Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN A.

Pendahuluan Alquran is always one step ahead of science, Alquran selalu selangkah di depan penemuan-penemuan sains modern masa kini. Setiap kali ada penemuan hebat pada setiap abad, ternyata Alquran sudah menjelaskannya terlebih dahulu. Di dalam Alquran banyak berisi tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sains, baik yang tersurat secara jelas maupun yang tersamar di dalamnya. Begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dengan menggunakan akalnya sehingga mencapai kesimpulan bahwa di balik keteraturan alam semesta terdapat AlKhaliq, Tuhan sang Maha Pencipta segala sesuatu, yaitu Allah Swt. Hal ini dapat kita perhatikan dari firman-firman Allah Swt sebagai berikut:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran (3) : 190)

Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagiorang-orang yang bertakwa. (QS Yunus (10) : 6)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS. Al Baqarah (2) : 164) Ide atau gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Islam dan menjadi wacana di kalangan intelektual muslim, sebagai hasil dari kritik sarjana muslim terhadap sifat dan waktu ilmu-ilmu alam dan sosial yang bebas nilai. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) mutlak diperlukan. Selain untuk mengejar ketertinggalan Ummat Islam, juga sebagai jawaban terhadap kritik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang selama ini telah bebas nilai dan terlepas dari akar transcendental.

BAB II 2

PEMBAHASAN
A. Pengertian Islamisasi

Kata Islamisasi berasal dari kata "Islam", yang di dalam bahasa Arab berasal dari kata "salam" yang berarti "pasrah, damai dan selamat". Sedangkan jika Islam ditinjau sebagai sebuah agama, ia memiki pengertian sebagaimana berikut: a. Islam merupakan sebuah ajaran agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad antara tahun 610-632, merupakan wahyu terakhir sebelum berakhir kehidupan dunia. b. Islam merupakan agama universal. Sementara kata islamisasi adalah kata benda dari "mengislamkan", sehingga dapat dipahami kata islamisasi adalah "pengislaman" atau upaya mengislamkan. Dari pengertian-pengertian di atas maka kata islamisasi dapat diartikan sebagai upaya mengislamkan, yang dimaksud adalah menyerahkan, menyelamatkan dan mendamaikan. Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan kuat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa Science without Religion is blind, and Religion without science is lame, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguhsungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Alquran merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-prinsip Alquran. Kata Islamisasi dapat dipahami dengan beberapa catatan. Pertama, unsur Islam dalam islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-quran dan hadits. Tetapi sebaiknya dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental islam. Seperti kepercayaan kepada yang gaib, malaikat, 3

Tuhan dan juga wahyu. Adapun rujukannya disamping Al-quran dan hadits bisa saja berasal dari sumber yang bermacam-macam, seperti Yunani, Persia, India, pada masa lalu bahkan Barat pada masa sekarang. Kedua, Islamisasi tidak semata-mata berupa pembelaan sains dengan ayat Al-quran atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level Epistemologi. Terakhir, Islamisasi didasarkan pada asumsi bahwa ilmu tidak pernah sama sekali terbebas dari nilai.
B. Model islamisasi ilmu pengetahuan

Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi islam, dan model neo-modernisme. a. Purifikasi Purifikasi yaitu pembersihan atau pensucian. Dalam arti, Islamisasi pengetahun berusaha menyelenggarakan pengkudusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma islam. Model ini berasumsi bahwa dapat dilihat dari dimensi normatif-teologis. Doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada umatnya untuk memasuki Islam secara khaffah sebagai lawan dari ber-Islam secara parsial. b. Modernisasi Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunatullah. Sunatullah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam. Sehingga untuk menjadi modern, umat Islam harus memahami lebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam, yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu, modern berarti ilmiah dan rasional. Untuk sampai pada pemahaman tersebut diperlukan proses secara bertahap. Jadi, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Dari sini, makna islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisasi Islam adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Model modernisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam dimasa kini, yang disebabkan oleh kepicikan 4

berfikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya. Sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengatahuan agama islam tertinggal jauh dibelakang non-muslim. Karena itu, model modernisasi Islam ini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial dan perkembangan iptek, serta melakukan liberalisasi penanganan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.
c. Model neo-modernisme

Model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilainilai mendasar yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Adapun jargon yang sering dikumandangkan adalah memelihara kebaikan di masa lalu dan mengambil kebaikan yang baru. Landasan metodologis Islamisasi pengetahuan model ini adalah sebagai berikut: pertama, persoalan-persoalan kontemporer umat Islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-quran. Kedua, bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer, maka harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat Al-quran yang menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. Ketiga, melalui telaah historis akan terungkap pesan moral Al-quran yang sebenarnya, yang merupakan etika sosial Al-quran. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks umat Islam. Dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang bersifat evaluatif dan legitimatif. Sehingga memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi. Dari pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga

umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat. Usaha menuju integrasi ilmu sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-9 meskipun mengalami pasang-surut. Pada awal abad ke-19, menyadari bahaya dan ancaman peradaban Barat, tetapi dalam usaha reformasi pendidikan dan pemikiran Islam berupaya memadukan sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dengan jalan mencangkokan kedua sistem yang mengandung landasan nilai berbeda, sehingga justru menciptakan dikotomi-dikotomi, baik dalam sistem pendidikan islam maupun pengetahuan. Dikotomi keilmuan merupakan salah satu penyebab dari kemunduran suatu bangsa, masa ini dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Kondisi ini juga merupakan imbas dari kelesuan bidang politik dan budaya. Umat Islam saat ini cenderung bernostalgia dengan masa kejayaannya di abad pertengahan, sehingga lupa dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Penyebab lain terjadinya dikotomi keilmuan dikarenakan adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam. Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Karena itu, buadya barat mendominasi budaya setempat yang telah dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu umum telah menggantikan ilmu-ilmu islam. Budaya Barat yang diterima secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya sangat membahayakan. Sebab, mereka yang menganut pandangan tersebut berkeyakinan bahwa kemajuanlah yang penting, bukan agama. Oleh karena itu, kajian agama dibatasi bidangnya. Ilmu agama hanya membicarakan hubungan individu dengan Tuhan, yang merupakan urusan ilmu umum. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak negatif terhadap kemajuan Islam. Paling tidak ada empat dampak negatif dari dikotomi ilmu umum dan agama:
1. Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam.

Lembaga semacam pesantren mencitrakan dirinya sebagai lembaga yang bercorak tafaqqahu fiddin (hanya urusan ibadah saja), yang menganggap persoalan muamalah bukan garapan mereka.
2. Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dengan

ajaran Islam.Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan 6

dikotomis yang memisahkan ilmu agama dan ilmu umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri yang bersifat integral, dimana Islam mengajarkan keharusan adanya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat.
3. Ketiga, terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana sistem

agama dam umum tetap bersikukuh mempertahankan kemandiriannya. Meski modernisasi telah diusahakan, tetapi karena adanya hegemoni sistem umum atas sistem agama, maka tetap memunculkan dikotomi sistem dan keilmuan.
4. Keempat, munculnya inferioritas pengelola pendidikan Islam. Hal ini

disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolak ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita. Kemajuan sains dan teknologi Barat telah berpengaruh pada Negaranegara Islam yang masih terbelakang di hampir semua aspek kehidupan. Ada tiga sikap ilmuan muslim dalam merespon sains dan teknologi Barat.
1. Pertama,

kelompok

Muslim

apologetik,

yaitu

mereka

yang

menyatakan bahwa sains modern bersifat universal dan netral, lalu mereka mencari legitimasi dengan mencari ayat-ayat Al-quran yang sesuai dengan teori sains modern.
2. Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi

berusaha juga mempelajari filsafatnya agar dapat menyaring elemenelemen yang tidak Islami.
3. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam, dan berusaha

membangunnya, sikap yang ketiga ini dapat dibenarkan secara historis pada masa kejayaan Islam.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan dari pembahasan diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sangatlah penting melihat dari keadaan umat Islam yang hanya menjadi penonton bagi kehancuran dunia ini. Karena para ilmuan bukan Islam ini hanya akan membawa kehancuran bagi ciptaan-ciptaan Allah swt. Hal-hal yang perlu dan harus dilakukan adalah:
1. Generalisai pemahaman konsep aqidah Islam pada seluruh institusi

pendidikan khususnya institusi pendidikan muslim yang ada di Indonesia. 2. Human Resouces Development atau pengembangan sumber daya manusia khususnya bagi pendidik atau tutor. 8

3. Sosialisasi konsep aqidah Islam pada seluruh aspek kehidupan baik latar

belakang pendidikan maupun non pendidikan.


4. Praktek kerja sebagai terapan dari pemahaman konsep aqidah Islam bagi

anak didik secara global baik nasional maupun internasional.


5. Evaluasi diri atau feedback sebagai aktualisasi diri dari pemahaman

konsep aqidah Islam tersebut diatas (Islamisasi secara keseluruhan).

DAFTAR PUSTAKA Kartanegara, Mulyadhi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan Media Utama, Bandung. Bahtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nata, Abuddin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, UIN Jakarta Press, Jakarta. Http://Michailhuda.Multiplay.Com/Journal/Item/157/Islamisasi_Ilmu_Pengetahua n_Posisi_Lembaga_Pendidikan_Tinggi_Islam_Di_Indonesia.

Http://Www.Inpasonline.Com/Index.Php? Option=Com_Content&View=Article&Id=401.Kebutuhan_Mendesak_Terhadap_ Islamisasi_Ilmu_Pengetahuan

10

Anda mungkin juga menyukai