Anda di halaman 1dari 9

Kalkulasi Rasio Ancaman Rudal Anti-Kapal terhadap Kapal Perang dan Penangkisannya Dalam pertempuran laut modern, tak

pelak lagi bahwa ancaman yang paling tinggi probabilitas terjadinya adalah serangan rudal anti-kapal (surface-to-surface missile atau SSM) yang ditembakkan dari kapal lawan. Kenapa kita bisa katakan demikian? Ada dua alasan yang bisa menjawab pertanyaan tersebut, yakni: 1. Ancaman secara kuantitatif: seluruh kapal perang garis depan hampir semua negara di dunia sudah mengusung SSM. Terutama di Asia Tenggara, berhadapan dengan negara manapun (kecuali Filipina), yang harus kita hadapi pertama kali adalah serangan SSM. 2. Ancaman secara kualitatif: pada hampir semua kapal yang mengusung SSM, SSM merupakan persenjataan yang memiliki jangkauan terjauh di antara segala persenjataan yang diusungnya. SSM jelas memiliki jangkauan melebihi meriam kapal maupun torpedo. Hampir semua SSM juga memiliki sifat jelajah seaskimming (yakni terbang pada ketinggian sangat rendah di atas permukaan laut) sehingga cukup sulit terendus radar. Beberapa keunggulan kualitatif ini menjadi pertimbangan taktis bagi kapal lawan untuk menggunakan SSM ketimbang senjata anti-kapal lainnya yang tersedia. Jadi, secara kuantitatif dan kualitatif, apabila kita memposisikan diri kita sebagai kapal lawan, maka wajar saja bahwa SSM lah yang akan mereka tembakkan terlebih dahulu daripada segala jenis persenjataan lainnya. Hal ini juga sudah penulis buktikan melalui berbagai simulasi pertempuran laut. Nah, sekarang mari kita mencoba berhitung secara matematis tentang potensi serangan berupa SSM tersebut. Secara umum, kapal perang garis depan di Asia Pasifik mengusung SSM sebanyak 2, 4, 6 atau 8 pucuk rudal per kapal. Jumlah ini sangat tergantung kepada dimensi & bobot SSM itu sendiri serta kapasitas angkut kapal. Misalnya, untuk SSM jenis RGM-84 Harpoon, pada kapal-kapal kategori korvet ke atas, maksimal diusung 8 pucuk rudal (umumnya 4 pucuk menghadap arah lambung kanan dan 4 pucuk menghadap arah lambung kiri kapal). Sedangkan untuk pemasangan pada kapalkapal berkategori kapal patroli cepat ke bawah, biasanya 2-4 rudal. Semakin besar dimensi dan kapasitas angkut kapal, maka semakin banyak pula SSM yang bisa diusung. Untuk itu, karena angka ini tidak pasti, kita ambil saja angka terbesarnya (mengingat dalam kalkulasi potensi ancaman, kita harus mempertimbangkan ancaman terburuk/terhebat yang mungkin timbul), yakni untuk saat ini dengan angka 8 pucuk rudal per kapal lawan (dengan pertimbangan terhadap fakta bahwa negara-negara yang memiliki potensi konflik dengan Indonesia pada saat ini memang memperlengkapi kapal-kapal perang garis depannya dengan 8 rudal SSM). Bila kita sebut jumlah rudal SSM di tiap satu kapal lawan ini dengan variabel s, maka s = 8, sedangkan jumlah kapal perang lawan yang mengusung rudal SSM ini diasumsikan sebagai variabel Lw. Bila variabel S merupakan total jumlah SSM yang dimiliki gugus tugas lawan, maka S = s x Lw. Sistem penangkisan terhadap SSM lawan terbagi kepada dua jenis, yakni:

1. Sistem penangkisan aktif, berupa penangkisan dengan menggunakan rudal antiserangan udara (surface-to-air missile atau SAM) ataupun meriam berkemampuan pertahanan udara, maupun dengan peperangan elektronika menggunakan ECM (Electronic Counter Measures). 2. Sistem penangkisan pasif, berupa pengecohan SSM lawan dengan menggunakan sistem pengecohan (decoy berupa chaff / flare). Dari segala sistem penangkisan SSM tsb di atas, yang selama ini terbukti paling ampuh adalah penangkisan aktif menggunakan SAM yang berkemampuan antiSSM, karena sebagai rudal, SAM secara aktif mencari & menghadang SSM yang menjadi targetnya dengan dipandu sistem pemandunya. Sudah lumrah bahwa secara umum sistem persenjataan berpemandu lebih presisi sehingga kemungkinan perkenaan (hit probability) nya lebih tinggi ketimbang sistem persenjataan tidak berpemandu. Untuk selanjutnya, yang dimaksud dengan SAM dalam tulisan ini memang dibatasi kepada SAM yang memiliki kemampuan menghadang SSM sebagaimana dipaparkan di atas. Dalam inventaris TNI AL saat ini, SAM yang memiliki kemampuan menghadang SSM hanya Mistral (terpasang di fregat kelas Van Speijk ex-Belanda & korvet kelas SIGMA). Sekarang, kita asumsikan total jumlah SAM yang diusung dalam sebuah gugus tugas kita dalam satu kontak senjata menghadapi gugus tugas musuh tersebut di atas dengan variabel A. Berbeda dengan variabel s & S di atas yang merupakan variabel di pihak lawan sehingga angkanya asumtif / angkanya berdasarkan asumsi (dan kita mengasumsikan s = 8), maka A ini adalah variabel di pihak kawan / angkanya bersifat faktual, karena angkanya secara pasti dapat kita ketahui. Kemudian, total jumlah kapal perang dalam gugus tugas kita (baik yang mengusung SAM maupun tidak) kita nyatakan dalam variabel Kw. Untuk memudahkan, kita buat saja suatu contoh dengan menggunakan angka riil. Di atas, kita sudah mengasumsikan s = 8, sekarang kita asumsikan Lw = 12, sehingga S = s x LW = 8 x 12 = 96. Di pihak kita, bila dimisalkan kita gelar suatu gugus tugas dengan A = 56, Kw = 12, dengan perincian sbb: 1) 6 x Fregat kelas Van Speijk (Ahmad Yani) (masing-masing mengusung 4 SAM Mistral terpasang / siap luncur), sehingga a1= 6 x 4 = 24 SAM 2) 4 x Korvet kelas SIGMA (masing-masing mengusung 8 SAM Mistral terpasang / siap luncur), sehingga a2 = 4 x 8 = 32 SAM 3) 2 x Korvet kelas Fatahillah (tanpa SAM), sehingga a3 = 2 x 0 = 0 SAM sehingga, A = a1 + a2 + a3 = 24 + 32 + 0 = 56, maka, indeks pertahanan udara SAM setiap satu unit kapal perang kita (Ih) adalah: Ih = A / Kw = 56 / 12 = 4,67

Artinya, setiap kapal perang dalam gugus tugas kita tersebut memiliki potensi perlindungan SAM sebanyak 4,67 pucuk rudal SAM per kapal. Di sisi lain, indeks pertanggungan setiap kapal perang dalam gugus tugas kita terhadap serangan SSM lawan (Ip) dapat dihitung sbb: Ip = S / Kw = 96 / 12 = 8 Artinya, secara pukul rata, setiap kapal perang kita harus berhadapan dengan 8 SSM lawan per kapal. (Tentunya dalam keadaan riil, atas pertimbangan taktis ataupun karena kendala sensing lawan, bisa saja mereka memfokuskan serangan kepada sebagian kapal kita saja dan mengabaikan sebagian lainnya, sehingga indeks pertanggungan di sejumlah kapal yang menjadi target serangan terfokus itu menjadi berlipat. Namun, untuk memudahkan, kita membuat perhitungan secara rata-rata saja.) Adapun kondisi minimum yang harus dipenuhi adalah: I = Ih / Ip >= 1 Perlu diingat, bahwa I = 1 adalah kondisi minimum, dimana diasumsikan bahwa SAM yang diluncurkan dari gugus tugas kita guna menghadang SSM lawan memiliki tingkat perkenaan (hit probability) 100%, dan pada kenyataannya, kondisi ini sulit diwujudkan, sehingga idealnya, I haruslah lebih besar dari 1, atau dengan kata lain, Ih harus lebih besar dari Ip. Pada skenario di atas, kita dapati Ih = 4,67 sedangkan Ip = 8, artinya Ih lebih kecil daripada Ip, sehingga I = Ih / Ip < 1, dan ini mengindikasikan suatu sistem pertahanan udara yang belum memenuhi kebutuhan minimum. Untuk memenuhi kebutuhan minimum tsb, maka dalam skenario ini, indeks pertahanan udara minimum (Ihmin) = Ip = 8, artinya setiap kapal perang dalam gugus tugas kita dalam kondisi skenario ini seharusnya mengusung minimal 8 rudal SAM. Mari kita uji kalkulasi ini dengan skenario yang berbeda: 1. Radar kita mendeteksi adanya 20 kapal perang berbagai jenis dalam gugus tugas lawan. Dengan demikian, Lw = 20. Dengan angka asumtif s = 8, maka S = s x Lw = 8 x 20 = 160. 2. TNI AL mengerahkan gugus tugas (total 24 kapal perang) sebagai berikut: 1) 6 x Fregat kelas Van Speijk (Ahmad Yani) (masing-masing mengusung 4 SAM Mistral terpasang / siap luncur), sehingga a1= 6 x 4 = 24 SAM 2) 4 x Korvet kelas SIGMA (masing-masing mengusung 8 SAM Mistral terpasang / siap luncur), sehingga a2 = 4 x 8 = 32 SAM 3) 3 x Korvet kelas Fatahillah (tanpa SAM), sehingga a3 = 2 x 0 = 0 SAM 4) 1 x Korvet kelas Ki Hajar Dewantara (tanpa SAM), sehingga a4 = 1 x 0 = 0 SAM

5) 10 x Korvet kelas Parchim (Kapitan Pattimura) (masing-masing mengusung 2 SAM AL-1M Grail), namun SAM ini tidak memiliki kemampuan anti-SSM, sehingga a5 = 10 x 0 = 0 SAM Dengan demikian, A = a1 + a2 + a3 + a4 + a5 = 24 + 32 + 0 + 0 + 0 = 56. Sehingga, dengan Ih = A / Kw = 56 / 24 = 2,33, sedangkan Ip = S / Kw = 160 / 24 = 6,67, maka: I = Ih / Ip = 0,35 < 1 Dengan kata lain, gugus tugas yang dikerahkan di atas belum memiliki indeks pertahanan udara SAM yang cukup, dan dibutuhkan Ihmin = Ip = 6,67, artinya, gugus tugas yang dikerahkan dalam skenario ini seharusnya rata2 mengusung rudal SAM sebanyak 6,67 buah per kapal. Dari semua kapal yang dikerahkan dalam gugus tugas tsb di atas, yang memenuhi / melampaui Ihmin ini hanya korvet kelas SIGMA yang mengusung 8 rudal SAM per kapal. Namun, secara teoritis, tidaklah pula dapat langsung dikatakan bahwa 4 korvet yang memenuhi Ihmin ini akan benar-benar dapat survive, karena bila ia harus menjadi payung pertahanan udara bagi kapal-kapal lainnya, maka otomatis kemampuan pertahanan udaranya terbagi untuk beberapa kapal, dan pada akhirnya, ini kembali ke Ih & Ip itu sendiri, yang merupakan indeks pertahanan udara SAM & indeks pertanggungan SSM per kapal, dan pada skenario ini, masih jauh dari cukup (dibuktikan dengan angka I = Ih / Ip = 0,48). Mari kita uji lagi kalkulasi ini dengan skenario yang berbeda, dimana jumlah gugus tugas lawan lebih besar daripada gugus tugas kita: 1. Radar kita mendeteksi adanya 30 kapal perang berbagai jenis dalam gugus tugas lawan. Dengan demikian, Lw = 30. Dengan angka asumtif s = 8, maka S = s x Lw = 8 x 30 = 240. 2. TNI AL mengerahkan gugus tugas (total 10 kapal perang) sebagai berikut: 1) 6 x Fregat kelas Van Speijk (Ahmad Yani) (masing-masing mengusung 4 SAM Mistral terpasang / siap luncur), sehingga a1= 6 x 4 = 24 SAM 2) 4 x Korvet kelas SIGMA (masing-masing mengusung 8 SAM Mistral terpasang / siap luncur), sehingga a2 = 4 x 8 = 32 SAM Dengan demikian, A = a1 + a2 = 56. Sehingga, Ih = A / Kw = 56 / 10 = 5,6, sedangkan Ip = S / Kw = 240 / 10 = 24. I = Ih / Ip = 0,23 Jelas sekali bahwa dengan semakin besarnya gugus tugas lawan yang harus dihadapi, maka I pun semakin mengecil dan semakin membahayakan pertahanan udara gugus tugas kita. Sekarang, mengingat I = Ih / Ip ini pada hakikatnya adalah A / S, maka untuk menguji apakah sebenarnya ada hubungan I dengan jumlah kapal perang dalam gugus tugas kita itu secara langsung (apakah banyak/sedikitnya jumlah kapal

perang dalam gugus tugas kita berpengaruh terhadap I?), kita buatkan lagi sebuah skenario berbeda sbb: 1. Radar kita mendeteksi adanya 10 kapal perang berbagai jenis dalam gugus tugas lawan. Dengan demikian, Lw = 10. Dengan angka asumtif s = 8, maka S = s x Lw = 8 x 10 = 80. 2. TNI AL mengerahkan gugus tugas (hanya 3 kapal perang) sebagai berikut: 1) 3 x Destroyer (belum dimiliki TNI AL saat ini, dan diasumsikan dimiliki di masa depan), yang mengusung 32 SAM per kapalnya, sehingga a1 = 3 x 32 = 96. Dengan demikian, A = a1 = 96. Sehingga, Ih = A / Kw = 96 / 10 = 9,6, sedangkan Ip = S / Kw = 80 / 10 = 8. I = Ih / Ip = 9,6 / 8 = 1,2 Pada skenario ini, terlihat bahwa meskipun jumlah kapal dalam gugus tugas kita jauh lebih sedikit dibanding gugus tugas lawan, namun karena setiap kapal kita mengusung SAM dalam jumlah besar, maka I nya dapat melebihi 1, sehingga dapat dikatakan telah memenuhi indeks pertahanan udara yang disyaratkan. Maka, dari beberapa skenario di atas dapat kita simpulkan bahwa: 1. I berbanding lurus dengan total jumlah SAM dalam gugus tugas kita, dan secara matematis, tidak memiliki hubungan langsung dengan jumlah kapal perang dalam gugus tugas kita. Total jumlah SAM yang diusung lah yang lebih menjadi penentu. Jadi, misalpun gugus tugas kita hanya terdiri atas 1 kapal, bila ia memang mengusung SAM dalam jumlah yang sanggup mengatasi semua SSM musuh, maka itu sudah cukup. 2. Sebaliknya, I berbanding terbalik dengan total jumlah asumtif SSM yang diusung gugus tugas lawan, dimana jumlah asumtif ini berkait erat dengan jumlah kapal perang di gugus tugas lawan, sehingga I dapat dikatakan berbanding terbalik pula dengan jumlah kapal dalam gugus tugas lawan. Sehingga, untuk memperbesar I, dapat dilakukan dengan 2 cara: 1) Memperbanyak Total Jumlah SAM dalam Gugus Tugas Kita Ini memungkinkan SAM hanya diusung beberapa gelintir kapal (tidak harus semua kapal) dalam gugus tugas kita, namun tentunya dengan syarat bahwa secara kuantitatif SAM tsb cukup banyak untuk melindungi seluruh anggota gugus tugas dan juga secara kualitatif jangkauan SAM tadi harus dapat mencakup seluruh anggota gugus tugas kita. Untuk ini, secara teoritis, diperlukan SAM berjarak menengah sampai jauh untuk pertahanan udara wilayah (area air defense). Sebaliknya, apabila seluruh kapal dalam gugus tugas kita memiliki SAM, maka SAMnya dapat saja berkemampuan sebatas pertahanan udara titik (point air defense). Namun, untuk antisipasi terhadap berbagai engagement dalam kondisi dimana unsur-unsur dalam gugus tugas kita tadi tercerai-berai dalam wilayah yang lebih luas, maupun sebagai antisipasi pertempuran pada kesempatan lainnya dimana

gugus tugas kita yang dalam jumlah sedikit itu tiba-tiba dihadapkan kepada gugus tugas lawan dalam jumlah yang lebih besar, maka kemampuan area air defense seharusnya dimiliki oleh setiap unsur kombatan permukaan. Secara kualitatif, jelas pula bahwa area air defense lebih unggul dibanding point air defense karena dengan tersedianya rentang jarak antara titik 0 terdeteksinya SSM lawan hingga ke titik dimana gugus tugas kita berada, maka waktu yang tersedia untuk engagement-nya juga semakin banyak, sehingga kegagalan hit (perkenaan) pada upaya penangkisan pertama masih menyisakan kesempatan bagi upaya penangkisan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Untuk mempermudah pemahaman, mari kita kalkulasikan dalam sebuah contoh: KRI Sultan Iskandar Muda (kelas SIGMA) mendeteksi adanya 1 buah SSM yang mendekat dengan kecepatan jelajah (vSSM) 240 m/detik, dan pada saat pertama kali terdeteksi, SSM ini berada pada jarak 30.000 m dari kapal kita. Sebutlah titik ini sebagai r0. Dengan demikian, jumlah waktu yang tersedia untuk penangkisan adalah waktu yang akan diperlukan oleh SSM tersebut dari r0 itu untuk mencapai kapal kita, yakni T = r0 / vSSM = 125 detik. Mengingat SAM jenis Mistral berpeluncur otomatis Tetral yang diusung oleh KRI Sultan Iskandar Muda hanya memiliki jarak jangkauan (rSAM) 6.000 m dengan kecepatan jelajah (vSAM) 800 m/detik, maka KRI Sultan Iskandar Muda harus menunggu agar SSM ini masuk dalam jangkauan tembaknya. Waktu tunggu yang diperlukan itu dapat dihitung sbb: Waktu = [ (r0 = [ (30.000 = = 92,5 detik rSAM) 6.000) 100 / / Tunggu vSSM] 240 ] [ [rSAM 6.000 / / 1 vSAM] 800 ] 7,5

Artinya, dari terdeteksinya SSM lawan sampai penembakan SAM pertama oleh kapal kita sebagai upaya penangkisan, kita harus menunggu selama 92,5 detik terlebih dahulu tanpa bisa berbuat apapun. Setelah menunggu selama 92,5 detik dan diluncurkan, SAM yang kita luncurkan itu diperkirakan akan melakukan hit / perkenaan dengan SSM lawan pada detik ke-100 terhitung t0 tsb di atas, dengan kalkulasi sbb: t1 = waktu tunggu = 92,5 + = 100 detik 1 + waktu (rSAM perkiraan perkenaan / vSAM) = SAM dengan 92,5 + SSM 7,5

Dan, apabila upaya penangkisan pertama ini gagal (dalam artian, pada t1 di atas, SAM kita tidak berhasil melakukan hit / perkenaan terhadap SSM lawan), maka waktu yang tersisa untuk penangkisan kedua hanyalah T t1 = 125 100 = 25 detik saja. 25 detik tentunya waktu yang sangat terbatas untuk melakukan penangkisan lagi. Syukur-syukur apabila SAM dipandu oleh fire control / radar seperti yang terpasang pada KRI Sultan Iskandar Muda ini. Tak terbayang apabila SAM harus ditembakkan secara manual, reloadingsecara manual, pembidikan secara manual, dsb,

sebagaimana yang selama ini terpasang pada fregat kelas Van Speijk (Ahmad Yani) berupa SAM Mistral dengan peluncur manual Simbad maupun pada korvet kelas Parchim kita berupa AL-1M Strella. Kendala ini kesemuanya disebabkan karena terbatasnya jarak jangkauan efektif (di bawah 6.000 m). Seandainya SAM yang kita gunakan memiliki jangkauan tembak lebih jauh lagi, tentunya kita dapat melakukan penangkisan sejak awal, dan tidak harus ada waktu tunggu yang terlalu lama seperti dijelaskan di atas. Dengan demikian, waktu yang tersedia untuk penangkisan seharusnya dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. 2) Memperkecil Jumlah Kapal Lawan yang Harus Dihadapi Secara praktek, ini sangat sulit dilaksanakan karena menerapkan metoda ini sama saja dengan melakukan peperangan gerilya di laut, sedangkan laut adalah area yang sangat terbuka. Misalnya saja, apabila kita menerapkan metoda ini, maka pada saat kita mengerahkan suatu gugus tugas dengan formasi 6 x fregat Van Speijk (4 SAM per kapal) dan 4 x korvet SIGMA (8 SAM per kapal) yang total SAM nya = (6 x 4) + (4 x 8) = 56, maka untuk mempertahankan I >= 1, maka kapal lawan yang boleh dihadapi dalam satu engagement hanya terbatas sampai maksimal 7 kapal (7 kapal x 8 SSM = 56 SSM, ini berimbang dengan 56 SAM yang diusung 10 kapal perang kita tadi, inipun dengan syarat tingkat perkenaan SAM harus 100%). Apabila jumlah kapal lawan lebih besar dari ini, maka kita harus mundur sambil apabila memungkinkan- menembakkan SSM kita ke gugus tugas lawan guna sebisa mungkin mereduksi jumlah kapal lawan sehingga bisa mencapai 7 kapal atau kurang. (Tapi, tentunya lawan juga memiliki SAM & sistem penangkisan SSM dalam bentuk lainnya, dan dengan itulah mereka akan melakukan penangkisan terhadap SSM yang kita tembakkan tersebut sehingga penembakan SSM dari pihak kita tidak lantas menjamin tereduksinya jumlah kapal perang lawan.)

Perompak Somalia Paksa Sandera Serang Kapal


Rabu, 16 Februari 2011 03:46 WIB | 1786 Views

Berita Terkait y Perompak bunuh kapten dan KKM kapal di lepas pantai Nigeria y Zawahiri umumkan penyatuan Al-Shabaab Somalia dengan Al-Qaida y 11 orang tewas dalam serangan bom bunuh diri di Mogadishu y 11 orang tewas dalam serangan bom bunuh diri di Mogadishu y Serangan udara Kenya di Somalia tewaskan 100 petempur Ash-Shabaab Video Terkait

4 Relawan PKPU Ke Somalia

Pemerintah Matangkan Negosiasi Mombasa, Kenya (ANTARA News/Reuters) - Perompak Somalia memaksa seorang awak yang disandera untuk membajak kapal sebagai syarat bagi pembebasannya, kata seorang pelaut yang dibebaskan, Selasa, yang menandai perubahan taktik dalam perompakan di kawasan Teluk Aden dan Lautan India. "Dua pilihan lain -- pemenggalan kapten atau pembayaran uang tebusan 6 juta dolar -- tidak bisa dilaksanakan," kata Joseph Amere, seorang warga Kenya, kepada Reuters ketika ia tiba di negaranya di kota pelabuhan Mombasa, seperti dilaporkan Reuters. Perompak Somalia menahan kapal Korea Selatan MV Golden Wave pada Oktober dan menempatkan kapal nelayan itu sebagai kapal induk, strategi yang memungkinkan mereka memperluas jangkauan aksi hingga sejauh Madagaskar dan kawasan timur jauh hingga beberapa ratus mil di lepas pantai India. Amere, yang bertindak sebagai perunding utama awak kapal dengan pemimpin perompak, mengatakan, mereka mencari kepiting secara tidak sah di lepas pantai Somalia, yang dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Awak kapal yang berjumlah 43 orang, yang mencakup dua orang China dan dua warga Korea Selatan, dipaksa melakukan 17 penyerbuan ke kapal-kapal yang melewati perairan ramai antara Afrika timur dan kepulauan Seychelles. Kebenaran mengenai laporan itu tidak bisa dibuktikan. Perompak pekan lalu membajak sebuah kapal tanker besar tujuan AS yang membawa minyak mentah senilai 200 juta dolar, salah satu kapal barang paling bernilai yang dibajak. Perompakan meraja-lela di lepas pantai Som alia, yang mengacaukan jalur pelayaran antara Eropa dan Asia, membuat awak dan kapal terancam bahaya serta mendorong beaya asuransi bagi perusahaan perkapalan. Menurut Biro Maritim Internasional, perompak Somalia kini menahan 31 kapal dan 700 orang sandera. PBB memperingatkan, perompak Somalia menjadi semakin berani dan tetap mendahului pasukan angkatan laut internasional yang berusaha mengakhiri pembajakan di kawasan perairan itu. Pada 2009, perompak Somalia menyerang lebih dari 130 kapal dagang di lepas pantai Somalia, naik lebih dari 200 persen dari tahun 2007, menurut Pusat Pelaporan Perompakan Biro Maritim Internasional di Kuala Lumpur.

Perompak yang beroperasi di lepas pantai Somalia meningkatkan serangan pembajakan terhadap kapal-kapal di Lautan India dan Teluk Aden meski angkatan laut asing digelar di lepas pantai negara Tanduk Afrika itu sejak 2008. Kapal-kapal perang asing berhasil menggagalkan sejumlah pembajakan dan menangkap puluhan perompak, namun serangan masih terus berlangsung. Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun 2008 saja. Angka tidak resmi menunjukkan 2009 sebagai tahun paling banyak perompakan di Somalia, dengan lebih dari 200 serangan -termasuk 68 pembajakan yang berhasil -- dan uang tebusan diyakini melampaui 50 juta dolar. Kelompok-kelompok bajak laut Somalia, yang beroperasi di jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Asia dan Eropa, memperoleh uang tebusan jutaan dolar dari pembajakan kapal-kapal di Lautan India dan Teluk Aden. Patroli angkatan laut multinasional di jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Eropa dengan Asia melalui Teluk Aden yang ramai tampaknya hanya membuat geng-geng perompak memperluas operasi serangan mereka semakin jauh ke Lautan India. Dewan Keamanan PBB telah menyetujui operasi penyerbuan di wilayah perairan Som alia untuk memerangi perompakan, namun kapal-kapal perang yang berpatroli di daerah itu tidak berbuat banyak, menurut Menteri Perikanan Puntland Ahmed Saed Ali Nur. Pemerintah transisi lemah Somalia, yang saat ini menghadapi pemberontakan berdarah, tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka. Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka. Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Selain perompakan, penculikan dan kekerasan mematikan juga melanda negara tersebut. (M014/K004) Editor: B Kunto Wibisono

Anda mungkin juga menyukai