puji dengan LutIiana UlIa
melanggar tiga Undang Undang sekaligus. Pelanggaran pertama yang dilakukan Syekh Puji
adalah terhadap Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang
Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dengan anak-anak dilarang. Pelanggaran
kedua, dilakukan terhadap Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
yang melarang persetubuhan dengan anak.
Dan yang terakhir, pelanggaran yang dilakukan terkait dengan Undang Undang No. 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan. Setelah menikah, anak itu dipekerjakan dan itu seharusnya
dilarang. Selain itu, seharusnya di umur LutIiana UlIa yang sekarang adalah masa untuk
tumbuh dan berkembang, bersosialisasi, belajar, menikmati masa anak-anak dan
bermain.(dari berbagai sumber/sir) (Redaksi/malangpost)
PeIanggaran HAM dan DiaIog di Papua
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyatakan tekadnya untuk
menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tanah
Papua (Red; Papua dan Papua Barat).

Sayangnya, tekad tersebut tak dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit untuk segera
menyelesaikannya hingga tuntas. Malahan, di tahun 2010 yang baru saja kita lewati,
pelanggaran HAM di Papua terus terjadi, dan meningkat secara singniIikan.

Berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh aparat Militer IndonesiaTentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)yang seharusnya
memberi rasa aman bagi warga masyarakatnya.

Ini menunjukan 'ketidakmampuan seorang SBY dan Negara melindungi masyarakatnya di
tanah Papua. Bukan tidak mungkin, ini akan memicu bangkitnya gerakan 'separatis di
Papua yang tentu akan berdampak besar bagi keutuhaan negara republik Indonesia.



Pelanggaran HAM

Saat ini negara lebih memilih menggunakan cara-cara kekerasaanOperasi Militeruntuk
menyelesaikan konIlik Papua. Dengan menempuh jalan kekerasaan, tentu ini akan
menimbulkan banyak pelanggaran HAM yang juga akan memberikan citra buruk Indonesia
di mata dunia internasional.

Beberapa contoh yang dapat ditemui di tahun 2010 kemarin; misalkan, muncul video
kekerasan dalam pelaksanaan patroli pada 16 Maret 2010. Dalam video tersebut diperlihatkan
bagaimana puluhan warga Papua di tendang dengan sepatu laras. Punggung mereka terus
dipukuli. Bahkan ada yang menggunakan helm tempur untuk memukul kepala korban.

Berikutnya, peristiwa pembunuhan Kinderman Gire, seorang Pendeta Gereja GIDI Toragi, di
Distrik Tinggi Nambut pada tanggal 17 Maret 2010 yang di duga dilakukan oleh aparat
Militer Indonesia.

Mereka curigai Kinderman sebagai anggota 'separatis, padahal ia hanya seorang pendeta
biasa. Ia dibawa dan disiksa hingga mukanya bengkak dan menghitam. Sekitar dua minggu
kemudian, warga menemukan kepala pendeta Kinderman tersangkut di pinggir sungai
Tinggin, Yamo, Gurage.

Berikutnya lagi, kasus kekerasan warga sipil saat diinterogasi yang terekam dan sempat
beredar di situs Youtube pada 30 Mei 2010. Di dalam video tersebut, terlihat dua orang
warga bernama Anggen Pugu Kiwo dan Telangga Gire diinterogasi mengenai keberadaan
senjata dan pimpinan Operasi Papua Merdeka (OPM). Interogasi ini disertai tindak kekerasan
yang tak manusiawi.

Keduanya diikat dan ditempatkan terpisah. Korban ini diinjak, dipukul, dan sempat diancam
akan ditembak. Bahkan salah satu korban disulut dengan bara kayu yang masih berasap di
alat kelaminnya. Selama 48 jam keduanya mengalami penyiksaan yang hebat. (The Jakarta
Globe, 22 November 2010)

Tiga contoh kasus diatas menunjukan bagaimana pelanggaran HAM di Papua masih
berlangsung sejak wilayah ini berintegrasi ke dalam negara Indonesia sejak tahun 1969
melalui proses penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang masih dianggap 'tidak sah oleh
sebagian besar rakyat Papua.

Pandangan LSM

Human Right Watch (HRW) dalam beberapa laporannya mengkritik pemerintah Indonesia
yang terus menerus melakukan pelanggaran HAM di Papua. Mereka juga menyoroti
kebijakan negara yang mengharuskan wartawan asing, diplomat, serta lembaga HAM
internasional untuk harus memiliki 'surat jalan untuk memasuki Papua.

Bukankah ini sebuah 'imits yang diciptakan oleh negara, bahwa Papua saat ini tidak aman
untuk di kunjungi. Ini tentu akan memberikan citra buruk di mata dunia internasional. Jika
pemerintah beranggapan tidak ada pelanggaran HAM di Papua atau wilayah ini aman-aman
saja, maka kebijakan tersebut harus di cabut.

Selain HRW, Amnesty International dan Asian Human Rights Commision (AHRC) juga
sering mengeluarkan laporan tentang pelanggaran HAM yang terus terjadi Papua. Bahkan,
ada dugaan telah terjadi 'slow motion genocida di Papua.

Menanggapi isu 'slow motion genocida, tepatnya tanggal 22 November 2010 lalu, telah
berlangsung dengar pendapat antara beberapa aktivis Papua Merdeka di bawah pimpinan
Octovianus Mote, dengan anggota Kongres AS di Washintong DC. Ini sebuah peristiwa
bersejarah yang tentu tak bisa dianggap remeh, walaupun hanya dihadiri sedikit anggota
Kongres.

Berbagai lembaga HAM di Indonesia, seperti Komnas HAM, Imparsial, KontraS, dan
Elsham juga secara berkala membuat laporan terkait pelanggaran HAM di Papua. Mereka
sering menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak memakai jalan kekerasaan untuk
menyelesaikan konIlik di Papua.

Namun, hingga saat ini negara terus menerus melakukan tindakan kekerasaan, terutama
melalui operasi Militer. Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa jalan kekerasaan tidak
akan pernah menyelesaikan konIlik, malahan ia justru menambah masalah baru di Papua.

Meretas 1alan

Untuk mengakhiri konIlik di Papua, lebih khusus pelanggaran HAM , Lembaga Ilmu
Pengetahuaan Indonesia (LIPI) pernah membuat sebuah proposal yang disebut dengan
'Papua Road Map sejak tahun 2009 lalu.

Ada empat usulan, pertama, menghilangkan sikap diskriminatiI dan menghapus kebijakan-
kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua.

Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang
Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.

Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk
menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan.
Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian
kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.

Proposal yang diajukan LIPI perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, juga rakyat Papua.
Pemerintah harus mengakui, bahwa selama ini telah bertindak salah dalam menyelesaikan
konIlik di tanah Papua. Tentu rakyat Papua juga harus membuka diri.

Pemerintah tak perlu mencurigai usulan LIPI sebagai peluang untuk rakyat Papua
menyatakan sikap mereka untuk segera 'memisahkan diri dari negara Indonesia. Rakyat
Papua juga demikian, dimana tidak memandang dialog sebagai peluang untuk menggapai
sebuah kemerdekaan.

Banyak diantara kita yang mungkin masih ingat, di tahun 1999 bagaimana embargo yang di
jatuhkan dunia internasional, terutama Amerika Serikat kepada Indonesia ketika terjadi
pelanggaran HAM berat di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Embargo ini di jatuhkan
ketika aparat Militer Indonesia (Red, Kopassus) membunuh ratusan warga Timtim.
Kemudian embargo dicabut tahun 2010 kemarin, walau beberapa pelaku belum di sidangkan.

Tentu ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. SBY-Boedino beserta
Kabinte Indonesia Bersatu Jilid II punya pekerjaan besar untuk menyelesaikan konIlik di
Papua secara adil, bermartabat dan menyeluruh.

Sekarang tinggal memilih, apakah tetap pakai cara kekerasaanoperasi militer atau cara
damai, yakni; pemerintah menggelar dialog dengan orang Papua yang di mediasi oleh pihak
ketiga. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai