KESEHATAN REPRODUKSI
WAWANCARA
Apa dampak pergaulan remaja yang tidak bertanggung jawab? Dampak yang kita rasakan saat ini ialah munculnya fenomena pernikahan dini, seks pranikah, dan aborsi. Ketiga hal ini bakal berdampak pada bidang kependudukan dan pembangunan. Ketiganya akan menurunkan kualitas SDM kita. Mereka yang menikah pada usia dini sebenarnya belum siap secara sik, emosional, dan bahkan ekonomi untuk membangun rumah tangga. Menikah usia dini juga akan mempunyai masa reproduksi yang lebih panjang sehingga berisiko yang lebih tinggi untuk mempunyai anak Sudibyo Alimoeso yang lebih banyak. Itu jelas tidak Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN
ASIH ingat kasus AN, pelajar kelas 1 SMK swasta di Depok yang melahirkan di toilet sebuah klinik beberapa waktu lalu? Kehamilan AN di luar nikah membuat sekolah tempat dia menimba ilmu meradang. Remaja 16 tahun itu akhirnya dikeluarkan dari sekolah dengan dalih yang bersangkutan telah mangkir sekolah sekian lama. Dengan berkaca dari fenomena itu, melalui riset pada 2010, peneliti dari Australian Demographic and Social Research Institute-Australian National University (ADSRIANU) Iwu Dwisetyani Utomo mengatakan, di Indonesia, seorang gadis berusia 16 tahun yang sudah menikah mempunyai hak dan akses yang luas atas pelayanan kesehatan reproduksi (kespro) yang disediakan negara. Dari sisi masyarakat, mereka dipandang sebagai seorang calon ibu yang baik dan bertanggung jawab. Namun di sisi lain, kata dia, seorang gadis berusia 17 tahun yang masih lajang tetapi telah hamil dianggap sebagai pendosa dan tidak dihargai. Pada usia yang sebetulnya secara legal telah dapat menentukan pilihan hidup, mereka tidak memiliki akses dan hak yang sama atas layanan kespro. Remaja yang hamil di luar nikah pada umumnya putus sekolah dan terkucilkan dari lingkungannya. Akibat tekanan psikologis dan stigma, gadis itu akan menyembunyikan kehamilannya dan sulit ke klinik kesehatan untuk berkonsultasi mengenai kehamilannya. Dalam keputusasaan dia mungkin akan pergi ke dukun untuk melakukan aborsi yang membahayakan jiwanya. Penelitian bersama antara ADSRI-ANU, Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia, dan Asian Research Institute-National University of Singapore (ARI-NUS) pada 2010 menyatakan layanan dan promosi kespro untuk penduduk dewasa yang masih lajang kurang mendapat dukungan di Indonesia lantaran dianggap berbenturan dengan norma agama dan sosial. Lemahnya dukungan negara pada layanan kespro tentu bertentangan dengan
komitmen internasional yang menyeru kepada pemerintah agar mendukung hak-hak reproduksi dan seksual untuk semua warga negara. Pemerintah dituding telah Mendiskriminasikan remaja lajang. Penelitian menyimpulkan, tanpa adanya kebijakan kesehatan reproduksi yang baik, beribu-ribu wanita Indonesia bakal terus mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dipaksa untuk menikah karena kehamilannya, atau mengakhiri kehamilannya dengan cara tidak aman. Terkait dengan hasil riset itu, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso mengakui fenomena seks pranikah dan aborsi yang tidak aman pada remaja kita ialah suatu realitas yang sulit lagi disangkal.
anggota Komisi IX DPR Herlini Amran meminta BKKBN segera meningkatkan sosialisasi program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR). Pemerintah harus meningkatkan program sosialisasi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja, tandasnya.
Mandat
Sudibyo sependapat dengan kesimpulan riset ADSRI-ANU dan Komnas PA bahwa minimnya informasi kesehatan reproduksi remaja (KRR) berpengaruh pada perilaku seks pranikah. Menurut dia, remaja memiliki karakteristik tersendiri sehingga memerlukan pelayanan yang spesik. Sayangnya, kata dia, layanan kesehatan reproduksi remaja masih sangat sedikit. Pelayanan yang ada pada saat ini lebih dirancang untuk melayani pasangan suami istri. Hal itu tentu menjadi sebuah dilema lantaran perilaku seksual di kalangan remaja yang bermuara pada penyakit menular seksual dan kehamilan semakin tinggi. Sesuai dengan mandat, BKKBN memang tidak diperkenankan memberikan layanan kontrasepsi pada remaja lajang. Lagi pula pemberian layanan kontrasepsi pada kelompok lajang tentu bakal mendapat protes dari masyarakat lantaran dianggap melanggar norma-norma. Untuk mengatasi persoalan tersebut, BKKBN lebih memilih strategi penguatan pemberdayaan remaja dan peningkatan ketahanan keluarga. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka, strategi advokasi lebih kita utamakan, tuturnya. Saat ini BKKBN telah membentuk Pusat Informasi dan Ko n s e l i n g Ke s e h a t a n R e produksi Remaja (PIK-KRR), baik di level sekolah formal maupun nonformal. Misalnya, pada kelompok-kelompok kegiatan remaja. Saat ini tidak kurang Dari 14 ribu PIK-KRR tersebar di seluruh Indonesia. Melalui PIK-KRR, remaja akan memperoleh informasi dan konseling tentang reproduksi sehat serta rujukan bila ada permasalahan terkait dengan kesehatan reproduksi. (*/H-1)
Yang memprihatinkan, 62,7% responden SMP mengaku tidak perawan dan 21,2% pernah melakukan
ABORSI.
Ia mengaku prihatin akan hal itu. Ada kecenderungan perilaku seks pranikah di kalangan remaja meningkat. Hal ini wajib mendapat perhatian lantaran yang akan rugi adalah masa depan remaja itu sendiri, cetusnya dalam perbincangan dengan Media Indonesia, kemarin. Permasalahan remaja saat ini memang semakin kompleks. Survei Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang dilakukan di 33 provinsi pada 2008 menggambarkan hal itu. Riset Komnas PA mencatat 97% responden yang terdiri dari remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Sebanyak 93,7% dari mereka mengaku pernah berciuman dan melakukan oral seks. Yang memprihatinkan, 62,7% responden SMP mengaku tidak perawan dan 21,2% pernah melakukan aborsi. Terkait dengan hal tersebut,
cornel @mediaindonesia.com
ANTARA/ERIC IRENG
KESEHATAN REPRODUKSI: Petugas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional memberikan
pendidikan kesehatan reproduksi kepada sejumlah pelajar di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
baru-baru ini. Menurut dia, pihak BKKBN hingga saat ini masih terus berkoordinasi dengan Kemendikbud untuk mewujudkan hal itu. Jika pun tidak masuk sebagai suatu mata pelajaran tersendiri, kami harap kesehatan reproduksi remaja bisa terintegrasi ke dalam disiplin ilmu lainnya yang terkait, pungkasnya. (*/Tlc/AT/H-1)