Anda di halaman 1dari 10

Nama NIM

: Muhammad Ainun Najib : 101610101056

KERUSUHAN SOSIAL YANG DISEBABKAN KARENA FAKTOR EKONOMI

Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huruhara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat. Konflik dalam kehidupan manusia sebenarnya adalah fenomena yang sangat alamiah. Persoalannya terletak pada masalah apakah ia menimbulkan aksi kekerasan atau tidak. Kekerasan bisa dilihat sebagai manifestasi dari suatu konflik yang tidak terlembaga (uninstitutionalized conflict), sementara keadaan sebaliknya, yaitu konflik yang terlembaga dengan baik (institutionalized conflict), akan dapat diselesaikan melalui cara-cara yang damai. Setidaknya terdapat dua tipe kekerasan, yang bersifat personal dan yang bersifat kolektif atau sosial. Kekerasan personal berakar pada konflik personal, sementara kekerasan sosial umumnya berakar pada konflik sosial. Kekerasan sosial memiliki implikasi ekonomi, dan sosial-politik yang jauh lebih luas dibanding kekerasan personal. Objek dari studi ini adalah kekerasan yang bersifat sosial/kolektif, yaitu kekerasan sosial. Insiden yang kelihatannya berupa kekerasan personal, tetapi berakar kuat pada suatu konflik sosial, dimasukkan ke dalam kategori kekerasan sosial. Konflik merupakan proses sosial yang akan terus terjadi dalam diri manusia dan di dalam masyarakat, baik secara pribadi atau kelompok, dalam rangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara menentang lawannya. Konflik dapat memicu terjadinya kekerasan yang biasanya ditandai oleh adanya kerusuhan, pengrusakan dan perkelahian.. Kekerasan merupakan gejala yang muncul sebagai salah satu efek dari konflik. Tindakan kekerasan ini sering tidak jelas tujuannya, ada kalanya hanya untuk kesenangan belaka, ikut dengan orang lain karena takut disebut tidak memiliki rasa kebersamaan, atau karena ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang sengaja menciptakan kekacauan, dan tidak lahir dari tuntutan-tuntutan kelompok yang menentang, serta pelakunya tidak

memahami tindakan yang mereka lakukan. Salah satu contoh konflik yang diakhiri dengan kekerasan dan tidak memiliki tujuan yang jelas, misalnya tawuran antar pelajar. Berbagai sebab yang memicu terjadinya tawuran tersebut beraneka ragam, akan tetapi tetap saja tujuannya tidak jelas, apa yang mereka (para pelajar) diperebutkan atau diperjuangkan. Biasanya pemicu tawuran antar pelajar hanya sepele, mungkin hanya kesalahan bicara atau olok-olok antar teman. Taylor dan Hudson (dalam Syahbana: 1999), mengkategorikan lima indikator dalam menggambarkan intensitas konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kelima Indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1. Demonstrasi (a protest demonstration). Dewasa ini, demonstrasi menjadi fenomena sosial yang terjadi hampir setiap hari. Demonstrasi dilakukan oleh sejumlah orang yang memiliki kepedulian yang sama untuk melakukan protes melalui tindakan tanpa kekerasan. Protes tersebut diarahkan terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau pemerintah tersebut; atau terhadap ideologi, kebijaksanaan, dan tindakan baik yang sedang direncanakan maupun yang sudah dilaksanakan. Misalnya, demostrasi yang dilakukan oleh para guru terhadap rancangan undang-undang guru dan dosen. 2. Kerusuhan Kerusuhan pada dasarnya sama dengan demonstrasi, namun memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Demonstrasi adalah protes tanpa kekerasan sedangkan kerusuhan adalah protes dengan penggunaan kekerasan yang mengarah pada tindakan anarkis. Kerusuhan biasanya diikuti dengan pengrusakan barang-barang oleh para pelaku kerusuhan, yang seringkali menimbulkan penyiksaan dan pemukulan atas pelaku-pelaku kerusuhan tersebut. Penggunaan alat-alat pengendalian kerusuhan oleh para petugas keamanan di satu pihak, dan penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan di lain pihak. Kerusuhan biasanya ditandai oleh spontanitas sebagai akibat dari suatu insiden dan perilaku kelompok yang kacau. 3. Serangan bersenjata (armed attack) Serangan bersenjata adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk suatu kepentingan dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kelompok lain. Serangan bersenjatan ini seringkali ditandai oleh terjadinya pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang, sebagai akibat dari penggunaan alat atau senjata yang dipakai para penyerang.

4. Kematian Kematian yang dimaksud adalah sebagai akibat dari adanya konflik yang direspon melalui demonstrasi, kerusuhan, maupun serangan bersenjata. Konflik yang menyebabkan munculnya kematian menunjukkan indikator tingkatan konflik yang memiliki intensitas tinggi. Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai : 1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain 2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan Secara umum di dalam masyarakat terdapat dua jenis konflik sosial, yaitu: konflik secara vertikal ( negara versus warga, buruh versus majikan) dan konflik secara horizontal ( antarsuku, antaragama, dan antarmasyarakat). Terjadinya konflik sosial dipicu oleh faktor ekonomi, politik, agama, kekuasaan, dan kepentingan lainnya. Selain itu, konflik sosial memiliki dua sifat dan fungsi yang berbeda yaitu: konflik yang bersifat positif memiliki fungsi sebagai pendukung (konstruktif) dan konflik sosial bersifat negatif yang menjadi faktor perusak (destruktif). Kedua sifat konflik sosial tersebut berpengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Secara umum konflik vertikal dapat didefinisaikan sebagai perselisihan kelompok masyarakat atau wilayah tertentu dengan Negara atau pemerintah. Konflik vertikal dapat juga diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompokkelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka. Sebab-sebab terjadinya konflik vertical ditinjau dari penyebab utama terjadinya konflik, ada 4 faktor : y Faktor politik Penyebab konflik karena adaanya diskriminasi politik dan eklusifisme ideologi nasional.

Faktor struktural Adalah faktor-faktor penyebab konflik yang terjadi olehkarena Negara atau pemerintah lemah, masalah dan pengaturan keamanan dalam Negara lemah serta benturan kepentingan etnik

Faktor sosial-ekonomi Fator penyebab konflik karena adanya problematika ekonomi yang tidak teratasi. Diskrimiasi sistem ekonomi serta modernisasi dan pembangunan ekonomi yang tidak adil.

Faktor kultural dan persepsi Adalah faktor penyebab konflik karena adanya diskriminasi atau perasaan diskriminatif terhaadap minoritas dan benturan antatr kelompok dalam masyarakat. Konflik/kerusuhan sosial tidak hanya berdampak pada segi sosial saja, namun

berdampak pada beberapa sektor termasuk ekonomi : 1) Dampak Ekonomi. Dampak ekonomi ini ditandai dengan menurunnya jumlah uang yang beredar, berkurangnya lapangan pekerjaan, menurunnya penerimaan daerah, menurunnya pendapatan masyarakat, terganggunya kegiatan ekonomi di daerah-daerah yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah-daerah konflik. Meningkatnya tekanan bagi dunia bisnis untuk bekerja baik secara komersial maupun sosial. Di hampir setiap sektor bisnis, perusahaanperusahaan berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk memenuhi tuntutan para pemegang saham maupun tuntutan lebih luas dari stakeholder terhadapinefisiensi penanganan konflik. 2) Sosial Budaya. Dampak sosial budaya ini ditandai dengan munculnya gelombang pengungsian, gangguan kesehatan, terganggunya proses pendidikan, serta trauma psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan dan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Migrasi penduduk akibat konflik berupa pertentangan pendapat hingga kekerasan fisik dan psikis membuat perubahan komposisi penduduk asli dan pendatang. Penduduk yang sudah merasa aman dan tinggal di daerah pengungsian, namun faktanya banyak menjadi korban kebijakan penanganan konflik yang mengharuskan mereka kembali ke lokasi semula. Kembalinya mereka ke lokasi semula menimbulkan konflik-konflik sosial budaya baru yang lebih rumit untuk diatasi. 3) Dampak Infrastruktur.

Dampak infrastruktur ini ditandai dengan terjadinya kerusakan-kerusakan pada rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan fasilitasfasilitas umum lainnya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi menandai telah bergesernya penyebab dasar konflik dari terutama kepentingan geostrategis ke perbedaanperbedaan ideologi berdasarkan akses terhadap sumber daya, isu-isu identitas, dan kegagalan peran pemerintah dalam penanganan konflik. 4) Politik dan Pemerintahan. Dampak dibidang politik dan pemerintahan ditandai dengan melemahnya fungsi kelembagaan pemerintahan, menurunnya pelayanan kepada masyarakat, membengkaknya pembelanjaan pemerintah, terganggunya pranata politik yang ada, menguatnya gejala separatisme dan lain-lain. Proses transisi politik dan sosial-ekonomi mempengaruhi pula dampak konflik politik dan pemerintahan, sehingga banyak milisi sipil dan telah terjadi peningkatan kekerasan secara dramatis. Adanya kekerasan yang terjadi di masyarakat Indonesia paska konflik, banyak disebabkan oleh penarikan tentara yang didemobilisasi dan belum berfungsinya kelembagaan pemerintahan sipil. Contoh kekrusuhan sosial yang disebabkan oleh factor ekonomi adalah tragedi Trisakti dimana terjadi peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan

pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan. Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan Sidang Umum MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun

ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit. Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam. Indonesia terperangah, ketika secara tiba tiba kekerasan sosial, sebagai salah satu bentuk manifestasi dari konflik sosial, terjadi secara luas hampir di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dipicu oleh krisis keuangan yang berawal sejak pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya di awal 1998, terjadi serangkaiankekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu. Kerusuhan Mei 1998 pecah beberapa hari sebelum kejatuhan Suharto. Timor Timur terpisah dari Indonesia sebagai hasil sebuah referendum yang ditandai oleh kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terbunuh dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luar biasa. Gerakan separatis di Aceh dan Papua, yang sudah ada sejak lama, mendapatkan momentum baru. Konflik komunal telah memporak-porandakan Sambas, Poso, Maluku, dan Sampit. Sementara di pulau Jawa banyak orang yang diduga sebagai dukun santet terbunuh. Lebih lanjut, kasus-kasus tawuran antar kampung, konflik politik, pertanahan dan hubungan ekonomi lainnya, serta berbagai bentuk konflik dan kekerasan sosial seperti tak henti-

hentinya terjadi hampir di seantero negeri sejak berlangsungnya krisis ekonomi dan dimulainya transisi menuju demokrasi. Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia, setidaknya, terdiri dari tiga perubahan besar. Pertama adalah transisi dari suatu system politik dan pemerintahan yang otokratik menuju suatu sistem yang demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme perkoncoan dan patron-klien (patronclient and crony capitalist) menuju suatu sistem ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas (rules-based market economy). Dan ketiga adalah transisi dari sistem sosial politik dan ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Dan tidak ada pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru. Transisi Indonesia yang multidimensi ini akan lebih tepat apabila ditinjau dari kaca mata transisi sistemik (systemic transition). Transisi semacam ini tidak bias dijelaskan hanya dengan menggunakan catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu historic discontinuity. Sehingga gambaran yang lebih jelas akan didapat apabila transisi Indonesia saat ini disejajarkan dengan transisi serupa seperti yang terjadi di bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Transisi berlangsung di tengah krisis ekonomi terhebat yang pernah dialami Indonesia sejak merdeka. Dalam konteks ini, krisis ekonomi berperan sebagai katalisator dan pada saat yang sama berperan pula sebagai pemicu berlangsungnya suatu proses transisi. Krisis ekonomi hanyalah sebuah awal. Ia memicu krisis multidimensi yang merontokkan secara tiba-tiba tatanan yang telah dibangun Orde Baru hampir di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Rontoknya tatanan ekonomi ditandai oleh hancurnya bagun ekonomi kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) dengan bubble economy-nya. Hancurnya tatanan politik dicirikan oleh runtuhnya rezim autokratik, yang diikuti oleh meledaknya partisipasi politik massa, terbentuknya banyak partai politik dan terbukanya debat publik ditengah lemahnya pelembagaan demokrasi. Dan kehancuran tatanan sosial ditandai oleh merebaknya kekerasan sosial, tidak berdayanya hukum dan peraturan (law and order) dan hancurnya tatanan dan ikatan sosial masyarakat (sosial cohesion). Kompleksitas dari proses transisi ini menjadi semakin rumit dengan program desentralisasi yang tergesagesa ditengah lemahnya kelembagaan untuk menangani isu-isu yang terkait dengan pembagian wewenang, keuangan, dan anggaran antara pusat dan daerah, dan

pembagian sumberdaya antar daerah. Selanjutnya, kombinasi dari krisis dan transisi politik, ekonomi dan sosial, telah menghasilkan suatu keadaan yang tidak menentu (turbulence situation). Kelihatannya, suatu ledakan kekerasan sosial yang hebat akan sangat potensial terjadi di tengah situasi transisi yang tidak menentu ini, dan bukannya justru meledak di saat-saat yang stabil, dimana ekonomi tumbuh dengan stabil, kesejahteraan membaik dan ketika semuanya serba teratur. Situasi yang tidak menentu ini setidaknya telah menyebabkan dua perkembangan baru: (1) mengecilnya kue pembangunan, sementara jumlah orang yang memperebutkannya tidak berkurang, malahan semakin banyak; dan (2) terjadinya suatu distribusi kekuasaan yang hebat (a significant distribution of power). Kekuasaan di masa Orde Baru yang terpersonalisasi ke seseorang atas nama Presiden Suharto selama transisi ini telah terdistribusi ke tangan elit-elit partai politik, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), kelompok-kelompok masyarakat, parlemen, pers, masyarakat adat, maupun kepada kelompok-kelompok birokrasi yang terbelah. Lebih jauh, desentralisasi juga telah meningkatkan tensi konflik antara pusat dan daerah, dan persaingan antar daerah. Sebagai hasil dari perkembangan-perkembanganini, krisis dan transisi telah menyebabkan perubahan posisi relatif secara cepat dari kelompok-kelompok masyarakat (changing relative position among sosial groups) di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Insiden kemiskinan memburuk, baik dari jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan (head count ratio) maupun tingkatkeparahannya (poverty severity). Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan porsi pekerja di sektor informal terhadap total pekerja meningkat tajam. Sementara di sisi lain, perubahan konstelasi politik telah menyebabkan banyak orang kehilangan pengaruh dan akses politik, sementara di sisi lain banyak pula muka-muka baru yang tiba-tiba berkuasa. Lebih jauh, orang-orang yang dulu dihormati dan dipuja, sekarang menjadi kelompok yang dikritisi dengan sangat tajam. Pendek kata, semuanya berubah. Beragam kebijakan mengenai penanganan konflik pernah dirumuskan, dan dirancang delivery system-nya oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Upaya-upaya tersebut memberikan pengalaman yang sangat berharga dalam mengkaji ulang atau setidaknya melakukan review kebijakan. Disamping itu juga telah memberikan referensi bagi semua pihak (yang peduli terhadap penangan konflik) untuk merancang ulang (redisain) kebijakan mendatang. Mengacu pada sudut pandang penangan konflik pra-saat- paska, maka dalam review kebijakan ini menggunakan sistematika pendekatan menjadi pokok bahasan, selanjutnya dijelaskan lebih dalam dalam kondisi pra konflik, saat konflik, dan paska konflik.

Penanganan Sektoral - Regional Seakan kemunculan pendekatan regional berhadap-hadapan dengan sektoral. Pada konteks grand strategy diarahkan untuk melakukan sinergisitas sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak parsial (lebih terintegrasi) dalam menangani konflik. Artinya kemunculan pendekatan regional bukan berarti menghilangkan pendekatan sektoral. Dalam mengelompokkan mana kebijakan yang menggunakan pendekatan sektoral atau regional, dapat menggunakan matrik perbedaan yang mendasar antara dua kebijakan tersebut.

Kebijakan Pendekatan Keamanan- Kesejahteraan Pendekatan keamanan dominan berada dalam masa terjadinya konflik kekerasan dan karena itu perlu ditambah dengan pendekatan kesejahteraan agar terdapat kebijakan penanganan konflik yang berkelanjutan. Di bawah ini terdapat pembedaan terhadap pendekatan tersebut yang selanjutnya dapat direkomendasikan sinergisitasnya. Kebijakan pertahanan dan keamanan negara menekankan pada pendekatan keamanan yang berusaha disinergiskan dengan pendekatan kesejahteraan. meskipun demikian, pendekatan keamanan masih menonjol karena skala konflik separatisme makin kuat seiring dengan geopolitik, geoekonomi dan geostrategis di dunia. Ancaman keamanan non-tradisional yang timbul di dalam negeri dengan motivasi separatisme, akan dihadapi dengan mengedepankan cara-cara dialogis. Pendekatan dialogis diharapkan mampu mempengaruhi para pelaku untuk kembali setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila pendekatan dialogis untuk mendapat respon positif, maka penggunaan cara cara lain yang lebih tegas sangat mungkin dilakukan demi terpeliharanya stabilitas keamanan nasional dan tetap tegaknya NKRI.

Kelembagaan yang Terpusat- Desentralistik Pemahaman yang dikotomis dan berhadap-hadapan antara pendekatan sentralistik dan desentralistik seringkali justru berdampak buruk pada masyarakat. Pada realitasnya ada beberapa kebijakan dan program memang lebih efektif jika dikelola oleh pemerintah pusat (sentralistik), namun ada pula yang sebaliknya, bahwa ada pula program yang dirancang oleh pemerintah pusat, namun dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dari kenyataan tersebut kemudian memunculkan ide melakukan sinergisitas pendekatan sentralistik dan desentralistik. Sebagai pijakan untuk mereview kebijakan penanganan daerah konflik terutama pada kedua pendekatan

tersebut disajikan unsure yang dapat diperbandingkan. Kebijakan penanganan konflik yang pendekatannya sentralistik diperlukan dalam konteks lemahnya pemerintahan lokal dalam hal keuangan dan kemampuan menyelesaikan masalah keamanan dan kesejahteraan dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian dalam menjalankan penanganan yang sentralistik, diperlukan rumusan yang tegas mengenai batas-batas intervensinya, sehingga tidak berlangsung terus menerus karena dapat menghilangkan akuntabilitas dan transparansi penanganan konflik. Daftar Pustaka 1. Tadjoeddin, Mohammad Zulfan. 2002. Anatomi kekerasan sosial dalam konteks transisi : kasus indonesia 1990-2001 2. Ningrum, Epon. 2010. Konflik Dalam Proses Sosial 3. Rahman, Arif. 2011. Kontrol Vertikal. Dikutip dari : http://blog.uad.ac.id/arifrahman/ 2011/12/05/konflik-vertikal/

Anda mungkin juga menyukai