Anda di halaman 1dari 19

PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PELAYARAN BAGI KAPAL ASING DI PERAIRAN INDONESIA (Suatu Studi Melalui Perairan Belawan LANTAMAL-I

Sumatera Utara)

ROSMI HASIBUAN, SH.MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara

ABSTRAKSI
Perwujudan dari Peraturan Pemerintah 13 Desember 1957 tentang konsep kewilayahan Indonesia, laut lepas yang tadinya terdapat diantara pulau-pulau Indonesia berobah menjadi perairan Indonesia yang berada bawah kedaulatan Indonesia. Melalui UU No. 4/Per./1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 Indonesia tetap menjamin kepentingan pelayaran internasional dengan memberikan kelonggaran hak lalu lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara (kepulauan) Indonesia. Perkembangan kemudian, yaitu diterimanya rejim hukum Negara Kepulauan serta diterimanya rejim hukum zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), dengan perkembangan ini azas Negara Kepulauan Indonesia mendapat pengakuan secara internasional melalui UU No. 6 Tahun 1996 Indonesia telah mengimplementasikan pengaturan Negara kepulauan, undang-undang ini sekaligus mencabut UU No. 4/Perp./1960. demikian juga perkembangan yang lain, yaitu Indonesia mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Di zona ekonomi eksklusif yang dihitung 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial yang berada di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Kondisi perairan Indonesia tersebut tergambar melalui perairan Belawan yang merupakan daerah hukum LANTAMAL I Sumatera Utara. Merupakan hak dan kewajiban bangsa Indonesia umumnya dan aparat penegak hukum khususnya yang terkordinasi dalam gugusan KAMLA untuk melakukan tindakan terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh kapal asing dalam melakukan pelayaran di daerah hukum LANTAMAL I melalui pelabuhan Belawan, untuk menjamin keamanan dan ketertiban bangsa Indonesia.

2002 digitized by USU digital library

PENDAHULUAN

Dekrit Juanda yang dinyatakan melalui Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957 merupakan konsep kewilayahan perairan Indonesia, yang menjadikan wilayah daratan dan wilayah perairan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang melatar belekangi dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah ini salah satu diantaranya, yaitu atas dasar pertimbangan bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintahan kolonial jaman Hindia Belanda yang termaktub dalam Teritorial Zee En Martieme Kringen Ordonantie 1939 tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Pasal 1 ayat (1) Ordonantie 1939 tersebut menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis pangkal air rendah (laag waterlijn) dari pada pulau-pulau dan yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia. Konsekwensi dari cara pengukuran laut yang demikian itu, secara teoritis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, stiap pulaunya mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri. Dapat dibayangkan keadaan wilayah Indonesia yang demikian itu tidak menjamin keamanan Indonedia dan tidak menunjukkan kesatuan Indonesia. Hal ini akan menyulitkan pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan sempurna, karena susunan daerah atau pulau-pulau yang harus diawasi demikian sulitnya. Kantong-kantong laut lepas di tengah-tengah di antara pulau-pulau atau di antara wilayah daratan Indonesia tunduk pada rejim hukum laut lepas yang bebas dilayari oleh kapal-kapal semua negara. Dengan dikeluarkannya PP 13 Desember 1957 tersebut, caramengukur laut teritorial Indonesia diukur dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar, cara pengukuran yang demikian ini laut lepas sudah tidak ada lagi di antara pulau-pulau karena telah menjadi perairan nusantara (kepulauan) Indonesia. Oleh karena itu Pengumuman Pemerintah ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran internasional, sebab bagian laut lepas yang tadinya bebas dilayari untuk pelayaran internasional dijadikan bagian laut wilayah (laut teritorial) dan peraitran nusantara yang berada di bawah kekuasaan hukum Indonesia. Posisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara dua garis yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta terletak di antara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia, kehadiran kenderaan di atas air (kapal) asing dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya merupakan suatu hal yang tidak terhindari. Karena itu dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional, maka sebagai masyarakat internasional yang menginginkan persahabatan antae bangsa di dunia ini, kita tidak begitu saja meniadakan kebebasan berlayar di perairan Indonesia. PP 13 Desember 1957 kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang pada tanggal 18 Pebruari 1960, yaitu UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia. Pada pasal UU tersebut menyatakan, bahwa jalur laut wilayah Indonesia selebar 12 mil dihitung dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulaupulau terluar (pasal 1 UU). Selanjutnya pada pasal 4, bahwa hak lintas damai kenderaan air asing (kapal) melalui perairan nusantara (aechipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya. Dari ketentuan pasal 4 tersebut, bahwa dalam menjamin kepentingan pelayaran internasional Indonesia harus terlebih dahulu menjamin kepentingan nasionalnya. Untuk mewujudkan tujuan ini maka cara pengamanan yang utama di bidang hukum, yaitu selain menyempurnakan perundang-undangan sesuai dengan

2002 digitized by USU digital library

kebutuhan-kebutuhannya atau sesuai dengan perkembangan-perkembangan baru, juga yang lebih penting adalah penegakan hukum yang didasarkan pada peraturanperaturan nasional dan internasional (Hasil Lokakarya II., DEPHANKAM, Jakarta, 1980, hal 40). Dalam bentuk kongkritnya penegakan hukum adalah kegiatan operasional yang diselenggarakan di seluruh perairan Indonesia dalam rangka memelihara dan menjamin tegaknya suatu hukum nasional (Keputusan, MENHANKAM., 1978). Dalam pengertian ini termasuk penegakan hukum di bidang pelayaran terutama yang mengatur pelayaran bagi kapal-kapal asing yang berlayar melalui perairan Indonesia. Dengan tegaknya hukum merupakan suatu kondisi yang menjamin kelancaran pelayaran baik untuk kepentingan nasional Indonesia maupun untuk kepentingan pelayaran internasional. Setelah diundangkannya UU No. 4/Prp/1960, terutamaoleh petugas-petugas di lapangan ( di laut) dirasakan perlunya ketegasan kedudukan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan Indonesia yang telah dijamin keberadaannya oleh pasal 4 UU No. 4/Prp/1960. Oleh sebab itu pada tanggal 28 Pebruari 1962 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hal Lalu Lintas Damai Bagi Kenderaan Air Asing, sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 4/Prp/1960. Dalam pasal 2 PP Tahun 1962 menyatakan yang dimaksud dengan lalu lintas laut damai adalah pelayaran untuk maksud damai yang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan (nusantara). Dalam pasal 2 PP No. 8 tahun 1962 menyatakan yang dimaksud dengan lalu lintas damai adalah pelayaran kapal asing yang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan (nusantara). Bagi kapal perang asing harus terlebih dahulu minta ijin kepada Pemerintah Indonesia/KSAL, terkecuali lalu lintas damai itu melalui alur-alur laut yang telah ditentukan. Sedangkan bagi kapal penangkap ikan harus memasukkan peralatannya kedalam kapal-kapal dan melalui alur-alur laut yang ditentukan. Untuk jenis kapal selam dalam melakukan lintas damai harus muncul di permukaan laut. (Lihat pasal 6 dan 7 ayat 3). Selanjutnya dalam pasal 3, bahwa lintas damai dianggap damai apabila tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum dan tidak menjamin kepentingan Indonesia atau melanggar peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Apabila terjadi hal yang demikian pelayaran kapal asing tersebut dapat ditindak atau diusir keluar dari wilayah perairan Indonesia. Untuk menjamin terwujudnya kepentingan nasional perlu diselenggarakannya penegakan hukum terhadap lintas pelayaran di perairan nasional sehingga terdapat keserasian antara kepentingan nasional dan kepentingan internasional.

2002 digitized by USU digital library

BAB II KETENTUAN LINTAS DAMAI BAGI KAPAL ASING DI PERAIRAN INDONESIA Konvensi Hukum Laut 1982 ditandatangani 10 Desember 1982 dan dinyatakan berlaku 14 Nopember 1994. Melalui UU No. 17 Tahun 1985 Indonesia menyatakan dirinya terikat dengan ketentuan KHL 1982. Suatu perkembangan baru dalam Hukum Laut Internasional, yaitu diterimanya rejim hukum Negara Kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta perkembangan yang dirumuskan dalam KHL 1982. Ditetapkannya UU No. 6 Tahun 1986 tentang Perairan Indonesia merupakan implementasi pengaturan hukum Negara Kepulauan yang dirumuskan dalam KHL 1982. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, maka UU No. 4/Prp/1960 dinyatakan tidak berlaku. Dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 menyatakan yang dimaksud dengan perairan Indonesia meliputi : - Laut teritorial Indonesia - Perairan Kepulauan - Perairan Pedalaman. Selanjutnya dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan lebar laut teritorial adalah 12 mil dihitung dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Selain perairan yang disebut diatas, Indonesia juga mempunyai hak-hak berdaulat atau kedaulatan terbatas, yaitu : - perairan contiguous zona (zona tambahan) - perairan di atas landas kontinen. - perairan zona ekonomi eksklusif. 1. Laut Teritorial Pengertian laut teritorial sebagaimana di atur dalam pasal 3 ayat 2 UU No. 6 Tahun 1996, adalah jalur laut selebar 12 mil diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karangkarang kering terluar dari kepulauan Indonesia (lihat pasal 3 dan 5 UU). Status hukum laut teritorial Indonesia adalah tunduk di bawah kedaulatan Negara Indonesia. Konsekwensi dari kedaulatan ini, bahwa segala pengaturan hukum yang berkenaan dengan pemanfaatan laut teritorial baik atas kepentingan internasional maupun kepentingan nasional yang terdapat di dalamnya tunduk pada pengaturan dan kekuasaan Indonesia. Di perairan laut teritorial Indonesia mempunyai kekuasaan mutlak atas wilayah perairan, dasar laut dan tanah dibawahnya serta udara diatasnya. Tetapi sepanjang berkenaan dengan perairan laut teritorial kedaulatan ini dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi kapal asing dan dijamin keberadaannya oleh Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), yaitu pasal 17 sampai dengan pasal 32. Sedangkan dalam Hukum Laut Nasional Indonesia ketentuan lintas damai bagi kapal asing di atur dalam pasal 11 sampai dengan pasal 17 UU No. 6 Tahun 1996. Dan sebagai peraturan pelaksanaannya masih tetap dengan peraturan yang lama, yaitu PP No. 8 Tahun 1962 sebelum diganti dengan yang baru. 2. Perairan Kepulauan.

2002 digitized by USU digital library

Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut kecuali, 3 % dari jumlah keseluruhan garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga suatu kepanjangan maksimum 125 meter (lihat pasal 5 ayat 1 dan 4). Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 UU, bahwa kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai dapat menikmati hak lintas damai di perairan kepulauan. Dalam melakukan lintas damai di perairan kepulauan, yaitu melalui aluralur laut yang khusus ditetapkan untuk pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan di atasnya (lihat pasal 18 UU). Untuk keperluan hak lintas alur kepulauan ini Pemerintah Indonesia menentukan alur-alur laut rute penerbangan di atasnya serta dapat juga menetapkan skema pemisah untuk keperluan keselamatan navigasi atau pelayaran. Dalam menetapkan alur laut dan rute penerbangan ini ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berhimpit dengannya (lihat pasal 19 UU). Penentuan alur-alur laut dan rute penerbangan ini dilakukan dengan pertimbangan agar dapat dilakukan lintas yang langsung dan terus menerus serta dengan menempuh jarak yang terdekat. Selain dari itu untuk menjamin keselamatan pelayaran dan juga menetapkan skema pemisah di daerah yang rawan kecelakaan. 3. Perairan Pedalaman. Dalam pasal 3 ayat 4 UU No. 6 Tahun 1996 perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantaipantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian perairan perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup pada mulut sungai, kuala teluk, anak laut dan pelabuhan. Perairan pedalaman ini terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat seperti sungai dan danau. Di perairan pedalaman ini Negara pantai mempunyai kedaulatan mutlak seperti wilayah daratan. Pada umumnya di perairan pedalaman tidak ada hak lintas damai bagi kapal asing, kecuali jika perairan tersebut dahulunya adalah laut lepas atau laut teritorial yang karena perubahan pemakaian menjadi staright base lines dalam mengukur laut teritorialnya, maka laut-laut tersebut menjadi laut pedalaman di perairan ini hak lalu lintas damai tetap dijamin. Di Indonesia di perairan kepulauan (perairan nusantara) dapat ditarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman ke arah darat yang disebut dengan perairan darat di mana Indonesia mempunyai kedaulatan penuh termasuk di dalamnya laut pedalaman, sungai, teluk dan danau. Oleh karena itu di perairan pedalaman ini tidak terdapat hak lintas damai bagi kapal asing. 4. Contguous Zona (Zona Tambahan). Yang dimaksud dengan zona tambahan yang dirumuskan dalam pasal 33 KHL 1982 adalah suatu jalur laut yang berbatasan dengan laut teritorial yang terletak di laut lepas sejauh 24 mil dari garis pangkal laut teritorial. Di perairan zona tambahan Negara pantai mempunyai kewenangankewenangan seperti : a. Mencegah terjadinya pelanggaran hukum berkenaan dengan pabean, fiskal, imigrasi, bea cukai dan kesehatan. b. Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau di laut teritorialnya.

2002 digitized by USU digital library

Pada hakekatnya status hukum dari zona tambahan tunduk pada prinsipprinsip kebebasan di laut lepas, akan tetapi dengan adanya perkembangan hukum laut dengan diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka prinsip kebebasan lautan tidak sepenuhnya berlaku di zona tambahan. Hal ini disebabkan perairan zona tambahan telah menjadi (overlav) perairan zona ekonomi eksklusif. Namun demikian sepanjang yang menyangkut kepentingan pelayaran status perairan zona tambahan tetap tinduk pada rejim hukum laut lepas, yang bebas dilalui oleh kapal-kapal semua negara. Dengan demikian di perairan zona tambahan ini tidak dikenal adanya ketentuan lintas damai bagi kapal asing. 5. Perairan Di Atas Landas Kontinen. Menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia, tertera pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di alur perairan Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih. Di landas kontinen ini Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya baik hayati termasuk jenis ikan sedenter serta kekayaan alam non hayati termasuk minyak dan gas bumi. Di perairan di atas landas kontinen sebagaimana yang dimaksud UU No. 1 Tahun 1973 adalah laut lepas, oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas. Dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia maka perairan tersebut berobah menjadi perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Di perairan ini Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya, dengan ketentuan tetap menjamin kebebasan berlayar bagi kapal-kapal asing tanpa di batasi adanya ketentuan lintas damai. 6. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dalam pasal 2 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia menyatakan yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur laut di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dan perairan di atasnya sejauh 200 mil dari garis pangkal laut teritorial. Di zona ekonomi eksklusif Idonesia mempunyak hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya, serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu dan hak-hak lain yang berkaitan dengan hak berdaulat tersebut. Disamping hak berdaulat tersebut Indonesia berkewajiban untuk menghormati hak-hak negara lain, seperti kebebasan berlayar dan penerbangan dan kebebasan pemasangan pipa dan kabel bawah laut. Dengan demikian di perairan zona ekonomi tidak ada pengaturan mengenai hak lintas damai bagi kapal asing sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional, bahwa perairan ZEE untuk pelayaran adalah perairan laut lepas yang dapat dilalui oleh semua kapal semua negara, serta menjamin penerabangan di udara di atas perairan tersebut.

2002 digitized by USU digital library

BAB III PENEGAKAN HUKUM DAN PENEGAKAN KEDAULATAN DI BIDANG PELAYARAN BAGI KAPAL ASING DI PERAIRAN INDONESIA 1. Penegakan Hukum Di Indonesia. a. Pengantar. Dalam pasal 24 ayat 2 UU No. 6 Tahun 1996 mengatur mengenai yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan penegakan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan Konvensi dan hukum internasional lainnya serta peraturan nasional atau undang yang berlaku. Dalam penjelasannya menyatakan bahwa yurisdiksi penegakan kedaulatan dan penegakan hukum tersebut, yaitu yurisdiksi pidana, perdata dan yurisdiksi lainnya. Dalam pasal 27 ayat 1 KHL 1982 menyatakan bahwa yurisdiksi kriminal pidana atau kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan yang berhubungan dengan kejahatan itu berdampak terhadap negara pantai. Misalnya mengganggu kedamaian dan ketertiban laut wilayah, apabila diminta bantuan oleh wakil diplomatik atau konsuler negara bendera dan juga apabila diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap obat narkotik dan bahan psikotropika. Selanjutnya dalam pasal 28 KHL 1982 menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak dapat dilakukan terhadap kapal asing atau orang yang berada di atasnya, kecuali berkenaan dengan kewajiban gati rugi yang dibebankan terhadap kapal tersebut dan juga untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan undang yang berlaku. Selain yurisdiksi pidana dan perdata juga yurisdiksi lainya seperti yurisdiksi administratif. b. Landasan Hukum Penegakan Hukum Di Laut. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengertian penegakan hukum dalam bentuk kongkritnya adalah segala kegiatan operasional yang diselenggarakan di seluruh perairan Indonesia dalam rangka menjamin tegaknya satu hukum nasional. Namun demikian diperlukan suatu landasan hukum untuk terlaksananya penegakan hukum tersebut agar dapat berjalan secara efektif dan mempunyai kekuatan hukum. Di Indonesia landasan hukum dalam penegakan hukum di laut, yaitu hukum nasional dan hukum internasional. Hukum nasional terdiri dari produk hukum peninggalan jaman Pemerintah Hindia Belanda dan hukum laut produk nasional. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 bahwa peraturan-peraturan produk Hindia Belanda masih berlaku sepanjang belum dibuat penggantinya yang baru. Satu-satunya produk Pemerintah Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang ini adalah Ordonansi 1939. Pasal 13 Ordonansi tersebut menyatakan

2002 digitized by USU digital library

penyelenggaraan penegakan hukum di laut pada dasarnya dilakukan di bawah satu instansi yairu Angkatan Laut di mana KSAL adalah sebagai penanggung jawabnya. Dalam hal ini KSAL membawahi Perwira AL, Pandu-pandu laut, syahbandar, dan pegawai-pegawai yang semacam itu serta orang-orang yang ditunjuk untuk kepentingan tersebut. Sedangkan landasan hukum yang merupakan produk nasional yang berkaitan dengan bidang pelayaran yaitu : (1). Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam peraira Indonesia. (2). Pengumuman Pemerintah RI 17 Pebruari 1969 tentang Landasan Kontinen Indonesia. (3). Surat Keputusan Men/Pangal 23 September 1961 tentang Penunjukan Pejabatpejabat yang diberi wewenang untuk mengadakan penyidikan terhadap kejahatan di laut. (4). Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056/D.A/7/1969 tentang Penyelesaian Perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. (5). Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 tentang Penunjukan pejabatpejabat dilingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. (6). Kep. Menhankam/Pangab. No. Inst/B/92/1969 tentang Pengamanan Pelabuhan di wilayah RI. (7). Keppres RI No. 16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia. (8). Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/17/IV/75 tentang Penetapan Alur Pelayaran Khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing. (9). Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/099/DA/12/71 tentang pendelegasian wewenang penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. (10). Instruksi Jaksa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 tentang jumlah dan cara-cara penenetapan serta Penyetoran Densa Damai. (11). Surat Keputusan Bersama antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/72 tentang pembentukan Barkorkamla. Landasan Hukum penegakan hukum dalam Hukum Laut Internasional, bahwa pengaturan penegakan hukum di laut berkaitan erat dengan hukum laut internasional. Misalnya Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 tentang konsep negara nusantara yang merupakan titik tolak perkembangan baru hukum laut Indonesia memberi pengarahan bagi perkembangan hukum laut internasional selanjutnya. Walaupun pada mulanya konsepsi Negara Kepualauan ini ditolak dalam Konperensi Hukum Laut PBB I Tahun 1958, ternyata dalam perkembangannya konsepsi Negara Nusantara atau Negara kepulauan tersebut diterima dalam Konperensi Hukum Laut PBB III yang pengaturannya dituangkan dalam BAB IV Konvensi Hukum Laut 1982. c. Praktek Penyelenggaraan Penegakan Hukum Di Laut. (a). Sasaran Sasaran daripada penyelenggaraan penegakan hukum di laut adalah untuk terciptanya ketertiban umum dan ketertiban hukum dan kepastian hukum di laut demi menjamin kepentingan nasional Indonesia. Dalam prakteknya kegiatankegiatan penegakan hukum di laut dapat diklasifikasikan menjadi dua atahap yaitu :

2002 digitized by USU digital library

(1). Tahap pertama, berupa kegiatan-kegiatan yang langsung menanggulangi/mengenai semua tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi di laut. (2). Tahap kedua, berupa kegiatan-kegiatan penyelesaian akhir yang bersifat yuridis teknis oleh Departemen/instansi yang berwenang sesuai dengan bidangnya. Ternyata dalam praktek masing-masing Departemen/instansi dalam melaksanakan kegiatan pada tahap pertama secara sendiri-sendiri, sehingga terhadap suatu pelanggaran atau kejahatan ditangani oleh beberapa instansi. Hal yang demikian ini dapat menyulitkan untuk mencapai sasaran, karena masingmasing instansi bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk kepentingannya masing-masing, sehingga sasaran penegakan hukum tersebut tidak bersifat menyeluruh. Sedangkan tindak lanjut penyelesaian akhir pada tahap kedua terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di laut ditempuh tindakan repressif dengan mengajukan perkara-perkara tindak pidana tersebut kepada badan-badan peradilan dan badan-badan lain untuk mendapatkan penyelesaian hukum, seperti antara lain : (1). Mengenai tindak pidana penyeludupan, diselesaikan dalam dua kemungkinan yaitu : - melalui persidangan pengadilan dengan menjatuhkan hukuman badan atau denda ; atau - di luar persidangan pengadilan berupa denda damai (shikking), misalnya terhadap pelanggaran administrasi pabean. (2). Mengenai tindak pidana pelanggaran wilayah, diambil tindakan mengusir si pelanggar keluar dari wilayah perairan Indonesia. (3). Mengenai tindak pidana pelanggaran imigrasi, diambil tindakan mengusir si pelanggar ke luar dari wilayah negara Indonesia. Memahami akan arti dan pentingnya fungsi hukum sebagai alat hukum dalam kaitannya sebagai penegak hukum di laut perlu secara terus menerus dibina, dikembangkan tingkat kemampuan dan kewibawaannya. Hal ini dapat dicapai bila aparat itu sendiri tumbuh kesadaran hukumnya. Hal ini dapat dicapai bila aparat itu sendiri tumbuh kesadaran hukumnya, sehingga penghayatan akan hak dan kewajibannya terwujud ke arah tegaknya hukum yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. (b). Kegiatan-kegiatan. Penyelenggaraan penegakan hukum selama ini terbatas pada kegiatankegiatan mengenai : (1). Pelanggaran Wilayah. Instansi pertama yang berwenang dan betanggung jawab melakukan pengamanan wilayah laut, yang semula berdasar UU No. 2 Drt 1949 berada di tangan KASAL, kemudian berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1974 beralih ketangan Menhankam/Pangab. Berdasarkan Skep/B/371/V/1972 Menhankam Pangab, telah menunjuk pejabat-pejabat untuk melaksanakan wewenang Menhankam/Pangab dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. Selanjutnya berdasarkan keputusan bersama Menhankam/Pangab, Menhub, Menkeu dan Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/1972; SK.901/M;Kep.779/MK/XII/12/1972, Kep-085/JA/12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dibentuk Badan Kordinasi Keamanan di laut (Bakorkamla) dan Komando Pelaksanaan Bersama Keamanan di Laut, sebagai usaha peningkatan keamanan di laut.

2002 digitized by USU digital library

(2). Pemberatasan Pembajakan. Ketentuan yang mengatur pemberantasan pembajakan yang terjadi di laut dalam Ordonansi 1939 pasal 14 menyebutkan beberapa pasal KUHP yang mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut, yaitu pasal 438 s/d 451. Dalam pasal-pasal ini membedakan empat macam jenis pembajakan menurut tempat di mana kejahatan terjadi, yaitu pembajakan di laut, pembajakan ditepi laut, pembajakan di tepi pantai dan pembajakan di sungai. Ordonansi ini masih dalam pengertian hukum laut tradisional, oleh karena itu pengaturan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat menampung permasalahan hukum di bidang pemberantasan penyeludupan di perairan Indonesia dengan konsepsi Nusantara menurut UU No. 4/Prp/1960. Selain itu juga ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958, yaitu pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22, yang mengatur tentang pemberantasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain di luar kekuasaan hukum suatu negara. (3). Pemberantasan Penjualan Budak Belian Dan Wanita. Ketentuan yang mengatur bidang pemberantasan penjualan budak belian di dapat dalam pasal 321, 325, 326 serta 327 KUHP. Selain itu dijumpai dalam UU No. 19 Tahun 1961, khususnya dalam Konvensi tentang Laut Lepas pasal 13 dan 22 ayat (1) yang menetapkan tiap negara akan menyetujui peraturan yang efektif untuk mencegah serta menghukum pengangkutan budak-budak. (4). Pemberantasan Penyelundupan. Ketentuan yang mengatur pemberantasan penyeludupan dalam Ordonansi 1939 dan Rechten Ordonantie (RO) memberikan wewenang polisionil kepada angkatan laut dan bea cukai untuk tugas-tugas pemberantasan penyeludupan penangkapan dan pemeriksaan di kapal. Kejahatan demikian dapat di hukum atau diajurkan untuk berdamai apabila perbuatan itu hanya merupakan pelanggaran saja. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep. 099/DA/12/1971, Jaksa Agung mendelegasikan wewenang kepada Menhankam/Pangab untuk menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana di perairan Indonesia di luar sidang pengadilan dengan syarat pembayaran sejumlah uang (denda damai) kepada negara. Kemudian dengan instruksi Menhankam/Pangab Nomor T/59/1975 untuk sementara mencabut Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep099/DA/12/1971 tersebut di atas, bahwa semua penyelesaian perkara pelanggaran di perairan diserahkan kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diajukan di muka sidang Pengadilan. Jadi dengan Surat Keputusan Menhankam tersebut, dalam setiap penyeludupan baik merupakan suatu kejahatan maupun hanya merupakan pelanggaran administrasi yang dilakukan diwilayah perairan Indonesia diajukan kemuka sidang Pengadilan. (5). Pemberantasan Imigrasi Gelap. Pengaturan mengenai keimigrasian terdapat dalam Ordonansi 1949, Stb. 19498-331, untuk wajib lapor kepada oknum yang datang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia untuk memberitahukan kedatangannya di pelabuhanpelabuhan pendaratan yang ditunjuk, dan kepada Bea Cukai apabila kedatangannya yang bukan pelabuhan pendaratan. Kemudian dalam UU No. 8 Drt dan pasal 270 KUHP, menyatakan orang-orang yang menyeludup di/ke Indonesia tanpa mempunyai dokumen imigrasi yang syah, dikwalifisir sebagai tindak pidana kejahatan oleh karena itu dapat dituntut atau dihukum pidana. (6). Pencegahan Pencurian Ikan.

2002 digitized by USU digital library

10

Berdasarkan UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia berdaulat penuh atas kekayaan alamnya di perairan Indonesia. Oleh karena itu negara lain tidak boleh melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam pasal 5 PP No. 8 Tahun 1962 mengharuskan kenderaan air penangkap ikan selama berada atau melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia. Dan kapal-kapal penangkap ikan asing tersebut diharuskan berlayar melalui alur-alur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Kep. Menhankam/Pangab Nomor Kep/17/IV/1975. Selanjutnya dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1983, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya dalam hal ikan di perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia, yaitu di luar laut teritorial seluas 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut teritorial. Di perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia Negara lain tidak boleh melakukan penangkapan ikan yang dijamin oleh Hukum Laut Internasional atau berdasarkan pasal 5 UU No. 5 Tahun 1983 terhadap sisa dari penangkapan yang diperbolehkan. Terhadap pelanggaran ketentuan ini dapat dituntut pidana terhadap orang-orangnya serta penyitaan kapalnya oleh pihak kejaksaan pengadilan negeri setempat. Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan adalah perwira Angkatan Laut. (7). Pemeliharaan Rambu-rambu, Alat Navigasi, Pelayaran Dan Pemeliharaan Mercu Suar. Ordonansi kapal-kapal 1935 terdapat pengaturan tentang keselamatan pelayaran, antara lain tentang isyarat-isyarat, alarm darurat dan kewajiban memberi bantuan dan hak meminta bantuan serta berita-berita tentang bahaya. Kemudian Konvensi (COLREG) 1960 (Internasional Regulation for Preventing Collisions at Sea), yang mengatur hal-hal mengenai pengamatan, kecepatan yang aman, bahaya tubrukan, tindakan-tindakan untuk menghindari tubrukan, sistem mempertahankan haluan dan kecepatan serta tanggung jawab antara kapal satu sama lain. (8). Pemeriksaan Layak Laut Dan Kecelakaan Di Laut. Ketentuan yang mengatur kselamatan kapal terdapat dalam Ordonansi 1935, Stb. 1935 antara lain memuat ketentuan-ketentuan umum dan khusus tentang badan kapal, perlengkapan, sertifikat penumpang, sertifikat keselamatan radio, perangkat telegrap radio dan sertifikat alat-alat penolong dan peralatan lainnya serta keselamatan barang. Berdasarkan Keppres RI No. 203 Tahun 1966 Konvensi SOLAS 1960 (Internasional Covention for the Safety of Life at Sea) diratifikasikan sebagai ketentuan yang berlaku di Indonesia yang memuat antara lain : pemeriksaan sertifikat-sertifikat, kecelakaan, instalasi-instalasi mesin dan listrik, pencegahan kebakaran di kapal dan di kapal penumpang dan kapal barang, keselamatan navigasi, pengangkutan barang-barang berbahaya dan kapal-kapal nuklir dan serta sertifikatnya. (9). Tugas Pencarian Dan Pertolongan Orang Yang Kandas Dan Hilang (SAR). Pusat SAR Nasional (Pursarnas) bertugas melaksanakan pengkordinasian usaha dan kegiatan pencarian, pemberian pertolongan dan penyelamatan, baik terhadap kecelakaan penerbangan atau pelayaran. Berdasarkan Keppres RI No. 11 Tahun 1972 ditetapkan bahwa SAR bertugas pokok untuk melakukan pencarian, pemberian pertolongan, terhadap orang atau material yang menghadapi bahaya dalam pelayaran atau penerbangan. Pengaturan bidang pencarian dan pertolongan SAR terdapat juga dalam Ordonansi

2002 digitized by USU digital library

11

Kapal-kapal 1935 dan Keppres No. 203 Tahun 1966 yang meratifisir Konvensi SOLAS 1960 tersebut diatas. (d). Metode Penyelenggaraan Penegakan Hukum. Penyelenggaraan penegakan hukum di laut di dasarkan atas Buku Prosedur Tetap (Protap) Operasi Keamanan di laut yang disyahkan dan ditetapkan dengan surat Keputusan Menhankam/Pangab (sekarang (Pangab) selaku Ketua Kordinasi Keamanan di Laut (Bakorkamla Nomor Skep/B/157/II/1974. Protap operasi Kamla ini merupakan petunjuk bagi para Komandan kapal patroli dalam melaksanakan tugasnya agar dicapai kesatuan tindak. Sebagai pejabat pengusut (penyidik) para petugas tersebut diatur baik dalam undang-undang maupun dalam peraturan pemerintah seperti yang tercantum dalam pasal 14 UU No. 5 Tahun 1983 adalah perwira Angkatan Laut. Kemudian pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 adalah Perwira Angkatan Laut dan serta pejabat lainnya yang diatur dalam UU No. 9 tahun 1985 pasal 31 ayat (1) dan (2) adalah perwira angkatan laut dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu, dengan wewenang meliputi antara lain : (1). Menghentikan, memeriksa dan menahan kapal yang dicurigai. (2). Menurut surat-surat kapal untuk diperlihatkan. (3). Menyita alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. (4). Mengadakan penyegelan terhadap alat-alat pengangkutan atau ruanganruangan kapal dan barang-barang yang sedang diangkut. (5). Mengadakan tindakan preventif untuk menjamin keamanan lalu lintas pelayaran. (6). Memberikan perintah kepada kapal yang melanggar ketentuan pidana menuju pelabuhan yang ditentukan. Karena kewenangan-kewenangan tersebut para pejabat penyidik berwenang membuat Berita Acara (proses verbal) pemeriksaan terhadap kapal/awak kapal yang melakukan kejahatan dan pelanggaran di laut. (e). Struktur Pelaksanaan Penegakan Hukum Di Laut. Pelaksanaan penegakan hukum di laut dewasa ini dilaksanakan secara kordinatif baik ditingkat pusat maupun daerah yang dilaksanakan sebagai berikut : (1). Ditingkat pusat dibentuk suatu badan untuk berkordinas. Kordinasi ini dilakukan oleh Kordinasi Keamanan di Laut (Bakorkamla). (2). Ditingkat daerah?wilayah dibentuk Komando Operasional yaitu Satgas Kamla serta Pokgas Kamla, yang mempunyai wewenang mengendalikan operasional terhadap kegiatan penegakan hukum di laut. (3). Di lapangan (tingkat pelaksanaan) dibentuk satuan tugas yang secara langsung melaksanakan kegiatan operasional penegakan hukum di laut. (4). Unsur-unsur yang dioperasikan oleh satuan tugas yang berasal dari beberapa badan yang masing-masing mempunyai wewenang patroli terbatas. Kordinasi keamanan laut tersebut ditentukan berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/keamanan/Pangab, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Landasan Hukum dalam penyelenggaraan penegakan hukum. (f). Sarana Pelaksanaan Penegakan Hukum Di Laut. Selain sarana ekonomis, sarana kapal adalah sebagai pendukung penegakan hukum di laut. Adapun jenis kapal yang diperlukan adalah sebagai berikut :

2002 digitized by USU digital library

12

(1). Untuk penegakan hukum (a). Tonage (b). Cepat jelajah (c). Jarak jelajah (d). Jangkauan radar (e). Senjata

di laut adalah : : 250 ton : 20 knots : 2000 mil : 35 mil : 20 mil

(2). Khusus kapal untuk daerah Pelabuhan : (a). Tonage : 30 ton (b). Cepat jelajah : 20 knots (c). Jarak jelajah : 450 mil (d). Jangkauan radar : 20 mil (e). Senjata : 12,7 mil (3). Pesawat terbang dengan data tehnis : (a). Endurance : 30 ton (b). Cepat jelajah : 20 Knots (c). Jangkauan efektif radar : 60 mil Penegakan Hukum Suatu Studi Melalui Perairan Belawan. Pengaturan penegakan hukum dan penyelenggaraan penegakan hukum di bidang pelayaran bagi kapal asing tidak terlepas dengan pengaturan di Perairan Indonesia yang telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan melalui wawancara dengan sistem perwakilan dengan pihak Perhubungan Laut, Bea Cukai dan Bagian Hukum Angkatan Laut Belawan akan kami jelaskan sebagai berikut. a. Kondisi Perairan Belawan. Perairan Belawan adalah perairan pelabuhan yang terbesar di Sumatera, yang dalam bahasa sehari-harinya lebih dikenal dengan sebutan kolam bandar luasnya adalah 988,4 ha sedangkan wilayah daratannya 2217,9. Jadi secara keseluruhan luas pelabuhan Belawan sekitar 12012,3 ha. Kolam bandas atau perairan Belawan ini merupakan perairan nusantara yang diukur dari titik-titik terluar pulau terluar yang merupakan garis pangkal laut teritorial ke arah daratan, yaitu diukur dari pulau berhala dan sebelah barat diukur dari pulau jamur. Disebelah luar dari garis pangkal laut teritorial tersebut adalah laut teritorial Indonesia dimana termasuk di dalamnya sebagian Selat Malaka yang digunakan untuk pelayaran internasional yang berbatasan dengan perairan Malaysia. Sedangkan ke arah utara di luar laut teritorial ini adalah lendas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Untuk kepentingan internasional dan untuk kepentingan nasional di perairan nusantara atau kolam bandar tersebut tentukan alur-alur laut bagi pelayaran kapalkapal asing yang melintasi perairan nusantara manuju ke pelabuhan Belawan atau dari pelabuhan Belawan ke perairan nusantara dan laut teritorial ke arah Selat Malaka yang digunakan untuk lintas pelayaran internasional, dengan maksud untuk menjamin keselamatan pelayaran dan mudah untuk mengontrolnya. b. Penyelenggaraan Penegakan Hukum. Mengenai penyelenggaraan penegakan hukum di perairan Indonesia melalui pelabuhan Belawan dapat dijelaskan sebagai berikut : 2.

2002 digitized by USU digital library

13

(1). Penyelenggaraan penegakan hukum bagi kapal asing di perairan Belawan, atau kapal-kapal yang melintasi laut teritorial termasuk sebagian Selat Malaka yang menyangkut kegiatan pemberatasan penyeludupan, penjualan budak belian dan wanita, pemberantasan pembajakan, pemberantasan imigrasi gelap, pencegahan penyakit menular dan pemeliharaan pipa-pipa dan kabel bawah laut serta pemeliharaan rambu-rambu, alat-alat navigasi pelayaran dan mercu suar yang dialami petugas keamanan di lau. Oleh karena menurut pengakuan seorang responden yang telah bertugas 10 tahun di Belawan yang alih tugas dari merinir Angkatan Laut ke Perhubungan Laut, mengatakan belum pernah terjadi pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan kapal-kapal asing terhadap kegiatan-kegiatan tersebut di atas karena mereka tidak mau mencari permasalahan untuk berurusan dengan petugas keamanan laut meupun Pengadilan di Balawan dan Indonesianya. Kalaupun ada terjadi penyeludupan di perairan Belawan atau di laut teritorial berupa barang-barang keperluan sehar-hari dilakukan oleh awak-awak kapal Indonesia yang melakukan rute pelayaran ke luar negeri. Umumnya kapal-kapal asing yang masuk ke pelabuhan Belawan mempunyai dokumen-dokumen lengkap yang diperlukan dalam pelayaran. Demikian juga mengenai rambu-rambu, alat-alat navigasi, pelayaran dan mercu suar tidak pernah ada gangguan yang mengakibatkan terganggunya perairan Indonesia. Demikian juga mengenai pembajakan/perompakan dilaut belum pernah dilakukan kepada kapal-kapal asing, yang sering dilakukan pembajakan terhadap kapal-kapal penangkap ikan Indonesia yang dilakukan pembajak-pembajak yang bukan berasal dari daerah Belawan. (2). Kejahatan pencurian ikan yang dilakukanoleh kapal-kapal nelayan asing merupakan suatu kasus yang sering terjadi di perairan Indonesia termasuk perairan teritorial, perairan nusantara dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Pencurian ikan ini biasanya dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan yang berasal dari Thailand, Taiwan dan pernah juga nelayan dari Malaysia. Mereka tertangkap oleh petugas keamanan di lau ketika sedang beroperasi di perairan Indonesia. Terhadap kejahatan pencurian ikan ini diambil tindakan : (a). Kegiatan yang bersifat yuridis dengan mengajukan ke Pengadilan Negeri Belawan dalam kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal ikan Thailan. (b). Yang paling sering dilakukan ialah dengan mengadili di tempat kejadian dengan denda damai, lalu memerintahkan kapal-kapal ikan tersebut meninggalkan perairan Indonesia. Dalam hal ini tidak dijelaskan kriteria kejahatan yang kejahatan pencurian ikan untuk dapat diajukan ke Pengadilan atau hanya cukup dengan denda damai saja. Yang jelas kejahatan tersebut bukanlah merupakan pelanggaran asministratif saja, melainkan mereka ditangkap sedang melakukan kejahatan tersebut. Menurut seorang responden mungkin yang menjadi pertimbangan adalah ketika mengadili perkara pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan Thailan di Pengadilan Negeri Belawan. Karena sulitnya mencari penterjemah bahasa Thailan sehingga mengganggu jalannya persidangan. c. Struktur Pelaksana Penyelenggaraan Penegakan Hukum. Yang dimaksud dengan pelaksanaan penyelenggaraan penegakan hukum adalah anggota atau satuan yang melaksanakan tugas penegakan hukum demi untuk menjamin keamanan di perairan Indonesia melalui pelabuhan Belawan. Untuk melakukan keamanan laut tersebut dilakukan oleh gugus keamanan laut yang terdiri

2002 digitized by USU digital library

14

dari TNI Angkatan Laut, Bea cukai/imigrasi, Perhubungan Laut (KPLP), AIRUD (polisi air dan udara) dan Kejaksaan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa perairan Indonesia melalui pelabuhan Belawan adalah perairan nusantara atau perairan Pelabuhan Belawan, perairan laut teritorial yang berbatasan dengan perairan Belawan termasuk sebagian Selat Malaka yang berbatasan dengan Selat Mala dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Untuk melakukan keamanan laut di perairan tersebut dilakukan oleh kelompok tugas dan kesatuan tugas keamanan laut di Belawan dengan cara kerja sebagai berikut : (1). Di perairan pelabuhan/perairan nusantara Belawan tugas keamanan laut dilakukan oleh pihak perhubungan laut (KPLP) dan Polisi AIRUD, personilnya dilakukan secara bergiliran siang dan malam. (2). Sedangkan masalah bea-cukai dilakukan oleh pihak bea cukai dan kejaksaan serta polisi AIRUD yang beroperasi di lampu satu dan atau lampu dua yang jaraknya kira-kira 7 mil dari pelabuhan Belawan, dalam menjalankan tugasnya dilakukan secara bergatian, sesuai dengan rencana kerja yang mereka lakukan. (3). Di laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dengan melakukan patroli selama dua hari, daerah operasi mereka sampai ke laut teritorial yang berbatasan dengan wilayah hukum perairan Pelabuhan Teluk Bayur. Namun pembagian kerja tersebut tidak bersifat mutlak, karena TNI Angkatan Laut juga mengadakan pengawasan di Perairan Pelabuhan apabila kapal asing datang memasuki perairan pelabuhan untuk menuju ke Pelabuhan Belawan. Demikian juga waktu terjadi tubrukan kapal tangker Nagasaki Spirit dan kapal barang Ocean Blessing di Selat Malaka pada tanggal 20 September 1992, justru pihak KPLP Belawan ikut melakukan peninjauan dan pengawasan di tempat kejadian tersebut. Selain dari kelompok tugas kelompok tersebut masih ada satuan tugas yang dilakukan oleh gugus keamanan dari pusat yang terdiri dari ALRI, AIRUD, Bea-Cukai dan KPLP yang berasal dari Belawan. Team dari pusat ini menetap selama dua bulan di Belawan dengan cara kerja 2 hari mengadakan pengamanan di laut yang dilakukan secara bergantian. Kamla ini mengadakan pengawasan di laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan termasuk Selat Malaka yang termasuk wilayah perairan Indonesia. d. Sarana Kapal Penyelenggaraan Penegakan Hukum. Mengenai sarana kapal yang dipergunakan untuk melakukan pengamanan di perairan pelabuhan/perairan nusantara tidak merasa kesulitan. Karena pelaksanaannya dilakukan secara bergantian dengan memiliki 4 buah kapal sudah cukup untuk memenuhi keperluan dalam menjalankan tugas. Sedangkan jenis kapalnya hanya menyebutkan kapal kelas tiga dan kelas empat yang berkapasitas menampung 3 atau 4 orang untuk jenis kelas lima, sedangkan untuk jenis kelas 4 menampung sekitar 12 orang. Sarana kapal yang dipergunakan Angkatan Laut adalah jenis kapal yang disebut dengan kapal kelas 1, 2 dan 3 yang mempunyai kapasitas untuk menampung sekitar 22 -25 orang. Selanjutnya dikatakan bobot kapal tersebut dengan tonage 250 ton, cepat jelajah 20 knots, jarak jelajah 2000 mil jangkauan radar 35 mil dan senjata 20 mil. Mengenai pengawasan di zona ekonomi eksklusif dan laut teritorial perlu ditingkatkan secara terkordinir dan juga sarana kapalnya agar tidak sering terjadi pencurian ikan di perairan tersebut.

2002 digitized by USU digital library

15

BAB

IV

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dari keseluruhan yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Wilayah penegakan hukum di bidang pelayaran bagi kapal asing ; (1). Wilayah perairan pelabuhan/perairan Kepulauan (2). Wilayah perairan laut teritorial (3). Wilayah perairan zona ekonomi eksklusif. b. Tidak terdapat permasalahan dalam kegiatan penyelenggaraan penegakan hukum di perairan pelabuhan Belawan/perairan nusantara, pada umumnya kapal-kapal yang melalui perairan pelabuhan/perairan nusantara yang akan memasuki pelabuhan atau akan meninggalkan dalam pelabuhan memiliki dokumen-dokumen yang diperlukan dalam bidang pelayaran. Dan mereka tidak pernah melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. c. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaraan penegakan hukum adalah kasus-kasus pencurian ikan yang sering dilakukan kapal-kapal penangkap ikan dari luar negeri di perairan laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif. d. Penegakan hukum terhadap pencurian-pencurian ikan tersebut sering dilakukan dengan penyelesaian denda damai serta perintah meninggalkan perairan Indonesia, dan atau diadakan penyidikan untuk diajukan ke Pengadilan Negeri. e. Kejahatan-kejahatan penyeludupan barang-barang sering dilakukan oleh kapalkapal atau awak kapal Indonesia yang melakukan trayek pelayaran ke luar negeri. f. Mengenai sarana kapal dan aparat keamanan laut/personilnya di perairan pelabuhan tidak pernah menjadi permasalahan yang mengganggu pelaksanaan tugas karena dirasakan sudah cukup dalam menjalankan tugas Kamla dilakukan secara bergantian siang dan malam. g. Sarana dan aparat/personil di laut teritorial khususnya di zona ekonomi eksklusif Indonesia perlu ditingkatkan untuk untuk mencegah pencurian-pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan luar negeri di perairan tersebut.

2002 digitized by USU digital library

16

h. Mengenai struktur pelaksana penyelenggaraan Kamla dalam tugas sehari-hari dibagi atas ; (1). Yang melakukan tugas Kamla di perairan pelabuhan dilakukan oleh KPLP dan pilisi AIRUD. (2). Yang melakukan tugas Kamla di bidang Bea-Cukai dilakukan oleh pihak Bea Cukai dan polisi AIRUD. (3). Yang melakukan tugas Kamla di laut teritorial di lakukan oleh Angkatan Laut dan juga oleh gugus Kamla dari pusat yang menetap di Belawan untuk waktu dua bulan yang dilakukan tergantung dari situasi yang menentukannya. (4). Tugas Kamla di zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh Angkatan Laut dan Pegawai Sipil yang ditunjuk. Pembagian tersebut tidak bersifat mutlak, tapi dilakukan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dalam waktu-waktu tertentu tergantung situasinya dilakukan tugas gabungan dalam melakukan Kamla di perairan pelabuhan dan juga di perairan laut teritorial termasuk Selat Malaka bagian dari laut teritorial Indonesia. 2. Saran Sarana kapal yang dipergunakan untuk pengamanan di perairan Belawan ada 4 buah kapal pelaksanaannya dilakukan secara bergantian. Jenis kapalnya disebut kapal kelas 3 dan kelas 4, yang berkapasitas menampung 3 atau 4 orang untuk jenis kelas 3 dan kelas 4 . Sarana kapal yang digunakan Angkatan Laut yang digunakan untuk perang di zona ekonomi eksklusif disebut jenis kelas 1,2 dan kelas 3 yang berkapasitas menampung 22 - 25 orang, yang dipakai secara bergantian. Perlu ditingkatkan jumlahnya untuk mengawasi dapat dilakukan secara terkordonir untuk mencegah pencurian ikan.

2002 digitized by USU digital library

17

DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Anwar Khairul, 1995, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta. 2. Mardianus Aruf, Laksamana I TNI - AL, Penegakan Kedaulatan Dan Hukum Di Laut, Penerbit Dispadaerah-I Belawan. 3. Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung. 4. ----------------------, 1979, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta, Bandung. 5. Victor Situmorang, 1987, Sketsa Azas Hukum Laut, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta. 6. Wahyono, J, Kusumoprodjo, 1980, Bebebrapa Pikiran Tentang Kekuatan Dan Pertahanan Di Laut, Jakarta, DEPHANKAM. 7. W. Koers, Albert, 1994, Konvensi Perseritakan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University, Press, Yogyakarta. 8. Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982). 9. UU No. 4/Prp/1960 Tentang Perairan Indonesia. 10. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kenderaan Air Asing.

11. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tentang Yurisdiksi Kriminil. 12. Surat Keputusan MENHANKAM No. 3 Tahun 1968 tentang Penunjukan Pejabatpejabat Di Lingkungan ABRI untuk melaksanakan Wewenang Pengal Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Yang Menyangkut Perairan Indonesia. 13. Keputusan MENHANKAM No. Kep/17 tentang Penetapan Alur Pelayaran Khusus Bagi Kapal-kapal Penangkap Ikan Asing.

2002 digitized by USU digital library

18

14. Surat Keputusan MENHANKAM Mo. Skep/1361/X/1978 tentang Pengesahan Sistem Pertahanan Nasional Di Laut. 15. Surat Keputusan bersama antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung, No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS,B/72/1 dan Kep/085/JA/12/72 tentang Pembentukan Bakorkamla. 16. Keppres No. 16 Tahun 1971 tentang Pemberian Ijin Berlayar Bagi Segala Kegiatan Kenderaan Asing Dalam Wilayah Perairan Indonesia. 17. Surat Keputusan Menhankam/Pangab Nomor Kep/B/37/1/IV/72 tentang Penunjukan Pejabat-pejabat Untuk Melaksanakan Wewenang Menhankam/Pangab Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Menyangkut Perairan Indonesia. 18. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 19. Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982. 20. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

2002 digitized by USU digital library

19

Anda mungkin juga menyukai