Anda di halaman 1dari 3

Statement Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Kehadiran Presiden SBY di Forum G20 Akan Sia-Sia Jika

Hanya Menghasilkan Utang Baru dan Tidak Mampu Memperjuangkan Kepentingan Rakyat Indonesia Pada tanggal 3-4 November 2011 akan berlangsung Pertemuan Tingkat Tinggi G20 di Cannes, Perancis. Pertemuan ini akan membahas sejumlah persoalan global terkait dengan krisis ekonomi global dan tata arsitektur keuangan global yang legitimasinya terguncang seiring dengan kegagalannya mengatasi krisis ekonomi global. Agend G20 dibawah kepemimpinan Perancis memang mengedepankan langkah-langkah untuk mengatasi krisis global yang berkepanjangann dengan reformasi sistem keuangan global, memperkuat regulasi keuangan, mengatasi gejolak harga pangan, mendorong penciptaan lapangan kerja, melawan korupsi dan memperkuat agenda pembangunan. Meski demikian, negara-negara maju dalam G20 mencoba untuk mengarahkan agar prioritas pembahasan di G20 pada penyelesaian krisis finansial yang mendera Yunani, Spanyol dan diperkirakan berimbas pada negara-negara Eropa. Dengan situasi tersebut tampaknya G20 hanya akan dimanfaatkan oleh negara-negara maju (terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat) untuk penyelamatan keterpurukan mereka dari kebangkrutan ekonomi. Pada sisi yang lain, G20 abai pada kepentingan mayoritas masyarakat dunia yang makin miskin dan terpuruk oleh sistem ekonomi global yang terbukti gagal menyejahterakan warga dunia. Pertemuan tingkat tinggi Negara-negara G20 kali ini, berlangsung di tengah krisis ekonomi yang melanda Eropa. Krisis yang berawal dari menumpuknya beban utang pemerintah, telah menjadi krisis ekonomi yang sangat dalam. Salah satu upaya G20 dalam menjag keberlangsungan tata ekonomi adalah dengan melakukan konsolidasi fiscal yang bertujuan untuk menjaga daya tahan keuangan Negara dari terpaan krisis berikutnya. Walau G20 disebut-sebut sebagai forum ekonomi dunia yang paling berpengaruh menggantikan G8 yang telah kehilangan legitimasinya, namun komitmen-komitmen yang dihasilkannya tetap mengacu pada skema ekonomi global yang mendewadewakan liberalisasi pasar dan sektor keuangan, tetap mengakomodasi kehadiran lembaga keuangan internasional dan mengucurkan utang-utang baru untuk penanggulangan kemiskinan. Usulan-usulan alternatif yang didesakkan pengelompokan negara non G7 di G20 yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China and South Africa) belum mampu mendobrak dominasi kekuatan ekonomi global yang bersikukuh mengedepankan jalan penyelesaian ala Washington Consensus. Kesepakatan-kesepakatan yang diputuskan dalam G20 cenderung menguntungkan negara-negara anggota G7 dan menutup kesempatan negara berkembang lain untuk merumuskan sendiri kebijakan ekonominya guna mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyatnya. Situasi tersebut dipastikan tidak banyak perubahan yang bisa diharapkan dari perundingan G20 yang akan di gelar di Canes, Perancis pada 3-4 November 2011 yang akan datang. Tidak ada terobosan-terobosan kebijakan yang bisa memberikan harapan baru bagi masyarakat dunia dan negara-negara miskin di dunia untuk mempersiapkan diri menghadapi efek domino krisis financial yang melanda Amerika Serikat dan Eropa.

Dalam sistem ekonomi dunia yang terglobalisasi, mitigasi krisis keuangan global sebagai agenda utama dari rangkaian perundingan G20 hanya akan berhasil jika G20 dapat memberikan dukungan dan ruang yang demokratis serta kemerdekaan bagi negara-negara di dunia untuk menerapkan sistem ekonomi yang memihak pada kepentingan nasionalnya sendiri namun tetap memperoleh manfaat maksimal dari berbagai kemajuan global. Sejumlah kebijakan ekonomi nasional yang diadpsi dari keputusan G20, memperparah ketidak adilan jender yang terjadi di Indonesia. Kebijakan Liberalisasi perdagangan pangan dan privatisasi layanan publik menambah beban kerja dan memperburuk derajat kesehatan perempuan dan anak, serta melanggar prinsip equal opportunity bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan (persamaan kesempatan) untuk menikmati hak sipil politik dan hak ekonom sosial budaya. Salah satu langkah konkrit privatisasi layanan publik yang telah dijalankan di Indonesia adalah privatisasi sumber daya air. Walau Bank Dunia dan Asian Development Bank selalu menempatkan Indonesia dalam posisi of the track untuk target air bersih dan sanitasi dalam pencapaian MDGs namun solusi privatisasi dan pembiayaan melalui mekanisme privat-public-partnership yang disodorkan lembagalembaga keuangan internasional makin menjauhkan rakyat miskin dari akses terhadap hak atas air bersih dan sanitasi. Walau secara ekonomi, posisi Indonesia berada sebagai negara berkembang (negara dengan pendapatan menengah) namun selamamenjadi anggota G20 tidak pernah secara serius memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang, termasuk kepentingan nasional. Secara pragmatis, Indonesia bahkan memanfaatkan forum G20 ini untuk negosiasi utang baru, dengan mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan ataupun penanganan perubahan klim. Ironisnya, walau di pertemuan tingkat menteri keuangan G20 2 tahun terakhir ini merekomendasikan pengurangan stok utang pemerintah namun pemerintah RI tetap bersikukuh menambah utang baru dengan dalih rasio utang Indonesia masih masuk kategori aman. Indonesia juga cenderung memanfaatkan posisi keanggotaan di G20 sebagai alat pencitraan. Kebanggaan Indonesia sebagai Chair Working Group on Development Agenda dan Co Chair Working Group on Anti-Corruption tidak tercermin dalam kegigihan memperjuangkan agenda tersebut baik di level kebijakan nasional maupun dalam arena perundingan di G20 dan forum-forum internasional lainnya. Dalam agenda pembangunan, Indonesia terlihat setengah hati memenuhi komitmen global penanggulangan kemiskinan Millennium Development Goal. Dalam hal ini Indonesia lebih memprioritaskan agenda ambisius Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang ternyata sama sekali tidak mengintegrasikan Road Map Percepatan Pencapaian MDGs Indonesia. Oleh karena itu tidaklah mengherankan langkah Indonesia mencapai MDGs terasa sangat berat. Bahkan menurut Human Development Report 2011 yang diluncurkan hari ini, HDI Indonesia merosot drastis dari 109 (posisi tahun 2010) menjadi 124 (posisi tahun 2011). Daam forum G20 ini, Presiden SBY akan berbicara mengenai pembangunan negara berkembang dan akan mempromosikan PNPM sebagai best practises pembangunan negara berkembang. Bagi kami itu adalah ironi. Berdasarkan kajian kritis terhadap

proyek PNPM, ditemukan banyak soal pada PNPM. PNPM adalah program penanggulangan kemiskinan yang salah satu sumber pembiayaannya dari utang. Berbagai studi yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil menunjukkan sebagian besar pembiayaan PNPM khusus PNPM pedesaan digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan desa dan irigasi desa, minim sekali aspek pemberdayaan masyarakat. PNPM juga menciptakan lembaga-lembaga baru seperti lembaga Simpan Pinjam Perempuan di tengah organisasi yang telah dibangun atas prakarsa mandiri masyarakat. Pembentukan lembaga baru ini telah menghancurkan lembaga-lembaga yang sudah ada. PNPM juga menimbulkan konflik di masyarakat akibat tidak tepat sasaran karena sebagian besar penerima program bukan masyarakat miskin tetapi malah elit desa. Nyata sekali PNPM tidak memiliki signifikansi bagi pembangunan di Indonesia, malah menjadi beban karena tumpukan utang yang harus ditanggung rakyat. PNPM juga contoh model pembangunan yang bukan lahir dari inisiatif warga melainkan lahir dari inisiatif donor yaitu Bank Dunia. PNPM dalam perencanaannya tidak menjadi satu dari sistem perencanaan pembangunan yang sudah ada yaitu Musrembang. PNPM malah membangun sistem perencanaan sendiri. Dalam soal pemberantasan korupsi, hasilnya lebih marak lagi. Hari-hari ini kita masih terus disuguhi berita korupsi politik yang kian menggurita di tiga pilar pemerintahan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berbagai lembaga pemeringkat korupsi masih menempatkan Indonesia sebagai juara dalam korupsi. Hal lain yang harusnya bisa diperjuangkan dalam arena diplomasi G20 adalah agenda penghapusan hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia di Saudi Arabia dan China. Saudi Arabia dan China adalah anggota G20 dimana ada banyak buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati. Mengapa membawa kasus hukuman mati di G20? Untuk diketahui bahwa pada pertemuan pendahuluan G20 di Perancis pada akhir bulan Juni 2011, Perancis sebagai Ketua G20 secara resmi menyampaikan protes kepada Saudi Arabia atas eksekusi pancung terhadap Ruyati. Dari sikap ini jelas terlihat bahwa kepemimpinan Perancis di G20 bisa dimanfaatkan Indonesia untuk upaya pembebasan buruh miran Indonesia yang terancam hukuman mati. Atas situasi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi menyatakan sikap bahwa kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di forum G20 akan siasia jika tidak mampu memperjuangkan agenda kepentingan bangsa Indonesia dan negara berkembang di Forum G20. Keanggotaan di G20 hanya menambah masalah dan musibah bagi rakyat Indonesia jika tetap berpedoman pada agenda ekonomi global yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Jakarta, 2 november 2011 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi
INFID-Koalisi Perempuan Indonesia-KAPAL Perempuan-MigrantCARE-ICW-KruHA-YAKKUM-ELSAM

Anda mungkin juga menyukai