BAGAIMANA MENGIMPLEMENTASIKAN BERBAGAI BENTUK IDEAL DARI FUNGSI
LEGISLASI TERSEBUT KE MODEL PARLEMEN DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN Sejarah menggariskan adanya peran yang dilakukan oleh lembaga parlemen dalam institusi Negara yang selama ini ada. Secara teoritik, keberadaan lembaga parlemen serta peranannya dapat ditarik ke beberapa hal. Salah satunya adalah semangat demokrasi. Semangat demokmsi menjadi alasan bagi keberadaan lembaga parlemen karena salah satu prasyarat mudah demokrasi adalah kebutuhan akan partisipasi yang baik dalam menjalankan prinsip kedaulatan rakyat. Di zaman ini, kata demokrasi seakan menjadi kata wajib. Sangat banyak negara yang kemudian mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Penelitian Amos J. Peaslee (1950) yang dikutip oleh Jimly Ashshiddiqie (2002), menyatakan bahwa dari 83 undang-undang dasar negara-negara yang diperbandingkamya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat, yang berarti sekitar 90 persen (Ash-Shiddiqie, 2004). Tentu saja terlepas dari apapun deImi yang ajegtentang prinsip demokrasi, juga terlepas dari berbagai varian yang mungkin, dalam kaitan demokrasi dan sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal clari lakyat, dikelola oleh rakyat, clan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan, semboyan "kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" mengalami sentuhan model lpanicipatory democracy: dikembangkan pula tambahan 'bersama rakyat', sehingga menjadi "kekuasaan peme~t ahanitu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat". Pengertian mengenai kekuasazn tertinggi di tangan rakyat itu tentu menbutuhkan rambu dalam menjalankannya. Karena itulah, ia dibatasi oleh kesepakatan yang dituangkan secara bersama yang disebut sebagai konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan Negara dan pemerintah suatu nega,ra (Ackerman, 1991). Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersiIai 'total' seperti cita-cita Abraham Lincoln, government by the people, Irom the people dun Ior the people. Hanya saja, karena kebutuhan yang bersiIat praktis, gagasan demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakiian. Dari sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen. Yakni agar gagasan demokrasi dapat menemukan mang prakteknya, sehingga memerlukan lembaga perwakilan atau parlemen. Lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang sangat Iundamental dalam system penle~tahande mokrasi, di samping unsur-unsur lainnya, seperti; sistem pemililian, persamaan di depan hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dm sebagainya. Setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam ha1 tertentu di bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil pilihan mereka di lembaga perwakilan (Thaib, 1994: 1). Pada sistem pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, maka keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam rangka penyelenggaraan sistem pemerintahan demokratis tersebut. Lembaga perwakilan merupakan pelaksana kekuasaan negara dalam ha1 menentukan kebijakan umum yang mengikat selumh rakyat. Umumnya Iungsi yang hams a& dari lembaga perwakilan tersebut yang terpenting adalah Iungsi legislasi (pemndang-undangan), disamping Iungsi lainnya, seperti Iungsi anggaran, dan Iungsi pengawasan. Secara reoritis, lembaga perwakilan rahyat mempakan institusi yang memiliki legitimasi yang paling kuat dalam pembentukan undang-undang yang akan mengikat warga negara, termasuk dalam rangka melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemerintah. Lembaga perwakilan atau parlemen, seringkali dihubungkan pada tiga Iungsi utama. Pertama, Iungsi pengaturan atau legislasi; Kedua, Iungsi pengawasan atau kontrol; dan Ketiga, Iungsi partisipatiI atau representasi. Lalu luga ditambahkan dengan dua Iungsi yang juga ada saat ini, yaitu Iungsi anggaran dan rekruitmen politik. Karenanya, wacana dikitaran lembaga perwakilan atau parlemen dengan berbagai modelnya juga banyak berkembang melalui pengejawantahan kesemua Iungsi-Iungsi tersebut. Karenanya, menarik untuk dianalisis bagaimana mengimplementasikan berbagai bentuk ideal dari Iungsi legislasi tersebut tersebut ke model parlemen di Indonesia. Ada dua hal yang menarik untuk dibahas. Pertama, bagaimanakah model kamar yang ada dalam sejarah dunia ini? Kedua, apakah dengan model tersebut, ada catatan yang dapat diberikan untuk mengeIektiIkan model pademen di Indonesia saat ini?
II. KONSEPTUAL A. MODEL KAMAR Dl PARLEMEN Saat ini, model kamar &lam parlemen yang diamakan oleh berbagai Negara sangat beragam. Proses perpindahan dari dan diantaranya juga sangat cepat dan banyak yang mengiringi amandemen konstitusi di berbagai belahan dunia. Hingga saat ini, setidaknya terdapat empat model, yakni unikameral, bikameral, trikameral dan tetrakameral.
1. SISTEM UNIKAMERAL. Model ini adalah model yang meletakkan adanya lembaga tunggal sebagai pemegang kuasa di lembaga parlemen. Sangat banyak Negara yang hingga saat ini bertahan dengan model sistem unikameral. Beberapa diantannya adalah; a. Taiwan Pada Article 25 Konstitusi Taiwan mencantumkan, "The National Assembly shall, accordance with tbeprovtStons oI thFF Constitution, exercisepoIitical rlghtson behalI oI aU the citizens oI the country'! Lebih lanjut, pada Micle 26 mengatur bahwa National Assembly di Taiwan adalah lembaga dengan sistem unikameral. Keanggotaanya terdiri dari gabungan representasi politik yang terpilii melalui pemilihan umum, dengan perwakilan etnisitas, termasuk jenis kelamin. Hal ini sangat menarik karena meski sistemnya unikameral, namun mencoba menanlpung kesemua model representasi yang ada, baik dari sisi segmen partai politik, etnik, maupun jenis kelamin. Lembaga tertinggi negara ini mempakan representasi dari kedaulatan rakyat yang kemudian membaginya kekuasaan tersebut kepada Excecutive Yuan maupun Legislative Yuan. Lebih lanjut pa& Article 27, bahwa dalam konstitusiTaiwan tersebut, terlihat menyatakan beberapa ha1 kewenangan yang dirniliki oleh lembaga tunggal tersebut. Secara keseluruhan, lembaga tersebut mewakili semua tugas yang dimiliki oleh sebuah lembaga parlemen. Karena kekuasaan awal berada pada NationalAssembly ini lalu didistribusikan (distribution oIpowm) kepada cabang kekuasaan negara. Terkhusus kepada legilsatiI, lembaga legislative Yuan memiliki kewenangan dalam ha1 legislasi. Pa& Pasal63 dicantumkan ketentuan, "7beLegisiatiue Yuan shall have thepower to pass bills on laws, budgets, martial law, amnesty, declaration oI war, conclusion oIpeace, tmties, and otherimportant matters oI State". b. Korea Selatan Korea Selatan merupakan negara yang berbentuk repubii demokratik dengan penyatuan Iungsi kepala negara dan kepala pemerintahan pada diri seorang presiden. Pada konstitusi Korea Selatan, tercantum ketentuan unikameral pada Article 40, "The legislativepower is vested in the National Melihat beberapa contoh model unikameral tersebut ada beberapa ha1 yang harus diberi catatan tebal. Secara teoritik, penganut kuat doktrin sistem tunggal ini merasa bahwa pada hakikatnya kamar kedua yang diidealkan sebagai pengimbang tidaklah dibutuhkan karena seringkali kerja-kerja menjadi redundant dilakukan oleh dua kamar. Pada beberapa negara, Iungsi dari kamar kedua, misalnya untuk mereview dan merevisi legislasi dapat diambil alih oleh parlementa y coinmimes, ataupun bahkan dapat diperankan dan diambil alih melalui konsepjudicial reuimu(Rogers, 1999). Selain itu, pembacaan historis atas ajaran Montesquieu juga banyak menjadi alasan untuk menolak sistem bikameral dan lebii memilih unikameral. James R. Roger menuliskan bahwa ajaran yang juga menguat di Nebraska, satu-satunya Negara bagian Amerika yang unikameral adalah pantangan yang menyebutkan bahwa; "Montesquieu thus wrote that nobles must "Ionn a body that has a right to checkthe licentiousness oI the people," but that the people must also have their own chamber to "oppose any encronchnlent" by the aristocracy. But, with no aristocratic class in the United States, there is no reason to have a second legislative chamber as Britain has". Di Selandia Baiu, Iegislntiue councilsebagai kamar kedua dihapuskan di tahun 1951 oleh alasan tidak eIektiI. Sedangkan di Denmark Landsting (elected uppm-house) dihapuskan di tahun 1953 karena telah melingkupi lozl~erhousde an menjadi penghalang pada proses legislasi. Yang paling terkini adaiah apa yang dilakukan oleh Puerto Rico melalui reIerendum yang diiaksanakan pada tanggal lOJuli 2005 dan memutuskan untuk mengubah sistem Senat dan House oIRepresentatiues menjadi sistem unikameral. Memang, masih dibutuhkan persemjuan 2/3 dari keselumhan suara di kedua kamar tersebut untuk menyelesaikan proses amandemen konstitusi tersebut. Namun, kemungkinan besar ha1 itu akan segera temjud di Puerto Rico di tahun 2009. Keinginan yang sama juga se.dang menguat diFilipina yakni melalui proses amandemen yang secara popular diberi nama "Charter Change di bawah arahan Presiden Arroyo Macapagal. Artinya, ada beberapa ha1 menarik perihal pilihan untuk membuat model parlemen dengan kamar tunggal. Pertama, pilihan unikameral tersebut bisa tejadi dengan varian bentuk pemerintahan apapun. Sebuah peme~t ahanpr esidensiil maupun parlementer juga ada yang mengadopsi model unikameral ini. Kedua, model unikamenl ini juga sangat bewanan perihal kebutuhan akan representasi. Pengisian parlemen dengan kamar tunggal ini bisa terjadi dengan representasi yang berbasis pada pami politik, representasi daerah, maupun representasi suku dan jenis kelamin. Ketiga, sebuah parlemen dalam menjalankan Iungsi- Iungsinya juga bias dilakukan dengan model unikameral dengan menjalankan semua Iungsi legislasi, representasi, anggaran maupun rehitmen jabatan publii. Keempat, meski mampu menjalankan Iungsi, model unikameral ini kurang mampu menggagas idealitas Iungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar kedua, sama sekali tidak ada pengontrol bagi kamar tunggal, sehingga satusatunya pengontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa nxkanisme kontrol internal tersebut, kualitas Iungsi parlemen &lam ha1 legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun rehitmen jabatan publik menjadi berkurang.
2. SISTEM BIKAMERAL Model ini pada hakikatnya mengidealkan adanya dua lembaga yang bermain di dalam lembaga perwakilan. Doktrin ini berasal dari panclangan lama yang dikembangkan oleh Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarkhi. Lalu kemudian, Jeremy Bentham-lah yang paling mula mengeluarkan istilah biiameral rersebut (Maddex, 1996: 28). Contoh yang paling banyak dikemukakan adalah amerika serikat. Congres terbagi menjadi dua kamar yang saling membagi kekuasaan. Anggota house dan senate memiliki beberapa perbedaan kualiIikasi untuk dapat menduduki jabatan tersebut. Anggota house merepresentasikan rakyat amerika yang telah terbagi kedalam distrik-distrik dan para senator merepresentsikan negra bagian. Kedua kamar ini memiliki kewenangan yang relative sama kuatnya dalam proses legislasi. Pola yang sama juga dikembangkan di Britain. Dimana pola kamar diidealkan untuk perimbangan kalangan elite (house oI lords) dan rakyat kebanyakan (direpresentasikan oleh house oI commons), agar tidak terjadi tirani kelompok mayoritas terhadap minirotas. Artinya model bicameral sangat diidealkan oleh Negara-negara yang ingin memaksimalisir proses legislasi yang kuat, sehingga berbagai kepentingan dapat terpresentasikan. Perkembangan bicameral yang menguat juga banyak terjadi di Negara arab, khususnya pasca menguatnya peran amerika serikat di sana., di Bahrain misalnya, pada tahun 2002 mencoba mengadopsi system bicameral dengan model elected untuk kamar rendah dan appointee untuk upper house. Saat ini model bicameral dipaktekkan banyak Negara. Berikut ini contoh beberapa Negara lainnya yang menganut model dua kamar pada perwakilannya:
a. Inggris Negara inggris tidak mempunyai konstitusi yang tertulis, tetapi konstitusi tidak tertulis yang lebih banyak merupakan kebuasaan ketatanegaraan. Di U.K, perlemennya terdiri atasdua kamar yakni the house oI lords dan house oI commons. Berdasarkan pendapat Irving stevens, pada awalnya the house oI lords mempresentasikan kelompok para raja yang meyoritas merupakan pejabat tinggi militer dan kelompok lainnya yang juga merupakan orang kepercayaan raja. Dan dari sinilah lahir konsep kamar kedua atau lower house. Dari hal kewenangan pemeriksaan legislasi ini, house oI lords memiliki empat tujuan dalam kewenagannya tersebut : pertama upaya peningkatan transparansi dalam hal inisiasi legislasi; Kedua, dapat menjadi stimulan bagi Departemen untuk memberikan pertimbangan mengenai ha1 yang sedang dibicarakan; Ketiga, pelibatan civilsociety dalam ha1 penguatan unsur partisipasi demokrasi dalam penyusunan legislasi; dan keempat, untuk memberikan tekanan bagi departemen unhtk merespon wacana yang teridentiIikasi oleh anggota kamar yang lain, dan orang personal atau organ lainnya oustice Annual Report, 2002. Menariknya, selain hak legislasi, HouseoILords juga memegang kekuasan judicial. Dalam ha1 ini, "constitutes the highest court oJappea1 Ior most caws in the V F (House oI Lords, 2006). Fungsi judicialini sebenamya berasal dari peran yang dulu dikenal sebagai "the Curia RegiI sebagai "a body that addressed thepetitions oI the King's subjects". Dalam Iungsi ini, tidak keseluruhan anggota Housebrds diibatkan, akan tetapi hanya anggota yang memiliki latar belakang pengetahuan dan pengalaman ilmu hukum np.//en.wikipedia.otgw/ iki Judicial functions-of-te-Holmof-Lords). sesungguhnya, House oILorcis bukanlah situ-satunya upaya banding hukum, karena terdapat juga Priuy Councilyang memerankan beberapa ha1 khusus. b. Mauritania Mauritania merupakan negara yang berbentuk republii dengan presiden sebagai kepala negara. Sedangkan kekuasaan pemerintahannya, dipegang oleh counciloI ministem yang dietuai oleh Presiden. Perihal parlemen, pada article 45 clan 46 Konstitusi Mauritania, terdapat ketentuan perihal kekuatan legislatiI yang berada pada Parliamen, yang mana terdiri dari National Assembly and the Senate. Lebih lanjut pada Article 47 ditentukan mengenai lama menjabat dan tata cam pengisian masing-masing kamar tersebut, yakni; brought to the desk oI one oI the two assemblies. Finance bilk areIlrst submined to the Nationalhsembly': Dari beberapa contoh negara dengan model bikameral, ada beberapa ha1 yang dapat menjadi catatan. pertama, perkataan bahwa model bikameral mempakan model yang berciri negara Iederal adalah ha1 yang kurmg tepat. Beberapa negara kesatuan tetap juga menggagas bikameral sebagai model parlemennya. Kedua, model bikame~ajlu ga tidak terbatas pada suatu model pemerintahan tertentu. Bisa saja ia berpasangan dengan model pemerintahan parlementer, maupun juga bisa dengan presidensiil. Hanya saja, ada konsekuensi tertentu yang menjadi hal huunan dari piliim bicameral yang disandingkan dengan model pemerintahan tertentu. Ketiga, model bikameral terlihat lebih mampu menggagas Iungsi ideal lembaga parlemen, yakni Iungsi legislasi, representasi, anggaran, kontrol dan rekrutmen jabatan publii. Kualitas Iungsi tersebut terliat melalui minimnyaIriksi ketatanegaraan di beberapa negara yang rnenganut model bikameral tapi mampu meramunya secara tepat dengan system pemecahannya.
3. SISTEM TRIKAMERAL Sedangkan sistem trikameral mempakan model pengkamaran yang menempatkan adanya tiga lembaga di dalam sistem parlemen di suatu Negara. Oleh Jimly Ashshiddiqie, Indonesia saat ini dianggap sebagai salah satu model Negara yang menerapkan model tiga kamar ini. Di sisi lain, banyak juga pemikir yang menyatakan bahwa model Indonesia ini bukanlah model tiga kamar karena tidak menunjukkan adanya tiga kamar yang memiliki kekuatan yang sama. Sesungguhnya selain Indonesia, sudah sangat sulit untuk menemukan Negm yang mash menganut pembagian tiga kamar secara kukuh. Sejarah mencatat bahwa hanya AIrika Selatan yang pemah menerapkan ini, itupun te qadi pada masa apharteid. Dimana melalui Pemilu pada tahun 1983, terdapat tiga kamar yang masing-masing mewakili wama kulit tertentu yakni; House oI Assembly (178 anggota yang merepresentasikan kelompok kulit putih); Home oI Representatives (85 anggota yang merepresentasikan kaum berwama dan ras campuran); Home oIDelegates (45 anggota yang merepresentasikan orang-orang Asia). 4. SISTEM TEPRAKAMERAL Walau sangat jarang dienal, namun beberapa Negara di Daerah tengah Eropa memiliki parlemen yang dapat digolongkan sebagai tetrakameral. Praktik tetrakameral sangat jarang dikenal khususnya karena memang unikameral dan bikameral jauh lebih dikenal banyak orang, dibanding tetrakameral dan trikameral. Secara khusus, hubungan antara Parlement dan Konstitusi Mauritania, yakni pada Title N, "Relations Betzuemz Legidature andExecutive". Article 56 menentukan perihal penetapan suatu UU, "The laws are voted by theParliament': Walau ketika inisiasinya, dicantumkan beberapa pihak yang dapat menginisiasi legislasi perundang-undangan. Swedia menjadi salah satunya yang menerapkan model ini cukup lama.
5. BERKACA PADA MODEL KAMAR Secara umum, meski terdapat empat model yakni unikameral, bikameral, trikameral dan teprakanleral, namun struktur organisasi lembaga perwakilan rakyat pada umumnya terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan rakyat satu kamar (tmicamera0dan lembaga perwakilan rakyat dua kamr camera0 Qacobson, 199). Model trikameral atau tetrakamela1 lebih banyak terkait pada masalah penaIsiran bentuk ataupun kete~jebakan pada pola representasi. Praktik unikameral dan bikameral tidak terkait dengan landasan bernegara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu. Kedua bentuk itu merupakan had proses panjang praktik ketatanegaraan di berbagai belahan dunia (Manan, 2003). Penerapan sistem bikameral, inisalnya, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, clan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan (Ash-Shiddiqie, 1996). Perbedaan latar belakang sejarah atau tujuan yang hendak dicapai menjadi salah satu Iaktor penting yang mempengaruhi sistem perwakilan rakyat pada suatu negara. Sistem biameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertanla atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai Hozrse oI Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar negara disebut sebagai Senate. Berdasarkan hasil penelitian IDEA mengenai sistem perwakilan di 54 negara yang dianggap sebagai negara demokratis, diperoleh beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut: (Kartasasmita, 2006). (1) Sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok. (2) Semua negara Iederal memiliki dua majelis; sedangkan di negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih sistem unikameral dan sebagian lainnya bikameral (dari sampel yang diteliti, 22 negara memilih sistem unikamenl dan 20 negara memilih sistem bikameral, selebihnya tidak diperoleh datanya). (3) Semua negara demokrasi dengan jumiah penduduk besar (kecuali Bangladesh) memiliki dua majelis. Semua negara demoknsi yang memiliki wilayah luas (kecuali Mozamb~que) memiliki dua majelis. Masalah yang seringkali ditarnpilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral , adalah eIsiensi dalam proses legislasi; karena hams melalui dua karnar, maka banyak anggapan bahwa sistem biiameral akan mengangqu atau menghambat kelancaran pembuatan undang- undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manIaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistein sepeiti tersebut di atas dibanding dengan "ongkos yang halus dibayar" dalam bentuk kecepatan proses penlbuatan undang-undang. Maka negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan rnembentuk coi:ferencecommitteeuntuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut. Perbedaan antara bikameral dan unikameral, antara bikameral sinzetris dan asimehis, dan antara bikameral congruent dan incrongmzt. Karenanya, dari model unikameral dan bikameral serta ditambah dengan trikameral maupun tetrakameral, selalu dhubungkan dengan adanya cita-cita untuk menguatkan Iungsi legislasi. Bukan dalam pengeltian kepada siapa Iungsi legislasi diberikan tetapi dalam pengertian bagaimana menghasilkan sebuah peraturan yang lebih baik dan mampu melindungi kepentingan selumh unsur &lam suatu negara. Apalagi memang ada tugas besar dan berat dalam memola peraturan, terkhusus peraturan yang mengurangi hak dan kebebasan warga Negara, peraturan yang membebani harta kekayaan warga negara dan peraturan tentang pengeluaran uang negara oleh aparat negara (Ash-Shiddiqie, 2006: 32). Kedua, model konuol. Hams diingat bahwa model dua kamar adalah model yang diidealkan untuk mengimbangi kamar yang lain. Karenanya, selain berIungsi konuol terhadap. pemerintah yang be jalan, model pengkamaran juga berIungsi checksand balances terhadap kamar yang lain. Yang ketiga, ketika berbicara tentang pola kamar maka Iungsi representasi juga menjadi ha1 penting. Meski tidak lagi digunakan, namun dengan model unikameral dan trikameral yang mencoba merepresentasikan sebanyak mungkin segmen masyarakat mempakan ha1 yang cukup baik. Karenanya, jika di Indonesia ada semangat untuk memperkuat model bikameral versiDewan Pemakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daenh, maka hams add pertimbangan dan pengkajian yang matang pada ketiga hal tersebut di atas. Penguatan Iungsi legislasi kepada DPD hamslah diakukan, karena jika model yang saat ini ada dilanggengkan. Selain Iungsi legislasi, harus disertai dengan pemikiran yang matang perihal DPD sebagai representasi daii segmen masyarakat yang mana. Jika Pemilu hanya menghasilkan anggota DPD yang juga bensal dari partisan partai, inaka konsep ideal bikameral pun menjadi sirna. Hams dipikkkan model DPD yang mampu meramu representasi selain segmen representasi yang telah terwakili oleh DPR. Selain itu, pemiliian terhadap mekanisme checks and balances antar dua kamar menjadi penting agar tidak tercipta kritik yang banyak diberikan kepada model dua kamar yakni deadlock.
III. PEMBAHASAN CATATAN PENATAAN DPD INDONESIA Saat ini di Indonesia terjadi pembagian peran antara DPR dm DPD. Namun, seperti mahIum diketahui ada kelemahan mendasar terhadap konsep pola hubungan antara kedua lembaga tersebut. Bahkan, menarik mencermati tulisan Stephen Sherlock memberikan penilaian bahwa: The DPD is thus a quite unusual example oI a second chamber because it represents the odd combination oI limited powers and high legitimacy. Its role in lawmaking is limited to certain areas oI policy, its powers are only advisory and no Bill is actually required to pass through it in order to be passed, yet at the same time it has the strong legitimacy that comes Irom being a Iully elected chamber. This combination does not seem to be replicated anywhere else in the world (Sherlock, 2005). Karenanya, guna menlbangun prinsip checks arzd balancesdalam lembaga petwakilan rakyat Indonesia hams ada pembahan raclikal terhadap Iungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat diwjudkan. Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkii mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Sekiranya dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial, penataan Iungsi legislasi amat diperlukan karena presiden begitu dominan dalam proses legislasi. Dari hasil telah sejumlah konstitusi (baik dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer, maupun dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar di negara kesatuan maupun Iederal) membuktikan bahwa presiden masill &pat mengajukan nncangan undangundang, namun keikusertaan pi-esiden &lam pemnballasan nncangan undang-unclang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di 1ndonesia:Pada semua negara, persemjuan menjadi hak eksklusiI lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatin. Bahkan di' Mauritania, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (CounciloIMinisters) namun pesetujuan temp menjadi hak eksklusiI parlemen. oleh karenanya, untuk menata Iungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan Fungsi legislasi DPD tempi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden &lam Iungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk melakukan puriIikasi sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan lancangan undang-undang. Dengan demikian, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang- undang hanya te qadi antara DPR dan DPD. Selain Iungsi legislasi, sistem bicameral yang eIektiI juga dibangun dalam Iungsi anggaran. Terkait dengan ha1 ini, hampir semua negara memberikan kewenangan kepada the second chamber untuk melakukan pembahan dan penundaan dalam waktu terbatas terhadap rancangan undang-undang keuangan negara dan yang terkait dengan keuangan new . Misalnya di Puerto Rico, all bills Ior raising revenueshall originate in the House oI Representatives, but the Senate maypmpose or concur with amendments as on other hills. Sementara di Inggris, House oI Lord diberikan wewenang melakukan pembahan terhadap rancangan undang-undang keuangan negara dan tidak dapat melakukan penundaan lebih satu bulan Tidak demikian hal dengan Indonesia. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, memberikat pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan beianja negara. Sama dengan Iungsi legislasi, dalam Fungsi anggaran DPD juga mempunyai Fungsi anggaran yang sangat terbatas yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahal, pelrimbangan hanyalah sebagian kecil saja penggunaan hak dalam Iungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans, dalam sistem bikameral, mengubah dan menatapkan tidak dimiliki the second chamber, maka thesecond chamber seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN (Evans, 2002). Begitu juga ha1 dengan Iungsi kontrol atau pengawasan. Di samping melakukan pengawasan internal antar-kamar di lembaga perwakilan rakyat, thesecond chamherjuga Sama halnya dengan Iungsi legislasi dan Iungsi pengawasan, dalam Iungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas (Ash-Shiddiqie, 2002). Pasal22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: Ca) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dm daerah, (c) Pembentuk pemekaran serta penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi laimya, (el pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (0 pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari ketentuan itu, Iungsi pengawasan DPD seolah-olah menjadi sub-ordinat (Iungsi pengawasan) DPR. Oleh karenanya, untuk membangun bikameral yang eIektiI, Iungsi pengawasan DPD menjadi sebuah keniscayaan. Dalam ha1 Iungsi representasi, Pasal22C Ayat (1) UUD 1945 anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Kemudian, dalam Pasal22C Ayat (2) ditegaskan lagi, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sania dan jumlah selumhanggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Dari ketentuan itu, tidak bisa dinaIian bahwa DPD merupakan representasi daerah. Karena DPR lebih mempakan representasi partai politik, representasi daerah relatiI lebih tepat untuk mengimbangi pami politik di lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, idealnya dikembangkan juga upaya untuk memikirkan bahwa DPD tidak hanya menjadi representasi daerah tetapi juga mampu merepresentasikan kelompok kelompok majinal dan minoritas.Sekalipun DPD merupakan presentasi daerah, dalam Iungsi rekrutmen atau pengisian jabatan publii DPR jauh lebih superior. Misalnya, peran DPR begitu besar dalam pengangkatan Hakim Agung (Pasal24.4 ayat (3) UUD 1945), serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial (Pasal24A ayat (3) UUD 1945). Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga mensyaratkan "pertimbangan" DPR, seperti: pengangkatan Duta (Pasall3 ayat (2) UUD 1945) dan menerima penempatan duta negara lain (Pasal 13 ayat (3) UUD 1945). Fungsi rekmtmen jabatan publik DPR bemmbah besar dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal23F apt (1) UUD 1945, menentukan tiga dari sembiin orang hakimMahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (3) UUD 1945). dan (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian state awciliary bodieslainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Tidak hanya itu, mash ada kehamsan untuk meminta Timbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negard RI (Kapolri) dan lainlain. Dengan gambaran tersebut, dalam ha1 Iungsi rekrutmen jabatan publik, DPD tidak kalah memprihatinkan jika dibandingkan dengan Iungsi legislasi, Iungsi kontiol, d m Iungsi anggaran di atas. Ole11 karenanya, DPD seharusnya dilibatkdn dalam proses rekmtmen jabatan publii. Pelibatan itu menjadi sebuah keniscayaan karena rekrutmen jabatan publik yang hanya dilakukan oleh DPR amat mungkin bisa kepentingan politik partai politik. Artinya, jika DPD diberi mana yang cukup dalam proses rekrutmen jabatan pub&, kepentingan politik panai di DPR bisa diimbangi oleh DPD.
IV. ANALISIS Berdasakan kajian tersebut di atas, maka telah kami analisis yang dikelaborasi mendalam dalam kajian ini, yakni; peran penting parlemen adalah ha1 yang tidak bisa ditawar-tawar. Ada model lembaga perwakilan dengan bentuk unikameral, bikameral, trikameral dan tetrakameral. Karenanya, diharapkan adanya model parlemen yang lebih baik di Indonesia. Masalahnya, model bikameral Indonesia saat ini adalah model yang tidak simetris. Karenanya, DPD yang menjadi kamar kedua terlihat kurang mampu untuk menjalankan konsep ideal sebuah lembaga parlemen yang mampu berIungsi secara baik dalam Iungsi legislasi, representasi, kontrol, anggaran, dan rekruitmen politik. Artinya, DPD hams dikuatkan untuk ha1 itu. Penguatannya bukanlah hal yang mudah. Karena sangat dibutuhkan langkah-langkah ketatanegaraan yang sesuai tanpa harus mengangkangi cita negara hukum di Indonesia. Prinsip konstitusionalisme menjadi ha1 penting, karenanya tuntutan untuk melakukan perbaikan (amandemen) konstitusi bagi penguatan DPD tersebut adalah ha1 yang teramat penting. Ada semgkaian pasal-pasal yang berhubungan dengan upaya mewujudkan bikameral yang eIektiI hams diamandemen. Sembari melakukan penguatan melalui amandemen, perlu dibuatkan peraturan perundang-undangan yang lebih baik dalam mengatur pola dan hubungan, serta susunan dan kedudukan model bicameral eIektiI ini. Fungsinya tidak hams sama, namun punya kadar yang seimbang. Karena dengan pola dan hubungan serta susunan dan kedudukan yang seimbang itulah yang akan dapat mewujudkan model bikameral eIektiI.