Tapai singkong dan ketan. Tapai (sering dieja sebagai tape) adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi) bahan pangan berkarbohidrat, seperti singkong dan ketan.[1] Tapai bisa dibuat dari singkong (ubi kayu) dan hasilnya dinamakan tapai singkong[1]. Bila dibuat dari ketan hitam maupun ketan putih, hasilnya disebut "tapai pulut" atau "tapai ketan".[1] Dalam proses fermentasi tapai, digunakan beberapa jenis mikroorganisme seperti Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Pediococcus sp., dan lain-lain.[1]. Tapai hasil fermentasi dari S. cerevisiae umumnya berbentuk semi-cair, berasa manis keasaman, mengandung alkohol, dan memiliki tekstur lengket[1] Umumnya, tapai diproduksi oleh industri kecil dan menengah sebagai kudapan atau hidangan pencuci mulut[1].
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Pembuatan tapai 2 Pengaruh konsumsi tapai bagi kesehatan o 2.1 Keunggulan tapai o 2.2 Kelemahan tapai 3 Istilah tapai di berbagai daerah 4 Produk olahan tapai 5 Referensi 6 Pranala luar
Tapai ketan dari Kuningan yang dibungkus daun jambu air. Dalam pembuatan tapai ketan, beras ketan perlu dimasak dan dikukus terlebih dahulu sebelum dibubuhi ragi[2]. Campuran tersebut ditutup dengan daun dan diinkubasi pada suhu 25-30 C selama 2-4 hari sehingga menghasilkan alkohol dan teksturnya lebih lembut[2]. Untuk membuat tapai singkong, kulit singkong harus dibuang terlebih dahulu[1]. Singkong dicuci lalu dikukus dan ditempatkan pada keranjang bambu yang dilapisi daun pisang[1]. Ragi disebar pada singkong dan lapisan daun pisang yang digunakan sebagai alas dan penutup[1]. Keranjang tersebut kemudian diperam pada suhu 28 30 C selama 2 3 hari[1]. Selain rasanya yang manis dan aroma yang memikat, tapai juga dibuat dengan beberapa warna berbeda.[1] Warna tersebut tidak berasal dari pewarna buatan yang berbahaya, melainkan berasal dari pewarna alami.[1] Untuk membuat tapai ketan berwarna merah, digunakan angkak, pigmen yang dihasilkan oleh Monascus purpureus. Sedangkan tapai ketan warna hijau dibuat menggunakan ekstrak daun pandan. [1] Pembuatan tapai memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar singkong atau ketan dapat menjadi lunak karena proses fermentasi yang berlangsung dengan baik[2]. Ragi adalah bibit jamur yang digunakan untuk membuat tapai. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. Alat-alat yang berminyak jika dipakai untuk mengolah bahan tapai bisa menyebabkan kegagalan fermentasi.[2] Air yang digunakan juga harus bersih[1]; menggunakan air hujan bisa mengakibatkan tapai tidak berhasil dibuat.
dalam tubuh dan mengurangi jumlah bakteri jahat.[4] Kelebihan lain dari tapai adalah kemampuannya tapai mengikat dan mengeluarkan aflatoksin dari tubuh.[4] Aflaktosin merupakan zat toksik atau racun yang dihasilkan oleh kapang, terutama Aspergillus flavus[4]. Toksik ini banyak kita jumpai dalam kebutuhan pangan sehari-hari, seperti kecap. Konsumsi tapai dalam batas normal diharapkan dapat mereduksi aflatoksin tersebut.[4] Di beberapa negara tropis yang mengonsumsi singkong sebagai karbohidrat utama, penduduknya rentan menderita anemia[4]. Hal ini dikarenakan singkong mengandung sianida yang bersifat toksik dalam tubuh manusia.[4]. Konsumsi tapai dapat mencegah terjadinya anemia karena mikroorganisme yang berperan dalam fermentasinya mampu menghasilkan vitamin B12[5]
[sunting] Referensi
1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Inggris)GANDJAR, I. 2003. Tapai from cassava and cereals. Di dalam: First International Symposium and Workshop on Insight into
the World of Indigenous Fermented Foods for Technology Development and Food Safety; Bangkok, 13 17 Apr 2003. hlm 1-10. 2. ^ a b c d e f (Inggris)Djien KS (1972). "Tapai fermentation". Appl Microbiol 23 (5): 976-978. http://aem.asm.org/cgi/reprint/23/5/976.pdf. 3. ^ a b (Inggris):Cronk TC, Steinkraus KH, Hackler LR, Mattick LR. (1977). "Indonesian tape ketan fermentation". Appl Microbiol 33 (5): 1067-73. http://aem.asm.org/cgi/reprint/33/5/1067.pdf 4. ^ a b c d e f g h (Inggris)Cereda MP, Takahashi M. 1994. Cassava waste : Their Characterization, and Uses, and Treatment in Brazil. Di dalam: Dufour D, OBrien GM, Best R, editor. International Meeting on Cassava Flour and Starch : Progress in Research and Development; Cali, 11-15 Jan 1994. Cali: Centro Internacional de Agricultura Tropical. hlm 221-232. 5. ^ (Inggris)Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing. [thesis]. Lund: Department of Applied Nutrition and Food Chemistry, Lund University.