Anda di halaman 1dari 13

PENSTEREOTIPAN RASIAL/ETNIK DAN MEDIA

Dana E. Mastro -

Stereotip merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses kognitif manusia (Operario dan Fiske,2003). Menurut Hamilton (1994) berbagai kemungkinan muncul menjadi penyebab mengapa hal ini menjadi sebuah kasus, hal yang paling mengemuka bahwa stereotip merupakan mata rantai proses yang berhubungan dalam mengolah kognitif pesan atas kapasitas pikiran, peningkatan diri dan yang lebih umum melakukan sejumlah besar fungsi lingkungan. Media memiliki peran dalam proses stereotip yang terjadi. Gambaran media diasumsikan dapat mengkontruksi dan memelihara stereotip yang terjadi termasuk yang menyinggung ras dan etnik. Bagaimana pun hampir tidak ada penelitian empiris yang dapat menyatakan dan menetapkan hal tersebut. Sebagai gantinya pengamatan dilakukan tentang kekuatan efek media berdasarkan

penggunaan media. Maka untuk mengetahui secara kritis efek media berdasarkan pengunaan media harus dilihat berbagai hal seperti (a) Formasi dan representasi kognitif tentang stereotip (b) pengaktifan representasi ini (c) aplikasi di dalam dan di luar lingkungan media.

KONSEP STEREOTIP DAN MEDIA


Stereotip adalah sebuah pandangan atau cara pandang terhadap suatu kelompok sosial dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Dalam perkembangannya media memiliki peranan memberikan informasi dan menyebarkan stereotip sehingga akan terjadi kecendrungan penyesuaian informasi yang terjadi dalam pola pikir kita agar apa yang kita pikirkan sesuai dengan informasi yang ada. hal ini merupakan bentukan stereotip. Stereotip ditandai ketika munculnya kepercayaan, harapan dan satu pemikiran yang dipegang tentang bagaimana menggolongkan suatu masyarakat kemudian informasi yang muncul memiliki pengaruh dan pertimbangan terhadap prilaku suatu kelompok dan anggota kelompok tersebut (Hamilton& Sherman, 1994).

Perkembangan teknologi saat ini dapat meningkatkan pemahaman dan berimplikasi pada proses pembentukan pemikiran yang kemudian membentuk stereotip. Pesan media yang dikonsumsi kemudian membentuk stereotip tentang ras dan etnik.

Formasi dan Gambaran Stereotip


Stereotip merupakan suatu cara bagaimana individu memahami dan memandang kelompok yang berbeda. Pengetahuan tentang kelompok dan anggota kelompok dapat diwakili oleh pemikiran yang dihubungan dengan suatu corak, atribut, kepercayaan, perilaku, ciri, nilai-nilai, tempat, objek dan banyak hal lainnya. Hal tersebut bergantung pada partikular di daerah tertentu (Hamilton & Sherman, 1994). Pemikiran tersebut kemudian disamaratakan dan digunakan menjadi sebuah dasar untuk pertimbangan sosial. Hal ini muncul dari proses sosialisasi dalam memahami konteks tertentu. Lebih dari itu media memiliki kemampuan lebih untuk menghasilkan dan membentuk stuktur pemikiran ketika konsumen dalam dunia nyata memiliki pengalaman dengan kelompok lain yang menjadi target yang terbatas dari pemikiran tersebut (Hawkins & Pingree,1990). Pertanyaan yang kemudian muncul kapan dan mengapa kekuatan stereotip dibentuk berdasarkan ekpose media. Konten media dalam semua bentuk baik berita, hiburan dan iklan terkait dengan stereotip. Stereotip tidak bisa tidak merupakan alat untuk mengkonstruksi realititas untuk kemudian disebarkan kepada audiensnya. Hal ini dikarenakan stereotip merupakan alat bagi individu untuk memahami lingkungan sekitar dan pada saat yang sama media merupakan jendela bagi individu untuk melihat dunia luar dengan demikian media merupakan institusi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi simbol dan image untuk kemudian aspek lain. Media dapat mendorong kearah pemebntukan stereotip tentang ras dan etnik. Secara umum framing pada kontents media dapat membentuk konsep kenyataan dengan menempatkan perhatian pada isu atau topik tertentu dengan demikian hal ini dapat meningkatkan proses peluasan informasi menjadi suatu perspektif yang makro. Semakin konsumen/audien suatu media memperhatikan dan mempercayai apa yang ada di media semakin kuat persepsi mereka tentang kenyataan yang disebarkan oleh media tersebut. Pesan yang terkandung dalam media baik secara eksplisit maupun secara emplisit baik berupa tulisan maupun gambar dapat mengembangkan pemikiran dan menjadi pertimbangan terhadap kelompok yang berbeda bagi audiens yang mengkonsumsi media tersebut. Termasuk didalamnya prilaku yang berdasrakan pada norma, ciri, nilai-nilai, sikap, komposisi demografis.

Gambaran ini kemudian meletakan kelompok yang berbeda ras serta etnik menjadi mengikat ke corak seperti pandangan terhadap fisik dan status berdasarkan fungsi dan posisi sosial suatu masyarakat yang kemudian merubah status masyarakat tersebut. Sebagai contoh hasil analisa mengungkapkan bahwa isi berita televisi di Amerika Serikat selalu menghubungkan orang kulit hitam Amerika dengan aktifitas kejahatan dan memberikan gambaran bahwa kelompok ini sebagai ancaman. Lebih dari itu jika terjadi penanganan kejahatan maka televisi meneyangkan secara langsung bahwa pelaku adalah orang kulit hitam sedangkan petugas adalah kulit putih. Namun hal ini kembali dapat kemudian di stabilkan jika kita lihat bagaimana media mengemas program dengan corak yang dapat dipisahkan seperti Komedi Situasi Vs Drama Kriminal Vs Berita dan kemudian dapat dikenali bagaimana pengaruh program tersebut terhadap masyarakat (Armstrong, Neuendorf,& Brentar,1992). Situasi stabil sebagai pengaruh dari tayangan media dapat diperlihatkan melalui program sitkom yang kemudian mengubah cara pandang yang lebih baik terhadap orang kulit hita di Amerika. Fujioka menaksirkan pengaruh konsumsi media pada pengembangan stereotip. Penelitianpenetian yang dilakukan secara konsisten menunjukan bahwa posistif atau negatif pengaruh yang timbul bergantung pada bagaimana cara penyajian. Bagaimanapun semua corak media yang menayangkan dan memberitakan tentang perbedaan antara kelompok ras atau etnik dapat membangun pondasi yang lebih kuat bagi kelompok minoritas yang rasial yang kemudian diwakili oleh media. Isi penelitian secara analitik dapat menyediakan suatu jawaban pertentangan dalam karakteristik yang dapat menimbulkan pembentukan stereotip.

Gambaran Media Terhadap Ras dan Etnik


Penelitian secara analitis memusatkan pemikiran pada bagaimana menggambaran ras dan etnik di media melalui tayangan televisi termasuk program iklan dan berita. Gambaran gabungan karakteristik ras dan etnik dapat diperlihatkan di dalamnya. Apa yang kemudian direpresentasikan dalam penelitian ini bahwa orang kulit hitam dan kulit putih kemudian dipertemukan sebagai bagian dari populasi masyarakat Amerika. Berbeda kasus dengan Asia Amerika, Latin Amerika, atau orang Amerika Asli yang dapat dilihat secara proporsional dalam tayangan media sebagai warga Amerika. Bagaimanapun juga kualitas penggambaran merupakan kritik bagi berjalannya pesan dalam proses komunikasi tentang ras dan etnik dalam media tentang karakteristik yang berasal dari kelompok tertentu.

Melalui banyak data yang menjelaskan tentang karakteristik sebuah kelompok ras atau etnik dalam media dan bagaimana penggambarantersebut dapat membentuk pemikiran audien dan kemudian dapat membangun stereotip. Stereotip menetapkan makna yang diberikan kepada kelompok-kelompok. Misalnya gambaran orang kulit hitam dalam dunia nyata. Gambaran memproduksi pengetahuan bagaimana kita melihatnya direpresentasikan sehingga perjuangan untuk membuka praktik stereotip adalah sebuah perjuangan untuk meningkatkan perbedaan, yang kemudian akan semakin memperlihatkan identitas yang memungkinkan dari orang orang yang belum direpresentasikan sebelumnya.

AKTIVASI STEREOTIP
Mayoritas penelitian yang menguji efek terpaan gambaran media terhadap stereotip rasial/etnis pada audiens telah menggunakan pendekatan priming. Dalam konteks ini, priming merujuk pada proses dimana informasi digerakkan oleh konsumsi media, digunakan untuk mengintepretasikan pesan yang masuk dan mengarahkan penilaian berikutnya.(Roskos-Ewoldsen, Dillman Carpentier, 2002). Priming juga memudahkan terpeliharanya stereotip dengan menghalangi akses terhadap gagasan pengganti dan menentukan bagaimana individu menyimpan informasi untuk menggunakannya kemudian. (Hilton & von Hippel, 1996). Secara sadar maupun tidak sadar sekalinya terpicu oleh terpaan media, gagasan stereotip menjadi yang menentukan dan yang membenarkan diri. Bahkan terpaan yang tunggal baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat mempengaruhi penilaian rasial/etnis dunia nyata, mendorong respon-respon afektif yang negative terhadap kaum minoritas, dan mengarahkan perilaku dalam kelompok dan hasil. Penelitian eksperimen yang dilakukan selama lebih dari satu dekade ini memberikan bukti untuk pernyataanpernyataan ini.

Priming Crime
Ketika mengingat bahwa gambaran ras selalu tidak baik dan tidak proporsinoal ketika dihubungkan dengan kejahatan/kriminal dan penyimpangan, hal ini menjadi tepat bahwa bagian terpenting dari penelitian priming berfokus pada hasil-hasil hubungan kriminal. Peffley, Shields, dan Williams (1996) menguji tingkatan dimana terpaan pada jangkauan berita yang meliputi ras dan kriminal dipengaruhi penilaian berdasar ras. Hasil tersebut mengungkapkan bahwa setelah terterpa

secara singkat, responden kulit putih (terutama mereka yang mendukung stereotip negatif tentang warga keturunan Amerika-Afrika) menilai seorang warga keturunan Amerika-Afrika (lawan warga kulit putih) dengan mencurigai secara lebih tidak baik dalam hal penentuan kesalahan, alokasi hukuman penjara, dan penilaian mengenai kemungkinan besar untuk mengulangi perilaku. Demikian juga, Johnson, Adams, Hall dan Ashburn (1997) menguji peranan terpaan terhadap informasi media yang kasar dalam menilai warga keturunan Amerika-Afrika. Hasilnya menunjukkan bahwa priming merasialkan penggambaran terhadap kriminal dihasilkan lebih pada penilaian disposisional (ketika orang yang dicurigai merupakan warga keturunan Amerika-Afrika) dan lebih bersifat situasional (ketika orang yang dicurigai adalah warga kulit putih). Hasil yang sama berkembang pada kajian mengenai respon prasangka yang lebih bersifat terbuka dan terang-terangan. Temuan-temuan dari Oliver, Jackson, Moses, dan Dangerfield (2004), seperti halnya dengan Dixon dan Maddox (2005), memberi kesan bahwa kriminalitas secara stereotip dan secara salah kaprah dihubungkan pada atribut fisik yang jelas dari warga keturunan Amerika-Afrika, seperti warna kulit, dan tampilan yang berkaitan dengan orang Afrika. Data Oliver (2004) membangun sebuah hubungan antara terpaan pada berita kriminal dan kesalahan persepsi mengenai sifat Afrosentris dari penggambaran individu dalam media. Hasilnya mengungkapkan bahwa atribut-atribut ini dianggap lebih nyata ketika penonton diarahkan pada cerita kriminal yang keji (berlawanan dengan cerita non-stereotip dan stereotip non-kriminal). Selanjutnya, data dari Dixon dan Maddoz (2005) menindikasikan bahwa terpaan pada pelaku (tindak kriminal) warga keturunan Amerika-Afrika yang berkulit lebih gelap (dibandingkan dengan warga kulit putih) menghasilkan keprihatinan dan rasa kasihan yang lebih pada korban. Temuan-temuan ini secara sederhana membentuk bahwa terpaan pada konten media yang mengkarakterkan kaum minoritas sebagai bagian dari kriminal memiliki efek yang berbahaya pada penilaian berdasar ras.

Priming dan Penilaian Sosial


Ketika abstraksi dihubungkan dengan pengkarakteristikkan luar-kelompok yang tidak diinginkan (atau pengkarakteristikkan dalam-kelompok yang diinginkan) baik dalam pesan yang termediasi maupun dunia-nyata, stereotip luar-kelompok terkirimkan secara rumit karena pernyataan yang abstrak dirasakan sebagai seseorang/kelompok tertentu, disposisional dan stabil (Gorham, 2006; Maass, Cornivo, & Arcuri, 1994; Maass, Salvi, Arcuri, & Semin, 1989).

Asosiasi berdasar stereotip yang lebih implisit juga dapat terlihat dalam pengidentifikasian yang salah terhadap individu-individu sasaran yang serupa dengan racial profiling (semacam prasangka yang diarahkan pada ras tertentu karena seolah mereka berbuat kriminal) (Oliver & Fonash, 2002). Kajian ini telah ditunjukkan secara berulang bahwa mengaktifkan/menghidupkan topik-topik yang mengkodekan ras bukan hanya mengarahkan respon dalam sikap konsisten dengan hal utama yang spesifik (contohnya: kriminal) namun juga mengarahkan penilaian sepanjang tema rasial/etnis (Gilliam, 1999; Valentino, 1999). Contohnya, Pengujian Valentino (1999) mengenai efek terpaan pada kriminal dalam berita televisi pada evaluasi kandidat presiden diungkapkan bahwa dukungan pada kandidat presiden partai Demokrat menjadi rendah ketika penggambaran dalam berita mengangkat kaum minoritas, sedangkan dukungan kandidat partai Republik menjadi begitu tinggi, walaupun faktanya bahwa konten berita tidak berkaitan dengan para kandidat. Valentino membuktikan bahwa hasil ini merupakan ilustrasi dari pengaktifan persepsi yang ada bahwa partai Demokrat lunak pada kriminalitas dan mengakibatkan evaluasi yang tidak tepat. mendukung kaum minoritas, dengan demikian

Priming Hasil-Hasil yang Prososial


Walaupun porsi yang lebih besar dari penelitian priming telah berfokus pada pengidentifikasian secara potensial efek yang berbahaya mengenai terpaan pada stereotip media, hal ini tidak mengungkapkan bahwa hasil yang lebih bermanfaat adalah hal yang tidak mungkin. Faktanya, Bodenhausen, Schwarz, Bless, dan Wanke (1995) seperti Power, Murphy, dan Coover (1996) menunjukkan bahwa terpaan pada counter-stereotype yang positif dalam media dapat memproduksi penilaian-penilaian berdasar ras yang bersifat membangun dan berbelas kasih. Bodenhausen dan yang lainnya menguji efek dari terpaan pada media warga keturunan AmerikaAfrika yang terkenal pada sikap rasial orang kulit putih. Data mereka menunjukkan bahwa melihat contoh media yang positif tidak hanya menhasilkan sikap yang lebih baik ke arah luar-kelompok ras namun juga meyakinkan respon yang lebih simpatik ke arah diskrimasi sebagai sebuah masalah sosial. Studi Power dkk (1996) menawarkan hasil yang dapat dibandingkan, mengungkapkan bahwa terpaan counter-stereotype yang positif mengenai warga keturunan Amerika-Afrika dalam berita menghasilkan evaluasi yang lebih baik mengenai warga keturunan Amerika-Afrika di antara audiens warga kulit putih (dibandingkan dengan sebuah kondisi kontrol). Meskipun nilai dan kontribusi dari temuan-temuan ranah ini, priming sendiri hanya sebuah bagian dari hubungan antara media dan stereotip. Apa yang harus juga diuji adalah pada tingkat

mana pesan media juga mendukung pemrosesan berdasar kelompok pada hasil antar kelompok seperti menyukai salah satu kelompok daripada kelompok-kelompok yang lain dan menggunakan perbandingan kelompok ini untuk menjaga dan memperkuat konsep-diri dan harga-diri.

STEREOTIP DAN PROSES-PROSES ANTARKELOMPOK


Pada intinya, stereotip adalah sebuah isu tentang dinamika antarkelompok. Para peneliti akhir-akhir ini baru saja mengaplikasikan asumsi-asumsi dari teori-teori antarkelompok pada fenomena yang berhubungan dengan media dan stereotip. Yang paling terkenal dalam area penyelidikan ini adalah penelitian yang menggunakan teori identitas sosial (Tajfel & Turner, 1986) dan teori self-categorization (kategorisasi diri) (Turner, 1987). Teori-teori ini menyarankan bahwa konsep diri setiap individu sebagian berasal dari keanggotaan kelompok mereka. Karena kelompokkelompok ini memainkan peran penting dalam evaluasi diri (bervariasi berdasarkan kepentingan keanggotaan kelompok tertentu), individu-individu menggunakan perbandingan yang didasari kelompok untuk menyajikan keuntungan komparatif bagi kelompok mereka sendiri. Karena itu, teori identitas sosial dan teori kategorisasi diri menawarkan sebuah kerangka konseptual untuk memahami bagaimana eksposur media mungkin berkontribusi dalam melakukan stereotip dan diskriminasi dengan cara mempromosikan perbandingan-perbandingan antarkelompok yang telah terbiaskan yang pada akhirnya melayani kebutuhan anggota-anggota kelompok yang dominan. Maka, asumsi-asumsi kerangka teori ini tidak boleh dianggap hanya berlaku pada sebagian besar anggota kelompok. Justru, teori-teori ini menawarkan wawasan mengenai subgrup-subgrup anggota audiens mana yang lebih memiliki kemungkinan untuk terkait dalam perilaku-perilaku kelompok dan fiturfitur konten media apa yang mungkin memprovokasi hasil-hasil ini (Harwood & Roy, 2005; Reid, Giles & Harwood, 2005).

Identitas Sosial dan Kelompok-kelompok Ras Mayoritas


Tes-tes eksperimental mengenai asumsi model-model ini pada konteks media telah memiliki dukungan yang cukup konsisten dalam aplikasinya pada eksposur kelompok mayoritas (contohnya ras kulit putih) pada representasi kelompok minoritas. Di antara kaum kulit putih, eksposur pada representasi-representasi media yang bersifat stereotip mengenai ras atau etnis dianggap mendorong perbandingan-perbandingan sosial berdasarkan ras, yang menguntungkan kelompoknya

dan melayani kebutuhan identitas mereka, khususnya di antara konsumen yang identifikasi rasialnya tinggi (Mastro, 2003). Melihat karakterisasi yang kurang baik mengenai kaum minoritas di media memancing respon-respon negatif dan stereotip di antara konsumen kulit putih (khususnya kulit putih dengan identifikasi ras tinggi) yang pada akhirnya mendorong konsep diri para penonton ini dengan cara menawarkan sebuah perbandingan yang menguntungkan kelompok mereka. Lebih jauh, saat fitur-fitur kontekstual konten media (contohnya ambiguitas pesan) mengaburkan ancaman munculnya sikap rasis, potensi adanya bias antarkelompok dapat merambah (Mastro, Behm-Morawitz, & Kopacz, 2008). Tentu saja, respon-respon stereotip terhadap konten media mungkin menjelma berdasarkan eksposur gambaran negatif secara terbuka mengenai kelompok ras atau etnis lain; namun, hasil seperti itu mungkin saja muncul lebih banyak saat konten media menawarkan proteksi dari persepsi mengenai bias rasial. Secara spesifik, bukti eksperimental secara relatif dan konsisten mejelaskan bahwa konsumen kulit putih yang secara rasial terbawa untuk merespon media, khususnya di antara mereka yang teridentifikasi tinggi dengan ras mereka, lebih tegas saat konten pesan-pesan media menawarkan ambiguitas yang cukup bagi respon untuk dianggap tidak berhubungan dengan ras. Kemampuan untuk mengistimewakan kelompok seseorang melalui perbandingan-perbandingan (yang menguntungkan kelompok tersebut) dengan sebuah kelompok luar yang termediasi sepertinya membantu pemeliharaan penghargaan. Di sepanjang rute identifikasi menuju stereotip dan diskriminasi, perspektif-perspektif berdasarkan identitas ini menyajikan wawasan ke dalam fitur-fitur konten media yang mungkin mengurangi bias-bias dan mengajukan outcome antarkelompok yang lebih baik. Penelitian ini menyarankan bahwa gambaran media mengenai ras dan etnis yang mengakomodasi identitas kaum kulit putih dan sistem-sistem nilai dominan, juga gambaran yang memicu harmoni rasial, memiliki kemungkinan untuk mendatangkan evaluasi-evaluasi terbaik mengenai kelompok luar dan mempromosikan atraksi sosial antarkelompok. Lalu, eksposur jangka panjang untuk menyerukan karakterisasi kelompok-kelompok yang kurang terwakili sepertinya mengajukan perubahanperubahan positif dalam kepercayaan mengenai sikap prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu di antara konsumen-konsumen kelompok mayoritas (Schiappa, Gregg, & Hewes, 2005).

Identitas Sosial dan Kelompok-kelompok Ras/Etnis Minoritas


Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan media berdasarkan identitas sosial berlaku tidak hanya pada kelompok mayoritas. Perspektif berdasarkan identitas ini juga dapat membantu

menjelaskan bagaimana kelompok minoritas merespon gambaran-gambaran negatif mengenai kelompok mereka dan merundingkan efek-efeknya pada diri mereka sendiri. Dalam karya Abrams dan Giles (2007) dan Fujioka (2005), yang menunjukkan bahwa kelompok minoritas dan mayoritas secara berbeda memilih, menghindari, mengolah, dan mempertahankan apa yang ditawarkan oleh mediasemua dalam usaha untuk mengatur kebutuhan identitas kelompok. Meskipun ada usaha-usaha di antara kelompok-kelomppok yang kurang terwakili untuk mengurangi efek-efek yang memiliki potensi bahaya dalam mengkonsumsi imej-imej stereotip kelompok seseorang dalam sajian media massa, penelitian menunjukkan bahwa eksposur dapat merusak konsep diri dan penghargaan. Di dalam penelitiannya yang menguji dampak eksposur maskot-maskot Warga Amerika pada konsumen-konsumen Warga Amerika, Fryberg (2003) menemukan bukti bahwa imej-imej ini (contohnya Chief Wahoo) secara negatif mempengaruhi gambaran diri dan kepercayaan para anggota audiens mengenai komunitas. Hasil yang dapat dibandingkan diperoleh dalam penelitian warga Amerika Latin (Rivadeneyra, Ward, & Gordon, 2007). Penelitian ini mengindikasikan bahwa eksposur yang meningkat pada media mainstream (termasuk TV, film, musik, dan majalah) memiliki efek merusak pada gambaran diri warga latin pada sejumlah dimensi. Pada umumnya, efek ini terlihat lebih tegas di antara konsumen yang identifikasi etnisnya tinggi dan di antara mereka yang secara aktif terkait dengan konten tersebut.

Pertimbangan Kebijakan yang Berhubungan dengan Ras


Tidak ada penelitian dalam domain media dan stereotip yang menawarkan implikasi lebih jelas daripada karya yang menguji efek-efek eksposur berita pada pembuatan keputusan dan pertimbangan kebijakan politik dalam hal efek-efek individu maupun dampak sosial yang lebih luas. Kerangka-kerangka teori yang digunakan untuk menguji hubungan-hubungan ini bervariasi. Meskipun model-model kognitif sosial (Tan et al., 2000), dan juga kerangka stereotip tradisional (Mendelberg, 1997; Pan & Kosicki, 1996), telah digunakan, penelitian-penelitian terbaru telah memanfaatkan fitur model-model berdasarkan identitas sosial (Mastro & Kopacz, 2006; Richardson, 2005). Hasil dari karya kecil ini menunjukkan bahwa preferensi kebijakan yang berhubungan dengan ras sebagian dipengaruhi oleh konsumsi media. Memang, keduanya adalah eksposur tunggal (Mendelberg, 1997; Richardson, 2005) dan penggunaan berkali-kali (Mastro &Kopacz, 2006; Pan & Kosicki 1996; Tan et al., 2000) ditemukan untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik mulai dari preferensi untuk kandidat dan partaian sampai posisi-posisi pada kebijakan seperti tindakan afirmatif.

Penelitian ini juga menunjuk pada sejumlah faktor yang berkontribusi pada proses ini. Pertama, karakteristik-karakteristik pesan-pesan media itu sendiri sangat kritis, karena konten yang kurang baik menghasilkan kebijakan yang tidak simpatik. Memang, meskipun eksposur sekaligus stereotip dalam media dapat mempromosikan keputusan politik yang bias, hubungan ini dapat dijelaskan lebih baik saat imej-imej dipahami dalam hal perwujudan (atau deviasi) norma-norma dan pemikiran dominan (Mastro & Kopacz, 2006). Terlebih lagi, pesan-pesan media konstruktif sepertinya secara tidak langsung meningkatkan dukungan pada kebijakan-kebijakan politik yang berhubungan dengan ras dengan cara melemahkan hubungan antara sikap rasial dan posisi-posisi tidak menguntungkan terhadap program seperti itu (Richardson, 2005). Kedua, atribut-atribut konsumen juga memiliki peran yang signifikan, seperti mencari media yang berorientasikan informasi (Pan & Kosicki, 1996), sama halnya dengan sikap rasial atau etnis yang ada pada konsumen (Mendelberg, 1997), masing-masing meningkatkan pengaruh negatif pesan-pesan media mengenai ras atau etnis pada keputusan kebijakan berikutnya. Meskipun ada konsistensi relatif mengenai penemuan dalam domain pertimbangan kebijakan, sejumlah pertanyaan masih tersisa, berhubungan dengan mekanisme yang mendasari proses-proses ini dan kemungkinan pada efek-efek ini. Dengan implikasi sosial yang dalam pada penelitian ini, yang akhirnya mengecewakan adalah hanya sedikit studi yang tertarik pada area ini.

KEMANA KITA AKAN DIBAWA


Media masa muncul untuk memainkan peranan yang bermakna dalam proses stereotip. Teori ini menimbulkan pemikiran bahwa realitas merupakan sebuah fungsi dari verifikasi sosial, yang dipertahankan berdasarkan proses dinamika dalam berbagi pengalaman. Karena itu, pesan media memiliki potensial untuk memainkan aturan yang signifikan dalam proses ini, keduanya

membangun dan memperluas jaringan khalayak dari anggota yang memiliki persamaan pengalaman. Nyatanya, Hardin dan Higgins berpendapat bahwa ciri dari isi media, dalam hubungannya dengan atribut khalayak, bersama-sama menciptakan versi yang umum tentang representasi etnis/ras di masyarakat US. Pesan yang berbau etnik dan ras, dibuktikan dan dilegitimasi oleh pesan itu sendiri, bergerak dari pandangan subjektif ke objektif dan menggantikan pengalaman individu. Sebagian mungkin disebabkan oleh tantangan yang melekat pada dasar penelitian ras, tetapi juga mencerminkan bahwa sifat multifaset lingkungan new media sebagian besar sudah diabaikan.

Tantangan Metodologi untuk Meneliti Ras/Etnik


Yang terpenting untuk mencatat penelitian dengan wewenang media dan stereotip ras/etnik datang dengan tantangan intrinsik. Pertama, pembatasan hubungan ras dalam dampak media dapat menjadi kesulitan kecil (namun berarti) terhadap pengaruh media kepada pengaruh social yang lain. Tentunya, penelitian psikologi sosial menekankan pentingta permainan aturan dalam keluarga, pertemanan, dan hubungan di kehidupan nyata dalam membentuk hubungan relasi-ras, kepercayaan, dan tingkah laku. Dampak media dalam proses ini berhubungan. Kesulitan terkait dengan mengukur berbasis media, hasil hubungan ras datang dari usaha partisipan untuk menghindari bias dalam merespon. Meskipun banyak faktor pelengkap untuk lingkungan penelitian yang lebih rumit, pendekatan metodologi yang inovatif dapat mengatasi beberapa tantangan. Dan pendekatan yang paling menonjol adalah Implisit Association Test (IAC). IAC berbasis program computer yang mengukur kekuatan relative dari perkumpulan abtara target (Afrika-Amerika dan wajah Kausian) dan konsep evaluative (kata positif dan negatif) menggunakan respon millisecond-sensitive laten saat melakukan tes, memasangkan, contohnya wajah dengan kata-kata. Asumsi di sini adalah kekuatan dari perkumpulan antara target dan konsep evaluative, kecepatan dua hal yang dapat dipasangkan selama komputer dicoba. Pasangan yang lebih cepat, dianggap bias menjadi indikasi yang implicit atau tingdakan otomatis terhadap kelompok itu. Oleh karena itu, kecepatan perkumpulan antara baik dan golongan kulit putih dibandingkan dengan baik dan Afrika-Amerika mengintepretasikan bias yang mendukung golongan kulit. Hasil kesadaran rasial dalam sikap ini mungkin secara potensial disebabkan oleh penelitian media untuk membuka perilaku dan kepercayaan khalayak enggan atau tidak dapat diungkapkan.

Pertimbangan Pada Lingkungan Media Baru


Hal kritis yang perlu diuji adalah luasnya ciri unik dari teknologi media baru (seperti meningkatkan interaktifitas), seperti halnya produksi yang ditingkatkan dan kesempatan konsumsi tehadap lingkungan media baru, dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan hasil rasial/etnik yang lebih prososial. Saat ini tidak jelas bahwa lingkungan tersedia oleh teknologi baru, seperti video games yang lebih menjanjikan daripada yang ditawarkan oleh media tradisional. Analisis konten dari video games yang paling banyak dibeli atau terkenal mememukan bahwa mayoritas karakter video games (65%) adalah orang berkulit putih (Glaubke, Miller, Parker & Espejo, 2001). Bagaimanapun

karakter berkulit putih ini kebanyakan merupakan tokoh protagonis dalam permainan tersebut (87%). Pada permainan yang dirancang untuk anak-anak, hanya karakter berkulit putih yang digambarkan. Kemudian dilihat maupun media baru bisa mereproduksi banyak pola stereotip dasar yang ditemukan dalam media tradisional seperti televisi. Mengabaikan batasan konten ini untuk sementara, fitur yang khas terhadap interaksi dengan teknologi media baru, seperti arus dan keberadaan (Tamborini & Skalski, 2006) sebenarnya menyarankan sebab (waspada) optimisme. Untuk mengilustrasikannya, mereka yang berada dalam kondisi arus (Csikszentmihalyi, 1990) ketika bermain video games (seperti terbenam, dalam kontrol, kurang sadar atas bagian waktu, identitas-diri sendiri menurun untuk nantinya diperkuat) mungkin, dalam kenyataannya pengalaman kondisi optimal untuk kontak parasosial positif yang dapat akhirnya meningkatkan sikap perlombaan dasar dan perilaku yang sesuai ketika menawarkan bermain video games. Hasil seperti itu akan dicapai, namun jika peneliti akan meneliti penelitian umum yang akan membantu mengutarakan ide natural, hubungan parasosial dan mendorong produser game untuk menyediakan lebih banyak perbedaan dan keutuhan dalam lingkungan video game. Aspek yang menjanjikan lain dari lingkungan media baru adalah kesempatan bagi konsumen untuk berkreasi dan menyebarkan produk media original pada website dan wadah seperti YouTube. Kesempatan ini menyarankan bahwa Internet dapat menyediakan lingkungan dimana pengguna dapat mencari image dan materi subjek yang membantu kebutuhan identitas mereka, meskipun kurang terwakili atau dalam kelompok marjinal. Tentu saja, akses memadai yang diberikan, pengguna Internet bisa mencari image dari, diskusi dari dan konten lain yang mengacu pada pemikiran yang sama pada dimensi imajinasi ketertarikan apapun. Faktanya, jika penelitian dalam pengalaman online pada remaja dalam contoh apapun, anonimitasnya dalam website mungkin meningkatkan ekspresi pada perseteruan rasial. Tynes, Reynolds dan Greenfield (2004) menganalisa komunikasi rasial atau etnik yang dimonitor dan tidak dimonitor pada chat room popular remaja. Mereka menemukan hampir semua (97%) remaja online diskusinya mengandung setidaknya satu ekspresi rasial (positif, negatif atau netral) dengan kurang lebih 59% dari remaja dalam chat room yang tidak dimonitor mengungkapkan komentar rasial yang negatif. Kemudian sejauh kelompok yang berbeda mungkin menemukan kesamaan lain dalam penawaran online yang luas, sehingga dapat menyembunyikan pandangan antagonis. Bagaimanapun juga prospeknya suram. Hal ini menegaskan kebutuhan untuk difokuskan, penelitian programatik pada efek prososial dan antisosial dalam terpaan representasi rasial atau

etnik di media massa. Yang terpenting dalam usaha adalah atensi terhebat untuk mengidentifikasi bagaimana pesan media dibuat dan membentuk strereotip konsumen tentang perbedaan kelompok rasial atau etnik. Untuk mengilustrasikannya, jika stereotip media disimpan dalam cara konsisten dengan model prototip-dasar, penstereotipan akan berdasar pada perbandingan dengan atribut kategori umum (Hilton & von Hippel, 1996;Operario & Fiske, 2003). Dengan demikian, mengstrereotipkan akan menjadi paling kuat ketika kontak pada dunia nyata kurang. Untuk mengubah stereotip dianut dengan cara tersebut, kepercayaan yang khas atau rata-rata anggota kelompok harus diubah. Pada sisi lain, jika stereotip berasal dari pesan media akan disimpan sebagai contoh, penstereotipan yang berikut harus didasarkan pada perbandingan dengan ciri kongkrit yang berhubungan dengan contoh yang baik. Konsekuensinya penstereotipan akan menjadi lebih kuat ketika perseptor tidak memiliki sikap tentang target dan ketika sejumlah contoh yang baik dari kelompok target terakses (Operario & Fiske, 2003). Dari perspektif ini, penstereotipan dapat dikurangi ketika contoh counterstereotypic-nya dihadirkan. Tentu saja setiap model struktur kognitif stereotip menawarkan wawasan pada isu ini. Penjabaran mekanisme kognitif ini membuka pintu untuk : meningkatkan efek positif dari terpaan terhadap citra yang dikonstruksi, mengurangi hasil negatif yang diasosiasikan dengan mengkonsumsi karakterisasi yang tidak baik dan merubah strereotip bersama-sama.

__________o0o__________

Anda mungkin juga menyukai