Anda di halaman 1dari 20

1

Kajian Strukturalisme Simbolik Struktur Ragam Hias Pada Bangunan Masjid Atap Tumpang di Kawasan Pedalaman Jawa

Oleh: Rudi Irawanto

Abstrak
Ragam hias pada masjid atap tumpang merupakan ragam hias yang dipengaruhi konsep estetika Islam dan estetika pra Islam. Struktur bangunan masjid dan elemen estetis didalamnya menyerupai struktur bangunan tradisional. Ragam hias yang digunakanpun mendapat pengaruh dari ragam hias pada bangunan tradisional. Penelitian ini bermaksud menggungkap struktur simbol pada raga hias masjid atap tumpang di kawasan pedalaman. Penelitian berlokasi di wilayah kabupaten Blitar, Madiun dan Magetan, dengan menggunakan pendekatan sosiologi dan kesenirupaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur simbol dalam ragam hias masjid atap tumpang dibangun dari konsep estetika Islam yang menonjolkan aspek infitas (ketidakterbatasan), menampilkan struktur modular yang suksesif serta merupakan abstraksi dari bentuk-bentuk riil. Konsep estetika tersebut dikompromiskan dengan konsep estetika Jawa yang mengedapankan konsep keselarasan, sehingga simbolitas dalam ragam hias masjid atap tumpang dalam dikategorisasi sebagai simbol ekspresif dan simbol konstitutif. Simbol konstitutif merupakan simbol sakral yang diturukan dari pemahaman keagamaan, sedangkan simbol ekspresif merupakan simbol profan yang tidak bermakna isoteris dan kontempelatif. Keberadaan simbol tersebut merupakan manifestasi kompromis antara fungsi masjid yang bersifat vertikal (ketuhanan) dan horisontal (kemasyarakatan).

Kata Kunci: Ragam Hias, Masjid, Simbol

Ragam hias merupakan salah satu wujud kebudayaan fisik yang senantiasa mengalami penyesuaian-penyesuaian yang cenderung akulturatif. Proses penyesuaian dapat terjadi dalam tataran fisik yang diwujudkan dengan perubahan bentuk-bentuk visual dan orientasi bentuk, seperti tampak pada karya ragam hias pada bangunan masjid dan tempat ibadah lainnya. Proses akulturatif dalam tataran konseptual dapat dilihat salah satunya melalui perubahan orientasi dan struktur estetik. Konsep tentang keindahan (estetika) akan mengalami penyesuaian yang sejalan dengan perubahan orientasi nilai-nilai dalam lingkup etika atau moralitas. Nilai-nilai yang dibawa dalam suatu karya ragam hias cenderung bergerak dalam dataran lambang-lambang atau simbol-simbol yang berhubungan dengan adat

Rudi Irawanto, S.Pd, M.Sn adalah dosen Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

atau kepercayaan tertentu. Analisa struktural melihat relasi yang signifikan antara satu fenomena budaya dengan fenomena lain dalam konteks yang lebih luas. Hubungan tersebut merupakan relasi antara sintagmatis dan paradigmatis. Pendekatan struktural mengandaikan setiap hal sebagaimana fenomena dalam bahasa, yang terdiri dari beberapa fonem. Pemaknaan nilai keindahan (estetika) sebuah karya ragam hias dapat dilihat sebagai proses peralihan antara nature dan culture. Pada tataran superstruktur keberadaan ragam hias adati merupakan sebuah penanda terhadap sesuatu. Keberadaannya pada satu lokasi tertentu dapat dipandang memiliki makna sosiokultural, dengan demikian keberadaannya berperan sebagai salah satu media komunikasi. Dari beberapa artefak ragam hias yang berasal dari masa pra sejarah hingga masa Islam menunjukkan kecenderungan penggunaan pola ragam hias yang cenderung sama. Kesamaan tersebut tidak semata-mata pada aspek fisik akan tetapi juga pada tataran konseptual. Fenomena pembedaan tersebut seperti yang diungkapkan Geerzt (1992:99) bahwa karakter kampung di Jawa dinilai sebagai masyarakat peralihan, sehingga tingkat ketaatan terhadap simbol-simbol struktural dan kultural pun mengalami pergeseran. Masjid atap tumpang merupakan masjid generasi ke awal dalam pola masjid di Indonesia. Arsitektur Masjid atap tumpang menjadi salah satu model arsitektur masjid tertua di Indonesia. Bentuk arsitektural masjid di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergeseran trend atau gaya desain. Bangunan awal aristektur masjid di Indoensia mengadopsi bangunann pura ataupun candi, sebagaimana tampak pada bangunan masjid tua di wilayah Lamongan ataupun Jepara, yang sebagian besar bangunannnya mendapat pengaruh dari arsitektur Hindu. Masjid makam sendangdhuwur di Lamongan ataupun bangunan masjid Mantingan di Jepara, menunjukkan gejala transformasi dari bangunan pra Islam (Hindu). Pengaruh Hindu dalam arsitektur masjid tersebut tampak dalam struktur bangunan pagar, denah dalam ruang masjid dan juga pada penggunaan aristektur atapnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika visual dari sudut strukturalis untuk melihat pola struktur visual dan sistem simbol pada tiap-tiap susunan ragam hiasnya. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1)

bagaimanakah karakter visual ragam hias pada bangunan masjid atap tumpang di Pedalaman Jawa Dan 2) Bagamainakah Struktur Simbol yang terdapat pada ragam hias bangunan masjid atap tumpang di Pedalaman Jawa.

METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang berupaya menjelaskan karakter dan simbol-simbol dalam ragam hias pada bangunan masjid atap tumpang di pedalaman Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika, khususnya semiotika visual, untuk menjelaskan karakter pertandaan ragam hias pada bangunan masjid. Pendekatan tersebut digunakan mengingat konsep-konsep dalam semiotika visual dinilai lebih mampu menjelaskan fenomena pembacaan tanda-tanda visual secara lebih objektif.

Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Jawa Timur selatan, di wilayah Blitar, Magetan, dan Madiun. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilandasi oleh kenyataan bahwa pada wilayah-wilayah tersebut memiliki bangunan masjid atap tumpang yang relatif lebih banyak dibandingkan masjid di wilayah lain

Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah karya ragam hias pada bangunan masjid atap tumpang di pedalaman di Jawa Timur. Objek penelitiannya adalah catatan atau dokumentasi karakter ragam hias baik 2 maupun 3 dimensi pada masjid atap tumpang di wilayah pedalaman tersebut.

Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini digunakan 2 macam prosedur pengumpulan data yang mengacu pada instrumen penelitian, yaitu (1) metode observasi, dan (2) metode dokumentasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian.

Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini meliputi catatan observasi dan pedoman dokumentasi. Peneliti dan pembantu peneliti berperan sebagai pengamat penuh. Catatan observasi dan pedoman dokumentasi berperan sebagai media untuk merekam hal ikhwal yang berkaitan dengan objek penelitian, sehingga objekobjek yang diamati dapat lebih mudah dikelompokkan berdasarkan tema, konteks, atau kronologi.

Analisis Data Analisis data dilakukan dengan pendekatan semiotika visual. Pendekatan tersebut dipilih karena konsep-konsep dalam semiotika visual mampu memberikan panduan pembacaan tanda-tanda visual secara lebih rinci. Pemakaiannya tampak pada langkah-langkah analisis data berikut: (1) penelahan dan reduksi data, (2) pengidentifikasi dan pengunitan data, (3) pengkategorian dan penggolongan data, dan (4) penafsiran dan penjelasan makna data.

Pengecekan Keabsahan Temuan Pengecekan keabsahan temuan dilakukan dengan beberapa kriteria yang terdiri dari kridibilitas, keterangan, kebergantungan, dan kepastian. Masingmasing kriteria menggunakan teknik pemeriksaan yang berbeda. Pada kontek ini tidak semua kriteria menggunakan teknik pemeriksaan secara menyeluruh. Pengecekan kridibilitas temuan dilakukan dengan triangulasi data, pengecekan sejawat, dan kecukupan referensial.

HASIL DAN PEMBAHASAN Konstruksi Bangunan Bangunan masjid di wilayah pedalaman Jawa sebagian masih mempertahankan struktur bentuk bujur sangkar. Beberapa masjid yang ditemui misalnya masjid Loceret nganjuk, masjid Nafii Magetan, Masjid Baitussalam Taman Arum Parang Magetan dan Masjid pondok Kerjen Wonodadi Blitar masih mempertahnkan struktur bujur sangkar sebagai sentral bangunan.

Ruang utama merupakan lantai tempat jamaah putra melakukan aktivitas. Pada beberapa kasus ruang utama dilengkapi dengan soko guru berjumlah 4 buah untuk menyanggga Struktur bujur sangkar pada beberapa kasus mengingatkan pada bentuk perencaaan mandala atau yantra dalam kosmologi Hindu. Perbedaan mendasar dengan konsep Mandala adalah pemahaman tentang ruang. Pandangan kosmologi Hindu tentang Mandala atau Yantra merupakan sebuah ruang realis yang keberadaannya tampak secara visual. Ruang ditentukan oleh para pedanda (pendeta Hindu) sebagai pengambil keputusan tertinggi. Ruang visual yang ada merupakan tempat pertemuan dan wujud keseimbangan antara manusia dan makro kosmos (Frick, 1997:51). Ruang dalam arsitektur Islam merupakan wilayah yang tidak harus tegas atau memiliki bentuk yang masif. Ruang merupakan wilayah makrokosmos, keberadaan pembatas hanya sebagai pananda terhadap fungsi-fungsi ruang yang bersangkutan. Pembatas fungsi ruang dapat berupa sebuah garis atau tirai yang tidak permanen. Pada umumnya struktur bangunan masjid yang dijumpai memiliki struktur pembagian ruang sebagai berikut:``

a c
i

Keterangan: a. Ruang utama berbentuk bujur sangkar b. Pawestren (tempat jamaah putri) c. Mimbar dan mihrab imam d. Serambi

e. Tempat Wudhu/KM f. Sumur g. Bedug dan Kentongan h. Regol i. Garis axis ke arah kiblat

Gambar Ruang utama masjid

Pertemuan poros bangunan terdapat garis imajiner (Axis) yang menghubungkan antara pintu utama dengan mihrab yang sejajar dengan arah Kiblat. Penentuan arah kiblat pada beberapa kasus mengacu pada kesepahaman para pemuka agama di wilayah tersebut, walaupun pada umumnya mengambil arah ke Barat tanpa memperhitungkan sudut derajat dengan masjidil haram. Pada bagian kanan terdapat ruang khusus untuk jamaah putri, lazim disebut sebagai pawestren. Pada beberapa kasus ruang pembatas antar jamaah putra dan putri tidak dibuat permanen. Ketiadaan pembatas permanen dapat dimengerti, mengingat fungsi tabir tersebut hanya bersifat temporer, utamanya untuk kegiatan sholat. Hampir disemua masjid atap tumpang yang ditemui penggunaan bedug dan kentongan lazim dipergunakan sebagai penanda dimulainya sholat. Bedug dibunyikan setelah ketongan dan lazim dibunyikan sebelum muazim melafalkan azan. Dalam Islam penanda waktu sholat secara formal adalah azan. Bedug dan kentongan sekadar atribut tambahan untuk mengantarkan suasana dan sebagai penanda dimulai waktu sholat atau berbuka puasa.. Masjid atap tumpang pada lazimnya memiliki serambi atas teras sebagai ruang tambahan. Serambi masjid dipergunakan untuk aktivitas yang cenderung

tidak terlampau sakral, misalnya kegiatan mengaji atau selamtan. Teras atau serambi masjid menggunakan konstruksi atap panggang pe, merupakan konstruksi atap yang melekat dengan bangunan utama dan tidak tampil secara menonjol. Fungsi serambi atau teras pada praktiknya merupakan ruang antara dari wilayah yang profan (halaman masjid) denga wilayah sakral (ruang dalam masjid). Struktur ruang secara horisontal menyerupai struktur ruang pada ruang adat Jawa. Pada ruamah adat Jawa terdapat ruang yang paling sakral, yaitu sentong (kamar) tegah. Sentong tengah merupakan ruang sakral yang keberadaannya di ciptakan oleh struktur rong-rongan kuda-kuda dari soko guru. Soko guru diikat oleh blandar atau pengarat yang memiliki konotasi sebagai ikatan ritual. Ruang diantara blandar tersebut diletakkan sentong tengah. Struktur sentong tengah memiliki kedekan fungsi kosmologi dengan keberadaan mihrab pada bangunan masjid.

Keterangan: a. Rong-rongan yang dibentuk oleh kuda-kuda soko guru b. Sentong Kiwo/tengen c. Sentong tengah

Gambar Skema dalem agung rumah tradisional Jawa

Keterangan: a. Ruang sakral tingkat 1 b. Ruang Sakral tingkat 2 c. Ruang antara

d. Ruang Profan tingat 1 e. Ruang profan tingat 2

Gambar Susunan ruang dalam masjid Jawa Prinsip estetika Islam yang memberi batas tegas antara ruang profan dan tidak profan atau batas antar level kesucian tidak senantiasa diwujudkan secara fisik. Batas dimaknai sebagai penanda yang dapat bersifat absatrak. Sebuah garis, pada kain batik pesisiran, dapat dimaknai sebagai pembatas fungsional. Pada bangunan Masjid pembatas fungsi bangunan dapat diwujudkan dalam bentuk garis atau ornamentasi yang berbeda. Mihrab yang menjorok ke luar ruang utama merupakan penanda perbedaan fungsi ruang yang sangat tegas. Masjid atap tumpang pada umumnya dikelilingi oleh pagar pembatas dan terdapat satu pintu masuk dari arah depan masjid. Pintu masuk masjid pada umumnya di beri tanda berupa gapura. Bentuk gapura masjid sangat bervariatif, tetapi pada umumnya gapura masjid merupakan penanda bagi jamaah untuk memasuki ruang sakral. Bangunan candi senantiasa dibatasi oleh pagar. Pagar dalam konteks kosmologi tidak selalu berkonotasi sebagai bangunan yang kokoh dan masif. Pagar merupakan penanda batas kosmologi, antara kawasan profan dan kawasan sakral.

Elemen Estetis dalam Masjid Atap Tumpang Ragam hias merupakan elemen yang tidak terlampau ditonjolkan dalam konsep estetika Islam. Estetika Islam meletakkan ragam hias sebagai elemen estetis yang mampu mendukung penghayatan terhadap ketuhanan. Hubungan vertikal merupakan hubungan yang sakral dan metafisis. Kaum Muslim memerlukan media estetis yang dapat menyediakan objek bagi kontemplasi estetis. Tampilan elemen estetis dalam masjid, khususya dalam masjid atap tumpang, tidak terlepas dari orientasi estetis jamaah masjid yang bersangkutan. Orientasi estetis tersebut bermuara pada orientasi estetika Islam secara umum. Pandangan tentang bentuk yang indah atau tidak indah tidak berkonotasi keteknikan atau estetika semata-mata, tetapi lebih banyak didorong oleh semangant spiritulitas para Jamaah masjid yang bersangkutan. Masjid atap tumpang yang dijumpai pada umumnya merupakan masjid desa, yang dibangun secara swadana dan beoriantasi sebagai media siar agama. Kepemilikan masjid terjadi secara kolektif, walaupun pada beberapa kasus masjid berdiri di atas tanah wakaf, sehingga fungsi takmir atau pengurus masjid, hanya sebagai pihak pengelola aset semata-mata. Kepemilikan masjid secara kolektif menyebabkan proses penentuan model arsitektural dan elemen pendukung keberadaan masjid tidak ditentukan oleh individu-individu, tetapi diputuskan secara kolektif. Fenomena tersebut menyebabkan arsitektural masjid cenderung eklektik

10

Aspek Arsitektural Orientasi bangunan Elemen estetis Struktur Bangunan

Aspek Spiritualitas Isoteris Kontempelatif

Tukang Masyarakat

Pemuka Agama Pemuka Adat

Dialog

Bangunan MASJID Aspek Fisik Aspek Metafisik

Simbol Ekspresif

ELEMEN ESTETIS BANGUNAN

Simbol Konstitutif

Simbol dalam bangunan masjid dapat dikempokkkan menjadi 2 hal, yaitu simbol konstitutif dan simbol ekspresif.. Simbol konstitutif merupakan simbol yang berhubungan dengan aspek isoteris, sedangkan simbol ekspresif merupakan simbol yang berkonotasi non isoteris dan lebih bermakna sebagai sebagai ungkapan ekspresif. Simbol konstitutif diwujudkan dalam visualisasi objek fisik dengan tata aturan yang ketat, yang berorientasi pada nilai-nilai kontempelatif . Nilai objek tidak terlatak pada kualitas bahan atau kadar nilai estetika objek, tetapi pada fungsi-fungsi simbolis yang melekat padanya. Beberapa objek yang menjadi simbol konstitutif diantaranya tulisan kaligrafi dengan kutipan ayat Al Quran atau Al Hadist, tongkat imam, ragam hias pada mimbar dan pada mihrab. Simbol-simbol konstitutif diletakkan lebih tinggi daripada simbol-simbol ekspresif. Simbol-simbol ekspresif diwujudkan sebagai manifestasi kompromis

11

antara kepentingan relegius yang cenderung bebas nilai dengan kepentingan ekspersi yang bersifat profan. Simbol ekspresif merupakan upaya pendekatan relegiusitas dalam konteks yang lebih sekuler. Ragam hias pada cendela atau pintu tidak fungsikan sebagai sesuatu yang sakral, seperti hanya pada mihrab atau tongkat imam, tetapi berfungsi sebagai atribut esetetis yang tidak berkonotasi isoteris. Konsep keindahan dalam elemen estetis masjid atap tumpang tetap berorientasi pada konsep estetika Islam secara umum. Pada prinsipnya orientasi dan tujuan estetika Islam ini tidak dapat dicapai dengan penggambaran melalui manusia dan alam semata-mata. Pengalaman estetis dapat direalisasikan melalui kontemplasi terhadap kreasi artistik, yang pada gilirannya diharapkan mampu membawa pengamatnya kepada intuisi tentang kebenaran. Penggambaran figurfigur yang realis dan berkonotasi makhluk hidup akan dihindari sebagai bentuk konsekswensi dari ketaatan terhadap prinsip isoteris ketuhanan. Pada beberapa kasus tidak dijumpai ragam hias yang secara vulgar ditampilkan sebagai penghias yang menonjol. Penggunaan kaligrafi sebagai elemen estetis menjadi salah satu mediasi untuk mencapai tahap kontempelasi tersebut.

Foto oleh Rudi I (2008)

Gambar 5.1 Kaligrafi dalam masjid Nafii

Kaligrafi merupakan unsur estetika Islam tertinggi (Leaman, 2005:75). Penggunaan kaligrafi sebagai elemen dalam masjid atap tumpang lebih dominan daripada penggunaan ragam hias. Fenomena tersebut lebih disebabkan oleh

12

tingkat kesulitan dalam memvisualisasikan ragam hias secara konsisten. Penggunaan kaligrafi sebagai elemen estetis memang tidak terlampau menonjol. Sebagian besar jamaah memaknai kaligrafi sebagai simbol keislaman yang paling mudah dikenali. Kaligrafi dimaknai sebagai tulisan dengan huruf arab yang digayakan yang berisi pujaan atau predikat keagungan Tuhan. Pada beberapa kasus kaligrafi sekadar sebagai penghias ruang kosong. Fungsi dominan kaligrafi dalam bangunan masjid adalah petanda visual tentang eksistensi ketuhanan. Makna yang tertulis dalam kaligrafi acap kali tidak mendapat perhatian yang lebih tinggi dibandingkan dengan tulisan yang dipaparkan. Makna yang tertulis dalam kaligrafi tidak mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan simbolisasi dalam huruf kaligrafi tersebut. Pada umumnya seni Islam didasarkan pada pernyataan negatif La ilaha illa Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Ia sepenuhnya berbeda dengan manusia dan alam (Furuqi, 2003). Namun, estetika Islam juga mengekspresikan dimensi positif tauhid yang menekankan bukan apa yang bukan Tuhan, melainkan apa yang merupakan sifat-sifat Tuhan. Aspek paling mendasar yang diajarkan oleh doktrin Islam bahwa Tuhan bersifat tak terhingga dalam segala sesuatunya. Konsep ketidak terhinggaan tersebut dicitrakan dalam stilasi ornamentatif yang rumit. Pola-pola yang tidak memiliki awal dan akhir, yang memberikan kesan ketakterhinggaan (infinitas) merupakan cara terbaik untuk mengekspresikan ajaran tauhid melalui seni. Pola infinitas dimanifestasikan dalam struktur ragam hias yang cenderung tidak bertepi. Struktur simbol visual dalam kaligrafi masjid atap tumpang dapat dijabarkan dalam skema berikut:

13

KALIGRAFI

Konsep logis

Konsep Estetis

Konsep Etis

Tanda baca Tata Tulis

Tata tulis yang sesuai Menganut khat tertentu

Di tempat tinggi Di wilayah sakral Kutipan ayat Al Quran/Al Hadist

Kaidah benar dan salah

Kaidah indah dan jelek

Kaidah baik dan buruk

REPRESENTASI VISUAL

Rasionalitas

Ketuhanan

Ketaatan

SIMBOLISASI SUBSTANTIF

Ekspresi estetis ini juga dinamakan arabeska (arabesque). Arabeska mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi tumbuhan, dan pola geometris., merupakan ragam hias dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak nonfiguratif, yang memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan (infinit). Melalui kontemplasi pola infinit ini, jiwa pengamat akan diarahkan kepada transendensi Tuhan.

14

Pola arabeska geometris

Gambar 5.2. Pola segi lima dalam motif arabeska stilasi geometris

Gambar 5.6 Pola arabeska infinit pada masjid Mantingan

15

PRANATA BUDAYA

Sistem organisme Perilaku

Sistem Kepribadian

Sistem Kebudayaan

Sistem sosial

Pola-pola sistem budaya

Pencapaian Tujuan

Adaptasi

Integrasi

Simbol Konstitutif

Simbol Eskpresif

Simbol Kognitif

Simbol Moral

Kepercayaan Tata laku agama

Elemen Estetis

Rasionalitas (ilmu Pengetahuan

Norma-norma

Abtraksi Non Figuratif Bukan benda persembahan

Struktur Modular Subtantif

Kombinasi Suksesif Repetisi

Kerumitan Infinit

ELEMEN ESTETIS

Secara umum pola-pola kaligrafi dan ornamentasi (arabeska) merupakan upaya menggambar sifat-sifat Tuhan secara visual. Elemen estetis masjid bukan merupakan representasi dzat ketuhanan, tetapi merupakan perwujudan penggambaran sifat-sifat ketuhanan. Penggambaran sifat-sifat tuhan yang sederhana adalah penggunaan tulisan arab dalam wujud kaligrafi, pada tataran yang lebih tinggi sifat-sifat ketuhanan digambarkan melalui ornamentasi atau ragam hias yang cenderung geometris.

Abstraksi

16

Abstraksi merupakan visualisasi bentuk-bentuk real menjadi figur-figur non realis. Proses tersebut tampak pada ornamentasi kaligrafis yang menggambarkan figur-figur real. Proses abstraksi dilakukan untuk menghidari visualisasi makhluk hidup secara realis. Penggambaran makhluk hidup merupakan aktivitas yang dihindari dalam Islam. Makhluk hidup menjadi figur yang dihindari sebagai elemen estetis dalam bangunan masjid. Penggambaran makhluk hidup secara tersurat tidak dirinci sebagai sesuatu yang dilarang dalam Islam, tetapi beberapa pendapat mengkaitkan penggambaran makhluk hidup (bernyawa) sebagai tindakan yang dekat dekat dengan bidah. Biah merupakan konsep yang melihat aktivitas dan segala konsekwensinya memiliki kecenderungan bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Struktur Modular dan Suksesif Struktur modular merupakan rangkaian ragam hias yang memiliki rancangan saling bersambung. Struktur rancang bangunnya di ciptakan dari susunan model atau entitas yang saling menyambung satu dengan lainnya. Proses keterhubungan antara satu model dengan model yang lain membentuk rangkaian pola yang terus menerus. Konsep keindahan dibangun berdsarkan pola yang terus-menerus dan saling menyambung. Bentuk modular pada umumnya dinilai sebagai bentuk yang asing dan tidak indah. Elemen modular diterapkan sebagai bentuk kompromis untuk menampilkan ornamentasi yang khas Islam, walaupun beberapa takmir masjid mengakui bahwa elemen yang bersifat modular dan suksesif tidak sesuai dengan citra rasa mereka. Pada umumnya mengakui bahwa elemen modular dan suksesif terlapau rumit. Elemen suksesif merupakan elemen yang membentuk gugusan ornamen yang tidak terbatas. Pada umumnya pola infinit dalam seni Islam menunjukkan adanya kombinasi keberlanjutan (suksesif) dari modul dasar penyusunnya. Elemenelemen tersebut disusun untuk membangun sebuah desain yang lebih besar, utuh dan independen tanpa harus menghilangkan identitas dan karakteristik unit-unit penyusunnya sehingga dalam pola infinit tidak hanya ada satu fokus perhatian estetis, melainkan terdapat sejumlah penglihatan yang harus dialami ketika

17

mengamati modul, entitas atau motif-motif yang lebih kecil. Desain Islami selalu memiliki titik pusat yang tak terhitung jumlahnya, dan sebuah gaya persepsi internal yang menghilangkan kesan adanya permulaan maupun akhir yang konklusif.

Repetisi Repetisi merupakan elemen estetis yang menonjolkan kesan pengulangan dalam seni Islam. Prinsip repetisi adalah tidak ada bagian yang lebih menonjol dibandingkan bagian yang lain. Pengulangan yang terus menerus menyebabkan masing-masing bagian memperoleh tempat yang sama, dengan porsi yang sama. Penonjolan salah satu bagian, sebagai focal point, tidak diketemukan. Kondisi tersebut tampak pada ornamentasi dengan pola Arabeska.

Dinamis Estetika Islam meupakan kolektivitas kedinamisan antar elemen di dalamnya. Implementasi hal tersebut adalah penggunaan elemen yang tidak menonjolkan salah satu bagian secara berlebihan. Struktur keindahan dibangun dengan konsep kesatuan antar bagiannya. Penonjolan salah satu bagian sebagai elemen utama dilihat sebagai tindakan yang akan mengurangi eksistensi bagian yang lain. Prinsip dinamisasi tersebut selaras dengan prinsip keselarsan dalam konsep estetika Jawa. Keselarasan adalah kosep yang menekankan pada prinsip kebersamaan. Penonjolan salah satu elemen sebagai atribut yang dianggap penting dinilai melanggar norma keselarasan tersebut. Keselarasan adalah bentuk seni yang tidak menonjolkan salah satu pihak secara berlebihan.

Struktur Estetika dan Etika dalam Ragam Hias Ragam hias masjid atap tumpang dihasilkan dari proses akulturatif antara pemahaman keindahan dalam konteks Islam dengan keindahan dalam konteks tradisional Jawa. Ragam hias yang dihasilkan, baik dalam pola geometris maupun dalan pola stilasi tumbuhan., merupakan pemaduan dari konsep keindahan dalam Islam dengan keindahan dalam konteks spiritualisme Jawa.

18

Keindahan dalam spiritualisme Jawa mengedepankan keselarasan dalam bentuk ataupun struktur visualnya. Keselarasan dihasilkan dari pola yang tidak rumit dan mudah dipahami. Kerumitan dimaknai sebagai sikap yang tidak terbuka sehinga mode-model yang rumit dan membutuhkan penafsiran akan dicoba untuk dihidari. Keindahan dimaknai sebagai ungkapan spiritulitas, sehingga wilayah indah dan etis merupakan satu kesatuan. Keindahan tidak terpisah dengan pahampaham dalam etika.

Gambar Masjid atap tumpang di Wilayah Kec.Parang Magetan

Gambar Ragam hias memolo pada atap masjid

19

Estetika dalam konfigurasi elemen estetika masjid diletakkan dalam bingkai etika. Keindahan merupakan media untuk mencapai tahap kontempelasi. Keindahan dalam etika Jawa merupakan representasi dari sikap mengagungkan tuhan. Ragam hias masjid atap tumpang mejadi manistasi kebesaran masjid yang bersangkutan. Konsep ragam hias pada masjid atan tumpang diselaraskan dengan konsep keindahan dalam kosmologi Jawa. Struktur simbolisme ragam hias dalam konteks estetika Jawa digambarkan dalam bagan berikut:
Ragam Hias

Prinsip Estetika Jawa Prinsip Keselarasan Tanpa fokal Point Kesimbangan antar elemen Keterpaduan

Prinsip Estika Islam Prinsip Infinit Dinamis Tanpa Batas Modular suksesif Repetisi Abstraksi

Visualisasi Ragam hias Masjid

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bedasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Ragam hias pada mazsjid atap tumpang merupakan pemaduan dari ragam hias tradional Jawa yang dipengaruhi agama Hindu dan disesuiakan dengan konsep-konsep estetika Islam. 2) Konsep estetika dalam ragam hias masjid atap tumpang berpedoman pada konsep estetika Islam yang menganutr paham infinitas atau tanpa batas dan di sesuaikan dengan karakter estetika Jawa yang menonjolkan keselarasan.

20

3) Bentuk-bentuk geometris pada umumnya digunakan sebagai penanda keislaman bangunan, sedangkan bentuk-bentuk yang lebih profan, dalam bentuk sulur-suluran, merupakan ungkapan kompromis antara konsep estetika Jawa yang tidak menyukai kekakuan bentuk dengan estetika Islam yang rumit.

Saran 1) Pembahasan tentang ragam hias dan fungsi simbolik didalamnya perlu diperluas ke wilayah lain, mengingat setiap daerah memiliki karakter yang berbeda. 2) Perbedaan karakter visual pada struktur ragam hias merupakan manifestasi simbolik dari ragam tersebut, berkaitan denga hal tersebut pendalaman tentang teori simbol dikaitkan dengan elemen visual pada kasus tempat peribadatan lain perlu dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai