BIOETIKA : EUTANASIA
Disusun oleh :
BIOETIKA : EUTANASIA
Bioetika (Wikipedia, 2009) Adalah : Biologi dan ilmu kedokteran yang menyangkut masalah di bidang kehidupan, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhatikan kemungkinan timbulnya pada masa yang akan datang. Fransese Abel merumuskan definisi tentang bioetika (dalam Bertens, 2009) sebagai studi interdisipliner tentang problem-problem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik pada skala mikro maupun makro, dan dampaknya atas masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa mendatang.
Dalam Wikipedia juga dikemukakan bahwa terdapat tiga etika dalam bioetika, yaitu : 1. Etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya. 2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas (apa yang dianggap baik atau buruk). Contohnya: kode etik kedokteran, kode etik rumah sakit. 3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilai-nilai moral.
Jacques (19980) menyatakan bahwa pada saat ini terdapat cakupan bioetika tentang kajiankajian mengenai penanganan pasien yang tidak mungkin tertolong lagi, eutanasia, rekayasa genetik, stem cell, dan banyak kajian lainnya. Dan salah satu kajian dalam bioetika yang masih menjadi kontroversi pada saat ini adalah mengenai Eutanasia. Eutanasia (Bahasa Yunani: -, eu
yang artinya "baik", dan thanatos yang berarti kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan (Wikipedia Bahasa Indonesia).
Ana Widiana, 30609007
Eutanasia dapat juga didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya (Parikesit, 2007). Hadiwardoyo (1989) menyatakan bahwa dahulu istilah euthanasia menunjukkan usaha tenaga medis untuk membantu para pasien supaya dapat meninggal dengan baik, tanpa penderitaan yang terlalu hebat. Apabila euthanasia dipandang sebagai bantuan medis pada pasien yang sudah mendekati akhir hidupnya, dengan cara yang sesuai dengan perikemanusiaan, maka tindakan tersebut baik motivasi tau caranya tidak bertentangan dengan rasa hormat terhadap martabat manusia.
Pada saat ini banyak sekali pertentangan terhadap praktek eutanasia. Ada pihak-pihak yang kontra terutama dari kalangan pemuka agama yang menganggap bahwa tindakan eutanasia merupakan upaya pembunuhan baik yang dilakukan secara terencana ataupun tidak dan juga dipandang menyalahi aturan agama karena mendahului kehendak Allah SWT. Tetapi tidak sedikit juga yang menjadi kelompok yang pro akan tindakan eutanasia ini yang umumnya di anut terutama oleh kebanyakan pasien atau orang yang memiliki penyakit atau penderitaan yang tak berkesudahan dan kesempatan untuk sembuhnya tipis. Mereka merasa bahwa dengan melakukan eutanasia, selain tidak terlalu lama mengalami penderitaan, mereka juga tidak merepotkan dan membebani pihak keluarga yang selama ini mengurus dan mengusahakan dana perawatan mereka. Menurut Utomo (2009), dalam praktek kedokteran dikenal dua macam eutanasia yaitu, euthanasia aktif dan eutanasia pasif. Eutanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
Ana Widiana, 30609007
memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah. Contoh kasus etanisia aktif misalnya pada orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif yang kemudian akan memudahkan proses kematiannya. Eutanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam eutanasia pasif, yaitu upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Contoh kasus dalam hal ini seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.
Dalam contoh tersebut, penghentian pengobatan merupakan salah satu bentuk eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya.
pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang dapat dikatakan memenuhi unsurunsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun (Wikipedia, 2009). Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2009). Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri (Wikipedia, 2009). Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga . Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Pengertian mempercepat kematian dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49). Dengan demikian eutanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya. Dalam Wikipedia (2009) juga disebutkan bahwa pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu. (HR Bukhari dan Muslim). Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
bagi ayah kami kepada dokter dan tim dokter memutuskan untuk menghentikan dan melepas alat bantu nafas dan semua peralatan medis yang terpasang pada tubuh ayah saya dan mengikhlaskan ayah saya untuk kembali pada sang Khalik. Bukan karena kami tidak sayang atau tidak perduli dengan kondisi ayah kami, tapi karena kami sangat menyayangi beliau dan kami tahu juga sadar bahwa ayah saya lebih menderita dibanding apa yang terlihat dari luar. Oleh karena itu kami mengijinkan dokter untuk menghentikan semua upaya medis yang selama ini diberikan pada ayah saya. Kami berharap ayah kami tidak lagi mengalami lagi penderitaan yang selama koma/tidak sadar beliau rasakan. Semoga keputusan yang kami ambil adalah keputusan yang tepat dan semoga Allah SWT mengampuni dosa kami apabila keputusan yang diambil tidak tepat. Kami hanya tidak ingin ayah kami menderita lebih lama. Tepat jam 9.00 dokter melepas semua peralatan yang terpasang pada tubuh ayah saya, dan kemudian beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Jadi menurut saya, keputusan untuk mengambil tindakan eutanasia tergantung pada banyak hal dan alasan. Tapi yang utama bahwa keluarga telah sepakat untuk mengambil tindakan tersebut karena pasien sendiri secara medis sudah terlalu kecil harapan hidupnya atau dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh (hopeless). Kita tidak pernah tahu apakah tindakan melepas atau menghentikan alat bantu nafas adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT karena kita juga tidak tahu apakah mempertahankan hidup seseorang dengan bantuan alat bantu nafaspun termasuk menentang kehendak-Nya. Berdasarkan penuturan Utomo (2009), melakukan pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib. Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang
Ana Widiana, 30609007
cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Muashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah. Utomo (2009) juga menjelaskan bahwa memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl arrahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syariah maupun hukum positif. Tindakan eutanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syariah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya. Hal yang terkait dengan contoh yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah mati atau dikategorikan telah mati karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Eutanasia untuk hal seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syariah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak. Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Bioetika. Asal usul tujuan, dan cakupannya. Pusat Pengembangan Etika. Universitas Atma Jaya. Jakarta. Hadiwardoyo, A.P. 1989. Etika Medis. Pustaka Filsafat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hilman, I. 2006. Membiarkan Mati Secara Alamiah (Letting Die Naturally) Pada Pasien Yang Secara Medis Tidak Mungkin Lagi Dapat Disembuhkan. Jurnal Persi Vol 06. Jacques, T.P. 1980. Ethics, Theory and Practice. Glencoe Publishing co., Inc. Encino. California. Parikesit, A.A. 2007. Euthanasia dan Kematian Bermartabat. Suatu Tinjauan Bioetika. Netsains.com>SchoolWork>Homework. Utomo, S.B. 2009. Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. Fikih Kontemporer. www.eramuslim.com>konsultasi>Fikihkontemporer. Wikipedia. 2009. Bioetika. Wikipedia Bahasa Indonesia. Ensiklopedia Bebas.
Id.wikipedia.org/wiki/Bioetika.