Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Imajinasi Vol XII no 2 Juli 2018

Jurnal Imajinasi
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi

IKONOGRAFI ORNAMEN LAWANG BLEDHEG MASJID AGUNG DEMAK


Supatmo 1

1
Dosen Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Semarang

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Salah satu artefak peninggalan sejarah awal perkembangan budaya
Islam di pesisir Jawa adalah Masjid Agung Demak. Secara visual, seni
Diterima Juli 2018 bangunan Masjid Agung Demak bergaya seni tradisional pra-Islam
Disetujui Agustus 2018 (Hindhu, Budha, Jawa, China) dipadu dengan seni Islam. Hal ini dapat
Dipublikasikan September
diidentifikasi dari keberadaan atap tumpang bersusun tiga, hiasan
2018
puncak atap berbentuk mahkota (memolo), hingga keberadaan seni
Keywords:
hias (ornamen) pada berbagai elemen bangunan masjid. Salah satu
Ikonografi; elemen bangunan yang memiliki ornamen sangat unik dan fenomenal
Seni hias; adalah daun pintu utama masjid yang dikenal dengan sebutan lawang
Ornamen; bledheg (pintu petir). Penelitian ini bertujuan memperoleh penjelasan
Lawang bledheg dan pemahaman yang mendalam tentang ornamen lawang bledheg
pada bangunan Masjid Agung Demak melalui pendekatan analisis
ikonografi Panofsky (deskripsi pra-ikonografi, analisis ikonografi,
interpretasi ikonologi). Data dijaring menggunakan metode observasi,
wawancara, dan penelusuran dokumen. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ornamen lawang bledheg pada bangunan Masjid Agung Demak
merupakan ornamen nonstruktural dengan fungsi utama menambah
nilai keindahan (estetis) dan memiliki fungsi simbolis. Ornamen
tersebut berwujud ukiran pada daun pintu berbahan kayu jati dengan
model kupu-kupu, simetri-setangkup, saling berhadapan. Motif utama
berupa dua kepala naga dengan mulut menganga dan mata melotot.
Motif pendukung berupa dua jambangan, dua mahkota berbentuk
stupa, dan motif tumpal. Terdapat pula motif simbol Surya Majapahit
yang digubah menjadi mata naga. Motif tumbuhan menjalar (sulur-
suluran) menjadi pengisi bidang (isen-isen). Setiap motif tersebut
memiliki fungsi simbolis konstitutif yaitu simbol-simbol yang terbentuk
sebagai kepercayaan dan terkait ajaran agama tertentu. Secara estetis,
perwujudan ornamen lawang bledheg menunjukkan citra ngrawit,
ngremit, dan werit, yang mencerminkan nilai adiluhung. Dalam konteks
kesejarahan, ornamen lawang bledheg merupakan prasasti. Secara
ikonografis keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam pada
ornamen lawang bledheg merupakan pernyataan simbolis tentang
toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang
pada masa itu. Makna-makna simbolis bermuatan nilai-nilai pra-Islam
pada ornamen lawang bledheg dimaknai ulang dengan memasukkan
nilai-nilai Islami dengan pendekatan mengambil bentuk (wadhah) dan
mengganti isi (makna).


Corresponding author : © 2018 Semarang State University. All rights reserved
Address: Jurusan Seni Rupa
Universitas Negeri Semarang
Email : supatmo@mail.unnes.ac.id UNNES JOURNALS
30 Supatmo. Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak

PENDAHULUAN bersifat konstan, namun selalu mengalami


perubahan. Perubahan budaya terjadi
Kebudayaan dapat dipahami antara lain karena ada kontak dua atau
sebagai bentuk keseluruhan pengetahuan, lebih kebudayaan yang berbeda. Menurut
kepercayaan, dan nilai yang dimiliki Koentjaraningrat (1977), proses perubahan
manusia sebagai makhluk sosial, yang berisi kebudayaan dapat terjadi melalui berbagai
perangkat model pengetahuan atau sistem proses. (1) Proses belajar terhadap
makna, yang terjalin secara menyeluruh kebudayaan sendiri: meliputi proses
dalam simbol yang ditransmisikan secara internalisasi, proses belajar perbentukan
historis. Model pengetahuan itu digunakan kepribadian yang bersifat individual dalam
secara selektif dan kolektif oleh warga suatu kelompok, sejak individu dilahirkan
masyarakat pendukung kebudayaan hingga proses perkembangan selanjutnya;
untuk berkomunikasi, konservasi, dan proses sosialisasi, yang terjadi atas pandangan
menghubungkan berbagai pengetahuan, bahwa kebudayaan merupakan bagian dari
serta bersikap dan bertindak dalam rangka proses sosialisasi berbagai individu dan
memenuhi kebutuhan hidup (Geertz 1973: berkaitan dengan pola tindakan individu
89). dalam kedudukannya bermasyarakat; dan
Kebudayaan suatu masyarakat proses pembudayaan (enkulturasi), yaitu
diperoleh melalui proses belajar dalam proses belajar dan peyesuaian alam pikiran
pengertian yang luas, artinya kebudayaan serta sikap terhadap adat, sistem norma,
tidak dibawa dari lahir, tetapi terbentuk dan peraturan yang terdapat dalam suatu
secara empiris. Kebudayaan hadir dalam kebudayaan. (2) Proses evolusi: perubahan
kehidupan masyarakat melalui tiga budaya yang terjadi secara berulang namun
perwujudan, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam interval waktu yang amat panjang.
sebagai suatu kompleksitas gagasan, (3) Proses difusi: proses perubahan
nilai, norma, peraturan dan sebagainya, budaya yang terjadi sebagai akibat dari
yang berada dalam alam pikiran warga penyebaran (migrasi) kelompok manusia,
masyarakat, atau berupa tulisan, karangan yang membawa serta unsur kebudayaannya.
warga masyarakat; (2) wujud kebudayaan (4) Proses pembaruan (inovasi): perubahan
sebagai suatu aktivitas kompleks perilaku budaya sebagai akibat dari penemuan baru
berpola dalam bermasyarakat, berupa sistem pada unsur kebudayaan, khususnya sistem
sosial yang berlaku dalam masyarakat; (3) teknologi dan sistem ekonomi. (5) Proses
wujud kebudayaan sebagai barang hasil akulturasi dan asimilasi: perubahan budaya
karya manusia dalam masyarakatnya, karena adanya percampuran unsur budaya
berwujud kebudayaan fisik benda nyata. asing terhadap budaya masyarakat tertentu.
Secara lebih lugas dapat dinyatakan bahwa Artefak peninggalan sejarah awal
wujud kebudayaan terdiri atas sistem perkembangan Islam di Pulau Jawa terutama
gagasan (ideas), benda fisik (artifact), dan berupa bangunan masjid yang tersebar di
sistem tingkah laku terpola-sistem sosial sepanjang pantai utara (pantura). Salah
(activities). Isi kebudayaan terdiri atas tujuh satu peninggalan sejarah tersebut adalah
unsur, yang sering disebut sebagai unsur Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak
universal kebudayaan, meliputi sistem religi, merupakan tonggak penting dalam sejarah
sistem dan organisasi kemasyarakatan, perkembangan awal budaya Islam di
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, Jawa. Hingga saat ini Masjid Agung Demak
sistem mata pencaharian hidup, dan sistem menjadi ikon utama kota Demak Jawa
teknologi (Honigman dalam Soekiman 2000: Tengah. Masjid Agung Demak menjadi pusat
40-41). aktivitas keagamaan maupun kebudayaan
Kebudayaan bukan suatu hal yang bagi masyarakat pendukung sekaligus
UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi XII no 2 Juli 2018 31

menjadi salah satu situs bersejarah yang pada narasumber, yaitu pengelola masjid
selalu ramai dikunjungi masyarakat dari dan pengelola museum yang memahami
berbagai daerah nusantara. Secara visual, persoalan dimaksud, serta pengunjung
bangunan Masjid Agung Demak memiliki (masyarakat pendukung). Untuk
wujud yang unik baik struktur, bentuk, melengkapi data dilakukan penelusuran
maupun elemen-elemen estetis yang berupa dokumen-dokumen terkait yang tersimpan
seni hias (ornamen). Keberadaan ornamen dalam Museum Masjid Agung Demak.
tersebar di berbagai bagian bangunan Triangulasi data dilakukan dengan cara
masjid. Salah satu elemen yang memiliki memperbandingkan data sejenis yang
ornamen sangat unik dan fenomenal adalah diperoleh dari berbagai metode penjaringan
daun pintu utama yang dikenal dengan nama data tersebut
lawang bledheg. Penelitian ini bertujuan Analisis dilakukan menggunakan
memperoleh penjelasan dan pemahaman pendekatan ikonografis Panofsky, yang
yang mendalam tentang ornamen lawang berupa serangkaian penjelasan: (1)
bledheg pada bangunan Masjid Agung Demak preiconographical description, yaitu
melalui pendekatan analisis ikonografi mengindentifikasi dan mendeskripsikan
Panofsky (deskripsi pra-ikonografi, analisis ciri-ciri visual unsur etetis objek berupa
ikonografi, dan interpretasi ikonologi). ornamen lawang bledeg bangunan Masjid
Agung Demak; (2) iconographical analysis,
METODE PENELITIAN yaitu analisis serangkaian konfigurasi
antarunsur visual ornamen lawang
Obyek penelitian ini berupa bledheg Masjid Agung Demak dengan
perwujudan estetis seni hias (ornamen) mempertimbangkan berbagai gejala
lawang bledheg yang terdapat pada visual; dan (3) iconological interpretation,
bangunan Masjid Agung Demak. Mengingat yaitu interpretasi makna dari tanda visual
obyek kajian berupa perwujudan budaya fisik (simbolisasi) terkait gagasan, keyakinan,
(artefak), mengandung dimensi kesejarahan dan nilai-nilai budaya masyarakat
(historikal), dan memiliki nilai-nilai budaya pendukung (communal support) dalam
yang melingkupinya, maka pendekatan aspek kesejarahan yang melingkupinya.
utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah ikonografis. Secara garis besar HASIL DAN PEMBAHASAN
pendekatan ikonografis Panofsky (1955)
merupakan suatu rangkaian penjelasan Masjid Agung Demak: Selintas Pandang
yang mencakupi pre-iconographical
description, iconographical analysis, dan Masjid Agung Demak merupakan
iconological interpretation terhadap unsur- seni bangunan sakral bagi masyarakat
unsur suatu perbentukan ikon visual yang pendukungnya (umat muslim). Secara
dapat dipahami sebagai realitas sosial. estetis, Masjid Agung Demak beserta
Penjaringan data menggunakan metode beragam ornamennya merupakan
observasi, wawancara, dan penelusuran perwujudan seni islami. Menurut Shihab
dokumen. Observasi diarahkan pada wujud (dalam Ambary, dkk. 1995:7), interaksi Islam
estetis ornamen lawang bledheg bangunan terhadap kesenian melahirkan terminologi
Masjid Agung Demak. Lawang bledheg yang seni islami. Seni islami merupakan seni
diobservasi berupa lawang bledheg asli yang yang dilandasi oleh pandangan filosofis
merupakan benda cagar budaya (tersimpan nilai keindahan keislaman. Seni islami tidak
di Museum Masjid Agung Demak) dan harus berbicara tentang Islam, juga tidak
lawang bledheg replika yang terpasang pada harus berupa anjuran berbuat kebajikan
bangunan masjid. Wawancara dilakukan sesuai ajaran Islam, bukan pula penampilan
UNNES JOURNALS
32 Supatmo. Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak

abstrak tentang aqidah Islam, tetapi seni muslim yaitu iman, Islam, dan ihsan.
yang menggambarkan perwujudan tersebut Masjid Agung Demak menjadi
dengan bahasa yang indah sesuai ekspresi warisan budaya bangsa Indonesia dan telah
fitrah manusia. Seni islami adalah ekspresi ditetapkan sebagai situs cagar budaya dalam
tentang keindahan wujud dari sisi pandang UU No.5/1992, yang ditegaskan pula dengan
Islam tentang alam, manusia, dan kehidupan PP No.10/ 1993. Sebagai cagar budaya Islam,
yang mengantarkan menuju pertemuan keberadaan Masjid Agung Demak menjadi
sempurna antara kebenaran dan keindahan. entitas yang sangat penting bagi bangsa
Masjid Agung Demak berada di Desa Indonesia atau bangsa-bangsa serumpun,
Kauman, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. bahkan dunia Islam pada umumnya.
Masjid bersejarah ini merupakan salah Berdasarkan data (dokumen) pada Museum
satu mesjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid Agung Demak, obyek-obyek bernilai
Lokasi Masjid Agung Demak kurang lebih historis dan arkeologis yang menjadi
berjarak sekitar 26 kilo meter dari Kota benda-benda cagar budaya mencakupi: (1)
Semarang, 25 kilo meter dari Kota Kudus, bangunan masjid konstruksi kayu dan atap
dan 35 kilo meter dari Kota Jepara. Masjid limas susun (tumpang) tiga; (2) delapan
Agung Demak berada di tengah kota dan tiang serambi Majapahit; (3) bedhug dan
menghadap ke alun-alun yang luas. Seperti kenthongan masjid; (4) kolam wudlu; (5)
pola umum tata ruang kota-kota di Pulau dhampar kencana; (6) lawang bledheg; (7)
Jawa hingga masa kini, Masjid Agung Demak piringan keramik (65 buah); (8) simbol
berdiri menghadap alun-alun yang luas. kesultanan Demak (Surya Majapahit); (9)
Berdirinya masjid ini diperkirakan pada mushola wanita (pawestren); (10) kaligrafi
masa kepemimpinan Raden Patah, sultan glass in lood; (11) maksurah/ khalwat; (12)
pertama Kesultanan Demak, awal abad ke- ukiran kaligrafi Illahiah; dan (13) menara
15 Masehi. Masa pendirian masjid Agung adzan.
Demak ditandai dengan kronogram berupa Keberadaan beragam ornamen pada
sengkalan memet gambar bulus terbentang bangunan Masjid Agung Demak merupakan
pada mihrab, dibaca Sarira Sunyi Kiblating aktualisasi gagasan tentang seni hias Islam
Gusti (angka tahun 1401 S atau 1479 M). dengan berbagai perwujudannya. Salah satu
Luas bangunan utama Masjid Agung obyek cagar budaya yang sangat unik dan
Demak adalah 31 x 31 meter, serambi sangat fenomenal dari aspek ornamennya
masjid berukuran 31 x 15 meter dengan adalah lawang bledheg. Ornamen lawang
panjang keliling 35 x 2,35 meter. Serambi bledheg sangat menonjol dibanding
masjid berbentuk bangunan yang terbuka. ornamen-ornamen pada obyek lain. Obyek
Bangunan masjid disangga dengan 4 inilah yang menjadi sasaran penelitian ini
tiang utama (saka guru), tiang penyangga dan hendak dianalisis lebih lanjut dengan
bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang pendekatan ikonografis.
penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan
tiang kelilingnya berjumlah 16 buah. Salah Deskripsi Pra-ikonografi (Pre-
satu saka guru dikenal sebagai saka tatal iconographical Description)
(sisi timur-utara), karena dipercaya pada
ruas saka tersebut disusun dari serpihan- Lawang bledheg (Jawa) yang dalam
serpihan kayu (Jawa: tatal) oleh Sunan Bahasa Indonesia berarti ‘pintu petir’ adalah
Kalijaga. Atap serambi berbentuk limas pintu utama Masjid agung Demak, yang
ditopang delapan tiang yang disebut Saka dapat diakses dari serambi depan (dengan
Majapahit. Atap bagunan utama berbentuk pilar-pilar Saka Majapahit) menuju dalam
limas susun tiga (atap tumpang) sebagai ruang dalam masjid. Lawang bledheg yang
gambaran tingkat kesalehan normatit kaum difungsikan saat ini merupakan replika dari

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi XII no 2 Juli 2018 33

lawang bledheg asli. Kondisi ornamen replika


lawang bledheg berbeda dengan aslinya
dalam hal tampilan visual maupun kualitas
teknik ukirnya sehingga tampak kasar dan
kurang detil. Karena kondisinya yang sudah
termakan usia, saat ini lawang bledheg asli
disimpan di museum Masid Agung Demak.
Selanjutnya analisis dilakukan pada lawang
bledheg asli, yang saat ini menjadi obyek
cagar budaya.
Secara fisik, lawang bledheg
merupakan unit pintu (daun pintu dan kusen).
Berdasarkan keterangan pengelola Museum
Masjid Agung Demak, daun pintu tersebut
terbuat dari bahan inti (galeh) kayu jati
alas yang diolah sehingga memiliki karakter
kuat, padat, halus, dan awet. Daun pintu
tersebut terdiri atas dua bagian (setangkup), Gambar 1. Lawang bledheg replika sebagai
kanan dan kiri membuka di tengah (model pintu utama masuk masjid
pintu kupu-kupu), berukuran sekitar tinggi
225 cm dan lebar 150 cm. Daun pintu penuh
dengan hiasan (ornamen) ukir yang sangat
detil. Ornamen tersebut berlatar belakang
warna merah secara dominan, beberapa
bagian terdapat warna putih, hijau, sebagian
besar dipertahankan warna kayunya.
Lawang bledheg berornamen ukiran dengan
motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung),
jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal,
camara, dan kepala binatang (naga) dengan
mulut terbuka menampakkan gigi-giginya
yang runcing dengan dominasi warna Gambar 2. Lawang bledheg (asli)
merah. Struktur perbentukan ornamen merupakan obyek cagar budaya, tersimpan
terdiri atas motif utama berupa kepala naga, di Museum Masjid Agung Demak
motif pendukung berupa jambangan dan
tetumbuhan (suluran) dan motif-motif isen Analisis Ikonografi (Iconographical
organis. Bila dilihat secara lebih detil, pada Analysis)
mata naga terdapat motif matahari bersinar
(Surya Majapahit). Motif-motif ornamen dua Lawang bledheg Masjid Agung
daun pintu tersebut terpola sama antara Demak merupakan tanda (ikon) yang
satu dengan yang lainnya, dengan posisi memiliki makna simbolis. Keunikan dan
saling berhadapan (mirror). kebermaknaan lawang bledheg tersebut
terletak pada seni hias atau ornamennya.
Seni hias merupakan unsur tak terpisahkan
dalam seni bangunan. Hiasan pada seni
bangun dapat dikelompokkan menjadi
hiasan aktif (struktural) dan hiasan pasif
(ornamental). Hiasan struktural merupakan

UNNES JOURNALS
34 Supatmo. Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak

hiasan, yang selain memiliki nilai estetis, werit (wingit) berarti, magis, penuh makna
juga memiliki fungsi fisik sebagai bagian simbolis yang mendalam. Menurut Gustami
struktur dari unsur tertentu pada suatu (1997), ornamen ukir dengan gejala
bangunan (Sukiman, 2000). Keberadaannya ngrawit, ngremit, dan werit selain mampu
sebagai unsur bangunan bersifat konstan, memenuhi kebutuhan fungsional, juga
dalam pengertian tidak dapat dihilangkan dapat memberikan kepuasan estetik, dan
atau dipindah sewaktu-waktu tanpa penuh makna simbolik, yang mencerminkan
membongkar struktur bagian bangunan nilai adiluhung. Penggambaran detil terlihat
tersebut. Seni hias pasif (nonstruktural), pada motif utama berupa kepala naga.
yang sering disebut ornamen merupakan Motif-motif yang dihadirkan merupakan
wujud aplikasi dari pola hias, sedangkan penggayaan (stilisasi) bentuk-bentuk yang
pola hias (pattern) merupakan sebaran berorientasi pada alam maupun imajinasi.
atau pengulangan motif (corak, ragam) hias Motif utama berupa dua kepala binatang
tertentu. Pemakaian ornamen dimaksudkan imajinatif (mitologis) naga yang saling
untutk mendukung atau meningkatkan berhadapan. Detil perupaan setiap wajah
kualitas dan nilai estetis suatu benda atau naga tampak jelas raut-rautnya, mulut
karya manusia. Dalam Encyclopedia of terbuka dengan gigi-gigi tajam dan memiliki
World Art, ornamen diartikan sebagai motif dua hiasan telinga (sumping) dengan ukuran
dan tema yang dipakai pada benda seni, cukup besar. Mata naga digambarkan hanya
bangunan, atau permukaan apa saja, tetapi satu (tampak samping) sedang melotot,
tidak memiliki fungsi struktural dan guna mulut menganga menyemburkan api yang
pakai, dalam pengertian bahwa ornamen itu berkobar secara ritmik. Bila diamati secara
dipakai semata-mata untuk hiasan. Dalam lebih seksama, di dalam mata naga tersebut
tradisi seni hias Islam, ornamen dipandang tergambar matahari bersinar, simbol Surya
bukan sekadar tambahan pada permukaan Majapahit, dengan garis-garis lembut. Di
karya sebagai hiasan, tetapi memiliki makna bagian bawah kepala naga terdapat motif
yang lebih mendalam. Menurut Gustami pendukung berupa jambangan dengan
(1997), ornamen merupakan komponen hiasan isian (isen-isen) bunga dan sulur-
produk seni yang ditambahkan atau suluran dengan format simetris. Di kanan-
sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. kiri motif jambangan juga terdapat motif
Sunaryo (2009: 3) menegaskan bahwa tambahan berupa sulur-suluran. Di atas
ornamen merupakan penerapan hiasan kepala naga terdapat motif mahkota yang
pada suatu produk. Kehadiran ornamen menyerupai bentuk stupa dengan hiasan
berfungsi utama untuk memperindah benda isen-isen berupa bunga dan sulur-suluran.
yang dihias tersebut. Sebagai karya seni, Pada bagian kanan-kiri mahkota (stupa)
ornamen berarti hiasan yang bersifat indah. terdapat hiasan berbentuk camara. Tepat di
Oleh karena itu, seni onamen memiliki atas mahkota terdapat motif tumpal dengan
fungsi menghiasi suatu benda atau barang hiasan sulur-suluran. Konfigurasi antar
sehingga menjadikan benda atau barang itu elemen satu dengan yang lainnya (motif-
tampak lebih atau bernilai indah, berharga, motif) tampak menyatu dan harmonis
dan bermakna. dengan format simetris. Ruang-ruang kosong
Ornamen lawang bledheg berupa diisi sepenuhnya dengan isen-isen motif
ukiran kayu yang yang sangat menarik, sulur-suluran yang terkesan sangat ritmis.
indah, dan unik memiliki gejala ngrawit, Bentuk-bentuk dan susunan motif-motif
ngremit, dan werit. Dalam istilah lokal tersebut diukir dengan model cembung-
(Jawa), ngrawit berarti sangat detil hingga cekung, tidak terlalu dalam, sedangkan
sekecil-kecilnya; ngremit berarti asri, bagian latar belakang diwarna merah
indah, elok, mengagumkam, dan rumit; dan sehingga tampak kontras perbentukan

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi XII no 2 Juli 2018 35

Gambar 3. Detil ornamen lawang bledheg Masjid Agung Demak

ukirannya. Selo selalu ramai dikunjungi oleh para


peziarah, terutama pada malam Jum’at,
Interpretasi Ikonologi (Iconological dengan tujuan untuk mencari berkah agar
Interpretation) permohonannya dikabulkan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Ki Ageng Selo dipercaya
Nama lawang bledheg sebenarnya memiliki kesaktian yang sangat luar
diambil dari salah satu motif ornamennya biasa. Salah satu kesaktiannya adalah bisa
yang berwujud kepala naga. Naga merupakan menangkap petir (bledheg). Narasumber
binatang imajinatif dalam mitologi China lain menyatakan bahwa Ki Ageng Selo
sebagai penjaga dan menyebarkan kebaikan. atau Ki Ageng Ngabdurahman adalah
Pada ornamen lawang bledheg tersebut sosok tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja
naga digambarkan dengan mulut terbuka, Kesultanan Mataram. Ki Ageng Selo adalah
tampak gigi-gigi tajamnya berwarna putih, keturunan langsung Brawijaya (raja terakhir
mata melotot, dan dari mulutnya keluar Majapahit) yang menjadi guru Sultan
semburan api. Beradasarkan keterangan Adiwijaya pendiri Kesultanan Pajang, dan
narasumber dan dipercayai oleh masyarakat adalah kakek dari Panembahan Senapati
pendukung, lawang bledheg dibuat oleh Ki pendiri Kesultanan Mataram.
Ageng Selo, dan sosok yang digambar pada Dalam cerita tutur masyarakat
ornamen tersebut adalah penjelmaan petir setempat dikisahkan, semasa Sultan Demak,
(bledheg) yang ditangkapnya. Masyarakat Sultan Trenggana masih hidup, suatu
pendukung mengaitkan keberadaan lawang hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari
bledheg dengan cerita tutur tentang Ki itu mendung sangat tebal, pertanda akan
Ageng Selo yang mampu menangkap petir. Ki turun hujan. Tidak lama kemudian, hujan
Ageng Selo dipercaya dimakamkan di Desa benar-benar turun sangat lebat, petir tidak
Selo, Kecamatan Tawangharjo, sekitar 10 km henti-henti menyambar kian-kemari. Ki
sebelah timur kota Purwodadi, Kabupaten Ageng Sela tetap saja menyangkul. Tiba-
Grobogan. Hingga saat ini makam Ki Ageng tiba persis di atas kepala Ki Ageng Selo

UNNES JOURNALS
36 Supatmo. Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak

terdengar bledheg (suara petir) menyambar. kehadiran ornamen tidak semata-mata


Berkat kesaktiannya, Ki Ageng Selo berhasil mengisi bagian kosong suatu benda atau
menangkap bledheg tersebut. Bledheg karya, tetapi memiliki fungsi estetis, fungsi
berwujud naga, yang ditangkap Ki Ageng Selo simbolis, dan fungsi teknis konstruksi.
itu kemudian diikat kuat-kuat pada pohon Fungsi estetis merupakan fungsi ornamen
gandri. Ki Ageng Selo tetap melanjutkan untuk memperindah penampilan benda
menyelesaikan pekerjaannya. Selesai yang dihiasi sehingga menjadi karya seni.
bekerja, bledheg dibawa pulang hendak Fungsi yang demikian tampak pada produk
diberikan kepada Sultan Demak. Dalam benda kerajinan atau kriya. Fungsi estetis
perjalanan pulang itu naga berubah menjadi ini kadang melebihi fungsi praktis benda
seorang kakek renta. Oleh Sultan kakek renta atau produk dimaksud. Fungsi simbolis
penjelmaan bledheg itu dikerangkeng di ornamen pada umumnya diterapkan pada
alun-alun dan menjadi tontonan masyarakat. produk-produk benda upacara atau benda-
Ketika itu datanglah seorang nenek dengan benda pusaka yang bersifat keagamaan
membawa kendhi berisi air mendekati atau kepercayaan. Fungsi teknis konstruksi
kerangkeng lalu menyiramkannya ke arah ornamen berperan secara struktural untuk
sang kakek. Seketika itu terdengar suara menyangga, menopang, menghubungkan
petir menggelegar dan lenyaplah sang atau memperkokoh konstruksi. Fungsi
kakek dalam kerangkeng tersebut bersama- ornamen yang demikian banyak dijumpai
sama sang nenek. Dikisahkan, setelah pada karya seni bangunan (arsitektur).
peristiwa itu lalu Ki Ageng Selo berpesan Al-Faruqi dan Lois al-Faruqi (1992: 406)
kepada seluruh warga, bila suatu hari menjelaskan bahwa ornamentasi Islam
terjadi petir menyambar maka berujarlah: memiliki fungsi nonfisik (makna) yang
“gandri putune Ki Ageng Selo”, dengan itu berfungsi mengingatkan keesaan dan
maka selamatlah dari sambaran petir. Ki keabsolutan Tuhan (tawhid), transfigurasi
Ageng Selo mengabadikan peristiwa itu bahan, transfigurasi struktur, dan
dalam motif dua kepala naga yang saling makna keindahan (estetis). Ornamentasi
berhadapan pada ornamen dua daun pintu merupakan konkritisasi secara esensial
yang kemudian diserahkan kepada Sultan nilai estetis muslim untuk menciptakan
Demak dan diberi nama lawang bledheg, suasana dan kondisi kesadaran terhadap
dipasang menjadi pintu utama Masjid transendensi ilahiah, dan menjadi inti dari
Agung Demak. Karena kepiawaian Ki Ageng penegasan spiritual dan kreasi artistik
Selo juga, ornamen lawang bledheg tersebut muslim dengan lingkungannya. Dalam
sekaligus menjadi semacam prasasti perkembangannya ornamentasi Islam
pengingat angka tahun berwujud sengkalan mengalami keragaman karena pengaruh
memet (chronogram) dibaca “naga mulat selera etnik, ras, budaya regional.
salira wani” (angka tahun 1388 S atau Berdasarkan informasi dari
1466 M). Dalam konsep sengkalan memet, berbagai narasumber dan referensi yang
naga diasosiasikan dengan angka 8, mulat dikumpulkan, ornamen lawang bledheg
diasosiasikan angka 8, salira diasosiasikan dapat diinterpretasi secara simbolis dalam
angka 3, dan wani dengan angka 1. Angka kaitannya dengan nilai-nilai tradisi pra-
tahun tersebut diyakini sebagai tahun cikal- Islam yang berseninambungan dengan nilai-
bakal berdirinya masjid Agung Demak nilai Islam. Secara simbolis, motif mahkota
sebelum dijadikan masjid agung. berbentuk stupa merupakan tradisi Budha.
Selain berfungsi menambah Stupa merupakan simbol perjalanan sang
keindahan (estetis), ornamen lawang Budha hingga mencapai nirwana. Dalam
bledheg juga mengemban fungsi simbolis. hal ini, makna simbolis tersebut diadaptasi
Sunaryo (2009: 4-7) menjelaskan bahwa dengan pendekatan diambil bentuknya

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi XII no 2 Juli 2018 37

(wadahnya) dan diganti isinya (maknanya), sembilan dewa Hindu yang disebut Dewata
mahkota dimaknai sebagai simbol Nawa Sanga. Dewa-dewa utama di bagian
keagungan dan kemuliaan Allah. Motif tengah ini diatur dalam posisi delapan arah
kepala naga merupakan pengaruh tradisi mata angin dan satu di tengah. Dewa-dewa
seni hias China. Naga merupakan binatang ini diatur dalam posisi: Tengah-Siwa, Timur-
mitologis sebagai penjaga kebaikan. Iswara, Barat-Mahadewa, Utara-Wishnu,
Dari aspek estetis, perwujudan naga Selatan-Brahma, Timur laut-Sambhu, Barat
tersebut telah diadaptasi, berbeda dengan Laut-Sangkara, Tenggara-Mahesora, Barat
perwujudan naga tradisi seni hias China. Daya-Rudra. Dewa-dewa pendamping
Motif kepala naga yang menyemburkan api lainnya terletak pada lingkaran luar
dimaknai sebagai simbolisasi sifat Maha Matahari dan dilambangkan sebagai delapan
Kuasa yang hanya dimiliki Allah sekaligus jurai sinar Matahari: Timur-Indra, Barat-
sebagai manifestasi petir (bledheg) sebagai Baruna, Utara-Kuwera, Selatan-Yama, Timur
simbol bahwa kaum muslim harus mampu Laut-Isana, Barat Laut-Bayu, Tenggara-Agni,
mengendalikan kekuatan dan amarah yang Barat Daya-Nrtti (https://id.wikipedia.
ada dalam dirinya. Sebagai motif tradisi pra- org/wiki/Surya_Majapahit). Keberadaan
Islam, motif tumpal secara islami dimaknai motif tersebut merupakan pernyataan
sebagai simbol relasi vertikal antara simbolis penghormatan Kesultanan
manusia (makhluk) dengan Allah sang Demak atas Kerajaan Majapahit yang
Maha Pencipta (khaliq). Motif jambangan sebelumnya menguasai wilayah Kesultanan
merupakan kesinambungan tradisi Jawa- Demak sekaligus menjadi simbol bahwa
Budha, yang secara islami dimaknai sebagai kesinambungan budaya Islam dengan pra-
simbol ajaran Islam yang menjadi rahmat Islam.
bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Secara keseluruhan ornamen lawang
Dalam ornamen lawang bledheg juga bledheg merupakan wujud perpaduan
terdapat motif sulur-suluran atau lung- beragam tradisi seni hias pra-Islam yang
lungan sebagai manifestasi dari tumbuhan diislamisasi dengan mengubah (memaknai
menjalar (kalpalata). Motif seperti ini kembali) makna simbolisnya dengan nilai-
merupakan kesinambungan tradisi seni nilai Islam sesuai kebutuhan pada masa
hias pra-Islam (Hindu-Budha). Secara itu. Kisah-kisah (cerita tutur) tentang
islami motif ini dimaknai sebagai simbol relasi lawang bledheg dengan tokoh Ki
kelembutan, kelenturan, dan toleransi Ageng Selo yang mampu menangkap
budaya Islam dengan budaya pra-Islam, petir (bledheg) bisa diinterpretasi sebagai
penggambaran hubungan umat muslim perumpamaan (metafora) mengingat tradisi
secara horizontal dengan masyarakat lain masyarakat Jawa di masa lalu yang gemar
dan dengan alam, seperti yang diajarkan menggunakan sanepa (perumpamaan)
oleh para wali. Lambang Surya Majapahit dalam menyampaikan pesan-pesan atau
(Hindu-Budha) digubah menjadi mata peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam dimensi
naga. Dalam tradisi seni hias Majapahit, kesejarahan, kisah-kisah tersebut juga
Surya Majapahit berbentuk bintang delapan belum bisa menjadi narasi sejarah yang jelas
dengan lingkaran bulat di tengahnya, karena memang belum ditemukan bukti-
sebagai penggambaran matahari (surya) bukti sejarah yang otentik. Dalam konteks
dengan sinar cahayanya. Surya Majapahit penyebaran ajaran agama dan budaya
merupakan lambang Kerajaan Majapahit Islam pada masa awal perkembangannya
(Hindu-Budha). Bentuk paling umum (abad XV) di Jawa (Demak), ornamen
dari Surya Majapahit terdiri atas gambar lawang bledheg pada bangunan Masjid
sembilan dewa dan delapan berkas cahaya Agung Demak dengan rangkaian kisah
matahari. Lingkaran di tengah menampilkan Ki Ageng Selo yang menyelimutinya, bisa

UNNES JOURNALS
38 Supatmo. Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak

dimaknai secara interpretatif sebagi simbol pra-Islam (Jawa, Hindhu, Budha, dan China)
pengendalian dan penyatuan pluralitas pada ornamen lawang bledheg Masjid Agung
masyakat pra-Islam (Jawa, Hindhu, Budha, Demak merupakan pernyataan simbolis
China) dalam wadah agama dan budaya baru tentang toleransi terhadap pluralitas budaya
yaitu Islam dengan menjunjung tingga nilai masyarakat yang berkembang pada masa
toleransi. Hal itu sekaligus menjadi strategi awal budaya Islam di Jawa (Demak). Pada
penyebaran (syi’ar) Islam di Nusantara oleh masa awal perkembangan budaya Islam di
para wali. Jawa mayoritas masyarakat adalah pemeluk
agama dan pelaku tradisi budaya Jawa,
PENUTUP Hindhu, Budha, dan mendapat pengaruh
tradisi China. Atas dasar itulah ornamen
Ornamen lawang bledheg pada lawang bledheg, yang diyakini dibuat oleh Ki
bangunan Masjid Agung Demak berjenis Ageng Selo atau Ki Ageng Ngabdurrahman,
ornamen nonstruktural (hiasan) yang memuat perpaduan simbol-simbol budaya
memiliki fungsi estetis dan fungsi simbolis. tersebut, sebagai strategi penyebaran
Ornamen berwujud ukiran pada kayu jati budaya Islam melalui seni ornamen. Makna-
dengan motif-motif penggayaan (stilisasi) makna simbolis bermuatan nilai-nilai
bentuk-bentuk alam dan imajinatif pra-Islam pada ornamen lawang bledheg
(mitologis). Secara visual, motif utama dimaknai kembali (diganti) dengan nilai-
berupa dua kepala naga dengan mulut nilai Islam, sehingga terjadi proses islami
menganga dan mata melotot. Motif naga dengan pendekatan mengambil bentuk
tersebut merupakan bentuk kesinambungan (wadhah) mengganti isi (makna).
tradisi seni hias China. Motif pendukung
berupa dua jambangan, dua mahkota DAFTAR PUSTAKA
berbentuk stupa, dan motif tumpal. Selain itu
terdapat pula simbol Surya Majapahit yang Al-Faruqi, Ismai’l R. dan Lamya Lois-al-
digubah menjadi mata naga. Setiap motif Faruqi.1992. The Cultural Atlas of Islam,
alih Bahasa Malaysia: Othman, Ridzuan,
tersebut bermuatan simbolis. Simbolisasi
et al. 1992. Atlas Budaya Islam. Kuala
tersebut adalah simbol konstitutif yaitu Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
simbol-simbol yang terbentuk sebagai Kementerian Pendidikan Malaysia.
kepercayaan-kepercayaan dan terkait ajaran
agama. Ambary, Hasan Mu’arif. 1998. Menemukan
Secara estetis, perwujudan ornamen Peradaban Jejak Arkeologis & Historis
Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
lawang bledheg menunjukkan gejala ngrawit
Ilmu.
yang berarti sangat detil hingga sekecil-
kecilnya; ngremit yang berarti asri, indah, Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation Cultures.
elok, mengagumkam, rumit; dan werit New York: Basic Books Inc. Publisher.
(wingit) yang berarti, magis, penuh makna
simbolis yang mendalam. Ornamen ukir Gustami, SP., 1997. “Industri Seni Kerajinan Ukir
Jepara, Kelangsungan dan Perubahannya”,
dengan gejala ngrawit, ngremit, dan werit
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
mencerminkan nilai adiluhung. Ornamen pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.
lawang bledheg juga prasasti peringatan Yogyakarta: tidak diterbitkan.
angka tahun berupa sengkalan memet
(chronogram) yang terbaca “naga mulat Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok
salira wani” (angka tahun 1388 S atau 1466 Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
M).
Panofsky, Erwin. 1955. Meaning in The Visual
Dalam dimensi ikonografis, Arts: Paper in and on Arts History. Garden
keberadaan motif-motif tradisi seni hias City, NY: Doubleday Anchor Books.

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi XII no 2 Juli 2018 39

Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan


Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di
Jawa.Yogyakarta: Bentang.

Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara.


Semarang: Dahara Press.

https://id.wikipedia.org/wiki/Surya_Majapahit
diakses tanggal 20 Mei 2018.

UNNES JOURNALS
40 Supatmo. Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak

UNNES JOURNALS

Anda mungkin juga menyukai