Anda di halaman 1dari 28

Kemajuan dalam Nyeri Neuropatik

Diagnosis, Mekanisme dan Rekomendasi Terapi Robert H. Dworkin, PhD; Miroslav Backonja, MD; Michael C. Rowbotham, MD; Robert R. Allen, MD; Charles R. Argoff, MD; Gary J. Bennett, PhD; M. Catherine Bushnell, PhD; John T. Farrar, MD; Bradley S. Galer, MD; Jennifer A. Haythornthwaite, PhD; David J. Hewitt, MD; John D. Loeser, MD; Mitchell B. Max, MD; Mario Saltarelli, MD, PhD; Kenneth E. Schmader, MD; Christoph Stein, MD; David Thompson, PhD; Dennis C. Turk, PhD; Mark S. Wallace, MD; Linda R. Watkins, PhD; Sharon M. Weinstein, MD Nyeri neuropatik kronik disebabkan oleh adanya lesi pada system saraf sentral maupun peripheral dapat muncul dalam berbagai bentuk. Dalam tulisan ini kami membahas tentang pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan terhadap nyeri neuropatik kronik dan penelitian terbaru tentang patofisiologinya. Penelitian klinis terkontrol yang dilakukan terhadap

gabapentin, koyo lidocain 5%, opioid analgetik , Tramadol Hidrokloride, dan anti depresan trisiklik telan memberikan suatu pendekatan pengobatan terhadap nyeri neuropatik, dan kini rekomendasi terkini menganjurkan penggunaan zat tersebut untuk pengobatan nyeri neuropatik. Penelitian yang berkelanjutan terhadap mekanisme patofisiologi nyeri neuropatik memungkinkan untuk memberikan prediksi pengobatan yang efektif terhadap pasien secara individual dengan menggunakan pendekatan berbasis mekanisme-nyeri. Arch Neurol. 2003;60:1524-1534

Nyeri neuropatik merupakan hal yang sering ditemukan dalam praktek klinis. Pasien dengan penyakit yang beragam mulai dari diabetic polyneuropathy, Human immunodeficiency Virus ( HIV) sensory neuropathy, sindroma post-stroke, dan sclerosis multiple dapat mengalami nyeri yang mengganggu kualitas hidupnya. Tabel 1 membagi sindroma nyeri neuropatik ke 2 grup besar berdasarkan lokasi lesinya. Walaupun demikian masih memungkinkan kedua system perifer dan sentral memberikan kontribusi bersama terhadap beberapa jenis dari nyeri neuropatik. Walaupun prevalensi akurat dari kejadian nyeri neuropatik tidaklah tersedia, namun ditemukannya nyeri neuropatik tampaknya lebih sering dari yang kita duga. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 3 juta orang dengan Painfull Diabetic Neuropathy (PDN)1, dan kurang lebih

sebanyak 1 juta orang dengan neuralgia pot herpes ( PHN)2. Suatu pendekatan terapi berbasis bukti menjadipilihan mengingat banyaknya penelitian menyangkut hal ini. Dalam artikel ini kita akan membahas tentang diagnosi dan penatalaksanaan dari nyeri neuropatik dan penelitian terbaru tentang mekanisme patofisiologinya. Rekomendasi dari penelitian tersebut digunakan sebagai manajemen farmakologi dengan mempertimbangkan keefektifan, efek samping, pengaruhnya terhadap kualitas hidup dan biaya.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN Sindroma nyeri neuropatik biasanya mempunyai gejala dan tanda sensorik potif dan negative sekaligus3. Gejala saraf non-sensorik bergantung terhadap peyakit penyebab dan mungkin dapat mengambil andil dalam timbunya rasa nyeri dan disabilitas. Walaupun nyeri neuropatik telah didefinisikan oleh International Association for the Study of Pain sebagai nyeri yag dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi pada system saraf 4(p212) , beberapa peneliti baru baru ini memberikan argumentasi terhadap definisi tersebut berkaitan dengan penggunaan istilah disfungsi yang menjadikan definisi tersebut samar-samar dan sangat luas.5,6 Definisi yang diajukan sebagai perbaikan yanitu nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi di system saraf perifer atau sentral atau keduanya dengan gejala dan tanda sensorik .6 Penyebab yang mendasarinya dapat berupa infeksi, trauma, gangguan metabolic, kemoterapi, pembedahan, radiasi, neurotoksin, inflamasi, neurodegenerasi, kompresi saraf, dan infltrasi tumor. Ditemukannya lesi pada system saraf bersama dengan gejala dan tanda yang cocok terhadap lesi tersebut merupakanhal yang harus diperhatikan dalam menentukan nyeri tersebeut merupakan nyeri neuropatik taua tidak. Walaupun demikian nyeri tanpa ditemukannya tanda lesi pada system saraf, batas dari alat bantu diagnostic saat ini tidak dapat menyingkirkan

kemuungkinan diagnosa nyeri neuropatik . Penegakan diagnose dari nyeri neuropatik dilakukan berdasarkan riwayat penyakit penderita, review dari system, pemeriksaan fisik dan neurologis, pemeriksaan laboratorium yang sesuai terutama pemeriksaan darah dan serologis, MRI, dan pemeriksaan elektrofisiologis .3 Pada beberapa kasus, biopsy kulit atau kuit diperlukan untuk melihat secara langsung serabut saraf.

Evaluasi nyeri dan gejala lainnya


Penilaian nyeri dan gejala lainnya diperlukan untuk penegakan diagnosis dan pemberian terapi. Tidak ada satu gejala dan tanda yang merupakan pathognomonic. Karena nyeri neurophatic adalah hasil dari adanya lesi atau injuri di system saraf, manifestasi klinisnya biasanya muncul berupa gejala dan tana sensorik bak yang positif maupun negative. Gejala motoric bisa saja ditemukan, namun deficit ini biasanya sangat ringan. Haruslah dibdakan nyeri tersebut bersifat stimulus-evoked ( terstimulasi) ataupun stimulus-independent (spontan), karena mekanisme terjadinya nyeri juga berbeda.7 nyeri yang spontan dapat mengalami nyeri yang konstan atau intermitten ( bahkan paroxysmal) dan banyak pasien yang merasakan keduanya ( misalnya, nyeri seperti terbakar yang konstan ditambah dengan nyeri intermitten sperti tertembak atau terkena listrik ). Selain itu, paraestesi dan disestesi biasanya bermanifgestasi sebagai sensasi abnormal, termasuk adanya sensasi sestu merangkak di kulit, kebas, gatal dan geli. Ketika mengumpulkan data tentang riwayat penyakit, sangatlah penting untuk menilai intensitas, kualitas dan durasi dari nyeri spontan dan sensasi abnormal tersebut. Distribusi secara topographis sangatlah membantu dalam pemeriksaaan neurologis. Nyeri dapat bangkit bahkan hanya dengan stimulus environmental seperti sentuhan lembut atau tekanan dari pakaian, angina, mengendarai mobil, suhu panas dan dingin. Alat pemeriksaan neurologis yang umum digunakan seperti gumpalan kapas, sikat busa, garpu tala dan tabung berisi air hangat dan dingin dapat digunakan untuk menru stimulus tersebut. Intensitas nyeri dapat dilakukan dengan berbagai macam skala baik itu verbal, numerical ataupun visual. Pasien membrikan kekuatan nyeri berdasarkan skala tidak nyeri hingga tinggat nyeri yang paling tinggi.
8

Biasanya sensasi abnormal yang dirasakan penderita

neuropatik pain juga dapat dinilai kualitasnya dengan skala nyeri neuropatik9 dan kuesioner nyeri neuropatik.10 Nyeri kronik dapat memberikan penurunan kualitas hidup seseorang, dan fungsi emosional dan fisik seseorang juga dapat dinilai sebagai salah satu indicator respon suatu terapi11 Penilaian aspek psikologis komorbid (mis, depresi dan kecemasan) , gangguan tidur, masalah pada pekerjaan, harapan pada terapi, kebutuhan rehabilitative dan adanya dukungan dari keluarga dan teman jangan lupa diperhatikan.

Tabel 1.JenisNyeri Neuropatik Nyeri Neuropatik Perifer Acute and chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy Alcoholic polyneuropathy Chemotherapy-induced polyneuropathy Complex regional pain syndrome Entrapment neuropathies (mis, carpal tunnel syndrome) HIV sensory neuropathy Iatrogenic neuralgias (mis,nyeri postmastectomy atau nyeri postthoracotomy) Idiopathic sensory neuropathy Kompresi saraf atau infiltrasi tumor Nutritional deficiencyrelated neuropathies Painful diabetic neuropathy Phantom limb pain Postherpetic neuralgia Postradiation plexopathy Radiculopathy (cervical, thoracic, atau lumbosacral) Toxic exposurerelated neuropathies Tic douloureux (trigeminal neuralgia) Posttraumatic neuralgias Nyeri Neuropatik Sentral Compressive myelopathy from spinal stenosis HIV myelopathy Multiple sclerosisrelated pain Parkinson diseaserelated pain Postischemic myelopathy Postradiation myelopathy Nyeri Poststroke Posttraumatic spinal cord injury pain Syringomyelia

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan neurologis yang menyeluruh dapat membantu untuk menentukan dimana lesi terdapat dan menilai kontribusi nonneuropatik terhadap nyeri yang dialami pasien, yang biasanya musculoskeletal, inflamasi, myofasial dan psikologikal.3 Ketika pemeriksaan fisik digabungkan bersama dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan laboratorium mengarah pada suatu penyebab khusus, ditemukannya gejala negative dan postitf pada area yang diinervasi oleh system saraf yang rusak biasanya menegakkan suatu diagnosis. Pasien dapat mengalami defisist sensirik dengan satu modalitas, seperti sensitivitas pinprick, dan hiperelgesi pada distribusi saraf yang sama. Dimana para dokter sulit untuk mengenali gejala parodoxal seperti ini, pasien bahkan lebih bingung dengan pengalaman sensori yang mereka alami. Mereka biasanya kesulitan untuk menjelaskan bagaimana gejala mereka dan takut untuk tidak dipercaya dokter. Oleh karena itu pasien seharusnya diberikan pengertian dan diajari untuk memberikan deskripsi gejala dan tingkat sensasi abnormal tersebut. Suatu rangsangan diberikan pada pemeriksaan neurologis pertama-tama pada area yang tidak dipengaruhi oleh nyeri, kemudian dilanjutkan oleh area yang dipengaruhi nyeri, pasien harus diinstruksikan untuk merespon secara sederhana , apakah stimulus yang diterapkan untuk daerah yang dipengaruhi nyeri menyebabkan sensasi yang sama seperti di daerah tidak terpengaruh atau apakah intensitasnya lebih atau kurang, sebelum mereka menggambarka kualitas stimulus. Sebagai contoh, cocokan peniti mungkin lebih menyakitkan (hiperalgesia) tetapi kurang tajam karena adanya defisit sensorik. Nyeri pada respon terhadap stimulus normal nonnoxious disebut allodynia. Allodynia mekanik dinamis dapat diperoleh dengan menggosok atau menyikat kulit dengan kapas atau sikat, allodynia mekanik statis dapat diprovokasi oleh tekanan tumpul dengan jari, dan allodynia termal dapat dinilai dengan garputala yang hangat atau dingin. Peningkatan sensasi rasa sakit sebagai respons pada stimulus yang menyakitkan biasanya disebut hiperalgesia, yang dapat dinilai dengan menggunakan rangsangan termal yang menyakitkan (dingin atau panas) atau tusukan (misalnya, tusukan jarum). Penjumlahan rasa nyeri dan hyperpathia pada rangsangan, terutama ketika sensasi awal telah berkurang, adalah bukti penting pengolahan sensoris yang abnormal.

Gejala nonsensorik dan gejala muskuloskeletal dapat berkontribusi disabilitas secara keseluruhan.Gejala system motorik termasuk kelemahan, kelelahan, hipotonia, tremor, distonia, spastisitas, ataksia, apraxia, dan motor neglect. Gejala muskuloskeletal lainnya termasuk penurunan rentang gerak, kekakuan sendi, kejang otot secara spontan, localized muscle tenderness, dan myofascial trigger points.

Studi tambahan
Tidak ada satupun tes diagnostik tunggal untuk nyeri neuropatik atau nyeri pada

umumnya. Penelitian tambahan dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan penyebab yang mendasarinya dan rekomendasi pengobatan penyakit tertentu, seperti untuk diabetes mellitus pada pasien dengan nyeri neuropati atau gangguan tulang belakang pada pasien dengan radiculopathy. Untuk menilai fungsi saraf perifer, tes kecepatan konduksi dan elektromiografi memberikan Informasi tentang fungsi saraf perifer besar bermyelin tetapi tidak menguji saraf yang lebih kecil bai bermyelina atau tidak bermyelin yang membawa informasi rasa sakit dan suhu.Pengujian sensori termal kuantitatif bergantung pada kemampuan psikofisik pasien untuk membedakan perubahan rangsangan termal; hal tidak banyak digunakan karena membutuhkan peralatan dan pelatihan khusus Magnetic Resonance Imaging menilai keutuhan anatomis dari pengolahan sensorik thermonociceptive daerah seperti batang otak, thalamus, korteks sensorik, anterior cingulate, dan korteks insular, yang dapat berkontribusidalam nyeri neuropatik sentral ketika terluka. Magnetic Resonance Imaging Fungsional lebih lanjut dapat menilainyeri yang berhubungan dengan struktur, tetapi perannya dalam praktek klinis masih tetap terbatas hingga beberapa waktu kedepan. Mendiagnosis nyeri neuropatik bisa sangat sulit. Sebagai contoh, nyeri radikulerdi leher dan pinggang, ada komponen neuropatik yang signifikan dari cedera akar saraf, tetapi

ketidakstabilan mekanis atau nyeri myofascial sekunder dapat menutupi komponen ini. Dokter juga harus ingat bahwa faktor psikososial merupakan komponen utama dari sakit kronis dan harus rutin ditangani ketika pasien dievaluasi. Proses psikologis seperti kecemasan dapat mempengaruhi rasa sakit dan dalam kasus yang jarang menghasilkan respon yang berlebihan. Namun, komunikasi dengan pasien bahwa rasa sakit pasien akan ditanggapi secara serius dan memberikan instruksi yang jelas akan meminimalkan kemungkinan pemeriksaan neurologis

tersebut tidak dapat diandalkan atau tidak dapat diinterpretasikan karena proses psikologis. Ketika dikombinasikan dengan riwayat dari masalah nyeri yang tidak dapat dijelaskan,

gangguan somatisasi atau diagnosis psikiatri lain sangat mungkin ditegakkan. Diagnosa yang tepat adalah dasar pengobatan yang efektif, dan pola kompleks tanda dan gejala mungkin memerlukan keterlibatan beberapa spesialisasi medis. MEKANISME PATOFISIOLOGIS Kemampuan kita untuk menerjemahkan keluhan nyeri dan temuan sensorik ke dalam mekanisme patofisiologi tertentu yang memiliki implikasi pengobatan masihlah sangat sedikit 1316

investigasi klinis mekanisme nyeri sangat rumit dan membutuhkan peralatan khusus,

sehingga belum praktis untuk penggunaan klinis rutin. Bahkan dengan setting khusus di tempat penelitian nyeri, masih sulit untuk mengidentifikasi mekanisme tertentu dari nyeri neuropatik. Sebuah cedera fokal saraf perifer sederhana merilis berbagai proses perifer dan sistem saraf pusat yang semua bisa berkontribusi terhadap nyeri yang persisten dan sensasi yang abnormal. Peradangan, mekanisme jaringan saraf untuk sembuh dalam cedera, dan reaksi jaringan yang berdekatan hingga terjadinya suatu keadaan hyperexcitabilitas di nociceptors aferen primer, fenomena disebut sensitisasi perifer. Neuron pusat dipersarafi oleh nociceptors mengalami perubahan fungsional yang dramatis termasuk keadaan hyperexcitabilitas yang disebut sensitisasi sentral. Biasanya fenomena ini sensitisasi hilang saat jaringan menyembuh dan peradangan reda. Namun, ketika fungsi aferen primer berubah dalam cara bertahan oleh cedera atau penyakit sistem saraf, proses ini bertahan dan mungkin resisten terhadap pengobatan. Cedera atau kerusakan permanen dari serat aferen primer (deafferentation) membedakan nyeri neuropatik perifer dari jenis nyeri lainnya. Gejala sensorik positif (nyeri spontan, allodynia, dan hiperalgesia) yang merupakan ciri khas dari pasien dengan nyeri neuropatik cenderung memiliki banyak mekanisme yang mendasarinya, termasuk munculnya impuls ektopik serta ekspresi de novo neurotransmiter dan reseptornya serta ion channel. Cedera direk terhadap struktur pusat dapat secara permanen dapat mengubah cara pemrosesan sensori, dan pada beberapa pasien hal itu menyebabkan nyeri neuropatik pusat dan dysesthesia. Mekanisme yang mendasari nyeri neuropatik pusat, hingga saat ini, masih belum jelas. Sebuah pendekatan yang disederhanakan tapi berguna adalah untuk membedakan proses berikut: (1) peningkatan tembakkan nociceptor aferen primer (misalnya, sebagai akibat dari

penumpukan abnormal saluran natrium dalam serat saraf perifer yang rusak, menyebabkan ectopic discharge), (2) penurunan hambatan dari aktivitas neuronal dalam struktur pusat (misalnya, karena hilangnya neuron inhibitor); dan (3) perubahan pemrosesan sentral (sensitisasi sentral) sehingga input sensorik normal diperkuat dan dipertahankan. Sebuah kontinum yang telah dieksplorasi pada penyakit PHN mempunyai "iritabilitas" dari sistem nosiseptif di satu ujung dan deafferentation di ujung lainnya.15,
16

Meskipun ujung kontinum dapat dibedakan

dengan pemeriksaan klinis dan respon untuk aplikasi capsaicin topikal (uji respon capsaicin), pengobatan diferensiasi ini tetap menjadi hal yang masih harus diekspolarasi lebih lanjut.17 kontribusi dari proses lainnya masih tetap sukar dipahami. Sebagai contoh, sistem saraf simpatik dapat memfasilitasi aktivitas abnormal persisten nociceptor aferen primer yang cedera,
18

dan

cedera saraf dan inflamasi selama fase akut dari herpes zoster dapat diikuti oleh campuran regenerasi abnormal dan ekspresi reseptor dan kehilangan aferen permanen di kulit pasien dengan PHN.19 Meskipun mekanisme yang nyeri neuropatik diidentifikasi pada binatang masih memerlukan penerjemahan dan konfirmasi pada sindrom nyeri neuropatik manusia, hasil dari model ini memberikan wawasan berharga beragam manifestasi nyeri neuropatik. Hasil dari penelitian laboratoriumn,20-22 meskipun masih terbatas jumlahnya, mendukung gagasan bahwa mekanisme patofisiologi ditemukan pada model hewan relevan untuk pemahaman kita tentang nyeri neuropatik pada manusia.

REKOMENDASI TERAPI
Anggota fakultas dari Fourth International Conferenceon the Mechanisms and Treatment of Neuropathic Pain partisipasi dalam sebuah pertemuan yang didukung oleh hibah pendidikan tak terbatas ke Universitas Rochester Kantor Profesional Pendidikan (Rochester, NY) dari Endo Pharmaceuticals (Chadds Ford, Pa) dan berkontribusi sebagai penulis untuk penyusunan artikel ini. Spesialisasi yang turut andil diwakili oleh anestesiologi, neuroscience dasar, epidemiologi, geriatri, penyakit dalam, neurologi, bedah saraf, hasil penelitian, pharmacoeconomics, dan psikologi. Pencarian di MEDLINE, pemeriksaan daftar referensi artikel dan bab buku yang dipublikasikan, dan pengetahuan pribadi tentang literatur digunakan untuk mengidentifikasi materi yang relevan untuk mengembangkan rekomendasi pengobatan untuk pasien dengan nyeri

neuropatik. Material ini termasuk tinjauan literatur secara sistematis, laporan uji klinis acak, dan publikasi yang membahas tentang pengembangan dan evaluasi pedoman klinis.

Pertimbangan Umum
Untuk mengevaluasi perubahan dalam intensitas nyeri selama perawatan, sebuah skala rating 11-poin numerik di mana 0 sama dengan "tidak sakit" dan 10 sama "nyeri terburuk" digunakan secara luas untuk menilai tingkat nyeri pasien saat ini, beberapa hari terakhir, atau selama seminggu yang lalu. Data terbaru menunjukkan bahwa terdapat pengurangan 30% pada skala tertentu yang signifikan secara klinis dan setara dengan peringkat kategoris dari " Perbaikan sedang" atau "jauh lebih baik."23 . Lini pertama pengobatan yang dibahas sebagai berikut semuanya telah menunjukkan signifikan secara statistik dan manfaat pengobatan secara klinis bermakna dibandingkan dengan plasebo dalam beberapa uji acak terkontrol. Manfaat farmakoterapi untuk meningkatkan kualitas hidup, termasuk fungsi fisik dan emosional, tampaknya terbukti kurang konsisten daripada untuk mengurangi intensitas nyeri. Meskipun kemanjuran pengobatan telah dibandingkan dengan cara mengevaluasi jumlah yang diperlukan untuk diobat,24-28 ukuran sampel yang kecil dan kekurangan metodologis dari beberapa penelitian menjadikan rendahnya kepercayaan terhadap perbandingan tersebut. Efek samping yang berkaitan dengan obat umum ditemukan dalam pengobatan nyeri neuropatik, bukan hanya karena obat-obatan tertentu yang digunakan tetapi juga karena banyak pasien dengan kondisi ini berumur tua, meminum obat untuk pengobatan lain, dan memiliki penyakit penyerta. Berdasarkan pengalaman klinis kami dan analisis dari jumlah yang diperlukan untuk memberikan efek buruk,
24,25,27

kami menganggap pentingnya keamanan, efek samping,

dan interaksi obat tercantum dalam pengembangan rekomendasi kami. Uji acak terkontrol yang membahas nyeri neuropatik kronis seringnya hanya membahas 2 sindrom nyeri , PDN dan PHN. Selain itu, US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui obat hanya untuk pengobatan 2 sindrom nyeri neuropatik yang spesifik: trigeminal neuralgia (karbamazepin) dan PHN (gabapentin dan lidokain 5% patch). Penerapan hasil uji klinis untuk satu sindrom nyeri neuropatik kronis ke sindrom nyeri neuropatik lainnya lain tidak dapat ditentukan, tetapi sebagian besar terapi lini pertama yang dibahas berikut telah diuji terhadap beberapa jenis nyeri neuropatik dan telah menunjukkan hasil serupa.26 Pengobatan dengan risiko minimal yang telah menunjukkan khasiat untuk 1 atau lebih sindrom nyeri

neuropatik lebih disukai. Ketika keberhasilan terapi tidak dapat ditetapkan, keamanan dan tolerabilitas kondisi medis pasien, usia, tingkat keparahan nyeri, dan riwayat pengobatan sebelumnya adalah hal yang terpenting. Lima hal yang perlu diingat sebelum kami menyajikan rekomendasi pengobatan.

Pertama, rekomendasi ini mungkin berlaku untuk jenis sindrom nyeri regional kompleks tipe I, meskipun percobaan terkontrol obat lini pertama yang kurang, sindrom nyeri ini diyakini karena disfungsi sistem saraf tanpa cedera permanen batang saraf. Kedua, meskipun nyeri punggung kronis neuropatik (yaitu, nyeri radiculopathic servikal dan lumbal) mungkin adalah yang sindrom nyeri paling umum yang berkontribusi mekanisme neuropatik, namun tidak ada kriteria diagnostik untuk mengidentifikasi komponen neuropatiknya. Kemungkinan ini adalah kombinasi dari nyeri neuropatik, skeletal, dan myofascial untuk jenis nyeri ini pada banyak pasien. Analisis subkelompok dari uji coba acak terkontrol plasebo secara menunjukkan bahwa pasien yang mengalami nyeri punggung radikuler kronis merespon secara baik pengobatan dengan hidroklorida nortriptyline,
29

salah satu dari obat lini pertama dibahas berikutnya. Ketiga,

pedoman pengobatan berbeda digunakan untuk tic douloureux (neuralgia trigeminal) yang menekankan pengobatan dengan carbamazepine, phenytoin, dan baclofen.30 Keempat, kita mengakui bahwa manajemen farmakologis tidak menyembuhkan dan harus dianggap sebagai komponen integral dari pendekatan yang lebih komprehensif untuk pengobatan. Sebuah diskusi tentang themany pendekatan nonpharmacologic banyak digunakan termasuk terapi fisik, perawatan psikologis, prosedur invasif (misalnya, blokade saraf atau stimulasi kolom dorsal), dan berbagai intervensi pengobatan komplementer dan alternatif di luar lingkup dari kajian ini. Kelima, kita asumsikan farmakoterapi yang akan digunakan dalam konteks pengobatan di mana pendidikan, dukungan, dan jaminan mencirikan hubungan antara pasien dan dokter. Kami sangat menyarankan bahwa dosis disesuaikan seperlunya berdasarkan evaluasi darii efek samping, kepatuhan pengobatan, dan redanya nyeri..

Review dan Rekomendasi Khusus


Rekomendasi untuk lini pertama pengobatan farmakologis didasari pada hasil positif dari beberapa uji acak terkontrol, dan rekomendasi untuk lini kedua pengobatan farmakologis didasari pada hasil positif dari uji acak terkontrol tunggal atau hasil yang tidak konsisten dari uji acak terkontrol multiple (dengan 1 pengecualian , dibahas sebagai berikut). Hasil uji coba

diterbitkan dan pengalaman klinis kami memberikan dasar untuk rekomendasi khusus kami untuk lini pertama pengobatan. Obat lini pertama. Efektivitas gabapentin, patch lidokain 5%, analgesik opioid, tramadol hydrochloride, dan antidepresan trisiklik (TCA) telah secara konsisten dibahas dalam beberapa percobaan acak terkontrol. Masing-masing dapat digunakan sebagai pengobatan awal untuk nyeri neuropatik dalam keadaan klinis tertentu. Analgesik opioid dan TCA umumnya memerlukan kehati-hatian lebih besar daripada pilihan lainnya. Untuk masing-masing 5 obat, berikutnya akan diberikanulasan singkat tentang uji klinis acak yang relevan dan rekomendasi pengobatan khusus. Rekomendasi pengobatan diringkas dalam Tabel 2 . Gabapentin. Ada 8 double-blind, placebo-controlled trial dari gabapentin yang diterbitkan untuk nyeri neuropatik kronis. Studi ini meneliti pasien dengan PHN, PDN, dicampur sindrom nyeri neuropatik, phantom limb pain, sindrom Guillain-Barre, dan nyeri akut dan kronis dari cedera sumsum tulang belakang.
31-38

Gabapentin pada dosis sampai dengan 3600 mg / hari

secara signifikan mengurangi rasa sakit dibandingkan dengan plasebo; perbaikan dalam tidur, mood, dan kualitas hidup juga tampak dalam beberapa percobaan. Dalam 2 percobaan PDN dan nyeri cedera tulang belakang dengan ukuran sampel yang kecil atau dosis yang relatif rendah, bukti kemanjuran lebih terbatas.
33,38

Berdasarkan hasil 2 uji coba acak dengan skala yang lebih

besar, 32,34 FDA menyetujui gabapentin untuk pengobatan PHN. Efek samping dari gabapentin adalah mengantuk dan pusing, dan yang lebih jarang, gejala gastrointestinal dan edema perifer ringan. Semua efek ini memerlukan penyesuaian dan pemantauan dan dosis tetapi biasanya tidak menimbulkan penghentian obat. Gabapentin dapat menyebabkan atau memperburuk masalah keseimbangan serta penurunan kognitif pada pasien lansia, dan dosis penyesuaian yang diperlukan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Namun, tolerabilitas umumnya sangat baik, keamanan, dan kurangnya interaksi obat membedakan gabapentin dari kebanyakan obat-obatan oral lainnya yang digunakan untuk pengobatan nyeri neuropatik kronis. Untuk mengurangi efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, gabapentin harus dimulai pada dosis rendah 100- 300 mg dalam dosis tunggal pada waktu tidur atau 100 sampai 300 mg 3 kali sehari-dan kemudian dititrasi setiap 1 sampai 7 hari sebanyak 100 sampai 300 mg bila mampu ditoleransi. Meskipun 3 kali sehari adalah target dosis,

titrasi lebih cepat dicapai jika sebagian dari dosis harian awal diberikan pada waktu tidur untuk membatasi sedasi pada siang hari. Sasaran dosis yang menunjukkan manfaat pengobatan

gabapentin untuk nyeri neuropatik berkisar dari 1800 mg / hari (dosis FDAapproved untuk PHN hingga 3600 mg / hari. Jika kesembuhan sebagian rasa sakit terjadi di 1800 mg / d, titrasi dapat dilanjutkan sampai dengan 3600 mg / hari (1200 mg 3 kali sehari) sesuai toleransi ditoleransi. Dosis akhir harus ditentukan baik dengan mencapai peredaan nyeri komplit atau dengan munculnya efek samping yang tidak dapat ditoleransi yang tidak hilang segera. Sebuah percobaan yang memadai dari gabapentin akan mencakup 3 sampai 8 minggu titrasi untuk memungkinkan toleransi terhadap efek samping, ditambah 1 sampai 2 minggu pada dosis maksimalyang dapat ditoleransi. Lidokain 5% Patch. Ada 2 doubleblind, , uji klinis acak terkontrol dari patch lidokain 5% pada pasien dengan PHN yang diterbitkan.39,
40

Dalam studi ini, pasien memperoleh statistik

pembebasan nyeri secara signifikan lebih besar dengan patch lidokain 5% dibandingkan dengan patch control tanpa lidokain. Berdasarkan hasil ini, FDA menyetujui lidocaine patch 5% untuk pengobatan PHN. Lebih jauh, efektivitas pengobatan ini telah ditunjukkan hanya pada pasien dengan PHN dan allodynia, dan tidak ada studi terkontrol telah dilakukan untuk kondisi nyeri lainnya. Bukti anecdotal dari efek yang positif pada pasien yang memiliki jenis lain dari nyeri neuropatik dengan allodynia telah diterbitkan.4 Patch lidokain 5% adalah preparat topikal. Pada pasien dengan fungsi hati yang normal, kadar obat dalam darahsangatlah minimal, dan akumulasi tidak terjadi dengan jadwal dosis 12 jam terpasang , 12 jam tidak. Karena itu, patch lidokain 5% memiliki keamanan baik dan tolerabilitas yang sangat, dan satu-satunya efek samping adalah timbulnya reaksi kulit ringan (misalnya, eritema atau ruam). Absorpsi sistemik dari patch harus dipertimbangkan pada pasien yang menerima obat oral antiaritmia kelas 1 (misalnya, mexiletine hidroklorida). Pengobatan dengan patch lidokain 5% terdiri dari aplikasi tidak lebih dari 3 patch setiap hari selama maksimal 12 jam, dengan patch yang ditempelkan langsung ke area yang sakit dengan intensitas maksimum (dosis yang disetujui FDA untuk PHN). Titrasi dari patch lidokain 5% tidak diperlukan, dan percobaan yang memadai akan berlangsung 2 minggu. Analgesik opioid. Lima double-blind randomized trials dari analgesik opioid oral telah diterbitkan sejak tahun 1998. Pada pasien dengan PHN, Pelepasan-terkontrol oksikodon

hidroklorida dititrasi hingga dosis maksimum 60 mg / d terbukti secara signifikan melegakan nyeri , diasbilitas, dan allodynia dibandingkan dengan placebo.42 Pada pasien dengan PDN, Pelepasan-terkontrol oksikodon hidroklorida dititrasi hingga dosis maksimum 120 mg / d secara signifikan meningkatkan nyeri kinerja dalam kegiatan sehari-hari, dan tidur dibandingkan dengan plasebo, dosis rata-rata oksikodon dalam percobaan adalah 37 mg / d (kisaran, 10-99 mg / d) .43 Pelepasan-terkontrol morfin sulfat dititrasi hingga dosis maksimum 300 mg / d lebih unggul dibanding plasebo pada pasien dengan phantom limb pain.44 Dalam studi silang 3-periode yang membandingkan pengobatan dengan analgesik opioid, TCA, dan plasebo pada pasien dengan PHN, pelepasan-terkontrol morfin sulfat dititrasi ke dosis maksimum 240 mg / hari memberikan manfaat yang signifikan secara statistik untuk nyeri dan tidur tetapi tidak untuk fungsi fisik dan mood.45 Dalam percobaan itu, pasien lebih suka pengobatan dengan analgesik opioid dibandingkan dengan TCA dan plasebo meskipun lebih besar insiden efek samping dan lebih sering putus pengobatan selama penggunaan opioid. Dalam sebuah studi double-blind secara acak yang membandingkan 2 dosis yang berbeda dari levorphanol tartrat pada pasien dengan berbagai sindrom nyeri neuropatik perifer dan pusat, pasien yang menerima dosis lebih tinggi melaporkan pengurangan rasa sakit secara signifikan lebih besar, tetapi tidak ada perbedaan antara kelompok pada suasana hati, tidur , atau gangguan aktifitas sehari-hari .46 Dalam penelitian tersebut, pasien dengan nyeri pusat poststroke adalah yang paling mungkin untuk mengalami perbaikan; hanya 30% dengan gangguan ini mengikuti percobaan hingga akhir. Fungsi kognitif juga diamati dalam 2 studi ini, dan dilaporkan bahwa pengobatan dengan analgesik opioid tidak mengganggu performance.45, 46 Bersama-sama, hasil dari 5 Studi ini memberikan dasar teori yang dapat diandalkan sebagai bukti untuk mempertimbangkan analgesik opioid untuk menjadi pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik. Efek samping yang paling sering dari analgesik opioid adalah konstipasi , sedasi, dan mual; efek ini kemungkinan besar berkontribusi pada relative tingginya withdrawal pada uji coba terkontrol plasebo. Pada pasien lansia yang diobati dengan analgesik opioid, gangguan kognitif dan masalah dengan mobilitas dapat terjadi, yang dapat berkontribusi untuk peningkatan risiko patah tulang pinggul. Kebanyakan pasien menjadi toleran terhadap efek samping, meskipun konstipasi sering berlanjut. Laksatif atau beralih ke fentanil sitrat transdermal dapat membantu mengurangi sembelit. Analgesik opioid harus digunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat

penyalahgunaan zat atau percobaan bunuh diri, dan kematian karena kecelakaan atau bunuh diri dapat terjadi dengan overdosis. Walaupun pasien diobati dengan analgesik opioid dapat mengembangkan toleransi analgesik (yaitu, pengurangan manfaat analgesik seiring waktu), pada pasien yang responsif dosis yang stabil biasanya dapat dicapai. Semua pasien yang memakai analgesik opioid mengembangkan ketergantungan fisik (gejala putus obat dengan penghentian mendadak dari obat atau pengurangan dosis cepat) dan harus disarankan untuk tidak secara tibatiba menghentikan pengobatan . Risiko penyalahgunaan zat, pola maladaptif dari penggunaan zat yang mengarah ke gangguan atau distress yang signifikan secara klinis, akan muncul pada pasien dengan nyeri neuropatik yang tidak memiliki riwayat penyalahgunaan zat tidaklah diketahui, tapi kemungkinannya rendah. Penyalahgunaan opioid harus dibedakan dari keinginan untuk melanjutkan minum obat yang secara efektif mengurangi rasa sakit dan dari ketakutan tidak memiliki akses yang memadai terhadap obat yang sering sulit mereka dapatkan. Ada risiko besar dalam peresepan opioid untuk pasien dengan riwayat penyalahgunaan zat. Banyak analgesik opioid kerja pendek dan kerja panjang yang tersedia. Kami memiliki pendapat yang beragam tentang algoritma untuk mengelola opioid untuk nyeri neuropatik. Salah satu pendekatan yang direkomendasikan adalah mulai pengobatan dengan analgesik opioid menggunakan obat short-acting pada dosis equianalgesic hingga oral morfin sulfat pada 5 sampai 15mg setiap 4 jam sesuai kebutuhan. Umumnya digunakan short-acting analgesik opioid termasuk oksikodon penggunaan tunggal dan hydrocodone dan oxycodone bitartrat dikombinasi dengan asetaminofen, aspirin, atau ibuprofen (elixir morfin dapat digunakan dengan pasien yang memiliki kesulitan menelan). Setelah pengobatan selama 1 sampai 2 minggu, dosis total harian analgesik opioid shortacting pasien dapat dikonversi ke dosis harian equianalgesic dari salah satu analgesik opioid longacting seperti morfin pelepasan-terkontrol, oksikodon pelepasan-terkontrol, fentanil

transdermal, levorphanol, atau hidroklorida metadon. Konversi dari rejimen pengobatan pasien dari obat short-acting menuju long-acting mungkin memerlukan penyesuaian dosis selama 1 sampai 2 minggu. Setelah pasien menerima dosis obat long-acting yang stabil, percobaan yang memadai dari analgesik opioid membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu untuk menilai rasa sakit dan fungsi. Pengurangan nyeri tanpa perbaikan fungsi mengindikasikan perlunya untuk

mempertimbangkan modifikasi pengobatan. Dengan pemantauan dan titrasi hati-hati, tidak ada batasan yang jelas dosis maksimum dari analgesik opioid. Namun, evaluasi oleh spesialis nyeri dapat dipertimbangkan ketika dosis morfin sulfat equianalgesic melebihi 120-180 mg / d. Manfaat dari tingkat yang lebih tinggi dari 180 mg / d pada pasien dengan nyeri neuropatik belum di uji coba dengan double-blind trial. Dokumentasi yang cermat dan pemantauan yang tepat sangatlah penting pada pengobatan menggunakan analgesik opioid. Model pedoman penggunaan zat untuk pengobatan rasa sakit telah diadopsi oleh Federasi Dewan Negara Medis Amerika Serikat, dan US Drug Administration telah mengakui bahwa penggunaan analgesik opioid yang tepat untuk mengobati nyeri kronis. Tramadol. Tramadol adalah norepinefrin dan serotonin reuptake inhibitor dengan metabolit utama yang merupakan agonis opioid . Ada 2 double-blind, placebo-controlled randomized clinical trials dari tramadol untuk nyeri neuropatik, 1 pada pasien dengan PDN dan 1 pada pasien dengan polineuropati yang menyakitkan dari berbagai penyebab, termasuk PDN. 47,
48

Dalam kedua uji coba, tramadol hidroklorida dititrasi hingga dosis maksimum 400 mg / d nyeri dibandingkan dengan plasebo. Efek positif pengobatan

secara signifikan mengurangi

tramadol pada allodynia48 dan peningkatan kualitas hidup47 juga dilaporkan. Efek samping dari tramadol adalah pusing, mual, konstipasi, mengantuk, dan hipotensi ortostatik. Ini terjadi lebih sering ketika dosis ditingkatkan secara cepat dan digunakan bersama dengan obat lain yang memiliki efek samping sejenis. Ada peningkatan risiko kejang pada pasien yang diobati dengan tramadol yang memiliki riwayat kejang atau pada pasien yang juga menerima antidepresan, opioid, neuroleptik, atau obat lain yang dapat menurunkan ambang kejang. Serotonin syndrom dapat muncul jika tramadol digunakan bersamaan dengan obat serotonergik lainnya, terutama serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan inhibitor monoamine oksidase. Tramadol dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan kognitif pada pasien lansia, dan penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal atau hati. Penyalahgunaan tramadol dianggap langka tetapi ada. Untuk mengurangi kemungkinan efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, tramadol harus dimulai pada dosis rendah -50 mg sekali atau dua kali sehari-dan kemudian dititrasi setiap 3 sampai 7 hari sebesar 50 sampai 100 mg / d dalam dosis

terbagi sesuai toleransi. Mg Dosis maksimum adalah 100mg tramadol hydrochloride 4 kali sehari (pada pasien yang lebih tua lebih dari 75 tahun, 300 mg / d dalam dosis terbagi), dan percobaan yang memadai memerlukan waktu 4 minggu. Antidepresan trisiklik. Kategori obat pertama yang terbukti efektif untuk nyeri neuropatik di uji coba terkontrol plasebo adalah TCAs.25-28 Meskipun percobaan klinis pada pasien dengan neuropati HIV , 49,50 nyeri cedera tulang belakang, 51 dan neuropatiterinduksi-cisplatin52 dengan amitriptilin hidroklorida hanya memiliki manfaat kecil dapat dibaca di review oleh Max.53 jika dibandingkan dengan plasebo,

sebuah ringkasan yang tepat dari keberhasilan keseluruhan dari TCA dalam nyeri neuropatik

Masalah utama dengan penggunaan TCA adalah efek sampingnya; TCA harus digunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, glaukoma, retensi urin, atau neuropati otonom. Hampir 20% dari pasien yang diobati dengan nortriptyline setelah infark miokard mengalami Adverse Cardiac Events.54 Oleh karena itu, skrining elektrokardiogram untuk memeriksa kelainan konduksi jantung direkomendasikan sebelum mulai pengobatan dengan TCA, terutama pada pasien yang berumur lebih dari dari 40 tahun. Seperti juga dengan analgesik opioid, TCA harus digunakan hati-hati karena ada risiko bunuh diri atau meninggal karena

kecelakaan dari overdosis. TCA dapat memblok efek obat antihipertensi tertentu (misalnya, clonidine atau guanethidine), dan dapat berinteraksi dengan obat yang dimetabolisme oleh sitokrom P4502D6 (misalnya, cimetidine, fenotiazin, dan antiaritmia kelas 1C). Semua SSRI menghambat sitokrom P4502D6, dan untuk mencegah konsentrasi beracun TCA dalam plasma, harus dilakukan secara hati-hati administrasi TCA dan SSRI secara bersamaan dan ketika berpindah dari satu kelas obat ke kelas yang lain. Pada pasien usia lanjut, TCA bisa menyebabkan masalah keseimbangan dan gangguan kognitif. Efek samping lebih ringan dari TCA termasuk sedasi, efek antikolinergik (misalnya, mulut kering atau sembelit), hipotensi postural, dan penambahan berat badan. Meskipun uji klinis TCA untuk nyeri neuropatik umumnya meniliti amitriptilin, obat ini tidak dianjurkan pada pasien lanjut usia karena risiko efek samping yang signifikan. Nortriptyline dan hidroklorida desipramin memiliki efek samping lebih sedikit dan umumnya lebih baik ditoleransi daripada amitriptilin. Dalam sebuah uji coba secara acak, double blind baru-baru ini, nortriptyline ternyata memberikan manfaat analgesik setara pada pasien dengan PHN ketika dibandingkan dengan amitriptilin tetapi nortriptyline lebih dapat ditoleransi.55 Pasien harus memahami bahwa TCA memiliki efek analgesik yang independen dari efek antidepresan mereka. Untuk mengurangi efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, TCA harus dimulai pada dosis rendah 10 hingga 25 mg dalam dosis tunggal pada jam tidurdan kemudian dititrasi setiap 3 sampai 7 hari dengan 10 sampai 25 mg / d sesuai toleransi . Meskipun efek analgesik TCA telah diperkirakan terjadi pada dosis lebih rendah dari efek antidepresan, tidak ada bukti sistematis yang mendukung hal ini. Namun, beberapa data yang konsisten dengan hubungan dosis-respon; TCA harus dititrasi untuk dosis 75 sampai 150 mg / d sebagai bila ditoleransi. Jika ditemukan darah sekitar 100 mL ng / obat aktif dan metabolitnya tidak ditemukan pada dosis 100 sampai 150 mg, titrasi dapat dilanjutkan lebih lanjut dengan hati-hati. Kadar 500 ng / mL atau lebih tinggi obat aktif dalam darah dan

metabolitnya berhubungan langsung dengan toksisitas, dan untuk titrasi yang lebih tinggi dari 100 sampai 150 mg / d jumlah zat aktif dalam darah harus dipantau dan elektrokardiogram harus dilakukan. Sebuah percobaan yang memadai dari TCA akan berlangsung 6 sampai 8 minggu dengan setidaknya 1 sampai 2 minggu pada dosis ditoleransi maksimum.

Memilih Obat lini pertama

Biaya terhadap obat tertentu sangat bervariasi menurut wilayah geografis, rencana asuransi, kontrak industri kesehatan, dan ketersediaan program-program perusahaan farmasi untuk pasien tanpa ansuransi. Dokter harus mengenal beberapa jenis biaya pengobatan saat akan meresepkan obat dan paket apa saja yang ditanggung oleh asuransi pasien. Dengan demikian ini akan menguntungkan keuangan pasien dan meningkatkan tingkat kepatuhan berobat.. Pertimbangan harus diberikan apabila tersedia versi generik obat yang dapat digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik kronis. Tramadol, TCA, dan beberapa analgesik opioid tersedia dalam bentuk generik dengan biaya akuisisi lebih rendah daripada 2 lini pertama obat yang masih dilindungi oleh hak paten: gabapentin dan patch lidokain 5%. Antidepresan trisiklik harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien lansia karena risiko efek samping beracun ke jantung dan efek samping antikolinergik. Selain itu, gabapentin, analgesik opioid, tramadol, dan TCA semua harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang lebih tua karena risiko terjatuh dan gangguan kognitif. Antidepresan trisiklik memiliki banyak kontraindikasi, terutama pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, karena risiko gangguan konduksi, aritmia, takikardia, stroke, dan infark miokard akut. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, dosis gabapentin atau tramadol harus disesuaikan; pada pasien dengan penyakit hati, dosis tramadol penyesuaian diperlukan. Analgesik opioid harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan zat. Antidepresan trisiklik dapat sangat berguna untuk mengobati depresi pada pasien dengan nyeri kronis, tetapi risiko overdosis harus diperhatikan, ada risiko bunuh diri yang jauh lebih tinggi dengan TCA dibandingkan dengan antidepresan lainnya. Selain itu, banyak pasien dengan nyeri kronis memiliki terganggu tidur, dan percobaan gabapentin dan TCA telah menunjukkan perbaikan disini. Banyak pasien dengan nyeri neuropatik juga memiliki rasa nyeri nonneuropathic (misalnya, osteoarthritis), dan analgesik opioid dan tramadol telah menunjukkan efikasi dalam pengobatan keduanya. Telah disaarankan TCA digunakan dalam mengobati nyeri konstan dan bahwa antikonvulsan seperti carbamazepine harus digunakan untuk nyeri yang tajam. Onset hilangnya nyeri lebih cepat dengan patch lidokain 5%, analgesik opioid, dan tramadol dibandingkan dengan gabapentin atau TCA. Hal ini terutama karena gabapentin dan TCA memerlukan titrasi yang lebih lambat untuk dosis efektif karena efek sampingnya .

Gabapentin, patch lidokain 5%, dan analgesik opioid semua memiliki lebih sedikit interaksi obat dan efek samping dibandingkan tramadol atau TCA. Terapi Sekuensial dan Kombinasi Dengan Obat-obatan Lini Pertama. Persentase pasien dengan nyeri neuropatik yang tidak respon terhadap i 1 dari 5 obat lini pertama tetapi mendapatkan pengurangan rasa nyeri dari obat yang lain tidaklah diketahui. Bahkan dalam kelas obat yang sama, beberapa pasien gagal untuk merespon satu obat tetapi dapat merespon obat lain. Dalam Uji crossover yang membandingkan amitriptilin dan nortriptyline di 31 pasien dengan PHN, 5 pasien mengalami nyeri sedang atau berat bila diberikan nortriptyline tetapi tidak ada atau nyeri ringan dengan amitriptilin, dan 4 pasien memiliki pola kebalikan dari response tersebut.55 pemahaman mekanisme patofisiologis dari nyeri neuropatik adalah adanya mekanisme nyeri multipel, masing-masing dapat merespon secara berbeda terhadap obat dengan mekanisme yang berbeda pula.13-16 Oleh karena itu, ada dasar empiris dan teoritis untuk merekomendasikan pasien yang tidak merespon 1 dari 5 obat lini pertama dapat diobati dengan obat yang lainnya. Sering bagi pasien untuk memiliki respon parsial untuk obat-obat ini, dan pengobatan kombinasi harus dipertimbangkan ketika ini terjadi. Tidak ada penelitian yang sistematis yang meneliti kemanjuran berbagai kemungkinan kombinasi dari 5 obat tersebut dibandingkan dengan monoterapi. Meskipun kurangnya data, kombinasi dari 2 atau lebih obat lini pertama dapat direkomendasikan ketika pasien memiliki respon parsial untuk terapi tunggal atau pada awal pengobatan, baik untuk meningkatkan kemungkinan respon atau ketika obat memerlukan titrasi untuk mencapai dosis efektif juga. Kekurangan dari terapi kombinasi adalah peningkatan risiko efek samping karena jumlah obat yang bertambah dan kesulitan untuk mengidentifikasi mana dari obat tersebut yang bertanggung jawab atas efek samping. Obat lini kedua. Bila pasien tidak memiliki respon yang memuaskan terhadap pengobatan dengan 5 obat lini pertama banik pengobatan tunggal ataupun kombinasi, beberapa obat dapat dianggap sebagai lini kedua. Karena pengobatan ini jarang digunakan oleh dokter dan hanya sedikit percobaan yang telah memeriksa keefektifannya , kegunaanya tidak dijelaskan secara rinci. Rekomendasi untuk obat lini kedua didasarkan pada hasil positif dari uji coba terkontrol secara acak tunggal atau hasil yang tidak konsisten dari uji acak terkontrol multipel, dengan 1 pengecualian.

Obat-obatan antikonvulsan lainnya. Lamotrigin adalah pengobatan farmakologis 1 lini kedua yang memiliki bukti keberhasilan berdasarkan hasil yang konsisten dari beberapa uji coba terkontrol secara acak untuk neuropati sensorik HIV, 56,57 PDN,
58

dan nyeri pusat poststroke59

serta dalam subkelompok pasien dengan lesi sumsum tulang belakang inkomplet dalam uji coba pasien dengan nyeri dari cedera sumsum tulang belakang.60 Kami tidak menganggap lamotrigin pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik karena titrasinya yang lambat danharus diberikan dengan sangat hati-hati karena resiko timbulnya ruam yang parah dan sindrom Stevens-Johnson. Karbamazepin memiliki efek yang bermanfaat bagi trigeminal neuralgia24, 30 dan disetujui oleh FDA untuk pengobatan sindrom nyeri neuropatik ini. Pada pasien dengan PDN, ada beberapa bukti untuk efektifitas karbamazepin, tetapi hasil penelitian terhadap fenitoin tidak konsisten, penelitian ini dilakukan lebih dari 20 tahun yang lalu dan tidak memenuhi standards metodologis saat ini.24,26-28 Lamotrigin dan karbamazepin dapat direkomendasikan untuk pasien yang tidak merespon gabapentin dan apabila diharapkan pengobatan dengan antikonvulsan. Evaluasi peran antikonvulsan generasi kedua lainnya (misalnya, levetiracetam, oxcarbazepine, tiagabine, topiramate, dan zonisamide) untuk pengobatan nyeri neuropatik harus menunggu publikasi randomized placebo-controlled trials terlebih dahulu. Meskipun beberapa obat antikonvulsan memblok saluran natrium, namun antikonvulsan biasanya juga memiliki mekanisme yang berbeda dan sering multipel. Oleh karena itu, nonresponse ke 1 antikonvulsan tidak selalu memprediksi nonresponse untuk kategori secara keseluruhan. Obat-obatan antidepresan lainnya. Selective serotonin reuptake inhibitor memiliki efek samping lebih sedikit dan umumnya lebih baik ditoleransi daripada TCA. Dalam studi pasien dengan PDN, paroxetine dan citalopram dikaitkan dengan penurunan rasa nyeri yang secara statistik signifikan lebih besar daripada plasebo, sedangkan Fluoxetine hydrochloride ditemukan tidak lebih efektif daripada placebo.25-28- Bupropion hidroklorida dipelajari dalam uji coba terkontrol pasien dengan berbagai sindrom nyeri neuropatik perifer dan pusat dan memberikan bantuan penurunan rasa nyeri yang secara statistik signifikan dibandingkan dengan placebo.61 Dalam 3 periode uji silang acak, venlafaxine hidroklorida dan imipramine hidroklorida pada pasien dengan nyeri polineuropati , kedua antidepresan menunjukkan manfaat bila dibandingkan dengan plasebo tetapi tidak berbeda darisatu sama lainnya.62 sebuah Uji Ilang terkontrol-plasebo dari 13 pasien dengan nyeri kronis neuropatik operasi kanker payudara tidak menemukan

manfaat yang signifikan dari plasebo vs venlafaxine untuk titik akhir primer (daily pain diary ratings) tetapi menemukan penurunan rasa nyeri terkait dengan pengobatan venlafaxine untuk 2 secondary pain end points.63 Hasil uji klinis menunjukkan bahwa bupropion, citalopram, paroxetine, dan venlafaxine dapat direkomendasikan untuk pasien yang tidak merespon nortriptyline (atau TCA) ketika pengobatan tambahan dengan dipertimbangkan. Selain Pengobatan lini kedua. Obat-obat lain kadang-kadang digunakan untuk pengobatan pasien dengan nyeri neuropatik termasuk capsaicin, clonidine, dekstrometorfan, dan mexiletine. Menurut pengalaman klinis kami dan hasil yang tidak konsisten dari uji klinis, obatobat ini kadang-kadang mungkin efektif dalam situasi individu. antidepresan sedang

Kebutuhan di masa Depan


Durasi pengobatan dalam uji klinis nyeri neuropatik biasanya adalah 8 minggu atau kurang, sehingga daya tahan hilangnya nyeri dan keamanan jangka panjang dan tolerabilitas pengobatan tidak diketahui. Dengan gangguan kronis, penting untuk mempertimbangkan keefektifan biaya yang dikeluarkan untuk terapi jangka panjang.64 Meskipun pengembangan pengobatan baru untuk nyeri neuropatik berlangsung sangat cepat, 65,66 hanya sedikit uji klinis yang membandingkannya.45, 55,62 Perbandingan tersebut akan memungkinkan untuk menentukan apakah terapi tersebut bervariasi keefektifannya, keamanan, dan tolerabilitas response obat lainnya.45 Evaluasi yang sistematis dari pengobatan kombinasi juga diperlukan. Meskipun persentase besar pasien dengan nyeri neuropatik saat ini diterapi dengan 2 atau lebih obat lini pertama, hanya sedikit yang diketahui tentang pasien yang mungkin mendapat keuntungan dari penggunaan obat kombinasi dan apakah ada efek additive dan sinessrgis dalam penggunaanya. Lebih jauh, karena kombinasi pengobatan farmakologis dan nonpharmacologic hanya sedikit menjadi pusat penelitian pada nyeri neuropatik, tidak diketahui apakah latifan fisik atau terapi psikologis membawa lebih banyak keuntungan bagi pasien dibandingkan dengan terapi farmakologis saja. juga ketika

dilakukan pada pasien yang sama, sejauh mana response suatu terapi dapat memprediksi

KESIMPULAN
Minat mepelajari mekanisme dan pengobatan nyeri neuropatik kronis telah meningkat selama beberapa tahun terakhir, dan ini cenderung menghasilkan kemajuan pengobatan yang signifikan di masa depan. Kemajuan ini akan memungkinkan bukan hanya menentukan obat apa yang cocok bagi nyeri neuropatik tapi bisa menentukan obat apa yang cocok dan paling efektif untuk nyeri neuropatik pada setiap individu yang berbeda.13,
67

Kemajuan dalam ilmu dasar akan

mengarah pada pemahaman yang lebih besar tentang mekanisme patofisiologi nyeri neuropatik. Tujuan utama dari penelitian adalah menentukan mekanisme spesifik dari nyeri pada tiap individu dan mengarahkan tatalaksana terapi ke mekanisme tersebut.13-17 Perhatian besar juga harus diberikan pada intervensi pencegahan pasien dengan resiko nyeri neuropatik, seperti pasien yang menjalani operasi kanker payudara68, pasien dengan herpes zooster69, dan pasien dengan diabetes.70
Dipublikasikan pada 24 Juli, 2003. From the Department of Anesthesiology, University of Rochester, Rochester, NY (Dr Dworkin); Department of Neurology, University of Wisconsin, Madison (Dr Backonja); Department of Neurology, University of California, San Francisco (Dr Rowbotham); AstraZeneca, Wilmington, Del (Dr Allen); Department of Neurology, North Shore University Hospital, Manhasset, NY (Dr Argoff); Department of Anesthesiology, McGill University, Montreal, Quebec (Drs Bennett and Bushnell); Department of Neurology, University of Pennsylvania, Philadelphia (Dr Farrar); Endo Pharmaceuticals, Chadds Ford, Pa (Dr Galer); Department of Psychiatry, Johns Hopkins University, Baltimore, Md (Dr Haythornthwaite); Ortho-McNeil Pharmaceutical, Raritan, NJ (Dr Hewitt); Departments of Neurosurgery (Dr Loeser) and Anesthesiology (Dr Turk), University of Washington, Seattle; Pain and Neurosensory Mechanisms Branch, National Institute of Dental and Craniofacial Research, Department of Health and Human Services, Bethesda, Md (Dr Max); Pfizer, Groton, Conn (Dr Saltarelli); Department of Medicine and Geriatric Research, Education, and Clinical Center, Duke University and Durham VA Medical Centers, Durham, NC (Dr Schmader); Department of Anesthesiology, Freie Universitat Berlin, Berlin, Germany (Dr Stein); Innovus Research Inc, Medford, Mass (Dr Thompson); De partment of Anesthesiology, University of California, San Diego (Dr Wallace); Department of Psychology, University of Colorado, Boulder (Dr Watkins); and Department of Anesthesiology, University of Utah, Salt Lake City (Dr Weinstein). Author contributions: Study concept and design (Drs Dworkin, Backonja, Rowbotham, Allen, Argoff, Bushnell, Farrar, Galer, Haythornthwaite, Hewitt, Loeser, Schmader, Stein, Thompson, Turk, Watkins, and Weinstein); acquisition of data (Drs Dworkin, Rowbotham, Argoff, Bushnell, Max, and Saltarelli); analysis and interpretation of data (Drs Dworkin, Rowbotham, Allen, Argoff, Bennett, Farrar, Galer, Hewitt, Loeser, Max, Saltarelli, Stein, Wallace, and Weinstein); drafting of the manuscript (Drs Dworkin, Backonja, Rowbotham, Argoff, Bennett, Haythornthwaite, Hewitt, Max, Schmader, Stein, and Weinstein); critical revision of the manuscript for important intellectual content (Drs Dworkin, Backonja,

Rowbotham, Allen, Argoff, Bennett, Bushnell, Farrar, Galer, Hewitt, Loeser, Max, Saltarelli, Schmader, Stein, Thompson, Turk, Wallace, Watkins, and Weinstein); statistical expertise (Drs Dworkin, Bennett, Farrar, and Thompson); obtained funding (Drs Dworkin and Galer); administrative, technical, and material support (Drs Dworkin, Schmader, and Turk); study supervision (Dr Dworkin). Corresponding author and reprints: Robert H. Dworkin, PhD, Department of Anesthesiology, University of Rochester School of Medicine and Dentistry, 601 Elmwood Ave, Box 604, Rochester, NY 14642 (email: robert_dworkin@urmc.rochester.edu).

REFERENSI
1. Schmader KE. Epidemiology and impact on quality of life of postherpetic neuralgia and painful diabetic neuropathy. Clin J Pain. 2002;18:350-354. 2. Bowsher D. The lifetime occurrence of herpes zoster and prevalence of postherpetic neuralgia: a retrospective survey in an elderly population. Eur J Pain. 1999; 3:335-342. 3. Backonja MM, Galer BS. Pain assessment and evaluation of patients who have neuropathic pain. Neurol Clin. 1998;16:775-789. 4. Merskey H, Bogduk N. Classification of Chronic Pain: Descriptions of Chronic Pain Syndromes and Definitions of Pain Terms. 2nd ed. Seattle, Wash: IASP Press; 1994. 5. Max MB. Clarifying the definition of neuropathic pain. Pain. 2002;96:406-407. 6. Backonja M. Defining neuropathic pain. Anesth Analg. 2003;97:785-790. 7. Bennett GJ. Neuropathic pain. In: Wall PD, Melzack R. Textbook of Pain. 3rd ed. Edinburgh, Scotland: Churchill Livingstone; 1994:201-224. 8. Dworkin RH, Nagasako EM, Galer BS. Assessment of neuropathic pain. In: Turk DC, Melzack R, eds. Handbook of Pain Assessment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 2001:519-548. 9. Galer BS, Jensen MP. Development and preliminary validation of a pain measure specific to neuropathic pain: the Neuropathic Pain Scale. Neurology. 1997; 48:332-338. 10. Krause SJ, Backonja MM. Development of a neuropathic pain questionnaire. Clin J Pain. In press. 11. Dworkin RH, Nagasako EM, Hetzel RD, Farrar JT. Assessment of pain and painrelated quality of life in clinical trials. In: Turk DC, Melzack R, eds. Handbook of Pain Assessment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 2001:659-692.

12. Haythornthwaite JA, Benrud-Larsen LM. Psychological aspects of neuropathic pain. Clin J Pain. 2000;16:S101-S105. 13. Woolf CJ, Max MB. Mechanism-based pain diagnosis. Anesthesiology. 2001; 95:241-249. 14. Jensen TS, Baron R. Translation of symptoms and signs into mechanisms in neuropathic pain. Pain. 2003;102:1-8. 15. Rowbotham MC, Petersen KL, Fields HL. Is postherpetic neuralgia more than one disorder? Pain Forum. 1998;7:231-237. 16. Fields HL, Rowbotham MC, Baron R. Post-herpetic neuralgia: irritable nociceptors and deafferentation. Neurobiol Dis. 1998;5:209-227. 17. Petersen KL, Fields HL, Brennum J, Sandroni P, Rowbotham MC. Capsaicin activation of irritable nociceptors in post-herpetic neuralgia. Pain. 2000;88:125-133. 18. Baron R, Levine JD, Fields HL. Causalgia and reflex sympathetic dystrophy: does the sympathetic nervous system contribute to the generation of pain? Muscle Nerve. 1999;22:678- 95. 19. Petersen KL, Rice F, Suess F, Berro M, Rowbotham MC. Relief of post-herpetic neuralgia by surgical removal of painful skin. Pain. 2002;98:119-226. 20. Torebjork E. Human microneurography and intraneural microstimulation in the study of neuropathic pain. Muscle Nerve. 1993;16:1063-1065. 21. Sang CN, Gracely RH, Max MB, Bennett GJ. Capsaicin-evoked mechanical allodynia and hyperalgesia cross nerve territories: evidence for a central mechanism. Anesthesiology. 1996;85:491-496. 22. Orstavik K, Weidner C, Schmidt R, et al. Pathological C-fibres in patients with a chronic painful condition. Brain. 2003;126:567-578. 23. Farrar JT, Young JP Jr, LaMoreaux L, Werth JL, Poole RM. Clinical importance of changes in chronic pain intensity measured on an 11-point numerical pain rating scale. Pain. 2001;94:149-158. 24. McQuay HJ, Carroll D, Jadad AR, Wiffen P, Moore A. Anticonvulsant drugs for management of pain: a systematic review. BMJ. 1995;311:1047-1052. 25. McQuay HJ, Trame`r M, Nye BA, Carroll D, Wiffen PJ, Moore RA. A systematic review of antidepressants in neuropathic pain. Pain. 1996;68:217-227. 26. Sindrup SH, Jensen TS. Efficacy of pharmacological treatments of neuropathic pain: an update and effect related to mechanism of drug action. Pain. 1999;83:389-400.

27. Collins SL, Moore RA, McQuay HJ, Wiffen P. Antidepressants and anticonvulsants for diabetic neuropathy and postherpetic neuralgia: a quantitative systematic review. J Pain Symptom Manage. 2000;20:449-458. 28. Sindrup SH, Jensen TS. Pharmacologic treatment of pain in polyneuropathy. Neurology. 2000;55:915-920. 29. Atkinson JH, Slater MA, Williams RA, et al. A placebo-controlled randomized clinical trial of nortriptyline for chronic low back pain. Pain. 1998;76:287-296. 30. Loeser JD. Cranial neuralgias. In: Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC, eds. Bonicas Management of Pain. 3rd ed. Philadelphia Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 2001:855-866. 31. Backonja M, Beydoun A, Edwards KR, et al, for the Gabapentin Diabetic Neuropathy Study Group. Gabapentin for the symptomatic treatment of painful neuropathy in patients with diabetes mellitus: a randomized controlled trial. JAMA. 1998;280:1831-1836. 32. Rowbotham M, Harden N, Stacey B, Bernstein P, Magnus-Miller L, for the Gabapentin Postherpetic Neuralgia Study Group. Gabapentin for the treatment of postherpetic neuralgia: a randomized controlled trial. JAMA. 1998;280:1837-1842. 33. Gorson KC, Schott C, Herman R, Ropper AH, Rand WM. Gabapentin in the treatment of painful diabetic neuropathy: a placebo-controlled, double-blind, crossover trial. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1999;66:251-252. 34. Rice AS, Maton S; Postherpetic Neuralgia Study Group. Gabapentin in postherpetic neuralgia: a randomised, double blind, placebo controlled study. Pain. 2001; 94:215-224. 35. Serpell MG; Neuropathic Pain Study Group. Gabapentin in neuropathic pain syndromes: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Pain. 2002;99: 557-566. 36. Bone M, Critchley P, Buggy DJ. Gabapentin in postamputation phantom limb pain: a randomized, double-blind, placebo-controlled, cross-over study. Reg Anesth Pain Med. 2002;27:481-486. 37. Pandey CK, Bose N, Garg G, et al. Gabapentin for the treatment of pain in Guillain- Barre syndrome: a double-blinded, placebo-controlled, crossover study. Anesth Analg. 2002;95:1719-1723. 38. Tai Q, Kirshblum S, Chen B, Millis S, Johnston M, DeLisa JA. Gabapentin in the treatment of neuropathic pain after spinal cord injury: a prospective, randomized, double-blind, crossover trial. J Spinal Cord Med. 2002;25:100-105.

39. Rowbotham MC, Davies PS, Verkempinck C, Galer BS. Lidocaine patch: doubleblind controlled study of a new treatment method for post-herpetic neuralgia. Pain. 1996;65:39-44. 40. Galer BS, Rowbotham MC, Perander J, Friedman E. Topical lidocaine patch relieves postherpetic neuralgia more effectively than a vehicle topical patch: results of an enriched enrollment study. Pain. 1999;80:533-538. 41. Devers A, Galer BS. Topical lidocaine patch relieves a variety of neuropathic pain conditions: an open-label study. Clin J Pain. 2000;16:205-208. 42. Watson CPN, Babul N. Efficacy of oxycodone in neuropathic pain: a randomized trial in postherpetic neuralgia. Neurology. 1998;50:1837-1841. 43. Gimbel JS, Richards P, Portenoy RK. Controlled-release oxycodone for pain in diabetic neuropathy: a randomized controlled trial. Neurology. 2003;60:927- 934. 44. Huse E, Larbig W, Flor H, Birbaumer N. The effect of opioids on phantom limb pain and cortical reorganization. Pain. 2001;90:47-55. 45. Raja SN, Haythornthwaite JA, Pappagallo M, et al. Opioids versus antidepressants in postherpetic neuralgia: a randomized, placebo-controlled trial. Neurology. 2002;59:1015-1021. 46. Rowbotham MC, Twilling L, Davies PS, Reisner L, Taylor K, Mohr D. Oral opioid therapy for chronic peripheral and central pain. N Engl J Med. 2003;348:1223- 1232. 47. Harati Y, Gooch C, Swenson M, et al. Double-blind randomized trial of tramadol for the treatment of the pain of diabetic neuropathy. Neurology. 1998;50:1842-1846. 48. Sindrup SH, Andersen G, Madsen C, Smith T, Brsen K, Jensen TS. Tramadol relieves pain and allodynia in polyneuropathy: a randomised, double-blind, controlled trial. Pain. 1999;83:85-90. 49. Kieburtz K, Simpson D, Yiannoutsos C, et al, for the AIDS Clinical Trial Group 242 Protocol Team. A randomized trial of amitriptyline and mexiletine for painful neuropathy in HIV infection. Neurology. 1998;51:1682-1688. 50. Shlay JC, Chaloner K, Max MB, et al, for Terry Beirn Community Programs for Clinical Research on AIDS. Acupuncture and amitriptyline for pain due to HIVrelated peripheral neuropathy: a randomized controlled trial. JAMA. 1998;280:1590-1595. 51. Cardenas DD, Warms CA, Turner JA, Marshall H, Brooke MM, Loeser JD. Efficacy of amitriptyline for relief of pain in spinal cord injury: results of a randomized controlled trial. Pain. 2002;96:365-373.

52. Hammack JE, Michalak JC, Loprinzi CL, et al. Phase III evaluation of nortriptyline for alleviation of symptoms of cis-platinum-induced peripheral neuropathy. Pain. 2002;98:195-203. 53. Max MB. Thirteen consecutive well-designed randomized trials show that antidepressants reduce pain in diabetic neuropathy and postherpetic neuralgia. Pain Forum. 1995;4:248-253. 54. Roose SP, Laghrissi-Thode F, Kennedy JS, et al. Comparison of paroxetine and nortriptyline in depressed patients with ischemic heart disease. JAMA. 1998;279:287-291. 55. Watson CPN, Vernich L, Chipman M, Reed K. Nortriptyline versus amitriptyline in postherpetic neuralgia: a randomized trial. Neurology. 1998;51:1166-1171. 56. Simpson DM, Olney R, McArthur JC, Khan A, Godbold J, Ebel-Frommer K, for the Lamotrigine HIV Neuropathy Study Group. A placebo-controlled trial of lamotrigine for painful HIV-associated neuropathy. Neurology. 2000;54:2115-2119. 57. Simpson DM, McArthur JC, Olney R, et al, for the Lamotrigine HIV Neuropathy Study Team. Lamotrigine for HIV-associated painful sensory neuropathies: a placebo- controlled trial. Neurology. 2003;60:1508-1514. 58. Eisenberg E, Luria Y, Braker C, Daoud D, Ishay A. Lamotrigine reduces painful diabetic neuropathy: a randomized, controlled study. Neurology. 2001;57:505-509. 59. Vestergaard K, Andersen G, Gottrup H, Kristensen BT, Jensen TS. Lamotrigine for central poststroke pain: a randomized controlled trial. Neurology. 2001;56: 184-190. 60. Finnerup NB, Sindrup SH, Bach FW, Johannesen IL, Jensen TS. Lamotrigine in spinal cord injury pain: a randomized controlled trial. Pain. 2002;96:375-383. 61. Semenchuk MR, Sherman S, Davis B. Double-blind, randomized trial of bupropion SR for the treatment of neuropathic pain. Neurology. 2001;57:1583-1588. 62. Sindrup SH, Bach FW, Madsen C, Gram LF, Jensen TS. Venlafaxine versus imipramine in painful polyneuropathy: a randomized, controlled trial. Neurology. 2003; 60:1284-1289. 63. Tasmuth T, Hartel B, Kalso E. Venlafaxine in neuropathic pain following treatment of breast cancer. Eur J Pain. 2002;6:17-24. 64. Thompson D. Toward a pharmacoeconomic model of neuropathic pain. Clin J Pain. 2002;18:366372.

65. Apfel SC, Schwartz S, Adornato BT, et al, for the rhNGF Clinical Investigator Group. Efficacy and safety of recombinant human nerve growth factor in patients with diabetic polyneuropathy: a randomized controlled trial. JAMA. 2000;284:2215- 2221. 66. Dworkin RH, Corbin AE, Young JP, et al. Pregabalin for the treatment of ostherpeticneuralgia: a randomized, placebo-controlled trial. Neurology. 2003;60: 1274-1283. 67. Turk DC. Customizing treatment for chronic pain patients: who, what and why?Clin J Pain. 1990;6:255-270. 68. Fassoulaki A, Patris K, Sarantopoulos C, Hogan Q. The analgesic effect of gabapentin and mexiletine after breast surgery for cancer. Anesth Analg. 2002;95:985-991. 69. Dworkin RH, Schmader KE. Treatment and prevention of postherpetic neuralgia.Clin Infect Dis. 2003;36:877-882. 70. Diabetes Control and Complications Trial Research Group. The effect of intensivediabetes therapy on the development and progression of neuropathy. Ann Intern Med. 1995;122:561-568.

Anda mungkin juga menyukai