Doktrin trias politica yang ditelurkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu
(1689-1755) menyebutkan, kekuasaan dalam negara demokratis dijalankan oleh tiga
kekuatan utama, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif berarti
kekuasaan membuat undang-undang, atau istilah barunya rulemaking function. Eksekutif
mempunyai fungsi melaksanakan undang-undang (rule application function). Sedangkan
kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang
(rule adjudication function).
Ketiganya, memiliki ruang lingkup dan kewenangan yang berbeda, namun tetap dalam
koridor keberimbangan dan proporsionalitas. Artinya, dalam menjalankan fungsi masing-
masing, tidak ada satu lembaga pun yang uber alles (di atas segalanya). Prinsipnya
berdasarkan asas pemisahan kekuasaan (separation of power) dan distribusi kekuasaan
(distribution of power), demi menghindari abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Secara umum, teori ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia dengan tipe dan
model pengembangan yang beragam. Tetapi umumnya, ketiga fungsi lembaga tersebut
tetap eksis. Hanya saja dalam tataran implementasi, seringkali ketiga lembaga tersebut
bertarung dalam memperebutkan posisi puncak dalam menjalankan pemerintahan negara.
Indonesia, sebagai negara yang juga mengadopsi teori ini, bisa menjadi contoh betapa
penerapan trias politica acap terdistorsi dari ide awalnya tentang keseimbangan dan
proporsionalitas implementasi kekuasaan negara dan pemerintahan. Antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif senantiasa berebut kekuasaan puncak.
Bila menengok perjalanan Republik Indonesia sejak Soeharto berkuasa hingga
kejatuhannya pada 1998, betapa porsi eksekutif demikian besar. Peran yudikatif dalam
pengawasan pelaksanaan undang-undang dan aturan-aturan dikerdilkan. Saat itu, pejabat
tinggi negara, jendral dan orang-orang berkantong tebal, tak tersentuh jeratan hukum
(untouchable). Bahkan lembaga peradilan, seringkali menjadi alat bagi penguasa
(eksekutif) dalam menjalankan kepentingannya. Termasuk menjerat dan ‘melenyapkan’
lawan-lawan politik.
Pun legislatif, hanya dijadikan stempel bagi kekuasaan yang tengah dipegang oleh
Soeharto dan kroni-kroninya. Anggota MPR, DPR RI hingga DPRD seperti kerbau
dicucuk hidungnya. Pasrah dan legowo mengikuti arahan yang digariskan eksekutif.
Melenceng dari amanat UUD 45 yang menyuratkan kesejajaran posisi eksekutif dan
legislatif dalam kekuasaan perundang-undangan.
Bisa dibilang, di zaman Orde Baru peran eksekutif sangat besar dalam kekuasaan negara
(executive heavy). KKN pun terjadi di segala bidang secara masif.
Setelah Soeharto terguling, penguatan terjadi di ranah legislatif. Berbagai UU dan aturan
baru memberi ruang gerak dan posisi tawar yang tinggi kepada para wakil rakyat itu. Di
era kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, legislatif menikmati masa keemasan. Hingga
pertama kali dalam sejarah, di negara yang menganut sistem presidensiil, seorang
presiden bisa ditumbangkan (impeachment) oleh parlemen.
Muncul lah legislatif sebagai panglima yang mempunyai kekuasaan besar (legislative
heavy). Hingga DPR dan DPRD mempunyai hak untuk menentukan anggarannya sendiri.
Semua sibuk menaikkan gaji dan tunjangan dengan jumlah yang fantastis, untuk
mempertebal kantong pribadi.
Di beberapa daerah, perilaku ini malah kebablasan. Sehingga terjerumus dalam praktek
korupsi, sampai kemudian muncul istilah korupsi berjamaah. Ratusan anggota DPRD
harus dibui karena menikmati uang rakyat secara ilegal dan kolektif. Tetapi, era kejayaan
legislatif ini tidak berlangsung lama. Memasuki akhir tahun 2004, pesta para wakil rakyat
itu perlahan meredup.
Arief Rahman
ariefindonesia@yahoo.com