Anda di halaman 1dari 6

Critical Review of Journal

The Cycles of Theory Building in Management Research, Paul R. Carlile &


Clayton M. Christensen (2005)

Carlile dan Christensen memaparkan begitu kuatnya perdebatan antara metode


deduktif dan induktif dalam theory-building serta obyektifitas informasi dari observasi
lapangan versus sampel data numerik dalam jumlah besar. Makalah ini bertujuan untuk
memberikan gambaran garis besar theory-building terkait data, metode dan teori.
Harapannya, model ini dapat memberikan kesamaan bahasa tentang proses penelitian,
yang membantu para mahasiswa agar lebih memahami perbedaan berbagai jenis data dan
penelitian. Adapun unit analisisnya ada dua, yaitu: proyek riset individual dan siklus theory
building yang coba dibangun oleh para peneliti.
Paper ini juga bukan ditujukan untuk memuji atau mengritisi karya para sarjana
sebagai teori yang baik atau buruk, karena setiap publikasi riset memiliki kelebihan dan
kelemahan yang unik. Di sini dikutip riset-riset sarjana-sarjana lain, hanya untuk
mengilustrasikan proses kerja theory-building (pembangunan teori).
Carlile dan Christensen dalam bagian awal paper ini mendeskripsikan, tiga tahap
proses yang digunakan oleh peneliti dalam membangun teori, deskriptif maupun normatif.
Bagian kedua, mendiskusikan peran penemuan anomali dalam membangun teori yang
lebih baik. Sedangkan ketiga tentang bagaimana para peneliti membangun, mengevaluasi
dan memakai teori, termasuk menentukan validitasnya. Bagian terakhir, saran perlunya
pelatihan riset yang akan membantu para peneliti untuk membangun teori yang lebih baik.
Pada proses pembangunan teori terdapat dua tingkat utama, deskriptif dan
normatif. Tahap deskriptif merupakan langkah awal yang harus dilalui untuk membangun
teori dalam rangka mengembangkan teori normatif yang lebih lanjut.
Tiga langkah untuk tahap deskriptif, yaitu : (1) observasi, (2) kategorisasi, dan (3)
asosiasi. Langkah pertama yaitu observasi, peneliti mengamati fenomena dan harus
hati-hati dalam menjelaskan dan mengukur apa yang diamatinya. Observasi, dokumentasi,
dan ukuran yang teliti dari fenomena adalah penting pada tahap ini, karena jika peneliti
0

berikutnya

tidak

sependapat

terhadap

fenomena

tersebut

akan

sulit

untuk

mengembangkan teori. Fenomena yang dieksplorasi adalah tentang manusia, organisasi,


teknologi, serta prosesnya. Peneliti di tahap ini sering mengembangkan konstruksi, yang
merupakan abstraksi untuk membantu peneliti lebih detail dalam memahami esensi dari
fenomena tersebut dan bagaimana mereka melakukannya.
Langkah kedua klasifikasi, peneliti harus mengklasifikasikan fenomena ke dalam
beberapa kategori. Skema klasifikasi yang diusulkan peneliti biasanya ditentukan oleh
atribut-atribut dari fenomena. Skema kategorisasi digunakan untuk menyederhanakan dan
mengatur semua hal dengan menyoroti kemungkinan konsekuensial hubungan antara
fenomena dan hasil yang menarik.
Pada langkah ketiga menentukan relasi, peneliti meneliti hubungan antara
kategori yang didefinisikan dalam atribut dengan hasil yang diamati.

Pada tahap

membangun teori deskriptif, peneliti mengenali dan membuat perbedaan secara eksplisit
pada atributnya, dan perbedaan besar atribut-atribut tersebut, dan berkorelasi kuat
dengan pola dari hasil yang diinginkan. Teknik seperti analisis regresi sangat berguna dalam
mendefinisikan korelasi ini. Hasil dari langkah ini yang sering disebut sebagai model.

Dalam siklus piramida membangun teori yang dijelaskan Carlile, dikatakan sebagai
proses induktif jika siklus bermula dari bawah ke atas dari piramida (konstruksi, framework
dan model) pada Figure 1. Sebaliknya, jika siklus proses dari puncak piramid ke bawah
merupakan proses deduktifmenguji hipotesis yang didapat dari proses induktif. Peneliti
memulai proses membangun teori bisa dari dua sisi yaitu metode secara induktif maupun
metode deduktif.
Seperti ditunjukkan Figure 1 di atas, ketika teridentifikasi adanya anomali, maka ini
merupakan kesempatan bagi peneliti untuk merevisi bagian dasar piramida teori, untuk
mendefinisikan dan mengukur fenomena secara lebih akurat dan tidak ambigu.
Transisi Deskriptif Menuju Normatif
Kebingungan dan kontradiksi yang sering terjadi dalam teori deskriptif bisa
dipecahkan ketika penelitisering melalui pengamatan empiris dan etnografis detail--bergerak dari pernyataan korelasi kepada upaya menjelaskan sebab (kausalitas) dari hasil
(figure 2). Para peneliti melangkah pada puncak piramida dari teori normatif yang berisi
pernyataan kausalitas. Pemahaman terhadap kausalitas memungkinkan peneliti untuk
menentukan aksi yang perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang dibutuhkan. Atas
alasan tersebut, teori normatif mempunyai kekuatan prediktif yang lebih besar dibanding
teori deskriptif.

Teori normatif, seperti halnya teori deskriptif, masih memerlukan perbaikan. Dan
para peneliti melakukannya dengan langkah-langkah yang sama yang seperti digunakan
dalam tahap deskriptif. Hipotesa yang menyatakan kausalitas itu benar, maka siklus
deduktif ke bawah piramida untuk menguji pernyataan kausal tersebut. Ketika
menemukan sebuah anomali, maka harus menyelidiki kembali ke tingkat yang lebih rendah
dari piramida. Kadang-kadang para peneliti dapat menyelesaikan anomali dengan
mengembangkan jalan yang lebih akurat untuk mendefinisikan dan mengukur fenomena.
Seringkali peneliti menjelaskan anomali dengan meninjau kembali tahap kategorisasi.
Anomali menjadi penting dalam membangun teori karena dengan penemuan
anomali

memungkinkan

langkah

untuk

mengurangi

kerancuan

deskripsi

dan

pengukurannya, serta untuk mengidentifikasi dan memperbaiki skema kategorisasi dalam


tubuh teori. Hal ini merupakan kunci untuk menerapkan teori dengan hasil yang dapat
diprediksi.
Seringkali tugas mahasiswa dalam theory building adalah mendesain riset mereka
untuk memaksimalkan probabilitas kemampuan mengindentifikasi anomali. Agar peneliti
3

lebih produktif dalam pembangunan teori, dibutuhkan research questions yang fokus pada
anomali dan maksimalisasi desain riset untuk menemukan anomali-anomali yang penting.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk kepentingan itu: (1) Pertanyaan riset tentang
pencarian anomali; (2) Memakai disiplin ilmu lain; (3) mempelajari fenomena di dalam
fenomena; dan (4) Mengamati dan membandingkan fenomena secara luas.
Pada bagian akhir, Carlile dan Christensen membahas tentang pembangunan
validitas dan reliabilitas teori. Carlile menyebutkan Yin (1984) yang membagi validitas
dalam dua tipevaliditas internal dan eksternalsebagai acuan mempercayai atau tidak
dari sebuah teori.
Validitas internal merupakan perluasan dari: (1) kesimpulannya diturunkan secara
ambigu dari premis-premis dan (2) peneliti sudah menentukan penjelasan alternatif yang
masuk akal yang mungkin menghubungkan fenomena dengan hasil. Jalan terbaik untuk
membangun validitas internal dari sebuah teori dari penelitian fenomena melalui
pandangan disiplin ilmu lain.
Adapun validitas eksternal didapatkan dari keterhubungan yang diamati dari
fenomena-fenomena dan hasilnya pada sebuah konteks dapat diaplikasikan dalam konteks
yang berbeda dengan sama baiknya (Christensen, 2006). Banyak peneliti yang percaya
bahwa validitas eksternal didapat dari pengujian pada data yang berbeda.
Secara singkat tulisan Carlile dan Christensen ini ingin memberikan konstruksi
untuk para mahasiswa yang akan mengembangkan teori dalam penelitiannya, yang
tergambar dalam sebuah piramida proses membangun teori, yaitu teori deskriptif dan teori
normatif. Dengan demikian para peneliti nantinya mampu membuat kerangka dari
pemahaman yang akan dikembangkan dalam penelitian.
Makalah ini menawarkan sebuah konstruksi dan diberi beberapa istilah seperti
observasi, kategorisasi, asosiasi, anomali, teori deskriptif dan teori normatif. Tujuannya
adalah untuk mengabstrakkan kembali dari ribuan proyek penelitian, serta memberikan
deskripsi umum tentang bagaimana cara yang produktif dalam proses kerja penelitian.

Penemuan anomali dianggap sebagai kunci terbaik untuk proses membangun teori
menjadi lebih baik. Bukannya merusak penelitian, anomali justru mengurangi kerancuan,
ambiguitas dan kesalahan pengukuran.
Carlile dan Christensen menggunakan karya Robert K Yin dalam membagi persoalan
validitas teori, yang dibagi antara validitas internal dan eksternal. Sayangnya, keduanya
tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang karya Yin tentang studi kasus sebagai metode riset
dalam membangun teori. Eisenhardt dan Graebner (2007) menyatakan, membangun teori
dari studi kasus adalah strategi riset menggunakan satu lebih kasus untuk menciptakan
konstruksi teoritis, proposisi dan atau midrange theory, dan bukti empiris. Menurut Yin
dalam Eisenhardt dan Graebner (2007), studi kasus kaya akan deskripsi empiris contohcontoh khusus dari fenomena berbasis pada keberagaman sumber data.
Alasan utama popularitas dan relevansi theory building dari studi kasus adalah
karena ini merupakan salah satu yang terbaik (jika bukan yang terbaik) sebagai
penjembatan dari bukti kualitatif yang kaya menuju arus utama riset deduktif. Melalui
pembangunan teori induktif dari kasus-kasus, menghasilkan teori baru dari data dan
pengujian teori deduktif melengkapi siklus melalui data untuk menguji teori.

REFERENSI

Carlile, Paul R., Christensen, Clayton M. 2005. The Cycles of Theory Building in
Management Research. Version 6.0.
Christensen, Clayton M. 2006. The Ongoing Process of Building a Theory of Disruption. The
Journal of Product Innovation Management. Vol. 23, pp. 39-55.
Eisenhardt, Kathleen M., Graebner, Melissa, E. 2007. Theory Building from Cases:
Opportunities and Challenges. Academy of Management Journal. Vol. 50 No. 1, pp.
25-32.

Anda mungkin juga menyukai