Anda di halaman 1dari 5

Studi Kasus : Wasiat dan Pernikahan yang tidak disetujui

A adalah seorang pria karyawan swasta, mempunyai pacar serius yang bernama B.
B si pacar A tinggal dengan Ibu kandungnya yang bernama N dan Ayah tiri B
bernama I. Sedangkan Ayah kandung B yang bernama F telah bercerai dengan N
sejak B masih bayi. Sampai saat ini, F tidak pernah memperdulikan si B. F sangat
berkecukupan, namun tidak pernah memberikan biaya apapun kepada B. Apalagi B
mempunyai kakak tiri dari anak F (dengan istri barunya).

Pertanyaannya adalah:

1. Apakah B berhak atas harta F dan I, jika mereka meninggal?

2. Bagaimana menurut hukum islam, jika dalam suatu pernikahan orang tua
lelaki dari pihak perempuan tidak setuju (tidak hadir) untuk menjadi wali
nikah? Apakah masih bisa dilangsungkan pernikahan tersebut?

3. Adakah hak dan kewajiban dalam suatu pertunangan dari pihak perempuan
dan lelaki?

JAWABAN

1. B tidak berhak atas warisan dari I, karena B bukanlah anak kandung dari I
dan C, jadi tidak ada pertalian nasab diantara keduanya. Melainkan anak
kandung dari F dan C. Maka B berhak atas warisan dari F. Kalau pun
pernikahan C dan I dianggap sebab yang dapat menjadikan seseorang
menjadi ahli waris, hal tersebut hanya berlaku pada ibunya saja. Namun, B
berhak atas warisan dari I, jika keberadaan B sah dan diakui oleh pengadilan
sebagai anak dari C dan I. Dan jika ahli waris lainnya yang sah telah
menyetujui B sebagai salah satu ahli waris yang sah untuk menerima harta
warisan dari I.

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
islam dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. (pasal 171 HI)

1
Dalam hukum Islam yang berhak mendapat warisan adalah anak kandung
dan keluarga yang memiliki hubungan darah. Anak angkat tidak berhak
mendapat warisan, meskipun secara hukum negara sudah sah sebagai anak
dan anggota keluarga. Tapi bisa saja mendapat bagian berdasarkan wasiat
orang tuanya dan besarnya tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah warisan.

Berdasarkan hukum barat yang diatur melalui BW, yang berlaku untuk warga
negara Indonesia yang beragama selain Islam, atau yang bagi yang
beragama Islam namun “menundukkan” diri ke dalam hukum pewarisan
perdata Barat.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan


lebih mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari
pewarisan adalah:

Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila
terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW)

Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami
atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)

Prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah, maka secara hukum
anak angkat atau anak tiri (yang bukan keturunan langsung dari pewaris)
tidak berhak mendapatkan warisan secara langsung dari pewaris.
Dimungkinkan bagi anak angkat atau anak tiri tersebut untuk menerima
warisan dengan cara pemberian Hibah atau “Hibah wasiat” (pasal 874 BW).

Namun kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat
bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? Otentik atau tidak? Karena
hibah juga ada yang dibawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka
pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita
juga perlu melihat unsur keadilannya juga. Kalau semua harta diberikan
kepada anak tirinya atau menantu kesayangannya dimana mereka itu
sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui
oleh ahli waris yang lainnya.

2
Waris dapat menyebabkan konflik apabila terdapat anak diluar nikah. Untuk
itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat, karena untuk
membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang sah/otentik
bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan dicatatkan pada
petugas pencatat perkawinan.

Menurut Undang-Undang KUHPerdata, bila pewaris yang meninggal dunia


meninggalkan anak-anak di luar nikah yang telah diakui secara sah menurut
undang-undang, maka harta peninggalannya dibagi dengan cara yang telah
ditentukan. Dan bila pewaris itu tidak meninggalkan ahli waris yang sah
menurut undang-undang, maka anak-anak di luar nikah itu dapat mewarisi
harta peninggalan itu seluruhnya.

2. Yang berhak menjadi wali nikah adalah Ayah kandung B, yaitu F.

Ada 4 (empat) hal pokok yang menjadi rukun atas sahnya sebuah pernikahan.
Bila salah satu dari semua itu tidak terpenuhi, batallah status pernikahan itu.
Rukun nikah tersebut adalah:

a. Wali

b. Saksi,

c. Ijab Kabul (akad), dan

d. Mahar

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. (pasal 19)

Wali tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab
memang sah sebagai ayah kandung. Keberadaan wali mutlak harus ada
dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan
pengantin laki-laki. Menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar
dan pelakunya bisa dianggap berzina.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

3
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun wanita
yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu)
menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah
dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi
mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu
Majah)

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan
Empat)

Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi". (HR Ahmad).

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari :

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

- Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya

- Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki


seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

- Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,


saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

- Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki


seayah dan keturunan laki-laki mereka.

4
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

Jika dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan, maka yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

Dan, apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni


sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah,
mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada
putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

3. Tidak ada.

Dalam agama Islam tidak mengenal hubungan tunangan, tetapi yang dikenal
adalah khitbah. Khitbah adalah lamaran di mana seorang wanita yang telah
menerima khitbah, dia tidak boleh menerima khitbah dari orang lain.

Meski ada banyak kesamaan, namun tetap saja antara keduanya punya
perbedaan. Misalnya, khitbah tidak mengenal istilah cincin khitbah, sementara
dalam tunangan, lazimnya ada semacam tukar cincin untuk menandakan
bahwa pasangan itu sudah saling mengikat diri.

Adapun khitbah (lamaran) adalah sebuah langkah menuju kepada pernikahan


yang sah. Secara posisi, bila seoang wania telah menerima sebuah khitbah,
dia tidak boleh menerima khitbah dari orang lain. Akan tetapi, dia tetap berhak
untuk membatalkan khitbah itu bila ada alasan yang syar''i dan logis. Adanya
khitbah ini juga berperan untuk memberikan jeda waktu bagi kedua belah
pihak sebelum memutuskan untuk menikah secara sah.

***

Anda mungkin juga menyukai