Anda di halaman 1dari 10

MENCARI INDONESIA DALAM IKLAN Catatan dari Diskusi FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia) 2005 1. PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Penulisan Makalah Pertumbuhan periklanan Indonesia berjalan seiring pertumbuhan perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tiga tahun terakhir menunjukkan gejala-gejala yang menggembirakan. Indikator ekonomi makro menjukkan angka tingkat pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Berdasarkan data BPS tahun 2005 pertumbuhan perekonomian nasional 56,72% didominasi oleh sektor usaha kecil dan menengah. Sektor UKM pada dasa warsa terakhir menunjukkan tingkat stabilisasi yang menganggumkan dibandingkan dengan sektor usaha dalam skala besar yang cenderung rentan terhadap gejolak meneter. Gejolak moneter pada awal 1997 berimbas pada tumbangnya beberapa perusahaan skala besar, sedangkan beberapa sektor industri dalam skala kecil dan menengah menunjukkan ketangguhan. Pergerakan perekonomian nasional pada prinsipnya lebih banyak didominasi oleh keberadaan sektor Usaha Kecil dan Menengah. Bidang periklanan, khususnya keberadaan industri periklanan nasional, sebagian besar bergerak pada level kecil dan menengah tersebut, terkecuali pada perusahaan periklanan multinasional. Kondisi tersebut mengisyaratkan lemahnya posisi kapital perusahaan nasional dibandingkan perusahaan asing (multinasional) sekaligus mencerminkan lemahnya kekuatan perekonomian nasional secara umum. Kondisi perekonomian nasional melemah semenjak krisis moneter tahun 1997 dan mulai menampakkan stabilisasi semenjak tahun 2000, walaupun dalam indeks pertumbuhan ekonomi nasional posisi Indonesia masih relatif lemah di kawasan Asia Tenggara. Lemahnya kemampuan finansial perusahaan periklanan disatu mencerminkan lemahnya daya saing perusahaan nasional, dan di sisi yang lain merupakan indikator lemahnya daya saing SDM periklanan nasional. Kelemahan kemampuan finansial dan daya saing SDM perusahan periklanan nasional disikapi dengan berafiliasi dengan kekuatan asing. Fenomena tersebut menarik untuk dicermati, mengingat terdapat kecenderungan meningkatkanya jumlah belanja

iklan nasional semenjak panca krisis ekonomi yang cebderung tidak sejalan dengan pertumbuhan perekonomian nasional, dan terdapat kecenderung melemahnya kualifikasi pelaku periklanan nasional yang ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah SDM periklanan yang dinilai layak kerja, sedangkan jumlah institusi atau lembaga penyedia SDM periklanan mengalami peningkatan yang signifikan. 1.2. Topik Bahasan Makalah ini bermaksud mengurai kesenjangan yang terjadi pada sektor periklanan di Indonesia. Masalah yang hendak diangkat dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara pertumbuhan perekonomian nasional dengan pertubuhan perusahaan periklanan di Indonesian serta faktor-faktor apa saja yang menimbulkan kesenjangan kualifaikasi kebutuhan tenaga periklanan nasional dengan kondisi perguruan tinggi desain di Indonesia. 1.3. Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterkaitan antara pertumbuhan perekonomian nasional dengan pertubuhan perusahaan periklanan di Indonesian dan faktor-faktor yang menimbulkan kesenjangan kualifaikasi kebutuhan tenaga periklanan nasional dan kondisi perguruan tinggi desain di Indonesia. 2. PENCITRAAN DALAM IKLAN Keberadaan iklan dalam sebuah negara dapat mencerminkan kondisi finansial negara yang bersangkutan. Perputaran kapital dalam sektor periklanan secara tidak langsung mencerminkan perputaran kapitalisasi ekonomi nasional. Fungsi iklan sebagai bagian dari sistem marketing perusahaan menunjukkan esensi periklanan yang senantiasa berangkat dari kebutuhan pemenangan kompetisi pasar. Iklan sebagaimana desain pada umumnya selalu menggunakan varibel perekonomian sebagai landasan keberhasilan terhadap proses yang tengah dijalankan.

Desain, tidak terkecuali pada desain komunikasi visual, pada umumnya berangkat dari upaya untuk meningkatkan kompetitif dalam pemasaran, menjangkau sistem ekonomi global dan meningkatkan daya kompetitif perusahaan. Desain grafis sebagaimana desain yang lain tidak selalu bermuara pada dimensi rasionalitas. Kondisi tersebut menyebabkan dimensi irasional yang disalurkan melalui pencitraan diri menjadi lebih penting. Kemampuan dalam menghadapi kompetisi dapat dipahami sebagai kemampuan mencitrakan diri atau bahkan menciptakan kamuflase yang tidak masuk akal sekalipun. Pada banyak kasus dimensi citra-citra menjadi lebih penting. Desain dapat dinilai sebagai mesin kapitalisasi yang dapat mengubah sesuatu yang remeh menjadi rumit atau sesuatu yang sederhana menjadi mengagumkan. Kemampuan mencitrakan diri tersebut senantisa dikemas dalam logika yang seakan-akan rasional. Kasus Kacang Garuda menunjukkan hal tersebut. Kacang Garuda mencitrakan diri sebagai kacang yang bebas kolesterol, walaupun pada praktiknya semua kacang tidak ada yang mengandung kolesterol. Tindakan apapun yang dilakukan desain pada hakekatnya merupakan upaya memenangkan kompetisi pasar, yang pada gilirannya akan mampu menggerakkan sektor perekonomian. Terlepas dari apakah prinsip yang digunakan untuk mengemas sebuah produk rasional ataupun tidak keberadaan desain, khususnya bidang desain komunikasi visual, senantiasa diperlukan. Sikap yang kemudian perlu dipertanyakan adalah batasan-batasan yang memungkinkan sebuah iklan tidak berada pada wilayah deceptive (mengelabuhi). Pencitraan yang berlebihan sering membuat iklan berada pada wilayah deceptive advertising. Praktisi periklanan yang baik akan senantiasa mampu membuat batas-batas yang dinilai tidak menyesatkan publik. Pada level tersebut peran dan kepedulian masyarakat sangat diperlukan untuk mengontrol atau mengawasinya. Kekuatan periklanan terbukti mampu menggerakan empati dan simpati publik. Sebuah produk yang awalnya biasa-biasa saja dapat dicitrakan menjadi produk yang handal. Kasus Coca Cola yang bermula sebagai obat batuk atau Pocari Sweet yang sesungguhnya berisi oralit yang diberi aroma dan soda, atau irex yang komposisinya tidak jauh berbeda dengan extrajoss menunjukkan gejala

tersebut. Periklanan yang handal mampu menciptakan brand (merek) yang melampaui pemahaman yang rasional. Harga sebuah merek dapat bernilai dari puluhan ribu hingga ratusan juta. Garuda Indononesia bersedia membayar ratusan juta untuk merepositioning merek penerbangan nasional tersebut pada sebuah biro iklan asing. SCTV menghabiskan lebih dari 1 Milyar untuk merepositiong merek yang telah dijalani lebih dari 10 tahun. Seberapa pantas harga sebuah merek sangat tergantung dari sisi komunikatif merek tersebut dalam mengedukasi konsumen. Merek pada hakekatnya tidak berhenti pada nama atau logo semata-mata. Merek merupakan kumpulan konsep yang dituangkan pada satu nama tertentu. Ketika konsepkonsep dituangkan secara verbal dan visual, pada level tersebut merek menjadi ada. Merek pada hakekatnya tidak hanya milik sebuah produk tetapi merupakan milik sesuatu yang bersentuhan dengan hukum pasar, baik produk, perusahaan, maupun pelaku usaha itu sendiri. Seseorang atau sebuah perusahaan mampu membayar mahal sebuah biro iklan tidak ditentukan oleh kemapuan finansial perusahaan tersebut tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan perusahaan atau biro iklan tersebut dalam mencitrakan dirinya. Perusahaan multinasional, seperti LOWE, BBDO, JWT Ad Force mampu berjaya karena kemampuannya dalam mencitrakan dirinya. Perusahaan multinasional, khususnya yang bergerak sebagai biro mapun agensi periklanan, senatiasa bergerak dalam citra-citra tertentu. Kelebihan tersebut yang cenderung tidak dimiliki oleh agensi lokal. 3. KREDIBILITAS AGENSI LOKAL Maraknya agensi asing dalam peta periklanan nasional merupakan kenyataan yang tidak mampu dihindari. Konsekwensi dari sistem perdagangan bebas adalah sistem kapitalisasi dalam semua lini, tidak terkecuali pada sistem dan kepemilikan korporasi nasional. Beberapa perusahaan periklanan asing melakukan akuisisi terhadap perusahaan lokal. Berdasarkan survey tahun 2002 dari 10 besar perusahaan iklan di Indonesia hanya 3 yang berasal dari perusahaan nasional (AC Nielsen, 2002).

Hal positif yang dapat dipetik dari fenomena tersebut adalah upaya penyetaraan kualifikasi dan kemampuan oleh perusahaan-perusahaan periklanan lokal baik dalam sektor manajerial mapun finansial. Penyetaran kualifikasi dapat mendorong peningkatan kredibilitas. Kredibilitas perusahaan tidak semata-mata ditentukan oleh citra perusahaan tersebut dimata publik yang cenderung bersifat semu dan temporer, tetapi lebih banyak dibentuk oleh tata kinerja perusahaan yang dinilai baik. Kinerja perusahaan yang baik pada umumnya tercerim dalam prinsip Good Corporate Governance (Adiprasetyo, 2005). Good Corporate Governance ditunjukkan dalam prinsip akuntabilitas, keadilan, transparansi, dan kebertanggungjawaban. Akuntabilitas ditunjukkan dalam sikap independen dan berwatak baik, pada level pimpinan maupun pelaksana. Keadilan ditunjukkan dengan sikap perlindungan pada segala lini, termasuk pada pemegang saham yang kecil. Transparansi terutama pada tata kelola keuangan dan kepemilikan. Dan prinsip pertanggungjawaban tercermin pada kepatuhannya terhadap tata nilai dan etika sosial. Keberadaan agensi lokal (perusahaan periklanan lokal) pada banyak kasus masih dinilai kurang siap dalam menghadapi era persaingan global. Kekurangsiapan tersebut dapat ditelusuri dari hasil riset Mc Kinsey terhadap kondisi kinerja perusahaan, yang menempatkan Indonesia pada posisi terbawah dari 7 negara Asia yang disuvey, jauh dibawah Jepang, Korsel, Malaysia, Taiwan, Filipina dan Thailand). Kondisi tersebut menyebabkan beberapa perusahaan besar lebih mempercayakan iklannya kepada perusahaan asing (multinasional). Buruknya kinerja perusahaan lokal selain dibentuk oleh tata kinerja yang tidak kredibel juga diperparah oleh stigma Indonesia sebagai negara terkorop dikawasan Asia. Indonesia menduduki peringkat ke 132 dari 136 dalam rangking negara terkorop di dunia (Basri, 2005). Kredibilitas yang dinilai rendah, walaupun masih dalam konteks wacana, tetap menimbulkan kekawatiran bagi banyak perusahaan lokal. Wacana negatif yang terus dibangun dikawatirkan akan melemahkan kepercayaan asing terhadap kredibilitas perusahaan lokal secara keseluruhan, yang pada akhirnya akan berimbas pada kepercayaan terhadap negara. Berdasarkan data Bank Dunia tahun

2005, Indonesia merupakan negara yang memiliki sistem pelayanan publik terburuk di kawasan Asean. Sistem perusahaan yang buruk mencerminkan sistem tatakelola negara yang buruk, dan secara tidak langsung mengindikasikan tata krama masyarakat yang buruk. Fenomena tersebut diturunkan dari teori tiga sistem pengelolaan ruang publik, yang melibatkan unsur negara, pasar, dan warga masyarakat. Negara merupakan elemen birokrasi, pasar terdiri dari para pelaku pasar baik pihak industri maupun konsumen. Pihak warga masyarkat merupakan pihak yang secara langsung berinteraksi dengan 2 unsur yang lain. Upaya untuk mematahkan sistem yang dinilai buruk dalam tata kelola perusahaan, utamanya dalam level pencitraan diri, salah satunya dilakukan dengan upaya membentuk asosiasi perusahaan periklanan lokal. Asosiasi agensi lokal dapat menjadi wacana kontrol terhadap buruknya sistem tata kelola perusahaan, mengingat sebagian besar perusahaan lokal masih menerapkan sistem manajemen kekeluargaan. Ide yang dinilai baik tersebut sempat mengemuka, walaupun pada akhirnya tidak mendapatkan tanggapan yang relevan. Ide tersebut didasari oleh kenyataan bahwa kekuatan perusahaan nasional terlampau kuat untuk dilawan. Salah satu kiat untuk bertahan adalah bergabung atau berafiliasi dengan kekuatan asing. Hal yang telah dilakukan oleh Perwanal yang telah bergabung dengan Satchi and Satchi, sebuah perusahan periklanan multinasional asal Inggris. 4. KUALIFIKASI SDM PERIKLANAN LOKAL Peningkatan belanja iklan yang berkisar 18% semenjak tahun 2002 merupakan gejala awal membaiknya kondisi ekonomi. Kondisi tersebut tampaknya tidak relevan dengan pertumbuhan perekonomian nasional yang masih berkisar pada angka dibawah 3%. Indonesia merupakan negara dengan belanja iklan terbesar pada tahun 2002 dan pada tahun 2004 berada pada posisi kedua di bawah Cina untuk kawasan Asia pasifik, jauh melampaui Korea dan Singapura. Peningkatan belaja iklan pada tahun 2002 disinyalir lebih banyak mengalir pada sektor politik, mengingat pada masa tersebut Indonesia mengalami 3 kali pemilu.

Peningkatan belanja iklan merupakan salah satu indikasi menguatnya peran periklanan dalam perputaran perekonomian nasional. Implikasi yang dapat dipetik dari kondisi tersebut adalah peningkatkan kebutuhan SDM periklanan yang handal secara keseluruhan. Hingga tahun 2009 Indonesia diperkirakan mem butuhkan tidak kurang dari 12.000 hingga 15.000 praktisi periklanan. Angka tersebut diturunkan dari prediksi pertumbuhan ekonomi nasional, utamanya daya serap pekerja pada sektor usaha kecil dan menengah. Angka 12.000 hingga 15.000 dapat diasumsikan merupakan jumlah yang terlamapu kecil, mengingat SDM periklanan bermula dari sekolah-sekolah desain yang jumlahnya terlampu besar untuk ukuran Indonesia saat ini. Setiap tahun beberapa perguruan tinggi desain meluluskan lebih dari 5.000 mahasiswa. Jumlah lulusan yang besar bukan merupakan jaminan banyaknya sarjana dsain yang handal. Beberapa perusahaan periklanan multi nasional sering merasa kesulitan mencari praktisi periklanan lokal yang paham tentang kondisi sosio budaya Indonesia. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar alumni desain, khususnya desain komunikasi visual lebih mahir menuangkan ide atau gagasangagasan desain yang tidak membumi. Desain-desain karya lokal sering lepas dari konteks lokalitasnya. Salah satu pilar yang dinilai mampu menopang kekuatan desain nasional adalah ketersediaan SDM desain yang memiliki kapabilitas dan paham terhadap kondisi sosial budayanya. Wilayah tersebut yang dinilai sebagai wilayah yang tidak atau sulit diakuisisi pihak asing. Persoalan yang kemudiian timbul adalah apakah pendidikan desain nasional sudah mencerminkan kebutuhan pasar atau belum. Pada titik ini kekuatan desain lokal atau pendidikan desain di daerah dapat menjadi wacana pembanding. Sebagian besar praktisi desain periklanan berpendapat bahwa salah satu kelemamahan pendidikan desain di Indonesia adalah luasnya cakupan keilmuan yang diajarkan. Wilayah disiplin desain, atau tepatnya desain komunikasi visual, mengajarkan terlampau panyak pengetahuan yang tidak semuanya dibutuhkan. Desain komunikasi visual dinilai perlu dipecahd alam beberapa wilayah disipln yang lebih spesifik. Pemecahan wilayah keilmuan tersebut yang diharapkan siswa

atau mahasiswa memiliki pemahaman yang cukup dalam terhadap satu hal, misalnya ia akan lebih paham tentang periklanan, multimedia atau karya-karya cetak saja dibandingkan dengan mengetahui segalanya tetapi tidak secara mendalam. Ide yang dikembangkan oleh para praktisi mengharapkan suatu saat desain komunikasi visual tidak berdiri sebatas jurusan atau program studi, tetapi mampu mnejadi fakultas, yang membawahi beberapa jurusan misalnya jurusan periklanan, multimedia, cetak grafis, animasi dan sebagainya. Pemecahan kompetisi lulusan desain diharapkan mampu mengimbangi kekuatan agensi asing, yang secara awal pendidikan desain yang dijalani telah dipersiapkan hanya menguasai satu bidang keilmuan saja. 5. PENUTUP Periklanan sebagaimana karya desain komunikasi visual yang lain senatiasa bergerak dalam tataran citra-citra. Citra-citra yang positif pada gilirannya akan mampu mendokrak popularitas yang berujung pada peningkatan kapitalisasi ekonomi. Desain merupakan mesin perekonomian, membangun desain pada gilirannya juga membnagun perekonomian secara keseluruhan. Era perdagangan bebas membawa konsekwensi masuknya agensi multinasional dalam peta perusahaan periklanan nasional. Kekuatan kapital perusahaan periklanan multinasional yang besar tidak memungkinkan perusahan lokal bersaing secara frontal. Tindakan yang kemudian dilakukan adalah membentuk jaringan atau berafiliasi dengan perusahaan multinasional tersebut. Salah satu kelemahan yang sering terjadi pada perusahaan lokal adalah ketidakmampuannya menerapkan sistem good corporate governance. Ide yang kemudaian timbil menyikapi kondisi tersebut adalah upaya membentuk satu asosiasi perusahaan periklanan lokal. Dinilai dari pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional, kebutuhan SDM periklanan cukup besar. Tingginya permintaan terhadap SDM periklanan tidak diimbangi dengan kemampuan keilmuan yang memadahi, sehingga sebagian besar praktisi periklanan pada level pengambil keputusan masih diduduki orangorang asing. Kelemahan mendasar dari lemahnya SDM periklanan nasional adalah

sistem pendidikan desain di Indonesia yang dinilai memiliki cakupan keilmuan terlampau luas dan tidak membumi.

DAFTAR PUSTAKA Adiprasetyo, Agung. 2005. Reinventing Industri Periklanan Indonesia, Sebuah Renungan. Makalah disajikan dalam Seminar Good Corporate Governance PPPI,Surabaya, 15 September. Basri, Faisal. 2005. Good Corporate Governance. Makalah disajikan dalam Seminar Good Corporate Governance PPPI,Surabaya, 15 September. Budiman. S. Andi 2005. Desain dan Merek. Makalah disampaikan dalam diskusi FDGI, Jakarta, 8 September. Habib, Narga S. 2005. Kuman dan Gajah. Makalah disajikan dalam Seminar Good Corporate Governance PPPI,Surabaya, 15 September. Tanzil, Hemawan. 2005. Desain Komunikasi Visual. Makalah disampaikan dalam diskusi FDGI, Jakarta, 8 September.

MENCARI INDONESIA DALAM IKLAN Catatan dari Diskusi FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia) 2005

MAKALAH Disampaikan dalam Seminar Jurusan Seni dan Desain Tanggal 27 September 2005

Oleh: Rudi Irawanto NIP. 132282572

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SENI DAN DESAIN September 2005

Anda mungkin juga menyukai