Anda di halaman 1dari 3

Politik Porno, No !

1
Zaki Nabiha2

Tarik ulur pengesahan RUU Pornografi (yang semula RUU Anti Pornografi dan
Pornoaksi dan kemudian berubah menjadi RUU Anti Pornografi) kembali terjadi.
Keputusan DPR untuk melakukan uji kesahihan di tiga daerah (Bali, Sulawesi Utara,
dan Yogya) oleh kalangan yang mendesak segera disahkannya RUU ini dianggap
sebagai bentuk tindakan yang tidak negarawan (KH. Amidhan) yang “manut” kepada
kepentingan industri pornografi. Dua kutub yang saling tarik-ulur pada prinsipnya
sepakat untuk menolak segala macam bentuk pornoaksi dan pornografi. Karena diyakini
moral bangsa akan tergerus sedemikian rupa apalagi pornografi sudah memadati “dunia
maya” dengan 4.200.000 situs porno dunia dan 100.000 situs porno di Indonesia (Son
Kuswadi, Depkominfo)

Namun dari semua itu ada pangkal permasalahan yang sudah akut, yaitu bahwa
pornoaksi ternyata dalam perjalanannya sudah menjangkiti dunia politik kita yang
menurut pendapat Yves Michaud (1976) dan dikutip oleh Haryatmoko disebut sebagai
”Politik Porno”. Istilah politik porno digunakan untuk mengambarkan segala bentuk
kekerasan politik yang dilakukan untuk tujuan dan maksud tertentu. Beberapa bentuk
politik porno antara lain perampokan untuk biaya perjuangan politik, rekayasa
anggaran, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi. Nilai-nilai
moral dan ideologi tersandera oleh bilangan materi. Untuk sebuah kekuasaan tak
sungkan-sungkan “menjual diri” sehingga tidak mengherankan jika politisi tidak
ubahnya bak pelacur. Hanya saja, menurut Rudi Gunawan dalam bukunya, Pelacur dan
Politikus, yang satu melacur dengan menggunakan (maaf) “anu”-nya, sedangkan yang
satu lagi melacur dengan inteleknya (baca-kekuasaan).

Politik yang asasinya merupakan sesuatu yang diyakini mampu mewujudkan


kesejahteraan rakyat justru hari ini tidak terlihat jelas esensi, fungsi, dan tujuannya.
Terbukanya tabir kasus aliran “uang panas” pada pemilihan Deputi Gubernur Senior BI
ke sejumlah legislator dan lanjutan kasus dugaan suap pengalihan hutan lindung di
Bintan yang menyeret politisi Al Amin Nasution dan Yusuf Emir Faisal cukup
menununjukkan bahwa moralitas elit partai seakan berada di ujung tubir. Partai politik
yang sejatinya dibentuk sebagai wadah untuk mengartikulasikan kepentinganan orang
1
banyak (common good) dalam perjalanannya hanya sebatas mengakomodasi
kepentingan tertentu untuk merebut kekuasaan sehingga dampaknya dalam berbagai
sektor kehidupan, politik telah kehilangan wataknya. Bahkan di pusat perumus
kebijakan, politik seperti dalam pandangan Plato sebagai usaha untuk menata kehidupan
yang lebih baik dalam masyarakat hampir-hampir luluh lantah wibawanya. Politik
transaksional, tawar menawar begitu menyeruak. Seperti layaknya seorang pedagang,
politisi sibuk mengamankan kepentinganya. Aldous Huxly menyindir perilaku politisi
seperti itu sebagai “pedagang politik” dimana yang dipentingkan adalah keuntungan
pribadinya semata.

Memilah politisi yang mengejawantahkan apa yang dinamakan, meminjam


istilah Amien Rais, high politic (politik kualitas-tinggi) di tengah masyarakat yang
sedang dilanda kegalauan sosial-politik, nyaris sama sukarnya dengan menemukan
jarum di tumpukkan jerami. Politik kualitas-tinggi yang dimaksud Bapak Reformasi
tersebut adalah pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa
posisi, kedudukan, dan jabatan adalah manifestasi dari amanah masyarakat yang
membutuhkan accountability (pertanggugjawaban) dan diorientasikan untuk mengajak
seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan. Politik kualitas-
tinggi inilah yang pernah dipentaskan oleh para founding fathers kita. Natsir misalnya,
politikus Partai Masyumi ini telah mengajarkan bagaiman berpolitik yang santun. Jauh
dari intrik-intrik dan sikap manipulasi. Sehingga seorang Indonesianis bernama Daniel
Lev, pernah berkata bahwa jika ingin mempelajari bagaimana berdemokrasi dan
berpolitik yang bersih dan bersahaja maka pelajari saja masa demokrasi pada tahun
1950-an.

Lalu bagaimana dengan pentas politik sekarang ?. Seperti kita saksikan bersama,
politikus berlomba-lomba mencari penghidupan dari politik. Popularitas dan citra
dikejar habis-habisan demi memuncaki karir politik tertinggi. Sepuluh tahun setelah
reformasi ternyata bangsa ini baru menghasilkan demokrasi prosedural yang cenderung
kapitalis, bukan demokrasi substansial. Demokrasi yang melahirkan kesenjangan antara
kaya dan miskin yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Demokrasi yang
memandang bahwa uang memiliki fungsi status dan kekuasaan, sehingga kesenjangan
kekayaan berarti juga kesenjangan dalam hampir semua dimensi kehidupan lainnya,
termasuk juga dimensi "kesempatan". Sama sekali mustahil mencapai persamaan

2
kesempatan apabila terdapat kesenjangan yang sangat besar dalam hal kekayaan, status,
dan kekuasaan.

Karenanya tidak mengherankan jika sepanjang pelaksanaan Pemilihan langsung


(Pilkada atau Pemilu), politik uang (money politics), premanisme (gangsterisme) dan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sering dilakukan oleh para kontestan.
Mungkin karena itulah, di tahun 1559 Paus melarang peredaran buku Sang Pangeran-
nya Niccolo Machiavelli. Karena buku itu mengajarkan bagaimana para penguasa
ataupun politikus di Eropa saat itu menihilkan faktor moral dan etika dalam mencari dan
mempertahankan kekuasaan.

Dengan melihat realitas seperti diatas jelas harus ada upaya bersama
mengembalikan definisi, esensi, fungsi, dan tujuan politik pada posisinya yang benar.
Dr. Muhammad ’Imarah mendefinisikan Politik dalam Islam sebagai upaya
membudayakan manusia dengan cara membimbingnya ke jalan keselamatan untuk
kehidupan di dunia dan di akhirat serta mengatur tata kehidupa umum dengan aturan-
aturan Islam yang adil dan istiqamah.”. Namun, adakah kesadaran dalam diri para
politisi (khususnya politisi Islam) bahwa politik adalah sekedar sarana untuk
merealisasikan sebuah entitas yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur dalam
berbangsa dan bernegara ?. Apabila politisi tetap mempersepsikan bahwa politik sebatas
bagaimana merebut kekuasaan dengan berbagai cara bukan untuk bagaimana
mensejahterakan masyarakat, maka politisi tersebut telah terserang ”Politik Porno. Dan
cara membebaskan bangsa ini dari ”Politik Porno” adalah dengan ”mengamputasi
Politisi Porno” dengan tidak memilihnya di Pemilu 2009 nanti..

1
Dimuat di Harian Lampung Post, 17 Oktober 2008
2
Aktivis Kelompok studi Komunitas Jambualas (KoJA)
Alumni FMIPA Unila Tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai