Anda di halaman 1dari 100

BAB 1. PEMBAHASAN 1.1Konflik 1.1.1 Definisi Konflik a.

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. b. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka

mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. c. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. d. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249). Dahrendorf ( Ritzer, 2005 ), menyimpulkan bahwa masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Namun, para ahli lainnya mengatakan setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Teoritis konflik dan fungsionalisme disejajarkan. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritis konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis juga menyatakan bahwa setiap

elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teoritis konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Dahrendorf juga menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial dan konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. Secara singkat Ia menyatakan bahwa setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu terjadi dengan hebat, maka perubahan bersifat radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Soekanto (1984), menyatakan konflik sosial dapat ditelaah dari berbagai aspek, antara lain adalah : a. Secara historis, maka konflik antara masyarakatmasyarakat memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan unit-unit sosial yang lebih besar dan lebih luas, memperkuat sistem stratifikasi sosial dan memperluas difusi penemuan-penemuan baru di bidang sosial budaya. Di zaman modern konflik internasional telah mempengariuhi struktur ekonomi dan politik dari berbagai masyarakat, kebijaksanaan-kebijaksanaan politik, maupun norma-norma. b. Konflik antara golongan mungkin mendorong terjadinya perubahan dan penemuan-penemuan baru c. Adanya atau kemungkinan terjadinya konflik antargenerasi. Dalam konflik sosial, jatidiri dari orang per orang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata lain, dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing-masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antargolongan yang terwakili oleh kelompokkelompok konflik. Dalam konflik

sosial, tidak lagi ada tindakan memilah-milah dan menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang per orang dari pihak lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan. 1.1.2 Faktor penyebab konflik 1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbedabeda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan
3

sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohonpohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. 4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai

kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilainilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia

industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada. 1.1.3 Jenis-jenis konflik Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam : 1. konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)) 2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank). 3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa). 4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara). Secara umum di dalam masyarakat terdapat dua jenis konflik sosial, yaitu: konflik secara vertikal ( negara versus warga, buruh versus majikan) dan konflik secara horizontal ( antarsuku, antaragama, dan antarmasyarakat). Terjadinya konflik sosial dipicu oleh faktor ekonomi, politik, agama, kekuasaan, dan kepentingan lainnya. Selain itu, konflik sosial memiliki dua sifat dan fungsi yang berbeda yaitu: konflik yang bersifat positif memiliki fungsi sebagai pendukung (konstruktif) dan konflik sosial bersifat negatif yang menjadi faktor perusak (destruktif). Kedua sifat konflik sosial tersebut berpengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Secara umum konflik vertikal dapat didefinisaikan sebagai perselisihan kelompok masyarakat atau wilayah tertentu dengan Negara atau pemerintah. Konflik vertikal dapat juga diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk
5

persoalannya dari pandangan mereka. Sebab-sebab terjadinya konflik vertical ditinjau dari penyebab utama terjadinya konflik, ada 4 faktor : Faktor politik Penyebab konflik karena adaanya diskriminasi politik dan eklusifisme ideologi nasional. Faktor struktural Adalah faktor-faktor penyebab konflik yang terjadi olehkarena Negara atau pemerintah lemah, masalah dan pengaturan keamanan dalam Negara lemah serta benturan kepentingan etnik Faktor sosial-ekonomi Fator penyebab konflik karena adanya problematika ekonomi yang tidak teratasi. Diskrimiasi sistem ekonomi serta modernisasi dan pembangunan ekonomi yang tidak adil. Faktor kultural dan persepsi Adalah faktor penyebab konflik karena adanya diskriminasi atau perasaan diskriminatif terhaadap minoritas dan benturan antatr kelompok dalam masyarakat. 1.1.4 Proses Konflik Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) oposisi atau ketidakcocokan potensial; (2) kognisi dan personalisasi; (3) maksud; (4) perilaku; dan (5) hasil. Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya konflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam kategori: komunikasi,

struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggota tujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami situasi ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah itu kumisnya, suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihakpihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu: (1) bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam suatu episode konflik; (2) berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak; (3) mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik; (4) mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya; dan (5) berkomromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak dalam suatu

konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksireaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.oleh pihakpihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terang an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksireaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok. 1.1.5 Pola Penyelesaian Konflik Konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan (Riggio, 1990). Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara

yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal. Strategi yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi: (1) koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen; (2) dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak. Sedangkan strategi yang dipandang paling efektif, antara lain: (1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks. Misalnya denga cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih mantap; (2) tawarmenawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu. Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan (arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal: (1) harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain; (2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian; (3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik; dan (4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara

beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit. a. Macam-macam Pola Pengelolaan Konflik Menurut penelitian Vliert dan Euwema (dalam Farida, 1996) penelitianpenelitian mengenai cara-cara penyelesaian konflik menggunakan klasifikasi yang berbeda. Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai klasifikasi yang dianggap paling valid. Individu berhubungan dengan yang lain dalam tiga cara; moving toward others (mendapatkan dukungan), moving againts other (menyerang dan mendominasi), dan moving away from other (menarik diri dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam Hall, 1985). Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan tiga model pengelolaan konflik, sebagai berikut. 1. Deffering to status power Individu dengan status yang lebih tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan memaksakan solusi konflik yang ditawarkan. Status sosial memegang peranan dalam menentukan aktivitas-aktivitasyang akan dilakukan. 2. Applying regulations Model ini ditekankan oleh asumsi bahwa interaksi sosial diatur oleh hukum universal. Peraturan diterapkan secara merata pada seluruh anggota.

10

Peraturan dibakukan untuk menggambarkan hukuman dan penghargaan yang diberikan berdasarkan perilaku yang dilakukan, bukan berdasarkan orang yang terlibat. 3. Integrating interest Model ini menekankan pada perhatian pihak yang terlibat, untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat bagi mereka daripada tidak mendapatkan kesepakatan satupun. Disini masing-masing pihak saling berbagi minat, prioritas, untuk menemukan penyelesaian yang dapat mempertemukan minat mereka masingmasing. Pola penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang-kalah pada masing-masing pihak, maka ada empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu: 1. Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik) Bentuk pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. 2. Bentuk menang-kalah (persaingan) Bentuk kedua ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah. 3. Bentuk kalah-menang (mengakomodasi) Agak berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga yaitu individu kalahpihak lain menang ini berarti individu berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan

11

upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan. 4. Bentuk menang-menang (kolaborasi) Bentuk keempat ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut (Prijosaksono dan Sembel, 2002). Berbeda dengan pendapat diatas, Hendricks (2001) mengemukaan lima gaya pengelolaan konflik yang diorientasikan dalam organisasi maupun perusahaan. Lima gaya yang dimaksud adalah: 1. Integrating (menyatukan, menggabungkan) Individu yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi. Disini ada keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Cara ini mendorong berpikir kreatif serta mengembangkan alternatif pemecahan masalah. 2. Obliging (saling membantu) Disebut juga dengan kerelaan membantu. Cara ini menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri. 3. Dominating (menguasai)

12

Tekanan gaya ini adalah pada diri sendiri. Kewajiban bisa saja diabaikan demi kepentingan pribadi. Gaya ini meremehkan kepentingan orang lain. Biasanya berorientasi pada kekuasaan dan penyelesaiannya cenderung dengan menggunakan kekuasaan. 4. Avoiding (menghindar) Individu yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan, termasuk di dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu. 5. Compromising (kompromi) Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang. b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Penyelesaian Konflik Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (1) tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan kepentingan individu lain; (2) seberapa penting hubungan atau interaksi itu untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang efektif selama beberapa waktu. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut. 1. Kepribadian Individu Yang Terlibat Konflik Stenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik-

13

karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gayagaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Sebaliknya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif. Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik adalah kecenderungan agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati, dan kemampuan untuk menemukan pola penyelesaian konflik. 2. Situasional Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik, maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebelumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut. Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk

14

dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang berselisih dapat melunakkan konflik karena pihak ketiga dapat berperan sebagai mediator. 3. Interaksi Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam mencari pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas. Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah interaksi dan saling mempengaruhinya determinan situasional dan disposisional. 4. Isu Konflik Tipe isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipetipe isu yang cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang. Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif, konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas. Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan. Segi positif konflik adalah: a. memperjelas aspek-aspek kehidupan b. menungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai c. jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan kelompok

15

d. membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma- norma-norma baru 1.2 Indikator Kerusuhan Sosial Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huruhara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat. Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan. Beberapa indikator/faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya kerusuhan sosial antara lain: ideologi, politik, sosial, dan ekonomi. Berikut adalah penjelasan dari indikator-indikator tersebut.

16

1.2.1 INDIKATOR IDEOLOGI Sub babnya meliputi : A. Pengertian Ideologi B. Pentingnya Ideologi Bagi Suatu Negara C. Pengertian Ideologi Sebagai Dasar Negara D. Ideologi-Ideologi Dunia E. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia F. Nilai-Nilai Pancasila G. Contoh Kasus

Penanggung Jawab : 1. Devi Triya 2. Syah Banun 101610101053 101610101054

17

1.2.1. indikator Ideologi

A. PENGERTIAN IDEOLOGI Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata logi yang berasal dari bahasa Yunani logo yang artinya pengetahuan. Jadi, Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang gagasangagasan, pengetahuan tentang ideide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan idea disamakan artinya dengan cita-cita. Dalam perkembangannya terdapat pengertian Ideologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Istilah Ideologi pertama kali dikemukakan oleh Destutt de Tracyseorang Perancis pada tahun 1796. Menurut Tracy ideologi yaitu science of ideas, suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis. Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup. Ramlan Surbakti mengemukakan ada dua pengertian Ideologi yaitu Ideologi secara fungsional dan Ideologi secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Ideologi secara fungsional ini digolongkan menjadi dua tipe, yaitu Ideologi yang doktriner dan Ideologi yang pragmatis. Ideologi yang doktriner bilamana ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi itu dirumuskan secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Sebagai contohnya adalah komunisme. Sedangkan Ideologi yang pragmatis, apabila ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan secara umum hanya prinsip-prinsipnya, dan Ideologi itu disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem

18

pendidikan, system ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Pelaksanaan Ideologi yang pragmatis tidak diawasi oleh aparat partai atau aparat pemerintah melainkan dengan pengaturan pelembagaan (internalization), contohnya

individualisme atau liberalisme. Ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Dengan demikian secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa Ideologi adalah kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang

menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia. Notonegorosebagaimana dikutip oleh Kaelan mengemukakan, bahwa Ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi dasar bagi suatu sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerohanian yang antara lain memiliki ciri: 1. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan; 2. Mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Ideologi berintikan seperangkat nilai yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh seseorang atau suatu masyarakat sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka. Melalui rangkaian nilai itu mereka mengetahui bagaimana cara yang paling baik, yaitu secara moral atau normatif dianggap benar dan adil, dalam bersikap dan bertingkah laku untuk memelihara, mempertahankan, membangun kehidupan duniawi bersama dengan berbagai dimensinya. Pengertian yang demikian itu juga dapat dikembangkan untuk masyarakat yang lebih luas, yaitu masyarakat bangsa. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu : 1. Pengertian ideologi secara fungsional. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik.

19

2. Pengertian ideologi secara struktural. Ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Dalam arti fungsional, ideologi digolongkan secara tipologi dengan beberapa tipe, yaitu : 1. Ideologi Doktriner. Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Komunisme merupakan salah satu contohnya. 2. Ideologi Pragmatis. Ketika ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsip-prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama, dan sistem politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideologi pragmatis.

B. PENTINGNYA IDEOLOGI BAGI SUATU NEGARA Jika menengok sejarah kemerdekaan negara-negara dunia ketiga, baik yang ada di Asia, Afrika maupun Amerika Latin yang pada umumnya cukup lama berada di bawah cengkeraman penjajahan negara lain, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai, dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang nyata. Ideologi dalam artian ini sangat diperlukan, karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran akan

kemerdekaan, memberikan arahan mengenai dunia beserta isinya, serta menanamkan semangat dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan, yang selanjutnya mewujudkannya dalam kehidupan penyelenggaraan negara.

20

Pentingnya ideologi bagi suatu negara juga terlihat dari fungsi ideologi itu sendiri. Adapun fungsi ideologi adalah membentuk identitas atau ciri kelompok atau bangsa. Ideologi memiliki kecenderungan untuk memisahkan kita dari mereka. Ideologi berfungsi mempersatukan sesama kita. Apabila dibandingkan dengan agama, agama berfungsi juga mempersatukan orang dari berbagai pandangan hidup bahkan dari berbagai ideologi. Sebaliknya ideologi

mempersatukan orang dari berbagai agama. Oleh karena itu ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai pertentangan (kon ik) atau ketegangan sosial. Dalam hal ini ideologi berfungsi sebagai pembentuk solidaritas (rasa kebersamaan) dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tata nilai yang lebih tinggi. Fungsi pemersatu itu dilakukan dengan memenyatukan keseragaman ataupun keanekaragaman, misalnya dengan memakai semboyan kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan. C. PENGERTIAN IDEOLOGI SEBAGAI DASAR NEGARA Dasar Negara adalah landasan kehidupan bernegara. Setiap negara harus mempunyai landasan dalam melaksanakan kehidupan bernegaranya. Dasar negara bagi suatu negara merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Dasar negara bagi suatu negara merupakan sesuatu yang amat penting. Negara tanpa dasar negara berarti negara tersebut tidak memiliki pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, maka akibatnya negara tersebut tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas, sehingga memudahkan munculnya kekacauan. Dasar negara sebagai pedoman hidup bernegara mencakup cita-cita negara, tujuan negara, norma bernegara.

D. IDEOLOGI-IDEOLOGI DUNIA LIBERALISME Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan feodal, di mana sistem sosial-ekonomi dikuasai oleh kaum aristokratis feodal dan menindas hak-hak individu. Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan

21

intelektual yang digerakkan oleh keresah ilmiah (rasa ingin tahu dan keinginan untuk mencari pengetahuan yang baru) dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan intelektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja, dan gilde-gilde. Mereka tidak bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi secara bebas; tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggungjawab atas tindakannya, dan tidak menyuruh seseorang melakukan sesuatu untuknya atau seseorang untuk mengatakan apa yang harus dilakukan. Seseorang yang bertindak atas tanggungjawab sendiri dapat

mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberal inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan tujuan utama politik ialah mendorong setiap anggota masyarakat untuk bertanggungjawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya akan dapat terjadi manakala mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik hati, mungkin dapat membuat keputusan yang lebih baik atas nama rakyat daripada rakyat itu sendiri, bagaimana pun juga demokrasi jauh lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :
a. b.

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik. Anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan kebebasan pers.

22

c.

Pemerintah hanya mengatur

kehidupan masyarakat

secara terbatas.

Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
d.

Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah.

e.

Suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar individu berbahagia. Kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.

Paham ini dianut di Inggris dan Koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.

KONSERVATISME Ketika liberalisme menggoncang struktur masyarakat feodal yang mapan, golongan feodal berusaha mencari ideologi tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasive liberalisme. Dari sinilah muncul ideologi konservatisme sebagai reaksi atas paham liberal. Menurut paham itu, liberalisme merupakan paham yang terlalu individualistis karena memandang masyarakat terdiri atas individu atau gabungan individu. Sebaliknya, menurut paham konservatif masyarakat dan kelompok masyarakat yang lain tidak sekedar penjumlahan unsur-unsurnya, dan suatu kelompok lebih dapat menciptakan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang dapat diciptakan oleh anggota masyarakat secara individual. Liberalisme, menurut penilaian paham konservatif cenderung menimbulka sejumlah individu yang hidupnya lebih baik tetapi tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Paham konservatif itu ditandai dengan gejala-gejala berikut : 1) Masyarakat terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki struktur (tata) yang stabil sehingga setiap orang mengetahui, bagaimanakah ia harus berhubungan dengan orang lain. seseorang akan lebih dapat memperoleh kebahagiaan sebagai anggota suatu keluarga, anggota gereja dan anggota masyarakat daripada yang dapat diperoleh secara individual.

23

2)

Untuk menciptakan masyarakat yang tertata dan stabil itu diperlukan suatu pemerintahan yang memiliki kekuasaan yang mengikat tetapi bertanggungjawab. Paham konservatif berpandangan pengaturan yang tepat atas kekuasaan akan menjamin perlakuan yang sama terhadap setiap orang.

3)

Paham ini menekankan tanggungjawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk membantu pihak yang lemah. Posisi ini bertentangan dengan paham liberal yang berpandangan pihak yang lemah harus bertanggungjawab atas urusan dan hidupnya. Sisi konservatif inilah yang menimbulkan untuk pertama kali negara kesejahteraan (welfarestate) dengan program-program jaminan sosial bagi yang berpenghasilan rendah.

Liberalisme dan konservatisme di Amerika Serikat mempunyai pengertian yang lain. di Amerika Serikat secara umum dikenal dua ideologi yang bersaingan, yakni liberal yang mendasari Partai Demokrat dan Konservatif yang mendasari partai republik. Selain itu, ada pula yang agak liberal di partai republik dan agak konservatif di partai demokrat. Kedua ideologi itu sesungguhnya merupakan pengembangan dari liberalisme seperti yang dikembangkan di Eropa.

Karakteristik paham liberal di Amerika Serikat dalam hal ini menaruh perhatian pada ketimpangan sosial di kalangan minoritas, mendukung campur tangan pemerintah yang lebih besar dalam mengatasi ketimpangan sosial ekonomi, menaruh perhatian pada pemeliharaan kebebasan menyatakan pendapat dan hakhak politik yang lain, menekankan pemisahan negara dengan agama, kurang mendukung pembuatan peraturan untuk mengatur kehidupan anggota masyarakat secara moral (misalnya menentang aturan yang melarang aborsi), dan kurang menyetujui pembangaunan militer secara besar-besaran dan tidak menghendaki intervensi militer ke negara lain. Paham konservatif berpandangan sebaliknya dari karakteristik liberal. Pemerintah yang terbaik ialah yang memerintah sedikit mungkin, ekonomi dan pasar bebas akan dengan sendirinya menguntungkan semua individu,

menghendaki keterkaitan negara dengan agama, kurang memperhatikan hak-hak

24

sipil golongan minoritas, mendukung peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat secara moral (menentang aborsi), mendukung pembangunan industri persenjataan besar-besaran, dan untuk menjamin kepentingan ekonomi dan politiknya bersedia melakukan intervensi militer atas negara-negara lain. Ciri lain yang membedakan kedua ideologi ini menyangkut hubungan ekonomi dengan negara lain. paham konservatif tidak menghendaki pengaturan ekonomi (proteksi), melainkan menganut paham ekonomi internasional yang bebas (persaingan bebas), sedangkan paham liberal cenderung mendukung pengaturan ekonomi internasional sepanjang hal itu membantu buruh, konsumen dan golongan menengah domestik. SOSIALISME DAN KOMUNISME Sosialisme merupakan reaksi terhadap revolusi industri dan akibatakibatnya. Awal sosialisme yang muncul pada bagian pertama abad kesembilan belas dikenal sebagai sosialis utopia. Sosialisme ini lebih didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan menyakini kesempurnaan watak manusia. Penganut paham ini berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-citakan dengan kerjernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Pada perkembangan berikutnya, analisis sosial paham sosialis tampak lebih jelas. Paham ini berkeyakinan kemajuan manusia dan keadilan terhalang dengan lembaga hak milik atas sarana produksi. Pemecahannya, menurut paham ini ialah dengan membatasi atau menghapuskan hak milik pribadi (privat property) dan menggantinya dengan pemilikan bersama atas sarana produksi. Dengan cara ini, ketimpangan distribusi kekayaan yang tak terelakkan dari lembaga pemilikan pribadi di bawah kapitalisme dapat ditiadakan. Perbedaan utama antara sosialisme dan komunisme terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Paham sosialis berkeyakinan perubahan dapat dan seyogyanya dilakukan dengan cara-cara damai dan demokratis. Paham sosialis juga lebih luwes dalam hal perjuangan perbaikan nasib buruh secara bertahap dan dalam hal kesediaan berperanserta dalam

25

pemerintahan yang belum seluruhnya menganut sistem sosialis. Paham sosialis ini banyak diterapkan di negara-negara Eropa Barat. Pada pihak lain, paham komunis berkeyaninan perubahan atas sistem kapitalisme harus dicapai dengan cara-cara revolusi, dan pemerintahan oleh diktator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi. Dalam masa transisi dengan bantuan negara di bawah diktator proletariat, seluruh hak milik pribadi dihapuskan dan diambil alih untuk selanjutnya berada dalam kontrol negara. Pada gilirannya, negara dan hukum akan lenyap karena tidak lagi diperlukan. Paham komunis ini pernah diterapkan di bekas negara Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Kini paham komunis masih diterapkan di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam. Paham komunis di bekas negara Uni Soviet berbeda dengan paham komunis di RRC dalam penafsiran mereka atas ajaran Marxisme. Contohnya, Revolusi Oktober di Uni Soviet dimotori oleh kelompok pelopor (vanguard group), sedangkan revolusi di RRC dilakukan dengan cara gerilya bersama petani. Perubahan-perubahan drastis dalam peta politik dan ekonomi, seperti kehancuran di Uni Soviet dan kejatuhan rezim komunis di negara-negara Eropa Timur pada sejak 1989 menunjukkan sosialisme dan komunisme tengah dilanda krisis berat. Hal terbaik yang mungkin muncul dari krisis ini berupa timbulnya sosialisme yang berwajah manusiawi (sosialisme humanis), sedangkan

kemungkinan terburuk yang mungkin muncul dari krisis ini berupa hancurnya komunisme. NASIONALISME Nasionalisme merupakan salah satu ideologi yang berpengaruh di Eropa pada akhir abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20 dan di Asia-Afrika pada abad ke-20. Dalam kurun waktu sepanjang dua abad, nasionalisme telah merepresentasikan diri sebagai ideologi yang berperan penting dalam

pembentukan negara-bangsa (nation-state) di ketiga belahan dunia tersebut. Dalam kajian-kajian tentang nasionalisme, titik tolak pembahasan terletak pada bangsa (nation). Berpijak dari konsep bangsa ini maka nasionalisme dapat dimengerti sebagai sebuah kesadaran nasional, ideologi politik dan gerakan politik

26

yang mengarahkan suatu bangsa menuju pembentukan organisasi politik yang ideal yaitu negara-bangsa. Negara bangsa adalah konsep di mana negara terdiri dari satu bangsa, dan yang disebut bangsa di sini adalah rakyat yang berdaulat. Jadi konsep bangsa yang digunakan tidak lagi mengacu pada aspek primordial seperti kesatuan etnis, atau bahasa namun lebih pada aspek politis. Pembentukan negara-bangsa - sebagai tujuan nasionalisme - mensyaratkan adanya pemahaman tentang bangsa dalam arti modern, yaitu bangsa di mana para anggotanya memiliki kesadaran bahwa mereka 1) tinggal dalam teritori yang sama sehingga menimbulkan rasa memiliki negara yang sama, 2) memiliki identitas nasional yang terkristalisasi dari sejarah, bahasa dan budaya yang sama, dan 3) merupakan anggota bangsa yang sama. Ketiga hal ini merupakan aspek-aspek yang dapat mempersatukan rakyat yang terpisah secara geografis sekaligus menumbuhkan tanggung jawab politik bersama. Untuk memahami nasionalisme di Eropa pada abad ke- 18- 20 dan di Asia - Afrika pada abad ke-20 maka dapat dijelaskan dari ideologi-ideologi lain yang mengiringi pemikiran nasionalisme di kawasan-kawasan tersebut. Di Eropa,

perkembangan nasionalisme juga diiringi oleh ide-ide kedaulatan rakyat, liberalisme dan kapitalisme. Terkait dengan liberalisme, dalam paham ini

kebebasan individu dijamin keberadaannya, sebagai akibatnya, tujuan negara dalam masyarakat yang liberal adalah untuk mempertahankan kebebasan, melindungi harta milik dan mewujudkan kebahagiaan individu. Dengan demikian, ketika nasionalisme, liberalisme dan gagasan kedaulatan rakyat telah berhasil mentransformasi bangsa-bangsa di negara-negara Eropa (khususnya Eropa Barat) menjadi bangsa bercorak politis yang terdiri dari kesatuan warga negara, maka negara-bangsa tak lebih dari sarana untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu-individu warga negara. Nasionalisme dan kapitalisme di Eropa pada abad ke-18-19 telah melahirkan negara-bangsa yang kokoh dan dengan kekuatan negara ini pula, suatu bangsa dapat membangun koloni-koloni dan imperium. Semakin luas wilayah jajahan yang dimiliki maka semakin makmur suatu negara-bangsa.

27

Sebaliknya, di Asia dan Afrika, kolonialisme dan imperialisme bangsabangsa Eropa (kemudian diikuti Jepang) telah menyadarkan rakyat pribumi untuk melawan. Nasionalisme yang bercorak antikolonialisme dan antiimperialisme merupakan jiwa dari seluruh gerakan nasional untuk memerdekakan bangsabangsa di Asia dan Afrika. Hasil perjuangan tersebut dapat dilihat dari data antara tahun 1945 sampai 1960, terdapat 55 wilayah jajahan yang merdeka dan membentuk negara-negara berdaulat. Pada abad ke-21 ini, nasionalisme tidak lagi menjadi isu sentral dalam masalah-masalah global. Namun demikian masih banyak negara yang harus

menghadapi masalah-masalah kebangsaan yang bertumpu pada upaya persatuan bangsa (Nation Building) dan permasalahan ini umumnya terjadi di negara-negara yang terbentuk dari bangsa yang multietnis dan multikultural, sebagai contoh yang dapat ditampilkan di sini adalah kegagalan Uni Sovyet dan Yugoslavia dalam mambangun kesatuan bangsa dari keragaman etnis, yang akhirnya berujung pada pembubaran kedua negara tersebut. Selain itu negara-negara seperti Spanyol masih harus menghadapi gerakan separatis Basque. Sementara itu, negara-negara seperti Irak, Sri Lanka dan bahkan Indonesia masih harus terus berjuang menuju kesatuan bangsa ini.

FASISME Fasisme merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan simbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara. Hal itu akan dapat dicapai apabila terdapat seorang pemimpin kharismatis sebagai simbol kebesaran negara yang dilakukan oleh massa rakyat. Dukungan massa yang fanatik ini tercipta berkat indoktrinasi, slogan-slogan dan simbol-simbol yang ditatanamkan sang pemimpin besar dan aparatnya. Fasisme ini pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang, Italia (Mussolini), dan Spanyol. Dewasa ini pemikiran fasisme cendrung muncul sebagai kekuatan reaksioner (right wing) di negara-negara maju, seperti skin ilead dan kluk kluk klan di Amerika Serikat yang berusaha mencapai dan mempertahankan supremasi kulit putih.

28

MARXISME Marxisme sebagai suatu ideologi timbul karena munculnya kapitalisme yang menimbulkan perbedaan kelas dalam masyarakat. Hal itu menyebabkan penderitaan kaum proletar, sedangkan kaum borjuis semakin kaya. Sementara dalam Marxisme tidak mengenal perbedaan kelas. Perekonomian negara dan hak milik bersama diatur oleh negara. Landasan filosofi ideologi Marxisme adalah materialisme, karena menurut Marx dan Engels dalam kehidupan ini, "yang primer" dianggap sebagai materi. Konflik yang terjadi dalam sejarah manusia selalu memperebutkan sesuatu yang ada hubungannya dengan materi. Penerapan Marxisme kemudian menimbulkan paham baru yaitu sosialisme-marxisme. Pada awalnya, sosialisme merupakan utopia sosialis, artinya dalam kehidupan sosial semua orang dipandang sama, tidak ada perbedaan baik laki laki maupun perempuan, tidak ada perbedaan antara yang memiliki uang dengan yang tidak memiliki uang.

E. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA Pengertian Pancasila Ditinjau dari asal-usulnya, kata Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata, yaitu panca dan syila. Panca berarti lima dan syila dengan huruf i yang dibaca pendek mempu-nyai arti 5atu sendi, dasar, alas atau asas. Sedangkan syila dengan peng-ucapan i panjang (syi:la) berarti peraturan tingkah laku yang baik, utama atau yang penting. Dengan demikian Pancasila dapat diartikan berbatu sendi lima, atau lima tingkah laku utama, atau pelaksanaan lima kesusilaan Pancasyila Krama). Apabila ditinjau dari segi kesejarahan (historis), istilah Pancasila pertama kali ditemukan dalam agama Budha. Dalam Kitab Tri Pitaka Pancasila diartikan sebagai lima aturan kesusilaan yang dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh penganut agama Buddha. Dalam Kitab Vinaya Pitaka, yang merupakan salah satu bagian dari Kitab Tri Pitaka, disebut ada lima pantangan atau lima larangan yang wajib dihindari oleh setiap pemeluk Budha, yaitu: menghindari pembunuhan,

29

menghindari pencurian, menghindari perzinaan, menghindari kebohongan, menghindari makanan dan minuman yang memabukkan yang menyebabkan ketagihan. Masuknya agama Buddha ke Indonesia turut membawa ajaran Pancasila tersebut. Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk istilah Pancasila dimasukkan dalam kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Dalam buku tersebut dituliskan Yatnanggegwani Pancasyiila Kertasangskarbhisekaka Krama yang artinya Raja menjalankan ke lima pantangan (Pancasila) dengan setia. Istilah Pancasila juga dapat kita jumpai dalam sebuah kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Dalam buku itu terdapat istilah Pancasila yang diartikan sebagai pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama), yaitu: Tidak boleh melakukan kekerasan Tidak boleh mencuri Tidak boleh berwatak dengki Tidak boleh berbohong Tidak boleh mabuk minuman keras. Tokoh yang mengajukan rumusan awal Pancasila adalah Prof.

Dr. Supomo dan Ir.Soekarno. Garuda Pancasila, lambang negara RI. Badannya dilindungi dengan perisai yang memuat lambang kelima sila Pancasila. Bintang bersudut lima, lambang sila pertama Rantai bermata bulatan dan persegi, lambang sila kedua Pohon beringin, lambang sila ketiga Kepala banteng, lambang sila keempat Padi dan kapas, lambang sila kelima. Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, istilah Pancasila kembali mencuat ke permukaan. Pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang pertama tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno dalam pidatonya mengatakan namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
30

mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Setelah berakhirnya sidang BPUPKI tersebut dibentuklah Panitia Sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menetapkan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat Pembukaan UUD 1945, alinea IV dengan urutan sebagai berikut: a. Ketuhanan Yang Maha Esa b. Kemanusiaan yang adil dan beradab c. Persatuan Indonesia d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Pancasila Sebagai Dasar Negara Dasar negara dapat berupa suatu falsafah yang dapat merangkum atau menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Dasar negara merupakan fondasi atau landasan yang kuat dan kokoh serta tahan terhadap segala gangguan, hambatan maupun rintangan dari dalam maupun dari luar, sehingga bangunan gedung di atasnya dapat berdiri dengan kokoh dan kuat. Bangunan itu ialah negara Republik Indonesia yang ingin mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan dirumuskannya Pancasila oleh para pendiri negara adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh Radjiman Widyodiningrat bahwa hakikat Pancasila adalah sebagai dasar negara. Demikian pula Muhammad Yamin, Mr. Soepomo dan Ir. Soekarno juga menyebutkan perlu adanya dasar negara Indonesia yang merdeka yaitu Pancasila. Dengan demikian, para pelaku sejarah memang berniat merumuskan Pancasila sebagai landasan negara, sebagai falsafah negara dan ideologi negara dan tidak ada niatan lainnya. Pancasila sebagai dasar negara berarti Pancasila menjadi dasar atau pedoman dalam penyelenggaraan negara. Seandainya negara adalah sebuah

31

bangunan, maka Pancasila sebagai fondasi yang nantinya akan dijadikan tempat berpijak bangunan-bangunan berikutnya. Dengan demikian, Pancasila dijadikan dasar dan tonggak dalam pembuatan segala peraturan perundang-undangan negara serta berbagai peraturan lainnya yang mengatur di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, maupun pertahanan dan keamanan. Di samping Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila juga sebagai cumber hukum yang paling utama bagi segala perundang-undangan yang akan dibuat dan digali. Oleh sebab itu, Pancasila di samping memerankan diri sebagai dasar negara juga memerankan diri sebagai sumber tertib hukum bagi Republik Indonesia. Pada zaman Orde Baru, fungsi Pancasila sebagai sumber hukum diperkuat melalui UU Keormasan Tahun 1985, yaitu UU No. 5 Tandn 1985 tentang keharusan semua kekuatan politik mencantumkan Pane asila sebagai satu-satunya asas dalam anggaran dasarnya. Selain itu. L-1. No.8 Tahun 1985 juga mengharuskan semua organisasi sosial kemasyarakatan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Maka pada kedua Undang-undang tersebut, Pancasila tidak hang a dianggap sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai Anggaran Dasar (AD bagi seluruh organisasi politik, kemasyarakatan maupun sosial keagamaan. Hal ini menyebabkan perluasan makna Pancasila yang tidal; sesuai dengan Tap. MPRS No.XX/MPRS/1966. jo. Tap. MPR No.V MPR/1973, jo. Tap MPR No.IX/MPR/1978 dan dipertegas lagi dalam Tap. MPR No.XVIII/MPR/1998 yang berisi tentang pengembalian kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila Sebagai Ideologi Negara Ideologi berasal dari kata idea yang artinya pemikiran, khayalan. konsep, keyakinan, dan kata logos yang artinya logika, ilmu atau pengetahuan. Jadi, ideologi dapat diartikan ilmu tentang keyakinankeyakinan atau gagasan-gagasan. Ada beberapa pengertian ideologi menurut para tokoh seperti berikut. a) Menurut Destutt de Tracy, ideologi diartikan sebagai Science of Ideas, di dalamnya ideologi dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan membawa perubahan lembaga dalam suatu masyarakat.

32

b)

Kirdi Dipoyuda membatasi pengertian ideologi sebagai suatu kesatuan gagasan-gagasan dasar yang sistematis dan menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya baik individual maupun sosial termasuk kehidupan negara.

c)

Menurut Ali Syariati, ideologi adalah keyakinan-keyakinan dan gagasangagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa, atau suatu ras tertentu. Ideologi umumnya dirumuskan dari pandangan hidup, baik pandangan

yang bersumber dari ajaran agama maupun dari falsafah hidup. Ideologi yang berasal dari ajaran agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun agama lainnya, ideologi ini biasanya bersifat umum dan universal, artinya berlaku untuk semua umat manusia. Sedangkan ideologi yang berdasarkan falsafah hidup biasanya berlaku untuk partai, kelas maupun bangsa bersangkutan, sehingga herlaku lokal atau untuk kelompok atau bangsa itu sendiri. Dari

pengertianpengertian ideologi di atas, maka dapat dikaji lebih lanjut mengenai unsurunsur suatu ideologi. MenurutKoento Wibisono ada tiga unsur penting dalam suatu ideologi, yaitu: a) Keyakinan, yaitu setiap ideologi selalu menunjukkan gagasan vital yang sudah diyakini kebenarannya untuk dijadikan dasar dan arch strategic bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan. b) Mitos, yaitu konsep ideologi selalu memitoskan suatu ajaran yang secara optimal dan pasti, yang menjamin tercapainya tujuan melalui cara-cara yang telah ditentukan. c) Loyalitas, yaitu setiap ideologi menuntut keterlibatan optimal atas dasar loyalitas dari pendukungnya. Sedangkan Sastrapatedja mengemukakan tiga unsur yang ada dalam pengertian ideologi, yaitu: a) Interpretasi, yaitu adanya suatu penafsiran terhadap kenyataan dan realitas. b) Preskripsi, yaitu setiap ideologi memuat seperangkat nilai atau suatu ketentuan moral.

33

c)

Program Aksi, yaitu ideologi memuat suatu orientasi pada tindakan.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan ideologi adalah sekumpulan gagasan atau keyakinan yang disusun secara sistematis dan menyeluruh dan diyakini kebenarannya dalam suatu masyarakat atau bangsa, sehingga berusaha untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ideologi Pancasila merupakan salah satu bentuk ideologi yang

berkembang di tengah-tengah ideologi dunia. Contoh-contoh ideologi lain ada dalam sejarah bangsa-bangsa adalah: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) komunisme, sosialisme, kapitalisme, komunitarianisme, liberalisme, konservatisme, nazisme, monarkisme, fasisme dan anarkisme demokrasi Dengan memperhatikan pengertian dan unsur-unsur ideologi, dapat dikatakan bahwa semua komponen itu adalah pandangan hidup yang sudah disertai dengan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang dicitacitakan, dan sudah menjadi milik kelompok atau bangsa tertentu. Nlisalnya ideologi yang dimiliki bangsa Indonesia. Dalam suatu ideologi harus terkandung tiga komponen dasar, yaitu:

Keyakinan hidup, yaitu konsepsi yang menyeluruh tentang alam semesta (kosmos). Dalam konsepsi ini akan dihadapkan antara keyakinan hidup dengan alam semesta, yang di dalamnya tercermin tiga keyakinan dasar, yaitu hal yang menyangkut hakikat diri pribadi, hakikat yang menyangkut

34

hubungannya dengan sesama, serta hubungan antara pribadi dengan Tuhan.


Tujuan hidup, yaitu konsepsi tentang cita-cita hidup yang diinginkan. Cara-cara yang dipilih untuk mencapai tujuan hidup, termasuk juga di dalamnya berbagai macam institusi (lembaga), program aksi, dan lain sebagainya. Pancasila telah memenuhi unsur-unsur tersebut, sehingga Pancasila dapat

dikatakan sebagai suatu ideologi. Unsur keyakinan hidup dalam Pancasila tercermin pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia. Bangsa Indonesia merumuskan tujuan hidupnya dalam sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hidup yang sangat mulia itu tentunya harus diperjuangkan dengan segala pengorbanan dengan cara-cara yang efektif . Cara-cara yang digunakan untuk mewujudkan sila kelima adalah melalui sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam sila inilah tercermin makna demokrasi. Dengan prinsip demokrasi, tujuan hidup bangsa dan negara akan diupayakan untuk diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Suatu ideologi harus mampu menghadapi segala bentuk tantangan dan hambatan serta perkembangan dari dalam negeri maupun perkembangan global. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak akan menutup rapatrapat terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada era globalisasi dan era informasi. Oleh sebab itu, Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, artinya Pancasila harus membuka diri terhadap perubahan dan tuntutan perkembangan zaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat ditunjukkan dengan memenuhi persyaratan tiga dimensi, yaitu: a) Dimensi realita, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi

tersebut harus bersumber dari kenyataan hidup yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat merasakan dan menghayati ideologi tersebut, karena digali dan dirumuskan dari budaya sendiri. Pada gilirannya nanti akan merasa memiliki dan berusaha mempertahankannya. Ideologi Pancasila benar-benar mencerminkan

35

realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan kenyataan yang ada dan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian bangsa Indonesia betul-betul merasakan dan menghayati nilai-nilai tersebut dan tentunya akan berusaha untuk mempertahankannya. b) Dimensi idealisme, mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam

berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan citacita tersebut suatu bangsa akan mengetahui ke arah mana tujuan akan dicapai. Pancasila adalah suatu ideologi yang mengandung cita-cita yang akan dicapai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cita-cita tersebut akan mampu menggugah harapan dan memberikan optimisme Berta motivasi kepada bangsa Indonesia. Maka semua itu harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. c) Dimensi fleksibilitas, yaitu suatu dimensi yang mencerminkan kemampuan

suatu ideologi dalam mempengaruhi sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Mempengaruhi berarti ikut memberikan warna dalam perkembangan masyarakat, sedangkan menyesuaikan diri berarti masyarakat berhasil menemukan pemikiran-pemikiran baru terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Ideologi Pancasila memiliki sifat yang fleksibel, luwes, terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru tanpa menghilangkan hakikat yang terkandung di dalamnya. Dengan sifat fleksibel tersebut ideologi Pancasila akan tetap aktual dan mampu mengantisipasi tuntutan perkembangan zaman.

F. NILAI-NILAI PANCASILA Pancasila sebagai suatu ideologi mengandung nilai-nilai yang disaring dan digali dari nilai-nilai luhur dan kepribadian bangsa Indonesia. Nilainilai tersebut memberikan pengaruh bentuk sikap dan perilaku yang positif. Nilai dapat diartikan sebagai kualitas atau isi dari sesuatu. Orang yang akan menilai berarti menimbang sesuatu. Artinya, suatu kegiatan manusia rang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya mengambil suatu keputusan.

36

Keputusan tersebut dapat menggambarkan apakah sesuatu itu berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Sesuatu dikatakan bernilai apabila is mempunyai l.egunaan,

keberhargaan (nilai kebenaran), keindahan (nilai estetis), kebaikan (nilai moral atau etis) maupun mengandung unsur religius (nilai agama). Sesuatu yang bernilai akan selalu dihargai dan dihormati di manapun sesuatu itu berada. Suatu contoh, sebatang emas akan tetap menjadi barang yang dicari dan diminati orang banyak, walaupun berada di tempat yang kotor sekalipun, karena emas dianggap sebagai barang yang berharga. Demikian pula seseorang yang selalu mematuhi dan menjalankan ketentuan-ketentuan agama akan selalu dihormati oleh orang lain karena orang itu mencerminkan nilai-nilai religius. Menurut Prof. Dr. Notonegoro, nilai dapat dibagi rnenjadi tiga, yaitu: 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas. 3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Sedangkan nilai kerohanian dapat diperinci menjadi empat macam, yaitu: 1. Nilai kebenaran/kenyataan, yaitu nilai yang bersumber dari pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta). 2. Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur rasa manusia 3. Nilai kebaikan atau nilai Moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia. 4. Nilai religius, merupakan nilai ketuhanan, kerohanian tertinggi dan mutiak. Nilai ini bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

PENGAMALAN

PANCASILA

DALAM

KEHIDUPAN

BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA Pancasila merupakan ideologi negara yang digali dari kepribadian bangsa dan nilai-nilai yang berkembang pada masa lampau. Oleh sebab itu sikap positif masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila sudah tidak diragukan lagi. Walaupun

37

ada sebagian kecil masyarakat yang mempunyai keinginan untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Jika kita mau berpikir lebih jernih, dan menengok latar belakang bangsa Indonesia yang beraneka ragam, baik suku, ras, agama, adat-istiadat, budaya, bahasa dan sebagainya, ideologi Pancasila merupakan bentuk ideologi yang paling tepat untuk mengakomodasi kemajemukan tersebut. Sejarah telah mengajarkan kepada kita, bahwa para tokoh pendiri (founding fathers) negara ini telah memikirkan secara mendalam sila-sila yang terdapat dalam Pancasila dan disertai rasa toleransi yang tinggi terhadap semua golongan, baik golongan nasionalis, Islam, Kristen dan unsur masyarakat lain. Sikap positif warga negara dalam memahami dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat sebagai berikut : a. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama dan lingkungan yang paling efektif untuk menaaamkan nilai-nilai, baik nilai agama, sopan santun, disiplin, termasuk nilai-nilai Pancasila. Perwujudan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan penanaman terhadap nilai-nilai keTuhanan, bekerja sama antaranggota keluarga, kedisiplinan dalam berbagai hal, musyawarah dalam menyelesaikan masalah keluarga, tolong-menolong, kasih sayang dengan anggota keluarga. b. Lingkungan Sekolah Kehidupan di sekolah merupakan bentuk miniatur dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu nilai-nilai yang berkembang di sekolah pun banyak yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Kehidupan berdemokrasi melalui OSIS, mematuhi tata tertib, nilai sopan santun, tenggang rasa serta nilai-nilai keagamaan yang berkembang di sekolah merupakan bentuk pengamalan nilai-nilai Pancasila. c. Lingkungan Masyarakat, Bangsa, dan Negara Dalam lingkungan masyarakat banyak sekali kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, misalnya rembug desa, di lingkungan RT, RW, dan desa. Proses pengambilan keputusan selalu dilakukan melalui musyawarah berkembang sikap tenggang rasa, saling menghormati, saling membantu, dan lain sebagainya.

38

Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat disebutkan sebagai berikut:

Adanya wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat yaitu MPR dan DPR Pengambilan keputusan selalu mengutamakan musyawarah Pancasila sebagai ideologi negara dan dasar negara sesuai dengan Tap MPR No.XIIUMPR/1998

Pancasila sebagai sumber tertib hukum sesuai dengan Tap MPR No.UMPR/1983

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara telah beberapa kali mengalami cobaan, antara lain : 1. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1948 yang ingin mendirikan negara komunis di Indonesia. 2. Pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang ingin mendirikan negara islam di Indonesia. 3. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia tahun 1965 yang dikenal dengan sebutan G 30 S PKI, PKI ingin mengganti dasar negara Pancasila menjasi komunis. Pemberontakan PKI tersebut dapat ditumpas oleh ABRI dari seluruh rakyat Indonesia yang setia pada Pancasila. Upaya untuk mempertahan kan ideologi Pancasila dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut : a) b) c) Menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan nilai-nilai pancasila. Melaksanakan ideologi pancasila secara konsisten. Menempatkan pancasila sebagai sumber hukum dalam pembuatan peraturan perundangan nasional. d) Menempatkan pancasila sebagai moral dan kepribadian bangsa Indonesia.

39

G. CONTOH KASUS Kasus Indonesia-Malaysia MENCERMATI kejadian beberapa waktu belakangan ini, berkaitan dengan hubungan RI-Malaysia, saya adalah salah seorang warga negara yang merasa sangat terusik. Mulai dari terlepasnya Kepulauan Sipadan dan Ligitan kemudian konflik di Ambalat yang akhir-akhir ini sudah reda dari liputan media massa. Saya tidak tahu persis apakah memang sudah terselesaikan, atau janganjangan masih berlanjut hanya tidak terliput oleh media. Menyusul kemudian seringnya para TKI di Malaysia mengalami perlakuan yang tidak senonoh, tidak manusiawi, mengalami berbagai penganiayaan walaupun mereka adalah para TKI yang rata-rata masuk ke Malaysia dengan legal. Itu pun yang berhasil terliput oleh media. Yang terjadi dan tidak terliput oleh media bisa jadi lebih banyak, terlebih kepada TKI dan imigran gelap. Kemudian beberapa hari yang lalu mencuat kasus lagi. Kali ini berkaitan dengan penggunaan lagu Rasa Sayange oleh pihak Malaysia sebagai salah satu ikon pariwisata Malaysia. Mereka menyerobot lagu rakyat kita dan mengklaim bahwa lagu tersebut adalah milik mereka. Dan ternyata ini bukan kali pertama, sebelumnya lagu Terang Bulan juga sudah diklaim sebagai lagu Malaysia. Seorang wasit karate yang sedang resmi bertugas di Malaysia juga mengalami penganiayaan yang cukup mengenaskan. Bahkan petinggi Malaysia terasa sangat berat untuk sekadar mengucapkan kata maaf atas kejadian tersebut. Dan yang terbaru, seorang istri atase KBRI di Malaysia mengalami perlakuan yang tidak seharusnya, ditangkap oleh pasukan Rela walaupun sudah menunjukkan identitas sebagai keluarga diplomat Indonesia di Malaysia. Di sisi lain, berkenaan dengan terorisme di Indonesia. Buronan teroris nomor wahid di Indonesia, Dr. Azahari & Noordin M. Top, ternyata berasal dari Malaysia. Juga beberapa pelaku teror pernah dilatih oleh teroris Malaysia. Yang saya tidak habis pikir, kenapa teroris asal Malaysia atau yang dilatih oleh teroris Malaysia, beroperasinya malah di Indonesia. Kenapa tidak di Malaysia? Kalau
40

yang diserang adalah orang asing (orang Barat) di Indonesia, bukankah di Malaysia juga banyak orang Barat? Atau para teroris ini memang telah dipersiapkan dengan operasi intelijen untuk mengobok-obok Indonesia? Begitu lemahkah bangsa kita menghadapi hal-hal tersebut, sehingga demikian arogannya Malaysia terhadap kita. Mari kita ambil pelajaran dari kejadiankejadian tersebut. Sudah saatnya kita bersatu untuk kemajuan bangsa ini. Kepentingan bangsa dan negara harus diletakkan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Kalau kepentingan pribadi bisa di bawah kepentingan bangsa dan negara, pasti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) akan hilang. Bila KKN hilang bangsa ini pasti akan jauh lebih kuat. Bulan ini, tepatnya 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Sebuah momentum yang mempersatukan bangsa Indonesia. Mari kita bangkit lagi, bersatu, terus belajar, dan bekerja keras demi masa depan Indonesia yang bahagia dan sejahtera. Majulah bangsaku, majulah Indonesia.

41

1.2.2 INDIKATOR POLITIK Sub babnya meliputi : A. Pengertian Sistem Politik B. Macam-Macam Sistem Politik Di Dunia C. Kerusuhan Sosial Karena Factor Politik Beserta Contoh Kasusnya D. Penanggulangan

Penanggung Jawab : 1. Liliani Saputri L 2. Liananta Ch. 101610101049 101610101050

42

1.2.2. Indikator Politik A. PENGERTIAN SISTEM POLITIK 1. Pengertian Sistem Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi. 2. Pengertian Politik Politik berasal dari bahasa yunani yaitu polis yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara. Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. 3. Pengertian Sistem Politik Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng 4. Pengertian Sistem Politik di Indonesia

43

Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuantujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. B. MACAM-MACAM SISTEM POLITIK DI DUNIA 1. Sistem Politik Otokrasitradisional Ciri-ciri : a. Tidak persamaan & kebebasan politik b. Ada stratifikasi ekonomi, nilai & moral c. Pemimpin dijadikan sebagai lambang kebersamaan d. Adanya permodalan (SARA)

44

e. Dipilih berdasarkan tradisi f. Yg menjadi penguasa dibedakan antara kaya & miskin 2. Sistem Politik Otoriter Sistem yg didasarkan pada patron & khen (unsur kekerabatan) menyebabkan militer menjadi pengayom untuk hampir semua kegiatan politik. 3. Sistem Politik Totaliter Ciri-ciri : a. Tidak ada persamaan & kebebasan politik b. Sama rasa & sama rasa dalam kegiatan ekonomi c. Bersifat sakram ideologi dianggap sebagai agama politik d. Kewenangannya bersifat totaliter, doktriner / paksaan e. Partai sebagai pengendali politik & ekonomi rakyat 4. Sistem Politik Diktator Dalam menjalankan kekuasaannya seorang pemimpin berkuasa tanpa batas. Dengan ruang lingkup yg di monopoli. 5. Sistem Politik Demokrasi Ciri-ciri : a. Adanya persamaan & kebebasan politik b. Tidak ada stratifikasi ekonomi c. Bersatu dalam perbedaan d. Kekuasaan relatif merata e. Hukum & UU (Undang-undang) yg memberi kewenangannya f. Fleksibel mengambil bagian secara aktif dalam politik & ekonomi PERBEDAAN SISTEM POLITIK DI BERBAGAI NEGARA 1. Sistem Politik Di Negara Komunis Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, peniadaan hak milk pribadi, peniadaan hak-haak sipil dan politik, tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya oposisi, serta terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat

45

2. Sistem Politik Di Negara Liberal Bercirikan adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok; pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama; penegakan hukum; pertukaran gagasan yang bebas; sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak kaum minoritas 3. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah : 1. Ide kedaulatan rakyat 2. Negara berdasarkan atas hukum 3. Bentuk Republik 4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi 5. Pemerintahan yang bertanggung jawab 6. Sistem Pemilihan langsung 7. Sistem pemerintahan presidensiil C. KERUSUHAN SOSIAL KARENA FACTOR POLITIK BESERTA CONTOH KASUSNYA Beberapa tahun belakangan ini kerusuhan sosial terjadi di mana-mana, antara lain dalam bentuk pengrusakan, penjarahan, dan bahkan pembakaran korban secara massal. Kelompok masyarakat saling mencurigai antara satu dan lainnya; aparat keamanan dan penegak hukum tidak lagi dipercaya, ketidakpastian

46

kehidupan sosial-politik dan ekonomi tidak mereda, sedangkan nilai-nilai budaya, etika dan moral tersungkur di lembah nista. Dapat dikatakan bahwa masyarakat kita menderita suatu penyakit sosialpolitik-ekonomi dan kebudayaan yang begitu parah. Suatu penyakit yang begitu sulit penyembuhannya. Dalam berbagai kesempatan, penanganan penyakit massa demikian ini lebih sering dengan menghilangkan gejala-gejalanya secara sporadis, sementara sumber-sumber penyakitnya jarang diperhatikan dan bahkan tidak dipahami. Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan. (BALITBANG DEPHAN dan DEPDIKNAS) Penyebab kerusuhan social salah satunya adalah dari bidang politik. Sejumlah kerusuhan atau konflik yang beraspek politik terjadi karena langsung melibatkan lembaga politik dan pemerintahan. Termasuk dalam kategori ini yaitu konflik antara keolompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dikuasai pemerintah; atau kegiatan kelompok masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah; maupun sejumlah tokoh militer yang didukung dengan sejumlah golongan untuk melakukan kudeta atas pemerintah yang berkuasa. Berkaitan dengan hal yang pertama dapat dikemukakan dengan contoh berikut. Para petani padi melalui organisasi yang dibentuk menuntut pemerintah agar

47

harga gabah dinaikkan dan harga sarana produksi pertanian dikendalikan sehingga pendapatan mereka meningkat. Sementara itu, para pegawai negri dan masyarakat perkotaan menuntut agar harga beras dikendalikan karena pendapatan mereka terbatas. Dalam menghadapi tuntutan itu, pemerintah harus membuat keputusan yang adil. Jadi, kerusuhan sosial beraspek politik atau disebut konflik politik dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Yang dimaksud pemerintah meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Sebaliknya, secara sempit konflik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanannya, juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik. Pada dasarnya kerusuhan sosial beraspek politik disebabkan oleh dua hal yaitu konflik politik yang mencakup kemajemukan horisontal dan kemajemukan vertikal. kemajemukan horisontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama dan ras; dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil dan lain-lain. (Surbakti, 1984) Faksi-faksi politik, yang merupakan kekuatan-kekuatan sosial untuk berbeda dari kebijakan pemerintah Orde Baru, hanya mungkin terwujud di antara golongan elite politik dan militer (yang juga merupakan kekuatan sosial-politik). Model konflik dari Dahrendorf dapat digunakan untuk melihat berbagai gejala sosial yang berlaku dalam elite politik dan militer dalam zaman Orde Baru. Model keteraturan dari Coakley tidak berlaku untuk memahami konflik-konflik sosial politik yang terbuka maupun tertutup di antara faksifaksi politik dan militer pada

48

tingkat atas, karena corak aturan main ditentukan oleh yang berkuasa, yaitu penguasa tunggal Orde Baru pada waktu itu dan para kroninya. (Suparlan, 2006) Konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe. Kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam eksistensi politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forumforum terbuka yang lain. Tuntuan akan perubahan yang diajukan oleh sekelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu merupakan contoh konflik positif. Sedangkan konflik negatif ialah konflik yang mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara yang inkonstitusional seperti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa untuk menenukan suatu konflik itu bersifat positif atau negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama sikap masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku. Dalam hal ini, yang menjadi patokan komflik itu bersifat positif atau negatif yaknitingakt legitimasi sistem politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku. Sehubungan dengan konflik positif dan negatif maka masyarakat dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua tipe. Pertama, masyarakat yang mapan, artinya masyarakat yang memiliki dan memdayagunakan struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Konflik yang dianggap positif dalam masyarakat ini berupa konflik yang disalurkan melalui struktur kelembagaan, sedangkan konflik yang negatif berupa tindakan yang menentang struktur kelembagaan yang ada. Kedua, masyarakat yang belum mapan. Artinya masyarakat yang belum memiliki struktur kelembagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat. Biasanya, struktur kelembagaannya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Konflik yang dianggap positif oleh masyarakat ini acap kali justru konflik yang

49

disalurkan melalui cara akan menggunakan konflik menang-kalah atau konflik menang-menang dalam usaha mendapatkan dan atau mendapatkan sumbersumber. (Surbakti, 1984) Keamanan domestik secara khusus banyak diwarnai oleh adanya turbulens politik nasional saat ini. Banyaknya kepentingan-kepentingan kelompok sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru hingga memasuki era reformasi, permasalahan banyak timbul karena dipicu oleh adanya pertarungan "perebutan kekuasaan". Menjamurnya partai-partai mengindikasikan semakin rentannya pertikaian antar kelompok masyarakat. Mengemukanya demokrasi selama reformasi digulirkan sesungguhnya banyak menyita perhatian bagi kelompok-kelompok tertentu (partai politik, LSM, mahasiswa) untuk memanfaatkan momentum tersebut sehingga tidak jarang dari mereka dalam aksi politiknya mengarah pada masalah tindakan anarkisme, radikalisme yang pada akhirnya dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, pertentangan politik yang menonjol dan kerapkali

mempengaruhi stabilitas nasional adalah tentang potret konflik elit politik saat ini. Pertentangan eksekutif dan legistatif selama ini cukup menggambarkan keprihatinan bagi perkembangan politik nasional yang semestinya dapat mendidik masyarakat dalam berpolitik. Adanya friksi dalam institusi-institusi tersebut tidak jarang berakhir pada sebuah polemik yang berkepanjangan sehingga memperparah keamanan domestik. Potret lain yang menjadi indikasi kompleksnya masalah-masalah politik nasional adalah munculnya sejumlah manuver-manuver politik menjelang Pemilu 2004. Salah satu bentuk potensi ancaman keamanan domestik ke depan adalah saratnya aktifitas-aktifitas praktek anti demokrasi, pemaksaan, tindakan kekerasan oleh kelompok tertentu yang dapat menghadapkan bangsa Indonesia menuju pada sebuah situasi yang tidak menentu.

50

Jika dilihat lebih lanjut dalam kejadian-kejadian nyata yang ada di kehidupan bangsa Indonesia ini, kerusuhan sosial beraspek politik banyak terjadi seperti pada momen pemilihan wakil rakyat seperti yang sudah sedikit disinggung di atas. Sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Bupati, Walikota dan Gubernur secara langsung, di satu sisi merupakan media pengembangan demokrasi, namun di sisi lain merupakan potensi bagi munculnya konflik kepentingan antar berbagai elemen masyarakat terutama antar elit lokal di daerah. Kasus di beberapa daerah di Indonesia, pelaksanaan Pilkada selalu ditandai dengan konflik sosial antar elit lokal. Memahami tentang konflik elit lokal dalam proses Pilkada merupakan aspek penting dalam rangka mengantisipasi dampak negatif bagi masyarakat. Secara teoritis, sumber-sumber kekuasaan yang terbatas akan terus menjadi rebutan, walaupun memerlukan biaya yang mahal, dan dimungkinkan akan memunculkan konflik. Kekuasaan menjadi perhatian utama para elit politik. Dalam konteks pergantian kekuasaansebagai akibat tuntutan demokrasi dari rezim lama kepada rezim baru, ternyata di beberapa daerah menimbulkan persoalan. Tajamnya perebutkan dan kepentingan politik antar kekuasaan politik maupun intra kekuasaan politik, mengakibatkan konflik yang seringkalitidak terhindarkan dalam perebutan jabatan-jabatan politik. Rivalitas politik, kadangkadang bukanlah semata-mata sebagai akibat dari perbedaan persepsi, melainkan perbedaan kepentingan antar kekuasaan politik dalam memperbutkan sumber-sumber kekuasaan di tingkat lokal. Selain itu, konflik yang terjadi mencerminkan sikap dan perilaku politik kekuatan politik lokal yang relatif masih belum matang. Hal ini dicerminkan oleh belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang seringkali kontroversial, dipersoalkan oleh partai politik dan aktor politik serta kadang-kadang ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh partai politik maupun anggota legislatif yang partainya kalah dalam pemilihan jabatan politik lokal. Perkembangan politik lokal, sebenarnya cukup menarik karena selama masa pemerintahan otoriter di bawah rezim orde baru dan orde reformasi pemilihan

51

kepala daerah selalu saja dikuasai dan ditentukan oles sekelompok elit di Jakarta maupun oleh sekelompok elit yang duduk di parlemen daerah. Dalam era otonomi daerah, proses suksesi kekuasaan Pemerintah daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat melalui proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Walaupun dalam implementasinya tidak jarang masih memunculkan konflik politik, namun yang jelas dalam proses Pilkada langsung telah terjadi interaksi politik antara elit politik dengan rakyat. Pergantian elit lokal, kadang-kadang menyebabkan terjadinya konflik, apalagi rakyat yang kehilangan identaitas dan adanya ketidakadilan struktural akan mudah dimobiliasai kearah konflik. Sumber konflik berasal dari ketidaksiapan elit politik dalam berkompetisi secara sehat maupun ketidaksiapan elit untuk dapat menerima kekalahan. Konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh kekusaaan yang lebih besar, atau kekhawatiran akan kehilangan kekuasaan. Kekusaaan memiliki beberapa pengertian, yakni: kekuatan, legitimasi, otoritas, atau kemampuan untuk memaksa. Asumsi teori elite mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori : 1) Sekelompok kecil manusia yang memiliki kemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan mereka disebut : a. Elite yang berkuasa dan b. Elite yang tidak berkuasa. 2) Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.elite yang berkuasa jumlahnya relatif sedikit, mereka memiliki kemampuan dan kelebihan untuk memanfaatkan kekuasaan, mereka memegang semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan sehingga dengan mudah

memanfaatkannya untuk tujuan tujuan yang baik, misalnya : kesejahteraan

52

masyarakat, peningkatan pendidikan, perluasaan kesempatan kerja, peningkatan derajat kesehatan rakyat dan lain-lain, tetapi, kekuasaanya itu bisa digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik, misalnya : memperkaya diri sendiri, memperkuat posisi oligarki, memasukkan klan dan keluarganya dalam pemerintahan, menggalang kekuatan untuk memberangus oposisi dan lain-lain. (Sukmana, 2008) Selain itu, juga ada satu penelitian yang membahas suatu persoalan penting seputar pelanggaran dan kerusuhan yang dinilai berkorelasi terhadap belum tercapainya kualitas demokrasi sebagaimana diharapkan dari

penyelenggaraan pilkada langsung 2005. Indonesia selama ini dikenal dengan pemilu yang tidak jujur dan tidak jarang dalam prosesnya dibarengi dengan kejadian konflik dan kerusuhan. Konfrontasi dan konflik itu sendiri merupakan sesuatu yang kadang inherent dengan proses dari pemilu itu sendiri. Pertanyaannya ialah apakah pemilu cenderung mendorong atau mencegah meluasnya terjadinya kerusuhan. Langkah kritis pertama ialah mengidentifikasi daerah-daerah di maan pelaksaanaan pemilu dapat memicu sebuah konflik yang menjurus ke kerusuhan. Hal ini diharapkan bisa menurunkan resiko terjadinya konflik pada daerah tersebut. Sumber konflik biasanya disebabkan karena pelaksanaan pilkada yang waktunya amat sempit sehingga persiapan maupun pelaksaanaan tidak bisa terlaksana dengan baik, khususnya waktu sosialisasi yang minim, ketidaksiapan elite politik dalam berkompetisi secara sehat maupun ketidaksiapan elite poltik untuk menerima kekalahan yang cenderung

menimbulkan konflik di banyak daerah. Konflik yang menjurus ke kerusuhan sosial dalam pemilu ini juga ditentukan seberapa baik organisasi dari sebuah partai politik dalam mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan dari pemilihnya. Partai politik dan kandidat yang lemah dan kurang percaya diri akan cenderung mengambil jalan pintas dan mudah dalam memobilisasi pemilih dan mempertahankan dukungan mereka. Faktor yang tidak aklah penting ialah

53

bagaimana kapasitas negara dalam melakukan pengelolaan yang efektif dalam proses penyelenggaraan pilkada. Dari beberapa faktor penyebab tadi, sikap elite politik menjadi sumber konflik utama. Sebab elite politik yang kurang persiapan dan tidak siap menerima kekalahan akan cenderung memobilisasi massa guna mengekspresikan kekecewaannya yang tidak jarang berakhir dengan kekerasan dan kerusuhan. (Pusat Penelitian Politik, 2005). Salah satu contoh kerusuhan social yang diakibatkan karena masalah politik adalah masalah kerusuhan social di Pekalongan. Penyebab utama dan pemicu kerusuhan sosial di Pekalongan ini adalah konflik yang menajam antar pendukung kekuatan politik menjelang Pemilu 1997, sehingga dapat disebut kerusuhan sosial-politik, selain penyebab-penyebab penting lainnya. Penyebab utama dan pemicu kerusuhan sosial di Pekalongan ini adalah konflik yang menajam antar pendukung kekuatan politik menjelang Pemilu 1997, sehingga dapat disebut kerusuhan sosial-politik, selain penyebab-penyebab penting lainnya. Peristiwa yang terjadi dapat digambarkan secara kronologis singkatnya sebagai berikut. Peristiwa kekerasan sosial menjelang Pemilu yang terjadi selama 3 (tiga) hari berturut-turut (24-26 Maret 1997) di Pekalongan Selatan adalah padat nuansa politik. Konflik tajam tersebut merupakan akibat dari perebutan kekuasaan politik secara massal antar OPP, khususnya PPP dan Golkar. Seperti diketahui, Pekalongan Selatan, atau wilayah Buaran, merupakan basis massa NU/PPP, pada Pemilu tahun 1997. Masyarakat pendukung PPP merasa bahwa wilayahnya tak boleh dicemari atau diganggu-gugat oleh partai/golongan lain selain "Partai Islam" PPP. Mereka mengklaim bahwa hanya PPP waktu itu yang boleh hadir di Buaran. Oleh sebab itu, ketika terjadi situasi yang mereka nilai dapat mengganggu eksistensi mereka sebagai pendukung PPP, yaitu dengan hadirnya rencana tablig akbar Golkar di lingkungan mereka, mereka merasa sangat terusik. Lebih-lebih rencana tablig akbar itu disertai "rekayasa politik" dengan dalih "penertiban" pemasangan bendera OPP yang kemudian dengan cara paksa menurunkan bendera

54

yang menjadi lambang Partai mereka. Mereka tidak dapat menerimanya, dengan menilai aparat sewenang-wenang dan ingin memaksakan kekuasaannya untuk "mengusik" kebebasan politik mereka. Konflik antar kelompok masyarakat ini dapat mengingatkan kita pada konflik 1950an antara priyayi sebagai satu variant dengan santri sebagai variant lain dan abangan sebagai variant lain lagi, dalam masyarakat Jawa, seperti digambarkan oleh Geertz dengan analisis konflik ideologis, konflik kelas, dan konflik politik (1960: 355-365). Konflik sosial di Pekalongan Selatan menjelang Pemilu 1997 lebih bernuansa politik dan perebutan kekuasaan politik berbasis massa. Konflik tersebut, selain melahirkan analisis dan teori tentang arogansi kekuasaan penguasa juga mengembangkan analisis dan teori tentang arogansi kekuasaan massa, di samping analisis tentang berbagai persoalan kelompok masyarakat yang melingkunginya. Aparat disebut mempraktekkan arogansi kekuasaan (penguasa) atas nama keputusan, sedangkan massa juga melakukan arogansi kekuasaan karena berjumlah banyak dan melakukan tindakan anarkis. Tetapi pola-pola arogansi kekuasaan mereka masing-masing mengandung nilai dan implikasi yang berbeda. Arogansi kekuasaan aparat dapat dikatakan sebagai penyebab atau penyulut kerusuhan. Perintah atasan yang mungkin bertentangan dengan hati nurani para pelaksana harus mereka jalankan dan sekaligus berhadapan dengan sesama rakyat yang merasa haknya untuk menyampaikan pendapat politiknya dihambat atau dikebiri. Perintah dari atas tak dapat dibantah meskipun berakibat sosial fatal. Arogansi kekuasaan yang dilakukan massa dapat dipandang sebagai akibat dari, atau tanggapan terhadap, praktek arogansi kekuasaan aparat yang datang dari "atas" (penguasa). Massa yang sehari-hari menyaksikan arogansi kekuasaan penguasa tak dapat melakukan sesuatu yang wajar dan berarti untuk memperbaikinya. Mereka tertimpa arogansi dalam berbagai bentuk praktek faktual hampir setiap kali berurusan dengan aparat, petugas dan agen birokrasi kekuasaan. Mereka hendak melawan arogansi seperti itu tapi tidak menemukan

55

saluran dan mekanisme yang dapat memuaskan keinginannya. Kekerasan sosial adalah bentuk final dari perlawanan yang dapat mereka lakukan. Berkaitan dengan itu, simbol-simbol kekuasaan yang dinilai berkaitan dengan agen-agen dan kantorkantor pemerintah menjadi sasaran amuk massa. Selain itu, juga terjadi arogansi kekuasaan ekonomi yang lebih disebabkan oleh perbedaan kelas yang menajam, dengan simbol dan lambangnya sendiri, sehingga dapat dilihat sebagai konflik antar kelas ekonomi (class conflict) (lihat Geertz, 1960: 359-363). Simbol dan lambang kekuasaan ekonomi dapat berupa bank, pertokoan, rumah mewah, alat transportasi, dan barang-barang mewah, menurut ukuran ekonomi masyarakat setempat. Sebagian masyarakat tak kuasa menjangkau simbol dan lambang ekonomi, sementara itu para penyandang kekuasaan ekonomi pun tak berminat untuk sekedar "menyapa" kelompokkelompok ekonomi yang berbeda, sehingga berkembang kecemburuan sosialekonomi. Kelompok penyandang nir-kekuasaan sosial-politik-ekonomi dapat memanfaatkan situasi amuk massa untuk melampiaskan kecemburuannya. Faktor lain yang penting ditinjau adalah figur kiai sebagai tokoh panutan informal masyarakat. Di wilayah Pekalongan Selatan pengaruh kiai atau ulama sangat kuat. Masyarakat Islam dengan orientasi NU di Pekalongan Selatan memiliki lembaga-lembaga pengajaran keagamaan yang kuat. Selain di pondokpondok pesantren, ajaran-ajaran agama Islam disampaikan melalui pengajianpengajian kelompok di kampung-kampung atau lingkungan masing-masing kelompok jamaah baik bulanan maupun mingguan. Secara umum, menurut staf Kantor Sospol, masyarakat Pekalongan Selatan mengenal 2 versi pengajian, yakni (a) pengajian rutin (jamaah bulanan atau mingguan), dan (b) pengajian politik (dengan mengundang kiai dari luar). Pengajian rutin diisi oleh kiai setempat dengan peserta yang relatif tetap dan berasal dari lingkungan setempat, sedangkan pengajian politik menghadirkan kiai dari luar wilayah/kota lain, yang dikategorikan oleh aparat sebagai kiai vokal atau garis keras dan dapat membakar semangat massa hingga emosinya meninggi.

56

Tetapi jika para kiai tersebut diduga menjadi penyebab kerusuhan atau pembakar emosi masyarakat Pekalongan pun tidak mudah dibuktikan. Para kiai tersebut sering lebih berpengaruh daripada aparat pemerintah yang sudah lama tidak mendapat kepercayaan masyarakat. Kalau Geertz pernah menyebut kiai sebagai cultural broker, dalam konflik bernuansa politik di Pekalongan Selatan ini, beberapa kiai tertentu barangkali dapat disebut pula sebagai political broker baik untuk Golkar maupun untuk PPP yang sama-sama mengibarkan kekuasaan dan simbol politik pada saat itu. Barangkali pula, kiai sebagai political broker tidak hanya terdapat di Pekalongan dan tidak hanya pada saat itu saja. Di tempat lain dan di saat lain bermunculan pula political broker. Suatu persyaratan penting untuk menghentikan kerusuhan sosial secara umum yang mentransformasikan dirinya menjdi kerusuhan sosial, yang ditandai oleh menonjolnya konflik fisik yang saling menghancurkan ialah adanya aturan main yang adil, dan adanya penegak hukum yang dapat bertindak adil dan bertindak sebagai pengayom masyarakat. Bila petugas kepolisian sebagai penegak hukum tidak dapat bertindak adil dan tidak dapat bertindak sebagai pengayom masyarakat, maka kerusuhan yang terjadi tidak dapat dicegah. Yang seharusnya menghentikan adalah petugas kepolisian, dan bukannya tentara, karena doktrin kepolisian sebenaraya berbeda dari doktrin ketentaraan. Sayangnya, Polisi Indonesia sudah menjadi seperti tentara, karena selama 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, polisi telah dijadikan sebagai sebuah satuan yang tidak terpisahkan dari ABRI. Fungsi polisi dalam masyarakat adalah sebagai penegak hukum, pengayom masyarakat, dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak hukum, polisi juga menjalankan fungsi sebagai pembasmi kejahatan. Dalam organisasi ABRI, selama 32 tahun, fungsi sebagai pembasmi kejahatanlah yang diutamakan dan dibiayai secara memadai. Fungsi-fungsi lainnya dianaktirikan, atau bahkan diabaikan sama sekali. Fungsi sebagai pembasmi kejahatan mempunyai kesamaan dengan fungsi tentara sebagai penyerang atau penghancur musuh, dan karena itu cocok dengan posisi polisi sebagai bagian dari ABRI. Adanya suatu pranata atau organisasi (yang terbaik adalah polisi) yang

57

dipercaya oleh pihak-pihak yang bermusuhan, dan yang digolongkan sebagai pihak ketiga, yang artinya tidak mempunyai kepentingan dalam konflik tersebut. Pihak ketiga itu dipercaya karena keadilan dan kekuatan yang dipunyainya. Bila polisi juga mempunyai kepentingan dalam konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi, maka polisi tidak dapat berfungsi sebagai penghenti konflik sosial tersebut. (Suparlan, 2006) D. PENANGGULANGAN Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendisendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan. Kebijakan Penanggulangan.

58

Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut : 1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. 2. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. 3. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. 4. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah. 5. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan

kepemimpinan yang arif dan efektif. Strategi Penanggulangan Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain : 1. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia. 2. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN. 3. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha

pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya. 4. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa. 5. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
59

6. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis. 7. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa. Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi pertahanan disarankan : 1. Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan hukum. 2. Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan hukum dan HAM. 3. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya. 4. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun

kegiatan yang berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal.

60

1.2.3 INDIKATOR SOSIAL Sub babnya meliputi : A. Teori-Teori Kekerasan B. Faktor Yang Menyebabkan Konflik Sosial C. .Contoh Kesuruhan Sosial D. Manajemen Konflik

Penanggug Jawab : 1. Zevanya Retno D 2. Sukma Amalia 101610101051 101610101052

61

1.2.3. Indikator Sosial Konflik yang tidak terkendali akan mengarah pada kekerasan (violent). Namun dipahami bahwa konflik berbeda dengan kekerasan. Kekerasan merupakan konflik-konflik sosial yang tidak terkendali oleh masyarakat atau mengabaikan sama sekali norma dan nilai sosial yang ada sehingga berwujud pada tindakan merusak (destruktif). Kekerasan tidak akan muncul apabila kelompok yang saling bertentangan mampu memenuhi 3 macam prasyarat: 1. Masing-masing kelompok yang terlibat konflik menyadari akan situasi konflik antara mereka 2. Pengendalian konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas sehingga mudah untuk dikendalikan 3. Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturanaturan permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubunganhubungan sosial diantara mereka menemukan suatu pola tertentu. Aturan main ini pada saatnya akan menjamin keberlangsungan hidup kelompokkelompok itu sendiri. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi kelompok-kelompok yang berkonflik maka tanpa diduga sebelumnya akan meledak dalam bentuk kekerasan. Konflik sosial tidak akan berubah menjadi kekerasan apabila terjadi pengendalian kelompok yang berkonflik dengan cara yang baik. Ada tiga bentuk pengendalian konflik sosial: Konsiliasi, mediasi, arbitrasi Kekerasan merupakan tindakan seseorang (gerombolan, kelompok), dengan menggunakan berbagai alat bantu (misalnya senjata tajam dan api, bom bunuh diri, dan lain-lain), kepada orang lain dan masyarakat, yang berdampak kehancuran dan kerusakan harta benda serta penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis bahkan kematian. Sedangkan, kerusuhan merupakan suatu sikon kacaubalau, rusuh dan kekacauan, yang dilakukan oleh pergerakan dan tindakan oleh seseorang maupu kelompok massa berupa pembakaran serta pengrusakkan sarana62

sarana umum, sosial, ekonomi, milik pribadi, bahkan fasilitas keagamaan. Dengan demikian, kekerasan dan kerusuhan sosial, adalah rangkaian tindakan seseorang dan kelompok massa berupa pengrusakkan dan pembakaran sarana dan fasilitas umum, sosial, ekonomi, hiburan, agama-agama, dan lain-lain. Kekerasan dan kerusuhan sosial dapat terjadi di wilayah desa maupun perkotaan. Kekerasan dan kerusuhan sosial dapat dilakukan oleh masyarakat berpendidikan maupun yang tak pernah mengecap pendidikan; mereka yang beragama maupun tanpa agama.

A. TEORI-TEORI KEKERASAN a. Teori Faktor Individual Menurut beberapa ahli , setiap perilaku kelompok , termasuk kekerasan, huru hara dan tetorisme selalu berawal dari individu b. Teori Faktor Kelompok Teori ini berawal dari individu membentuk kelompok dan tiap kelompok memiliki identitas kelompok. Identitas kelompok yang sering dijadikan alasan pemicu kerusuhan adalah identitas rasial atau etnik. Konflik rasial diatas bermuara pada masalah lainnya yaitu ketidakadilan, minoritas-mayoritas dan sebagainya c. Teori Dinamika Kelompok Teori Deprivasi Relatif, yaitu membandingkan antara harapan dan kenyataan. Misalnya kasus Freeport. Adanya PT Freeport di Papua menyebabkan kedatangan orang luar Papua termasuk orang asing dengan kehidupan yang lebih canggih.Melihat kecanggihan para pendatang para penduduk lokal merasa sangat tertinggal sehingga sering melakukan perlawanan terhadap pendatang dan aparat keamanan. d. Teori Kerusuhan Massa.
63

Munculnya teori ini karena teori Deprivasi Relatif tidak menjelaskan tahapan-tahapan yang terjadi sehingga pecahnya kekerasan. N.J. Smelser menjelaskan tahapan-tahapan terjadinya kekerasan sebagai berikut 1. situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan akibat struktur sosial tertentu 2. kejengkelan atau tekanan sosial 3. berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu 4. mobilisasi massa untuk beraksi 5. kontrol sosial e. Teori Alternatif Teori Lingkungan Sosial menyatakan bahwa kerusuhan berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif Teori Individu menurut MacPail, kerusuhan massal atau kekerasan hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yaitu orang-orang yang memperoleh anonimitas, rasa aman, kekuasaan dan keuntungan dari kerusuhan itu serta tidak merasa bertanggung jawab atas perilakunya dalam kerusuhan itu Teori Ideologi menyatakan kekerasan dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki ideologi yang berbeda. Jika kelompok kecil merasa tidak ada wadah untuk menyalurkan peran sertanya dalam kelompok yang lebih luas, maka akan berpotensi menjadi tindak kekerasan atau kekacauan. Integrasi mengandung dua pengetian, yaitu pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu sistem sosial dan membuat suatu keseluruhan atau menyatukan unsur-unsur tertentu,khususnya dalam suatu masyarakat yang beranekaragam. Jadi integrasi sosial adalah proses penyesuaian di antara unsur-

64

unsur yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut pandangan fungsionalisme struktural, sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilainilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Setiap konflik akan segera dinetralkan dengan adanya loyalitas ganda dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Para penganut teori konflik berpandangan bahwa suatu masyarakat terintegrasi atas dasar paksaan (coercion) dari suatu kelompok atau satuan sosial yang dominan terhadap kelompok atau satuan sosial yang lain. Bentuk-bentuk integrasi dapat berupa asimilasi atau akulturasi Faktor-faktor pendorong integrasi sosial antara lain: a. homogenitas kelompok b. besar kecilnya kelompok c. mobilitas geografi d. efektivitas dan efesiensi komunikasi

B. FAKTOR YANG MENYEBABKAN KONFLIK SOSIAL Para penganut teori konflik berpandangan bahwa suatu masyarakat terintegrasi atas dasar paksaan (coercion) dari suatu kelompok atau satuan sosial yang dominan terhadap kelompok atau satuan sosial yang lain. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kerusuhan Sosial antara lain : Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal)

65

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kerusuhan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilainilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kerusuhan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan. Faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang (factor eksternal) Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kerusuhan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanantekanan struktural. Kerusuhan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan struktural. Kerusuhan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin jalan ke atas sering kali dirintangi, sedangkan jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui. Dengan kata lain, gejala kerusuhan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan struktural. Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha. Masalah Kerusuhan Sosial diantaranya :

66

Kemiskinan, Meski saat ini angka pertumbuhan ekonomi bangsa kita terus menunjukan grafik kenaikan namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di sekitar kita yang hidupnya masih berada di bawah standar yang layak. Ini menjadi masalah sosial yang bisa kita temukan dengan mudah baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Lapangan kerja, Masalah sosial yang satu ini bisa mendorong timbulnya masalah lain yang tidak kalah seriusnya yaitu meningkatnya angka kriminalitas, kehidupan suatu keluarga yang tidak harmonis, rasa frustasi dan lain lain. Hal ini juga menjadi urusan yang butuh penanganan serius.

Kerusuhan sosial, Masalah sosial ini juga bisa menimbulkan efek yang lain. Misalnya terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara orang yang mampu dan kelebihan harta serta orang yang hidupnya selalu dalam kondisi yang pas pasan saja. Hal ini bisa menimbulkan rasa kecemburuan yang tinggi sehingga menghilangkan rasa persaudaraan di masyarakat.

Kemacetan lalu lintas, Masalah sosial yang satu ini lebih sering terjadi terutama di kota-kota besar. Padahal efek dari kemacetan ini juga bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar. Misalnya karena harus antri di keramaian lalu lintas orang akan kehilangan waktu untuk bekerja atau kegiatan lain yang bersifat produktif.

Disiplin yang kurang, Hal ini menjadi masalah sosial yang paling punya pengaruh terhadap kemajuan suatu wilayah atau negara. Namun untuk menangani masalah yang satu ini memang dibutuhkan kerja keras dan waktu yang cukup lama. Karena untuk menghilangkan problem yang kadangkala sudah menjadi budaya ini butuh pemahaman yang cukup dalam warga.

C. CONTOH KESURUHAN SOSIAL Kerusuhan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang

67

membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin jalan ke atas sering kali dirintangi, sedangkan jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui. Dengan kata lain, gejala kerusuhan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan struktural. Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha. Masalah Kerusuhan Sosial diantaranya : Kemiskinan, Meski saat ini angka pertumbuhan ekonomi bangsa kita terus menunjukan grafik kenaikan namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di sekitar kita yang hidupnya masih berada di bawah standar yang layak. Ini menjadi masalah sosial yang bisa kita temukan dengan mudah baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Lapangan kerja, Masalah sosial yang satu ini bisa mendorong timbulnya masalah lain yang tidak kalah seriusnya yaitu meningkatnya angka kriminalitas, kehidupan suatu keluarga yang tidak harmonis, rasa frustasi dan lain lain. Hal ini juga menjadi urusan yang butuh penanganan serius. Kerusuhan sosial, Masalah sosial ini juga bisa menimbulkan efek yang lain. Misalnya terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara orang yang mampu dan kelebihan harta serta orang yang hidupnya selalu dalam kondisi yang pas pasan saja. Hal ini bisa menimbulkan rasa kecemburuan yang tinggi sehingga menghilangkan rasa persaudaraan di masyarakat. Kemacetan lalu lintas, Masalah sosial yang satu ini lebih sering terjadi terutama di kota-kota besar. Padahal efek dari kemacetan ini juga bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar. Misalnya karena harus antri di keramaian lalu lintas orang akan kehilangan waktu untuk bekerja atau kegiatan lain yang bersifat produktif. Disiplin yang kurang, Hal ini menjadi masalah sosial yang paling punya pengaruh terhadap kemajuan suatu wilayah atau negara. Namun untuk
68

menangani masalah yang satu ini memang dibutuhkan kerja keras dan waktu yang cukup lama. Karena untuk menghilangkan problem yang kadangkala sudah menjadi budaya ini butuh pemahaman yang cukup dalam warga.

Jadi

kerusuhan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan

kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatankesempatan yang tersedia. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kerusuhan sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan.

Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. banyak studi empiris yang memang membuktikan adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan, hubungan negatif tersebut tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan juga berbeda.

Fenomena tawuran antar pelajar yang berkaitan dengan kerusuhan sosial tidak jarang terjadi dewasa ini. Dampak yang ditimbulkan pun beragam karena sering terjadinya tawuran tersebut, yaitu salah satunya dapat mengakibatkan normanorma menjadi terabaikan. Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya.. Dalam bukunya yang berjudul Dinamika Masyarakat Indonesia, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem sosial yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas )

69

senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi. Salah satu upaya preventif pemerintah dalam menanggulangi adanya hal tersebut yaitu pemerintah mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian

juga.Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksii hukum Berilah efek jerah pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi. Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini. Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran,

mengakibatkan norma memudar bahkan lama kelamaan lenyap entah kemana. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya . Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat.Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun

70

remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut. Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Selain contoh diatas, ada pula kerusuhan Tarakan yang dipicu faktor kerusuhan sosial. Pemicu bentrok antar suku dan etnis di Tarakan Kaltim karena adanya perbedaan atau kerusuhan sosial antara penduduk pribumi (suku asli tarakan) dan kaum pendatang. Tokoh masyarakat Tarakan, Kalimantan Timur sendiri menilai kerusuhan etnis setempat disebabkan adanya kerusuhan sosial yang lebar antara warga pribumi dan para pendatang. Warga pendatang mendominasi hampir semua lini sektor pemerintahan, ekonomi dan sosial. Di daerah tersebut tidak ada warga pribumi yang menduduki jabatan tinggi, semua pendatang. Karenanya, sudah tidak kaget apabila sering terjadi peristiwa kerusuhan etnis di Tarakan sehingga menyebabkan satu tewas dan satu terluka parah. Melihat kondisi seperti ini, masyarakat berharap ada pemerataan status sosialekonomi antara warga pendatang dan warga pribumi.

D. MANAJEMEN KONFLIK Manajemen Konflik adalah proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Dari definisi manajemen konflik diatas saya ambil kesimpulan bahwa manajemen konflik tersebut harus ada proses dimana proses tersebut dilakukan ketika adanya input atau masukkan dari pihak-pihak yang bertikai dan pihak ketiga disini adalah sebagi pihak penengah atau pihak mediator yang merumuskan

71

strategi penyelesaian konflik yang dirumuskan dalam suatu kesepakatan perjanjian yang menghasilkan suatu ketetapan atau keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak yang bertingkai. Maka untuk menjawab permasalahan diatas bahwa bangsa ini masih memiliki sifat toleransi apabila adanya sifat keterbukaan terhadap setiap perbedaan, bukan berarti menghilangkan perbedaan seperti konsep Orde Baru yang membuat semuanya seragam agar tidak terjadi konflik, hal ini bukan merupakan solusi yang baik. Justru perbedaan di Indonesia haruslah dipertahankan dan dijaga sehingga perbedaan ini merupakan warna Indonesia sesungguhnya, yang harus dikembangkan adalah sikap toleransi yang nyata yang artinya adanya komunikasi dan keterbukaan diantara perbedaan yanga ada. Setelah kita mengetahui apa itu konflik dan manajemen konflik dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa konflik bukanlah dihindari apalagi untuk di abaikan, akan tetapi konflik hendaklah harus dihadapi atau di kompromikan kepada pihak yang bertingkai. Konflik dapat diatas jika komunikasi diantara para pihak yng terjadi konflik dapat dipahami dan dicari solusinya. Pihak Pemerintah yang memiliki kekuasaan dan memiliki kekuatan memberikan manajemen konflik yang baik sebagai moderator terhadap 2 kubu yang mengalami konflik. Ketegasan pemerintah sangat dinantikan dalam mengatasi konflik yang ada id negara kita. Kasus Cikeuting Dan Temanggung adalah konflik horizontal yang sebenarnya peran pemerintah sangat penting untuk bertindak dan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memberikan kesempatan untuk berkompromi kepada kedua belah pihak sehingga tidak terjadi konflik lagi. Kita berharap ketegasan pemerintah dalam masalah konflik di Negara ini haruslah jelas, disini Pemerintah adalah moderator bagi pihak yang bertikai. Jika ada yang melanggar hukum maka Hukum yang berlaku harus menindak pihakpihak yang bermasalah. Setelah Hukum berjalan maka manajemen konflik
72

dilaksanakan oleh Pemerintah sehingga konflik tersebut tidak akan terjadi kembali. Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendisendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan. Kekerasasan sosial atau tindak kekerasan kepada seseorang serta masyarakat bisa dan biasanya dilakukan terencana (terang-terangan maupun diamdiam) oleh pemerintah, umat (yang katanya) beragama, kelompok suku dan subsuku, maupun pribadi. Hal itu dilakukan dengan cara-cara bringas, brutal, dan tanpa prikemanusaan dan melanggar HAM. Misalnya, melalui genocide atau pembersihan etnis; pembasmian suku dan sub-suku; perang antar suku; tawuran antar desa; termasuk di dalamnya membunuh bayi laki-laki atau perempuan yang baru lahir, karena dianggap tidak berguna; melantarkan anak-anak cacad fisik dan mental. Pada umumnya korban kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi trauma, telantar, tercabut secara sosial dan geografis, serta dipaksa dan terpaksa melarikan diri lingkungan hidup dan kehidupannya, lalu menjadi pengungsi ataupun mencari suaka di negara lain. Secara khusus, di Indonesia, kekerasan sosial mempunyai

73

karakteristik dan pemicu yang hampir sama, misalnya sentimen SARA; merupakan sumbangan terbesar dalam kerususuhan sosial; biasanya terjadi akibat adanya berbagai gap pada komunitas masyarakat; termasuk umat beragama yang bertindak atas nama agama sebagai penjaga dan polisi moral; dalam arti kelompok masyarakat agama melakukan pengrusakan fasisilitas umum dan hiburan, karena dianggap sumber maksiat serta melanggar etika dan norma sosial serta agama; pada sikon ini, kadangkala, ajaran agama dipakai sebagai alat kekerasan oleh orang-orang yang penuh iri hati serta munafik; mereka penuh dengan kebencian dan iri terhadap kemajuan orang lain. Provokasi dari para provakator; biasanya merupakan kekerasan dan kerusuhanpesanan, yang direncanakan agar menutupi ketidakadilan dan kejahatan lainnya. Ketidakmampuan menerima kekalahan pada pemilihan pimpinan daerah (wilayah) maupun politik; ada banyak kasus kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia akibat (sesaat) setelah pemilihan lurah (kepala desa), bupati, walikota, bahkan gubernur; calon atau kandidat yang kalah, secara langsung maupun tidak, menggerakkanmassa pendukungnya agar melakukan protes dan

demonstrasi, yang diakhiri dengan kekerasan serta kerusuhan. Penyebaran dan pemaksaan ideologi terhadap masyarakat, mereka yang menolak, akan ditindas; jika ada komunitas yang menolak maka, mereka akan mengalami berbagai kekerasan berupa pembersihan etnis. Pengaruh kekerasan dari media massa; artinya mereka yang melakukan tindak kekerasasn, terinspirasi oleh media massa, kemudian ingin bertindak sama dengan apa yang didengar, dibaca dan ditontonnya. Solusi kerusuhan yang terjadi di masyarakat ditinjau dari segi sosial adalah untuk mengembangkan kesadaran, kemampuan, tanggung jawab, dan peran aktif masyarakat dalam menangani permasalahan sosial di lingkungannya, serta memperbaiki kualitas hidup, dan kesejahteraan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah meningkatkan dan memperluas pelayanan kesejahteraan sosial terutama bagi penduduk miskin,

74

anak dan lanjut usia terlantar, anak jalanan, penyandang cacat, tuna sosial, serta korban bencana alam dan kerusuhan. Program pengembangan keserasian kebijakan publik berperan dalam penanganan masalah-masalah sosial dan bertujuan untuk mewujudkan keserasian kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial masyarakat dan terlindunginya masyarakat dari dampak penyelenggaraan pembangunan dan perubahan sosial yang cepat melalui wadah jaringan kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang dilakukan melalui koordinasi dengan instansi terkait terutama untuk masalah pengungsi, kerusuhan, dan disintegrasi bangsa. Penanganan masalah disintegrasi bangsa menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, dan penanganan secara komprehensif memerlukan waktu yang panjang. Berkaitan dengan hal tersebut telah selesai dirumuskan kebijakan pengembangan integrasi bangsa di kalangan pelajar dan pemuda melalui pengenalan wawasan nusantara dengan melibatkan berbagai unsur pemerintah, LSM dan masyarakat termasuk dunia usaha. Program pengembangan sistem informasi masalah-masalah sosial

bertujuan untuk mengidentifikasi jenis data dan informasi yang diperlukan untuk bahan penentuan kebijakan masalah-masalah sosial, membangun sistem informasi yang diperlukan sebagai alat peringatan dini, dan meningkatkan fungsi dan koordinasi jaringan informasi kelembagaan dalam upaya pembentukan

keterpaduan pengendalian masalah-masalah sosial. Tujuan lain adalah untuk menyediakan data dan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan dunia usaha tentang: (1) perkembangan masalah menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya; (2) modal sosial yang dimiliki masyarakat dan dunia usaha serta sumber daya ekonomi; dan (3) perkembangan masalah-masalah sosial itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah membangun pusat informasi dan layanan masyarakat antara lain

75

untuk mengakomodasi masyarakat yang makin berkembang. Dalam rangka penyediaan data dan informasi masalah-masalah kemasyarakatan masih terus dilanjutkan pengembangan sistem informasi dan pengelolaan informasi masalahmasalah kemasyarakatan. Diferensiasi sosial masyarakat Indonesia juga berpengaruh sebagai penyebab terjadinya kerusuhan sosial. Differensiasi sosial sendiri merupakan proses penempatan orang-orang dalam berbagai kategori sosial yang berbeda, yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan yang diciptakan secara sosial. Menurut Soerjono Soekanto, diferensiasi adalah variasi pekerjaan prestise, kekuasaan kelompok dalam masyarakat yang dikaitkan dengan interaksi atau akibat umum dari proses interaksi sosial yang lain. Diferensiasi sosial terjadi karena perbedaan ciri fisik dan ciri sosial dan ciri budaya. Beberapa wujud diferensiasi sosial adalah: 1. Ras 2. Etnik 3. Agama dan kepercayaan keturunan) 4. Profesi 5. Jenis kelamin 6. Klan (kelompok kekerabatan berdasarkan garis 7. Suku Bangsa Ada empat hal mendasar yang merupakan persamaan antara suku-suku bangsa di Indonesia, yaitu: 1. kehidupan sosialnya berdasarkan atas kekeluargaan 2. terdapat sistem pemilikan tanah 3. memiliki hukum adat 4. kekerabatan, adat perkawinan serta persekutuan masyarakat

76

1.2.4 Indikator Ekonomi Sub babnya meliputi : A. Macam-Macam Sistem Ekonomi Di Dunia B. Sistem Ekonomi Di Indonesia C. Pandangan Tentang Kemiskinan D. Budaya Kemiskinan E. Kemiskinan Struktural F. Contoh Kasus

Penanggung Jawab : 1. Isnadia Nabaatin 2. M. Ainun Najib 101610101055 101610101056

77

1.2.4.Indikator Ekonomi Konflik merupakan proses sosial yang akan terus terjadi dalam diri manusia dan di dalam masyarakat, baik secara pribadi atau kelompok, dalam rangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara menentang lawannya. Konflik dapat memicu terjadinya kekerasan yang biasanya ditandai oleh adanya kerusuhan, pengrusakan dan perkelahian.. Kekerasan merupakan gejala yang muncul sebagai salah satu efek dari konflik. Tindakan kekerasan ini sering tidak jelas tujuannya, ada kalanya hanya untuk kesenangan belaka, ikut dengan orang lain karena takut disebut tidak memiliki rasa kebersamaan, atau karena ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang sengaja

menciptakan kekacauan, dan tidak lahir dari tuntutan-tuntutan kelompok yang menentang, serta pelakunya tidak memahami tindakan yang mereka lakukan. Salah satu contoh konflik yang diakhiri dengan kekerasan dan tidak memiliki tujuan yang jelas, misalnya tawuran antar pelajar. Berbagai sebab yang memicu terjadinya tawuran tersebut beraneka ragam, akan tetapi tetap saja tujuannya tidak jelas, apa yang mereka (para pelajar) diperebutkan atau diperjuangkan. Biasanya pemicu tawuran antar pelajar hanya sepele, mungkin hanya kesalahan bicara atau olok-olok antar teman. Taylor dan Hudson (dalam Syahbana: 1999), mengkategorikan lima indikator dalam menggambarkan intensitas konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kelima Indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1. Demonstrasi (a protest demonstration). Dewasa ini, demonstrasi menjadi fenomena sosial yang terjadi hampir setiap hari. Demonstrasi dilakukan oleh sejumlah orang yang memiliki kepedulian yang sama untuk melakukan protes melalui tindakan tanpa kekerasan. Protes tersebut diarahkan terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau pemerintah tersebut; atau terhadap ideologi, kebijaksanaan, dan tindakan baik yang sedang direncanakan maupun yang sudah dilaksanakan. Misalnya, demostrasi yang dilakukan oleh para guru terhadap rancangan undang-undang guru dan dosen.

78

2. Kerusuhan Kerusuhan pada dasarnya sama dengan demonstrasi, namun memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Demonstrasi adalah protes tanpa kekerasan sedangkan kerusuhan adalah protes dengan penggunaan kekerasan yang mengarah pada tindakan anarkis. Kerusuhan biasanya diikuti dengan pengrusakan barangbarang oleh para pelaku kerusuhan, yang seringkali menimbulkan penyiksaan dan pemukulan atas pelaku-pelaku kerusuhan tersebut. Penggunaan alat-alat pengendalian kerusuhan oleh para petugas keamanan di satu pihak, dan penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan di lain pihak. Kerusuhan biasanya ditandai oleh spontanitas sebagai akibat dari suatu insiden dan perilaku kelompok yang kacau. 3. Serangan bersenjata (armed attack) Serangan bersenjata adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk suatu kepentingan dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kelompok lain. Serangan bersenjatan ini seringkali ditandai oleh terjadinya pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang, sebagai akibat dari penggunaan alat atau senjata yang dipakai para penyerang. 4. Kematian Kematian yang dimaksud adalah sebagai akibat dari adanya konflik yang direspon melalui demonstrasi, kerusuhan, maupun serangan bersenjata. Konflik yang menyebabkan munculnya kematian menunjukkan indikator tingkatan konflik yang memiliki intensitas tinggi.

A. MACAM-MACAM SISTEM EKONOMI DI DUNIA Bentuk sistem ekonomi di dunia sangat berbeda dari negara yang satu dengan negara yang lainnya. Sistem ekonomi adalah seperangkat mekanisme dimana suatu negara memiliki strategi untuk mengatur kehidupan ekonominya dalam rangka mencapai kemakmuran rakyatnya. Sistem ekonomi di pengaruhi

79

dengan adanya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang membedakan sistem ekonomi antara negara yang satu dengan yang lain, yaitu: 1. 2. 3. 4. Falsafah dan ideologi negara, Sistem politik, Sistem pemerintahan, dan Lembaga-lembaga sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat

Lalu, faktor eksternal yang mempengaruhi sistem ekonomi di suatu negara, yaitu: 1. 2. 3. Sistem ekonomi yang dianut oleh negara tersebut, Sosial budaya luar negeri,dan Politik dunia internasional.

Dibawah ini merupakan macam-macam dari sistem ekonomi di beberapa belahan dunia, yaitu: 1. Sistem Ekonomi Tradisional Tujuan dari sistem ekonomi ini adalah mempertahankan tradisi yang terjadi turun temurun, dengan mengabaikan apa yang harus dilakukan dan untuk apa dilakukan. Ciri-ciri dari sistem ekonomi tradisional ini adalah: 1) 2) 3) 4) Teknologi masih sederhana, Kegiatan usaha ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, Modal masih terbatas, Masyaraktnya masih susah menerima perubahan karena terikat dengan tradisi, 5) Masih terdapat sistem pertukaran barang dengan barang ( barter).

2. Sistem Ekonomi liberal/pasar/kapitalis Sistem ekonomi liberal/pasar/kapitalis atau yang biasa disebut dengan Free Fight Liberalism adalah suatu penerapan kehidupan ekonomi yang bebas, dimana warga negara diberi kebebasan oleh pemerintahan untuk melakukan kegiatan ekonomi, dan seluruh sumber daya yang tersedia, dimiliki, dan dikuasai oleh masyarakat dapat dikembangkan secara bebas. Dalam sistem ini, pemerintah tidak ikut campur tangan. Bahkan dalam kondisi tertentu pun, pemerintah benar-benar

80

lepas tangan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Sehingga kondisi ini disebut juga dengan istilah laissez-faire. Adapun ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal, yaitu: 1) 2) 3) Semua alat dan sumber produksi berada di tangan perseorangan, Kegiatan ekonomi di semua sektor dilakukan oleh swasta, Modal memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi.

Kebaikan dari sistem ekonomi liberal adalah: 1) 2) 3) Setiap individu bebas memiliki alat-alat produksi, Adanya persaingan usaha mendorong kemajuan berusaha, Produksi didasarkan atas kebutuhan masyarakat, dan lain.

Keburukan dari sistem ekonomi liberal adalah : 1) 2) 3) Menimbulkan monopoli sehingga merugikan masyarakat, Menimbulkan penindasan terhadap manusia lain, Pengusaha yang bermodal kecil akan semakin tersisih, dan lain.

Contoh dunia yang menggunakan sistem ekonomi liberal: Blok Barat ( Inggris, Amerika Serikat, Kanada). 3. Sistem Ekonomi Komando/Sosialis Sistem ekonomi komando/etatisme/terpusat adalah sistem ekonomi yang pengaturan kehidupan ekonominya secara langsung oleh negara. Adapun ciri-ciri dari sistem ekonomi komando, yaitu: 1) 2) Semua alat dan sumber produksi dikuasai oleh negara, Kegiatan perekonomian diatur dan dikuasai secara mutlak oleh negara,dan 3) Jenis-jenis pekerjaan dalam suatu negara serta pembagian kerja diatur oleh pemerintah. Kebaikan dari sistem ekonomi komando adalah: 1) 2) 3) Pemerintah mengatur distribusi barang-barang, Tidak ada kesenjangan antaranggota masyarakat, dan Kemakmuran masyarakat terjamin.

Keburukan dari sistem ekonomi komando adalah: 1) Hak milik perseorangan tidak diakui,

81

2) 3)

Kemajuan ekonominya lambat, dan Potensi, inisiatif, dan kreasi warga masyarakat tidak berkembang.

Contoh dunia yang menggunakan sistem ekonomi komando adala: Blok Timur( negara-negara Komunis) seperti Rusia, Kuba, Korea Utara, dan negara Eropa Timur. 4. Sistem Ekonomi Campuran Sistem ekonomi campuran adalah sistem ekonomi yang mengambil segi positif dari sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Adapun ciri-ciri dari sistem ekonomi campuran, yaitu: 1) Kesempatan kerja penuh ( full employment) dan jasa kolektif mendapat prioritas yang tinggi, 2) Harga tidak semata-mata ditentukan oleh mekanisme pasar, tetapi pemerintah juga ikut campur dalam menentukan kebijakan, 3) Pemerintah menyelenggarakan jaminan sosial dan bertanggung jawab atas distribusi pendapatan yang lebih merata. Contoh dunia yang menggunakan sistem ekonomi campuran adalah: negaranegara berkembang (Indonesia, Afrika, Amerika Latin).

B SISTEM EKONOMI DI INDONESIA Sistem perekonomian di Indonesia memiliki acuan yang jelas, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 33. Demokrasi ekonomi sebagai dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia mempunyai ciri-ciri positif, yaitu: a. Perekonomian kekeluargaan, b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara, dan lain. Sistem ekonomi Indonesia sering juga disebut dengan sistem ekonomi Pancasila. Adapun ciri-ciri ekonomi pancasila, yaitu: disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas

82

a. Perekonomian tidak didominasi oleh modal dan buruh, melainkan berdasarkan atas asas kekeluargaan, b. Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, c. Peranan negara penting tetapi tidak dominan dan dicegah tumbuhnya sistem komando.

Masalah Kerusuhan Sosial yang disebabkan oleh ekonomi salah satunya adalah kemiskinan, Meski saat ini angka pertumbuhan ekonomi bangsa kita terus menunjukan grafik kenaikan namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di sekitar kita yang hidupnya masih berada di bawah standar yang layak. Ini menjadi masalah sosial yang bisa kita temukan dengan mudah baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

C. PANDANGAN TENTANG KEMISKINAN Pebedaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut Weber (Swasono , 1987), ideology bukan saja menentukan macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana,

83

kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi. Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, pandangan maka poin pertama dan kedua tersebut

mencerminkan

konservatif,

yang

cendrung

mempersalahkan

kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis. Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap mental si
84

miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal. Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait. D. BUDAYA KEMISKINAN Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat

85

dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib. Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi , (5) perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7) Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas
86

menengah, dengan menggunakan metode-metodre psikiatri kesejahteraan sosialpendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.. Akibat kemiskinan tersebut, sebahagian besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo (kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam institusi permanen yang mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba, 2001 ). E. KEMISKINAN STRUKTURAL Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).

87

Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap. Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati kemewahannya), (2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan (3) Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar. Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan structural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik tradisional, (2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya. Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1) kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan (2) perlunya pola organisasi institusi masyarakat pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial learning yang spesifik dengan kondisi setempat. Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar

88

mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri. Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural. F. CONTOH KASUS Salah satu faktor penyebab konflik karena adanya problematika ekonomi yang tidak teratasi. Diskrimiasi sistem ekonomi serta modernisasi dan pembangunan ekonomi yang tidak adil. Salah satu contoh kerusuhan sosial yang tehjadi akbibat dari kesenjangan ekonomi adalah Tragedi Trisakti. Tragedi ini bermula dari krisis ekonomi yang berkelanjutan melanda bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam tragedi Trisakti dimana terjadi peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan. Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan Sidang Umum MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei

89

1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit. Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam. Indonesia terperangah, ketika secara tiba tiba kekerasan sosial, sebagai salah satu bentuk manifestasi dari konflik sosial, terjadi secara luas hampir di

90

seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dipicu oleh krisis keuangan yang berawal sejak pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya di awal 1998, terjadi serangkaiankekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu. Kerusuhan Mei 1998 pecah beberapa hari sebelum kejatuhan Suharto. Timor Timur terpisah dari Indonesia sebagai hasil sebuah referendum yang ditandai oleh kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terbunuh dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luar biasa. Gerakan separatis di Aceh dan Papua, yang sudah ada sejak lama, mendapatkan momentum baru. Konflik komunal telah memporak-porandakan Sambas, Poso, Maluku, dan Sampit. Sementara di pulau Jawa banyak orang yang diduga sebagai dukun santet terbunuh. Lebih lanjut, kasus-kasus tawuran antar kampung, konflik politik, pertanahan dan hubungan ekonomi lainnya, serta berbagai bentuk konflik dan kekerasan sosial seperti tak henti-hentinya terjadi hampir di seantero negeri sejak berlangsungnya krisis ekonomi dan dimulainya transisi menuju demokrasi. Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia, setidaknya, terdiri dari tiga perubahan besar. Pertama adalah transisi dari suatu system politik dan pemerintahan yang otokratik menuju suatu sistem yang demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony capitalist) menuju suatu sistem ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas (rules-based market economy). Dan ketiga adalah transisi dari sistem sosial politik dan ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Dan tidak ada pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru.

91

Transisi Indonesia yang multidimensi ini akan lebih tepat apabila ditinjau dari kaca mata transisi sistemik (systemic transition). Transisi semacam ini tidak bias dijelaskan hanya dengan menggunakan catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu historic discontinuity. Sehingga gambaran yang lebih jelas akan didapat apabila transisi Indonesia saat ini disejajarkan dengan transisi serupa seperti yang terjadi di bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Transisi berlangsung di tengah krisis ekonomi terhebat yang pernah dialami Indonesia sejak merdeka. Dalam konteks ini, krisis ekonomi berperan sebagai katalisator dan pada saat yang sama berperan pula sebagai pemicu berlangsungnya suatu proses transisi. Krisis ekonomi hanyalah sebuah awal. Ia memicu krisis multidimensi yang merontokkan secara tiba-tiba tatanan yang telah dibangun Orde Baru hampir di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Rontoknya tatanan ekonomi ditandai oleh hancurnya bagun ekonomi kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) dengan bubble economy-nya. Hancurnya tatanan politik dicirikan oleh runtuhnya rezim autokratik, yang diikuti oleh meledaknya partisipasi politik massa, terbentuknya banyak partai politik dan terbukanya debat publik ditengah lemahnya pelembagaan demokrasi. Dan kehancuran tatanan sosial ditandai oleh merebaknya kekerasan sosial, tidak berdayanya hukum dan peraturan (law and order) dan hancurnya tatanan dan ikatan sosial masyarakat (sosial cohesion). Kompleksitas dari proses transisi ini menjadi semakin rumit dengan program desentralisasi yang tergesagesa ditengah lemahnya kelembagaan untuk menangani isu-isu yang terkait dengan pembagian wewenang, keuangan, dan anggaran antara pusat dan daerah, dan pembagian sumberdaya antar daerah. Selanjutnya, kombinasi dari krisis dan transisi politik, ekonomi dan sosial, telah menghasilkan suatu keadaan yang tidak menentu (turbulence situation). Kelihatannya, suatu ledakan kekerasan sosial yang hebat akan sangat potensial terjadi di tengah situasi transisi yang tidak menentu ini, dan bukannya justru meledak di saat-saat yang stabil, dimana ekonomi tumbuh dengan stabil, kesejahteraan membaik dan ketika semuanya serba teratur. Situasi yang tidak
92

menentu ini setidaknya telah menyebabkan dua perkembangan baru: (1) mengecilnya kue pembangunan, sementara jumlah orang yang

memperebutkannya tidak berkurang, malahan semakin banyak; dan (2) terjadinya suatu distribusi kekuasaan yang hebat (a significant distribution of power). Kekuasaan di masa Orde Baru yang terpersonalisasi ke seseorang atas nama Presiden Suharto selama transisi ini telah terdistribusi ke tangan elit-elit partai politik, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), kelompok-kelompok masyarakat, parlemen, pers, masyarakat adat, maupun kepada kelompokkelompok birokrasi yang terbelah. Lebih jauh, desentralisasi juga telah meningkatkan tensi konflik antara pusat dan daerah, dan persaingan antar daerah. Sebagai hasil dari perkembangan-perkembanganini, krisis dan transisi telah menyebabkan perubahan posisi relatif secara cepat dari kelompok-kelompok masyarakat (changing relative position among sosial groups) di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Insiden kemiskinan memburuk, baik dari jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan (head count ratio) maupun tingkatkeparahannya (poverty severity). Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan porsi pekerja di sektor informal terhadap total pekerja meningkat tajam. Sementara di sisi lain, perubahan konstelasi politik telah menyebabkan banyak orang kehilangan pengaruh dan akses politik, sementara di sisi lain banyak pula muka-muka baru yang tiba-tiba berkuasa. Lebih jauh, orang-orang yang dulu dihormati dan dipuja, sekarang menjadi kelompok yang dikritisi dengan sangat tajam. Pendek kata, semuanya berubah. Beragam kebijakan mengenai penanganan konflik pernah dirumuskan, dan dirancang delivery system-nya oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Upaya-upaya tersebut memberikan pengalaman yang sangat berharga dalam mengkaji ulang atau setidaknya melakukan review kebijakan. Disamping itu juga telah memberikan referensi bagi semua pihak (yang peduli terhadap penangan konflik) untuk merancang ulang (redisain) kebijakan mendatang. Mengacu pada sudut pandang penangan konflik pra-saat- paska, maka dalam review kebijakan

93

ini menggunakan sistematika pendekatan menjadi pokok bahasan, selanjutnya dijelaskan lebih dalam dalam kondisi pra konflik, saat konflik, dan paska konflik. Penanganan Sektoral - Regional Seakan kemunculan pendekatan regional berhadap-hadapan dengan sektoral. Pada konteks grand strategy diarahkan untuk melakukan sinergisitas sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak parsial (lebih terintegrasi) dalam menangani konflik. Artinya kemunculan pendekatan regional bukan berarti menghilangkan pendekatan sektoral. Dalam mengelompokkan mana kebijakan yang menggunakan pendekatan sektoral atau regional, dapat menggunakan matrik perbedaan yang mendasar antara dua kebijakan tersebut. Kebijakan Pendekatan Keamanan- Kesejahteraan Pendekatan keamanan dominan berada dalam masa terjadinya konflik kekerasan dan karena itu perlu ditambah dengan pendekatan kesejahteraan agar terdapat kebijakan penanganan konflik yang berkelanjutan. Di bawah ini terdapat pembedaan terhadap pendekatan tersebut yang selanjutnya dapat

direkomendasikan sinergisitasnya. Kebijakan pertahanan dan keamanan negara menekankan pada pendekatan keamanan yang berusaha disinergiskan dengan pendekatan kesejahteraan. meskipun demikian, pendekatan keamanan masih menonjol karena skala konflik separatisme makin kuat seiring dengan geopolitik, geoekonomi dan geostrategis di dunia. Ancaman keamanan non-tradisional yang timbul di dalam negeri dengan motivasi separatisme, akan dihadapi dengan mengedepankan cara-cara dialogis. Pendekatan dialogis diharapkan mampu mempengaruhi para pelaku untuk kembali setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila pendekatan dialogis untuk mendapat respon positif, maka penggunaan cara cara lain yang lebih tegas sangat mungkin dilakukan demi terpeliharanya stabilitas keamanan nasional dan tetap tegaknya NKRI. Kelembagaan yang Terpusat- Desentralistik

94

Pemahaman yang dikotomis dan berhadap-hadapan antara pendekatan sentralistik dan desentralistik seringkali justru berdampak buruk pada masyarakat. Pada realitasnya ada beberapa kebijakan dan program memang lebih efektif jika dikelola oleh pemerintah pusat (sentralistik), namun ada pula yang sebaliknya, bahwa ada pula program yang dirancang oleh pemerintah pusat, namun dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dari kenyataan tersebut kemudian memunculkan ide melakukan sinergisitas pendekatan sentralistik dan

desentralistik. Sebagai pijakan untuk mereview kebijakan penanganan daerah konflik terutama pada kedua pendekatan tersebut disajikan unsure yang dapat diperbandingkan. Kebijakan penanganan konflik yang pendekatannya sentralistik diperlukan dalam konteks lemahnya pemerintahan lokal dalam hal keuangan dan kemampuan menyelesaikan masalah keamanan dan kesejahteraan dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian dalam menjalankan penanganan yang sentralistik, diperlukan rumusan yang tegas mengenai batas-batas intervensinya, sehingga tidak berlangsung terus menerus karena dapat menghilangkan akuntabilitas dan transparansi penanganan konflik. Dari contoh yang telah dipaparkan di atas, telah jelaslah bahwa faktor ekonomi dapat mengakibatkan kerusuhan sosial, yang mana dapat mengancam ketenangan dan ketentraman suatu negara. Oleh karena itu untuk mencegah hal tersebut maka diperlukan upaya-upaya untuk mencegah adanya suatu kesenjangan sosial yang terlampau tinggi yang nantinya dapat memunculkan adanya suatu konflik soaial. Contoh Kasus lain dari Kerusuhan Sosial Akibat Kesenjangan Ekonomi dari Faktor Penyebab Deskriminasi Sistem Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi yang Tidak Adil Kasus pembantaian petani Mesuji terjadi di areal perkebunan sawit di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan merupakan salah satu konflik sosial yang salah stau faktor penyebabnya adalah kesenjangan ekonomi dan perebutan wilayah tanah perkebunan.

95

Rabu 12 Desember 2011, belasan warga kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan dan warga Kabupaten Mesuji, Lampung mengadu ke Komisi Hukum DPR. Mereka melaporkan pembunuhan terhadap petani yang terjadi sejak tahun 2009. Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megoupak, Bob Hasan, menjelaskan kronologis adanya pembantaian dan kekerasan sadis di Lampung.

Peristiwa kekerasan yang terjadi di kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan terjadi saat PT Silva Inhutani milik warga negara Malaysia berinisial BS berniat melakukan perluasan lahan pada tahun 2003. Masyarakat setempat masih belum mampu berpikir tentang sebuah kawasan atau lahan larangan. Mereka bisa masuk ke hutan, tinggal di bantaran sungai, membuat rumah dipinggir jurang maupun di lembah yang rawan banjir karena memang pendidikan masalah keselamatan dan kemampuan ekonomi belum menjangkau mereka. Kemiskinan, kebutuhan akan pangan, dan pendidikan yang rendah di masyarakat ini juga dinilainya menjadi penyebab terjadinya modus kalim satu kawasan oleh masyarakat justru tidak pernah disentuh oleh pemerintah. Mereka juga tidak paham aturan dan menganggap daratan ini ciptaan Tuhan yang sah-sah saja dihuni. Sehingga upaya perluasan lahan oleh PT Silva Inhutani untuk menanam kelapa sawit mendapat perlawanan penduduk setempat. Akhirnya PT Silva Inhutani membentuk PAM Swakarsa untuk menghadang perlawanan warga. Sejak saat itu, perusahaan melalui jasa keamanan sewaan diduga melakukan penyiksaan berujung pembunuhan terhadap warga. Tercatat 32 warga menjadi korban pembunuhan sadis ini. Dalam video rekaman yang diputar di Komisi Hukum, tampak jelas kekejian yang dilakukan si pembantai secara sadis.

96

1.3. Dampak Kerusuhan Sosial Di Berbagai Bidang Konflik/kerusuhan sosial tidak hanya berdampak pada segi sosial saja, namun berdampak pada beberapa sektor yaitu : 6) Dampak Ekonomi. Dampak ekonomi ini ditandai dengan menurunnya jumlah uang yang beredar, berkurangnya lapangan pekerjaan, menurunnya penerimaan daerah, menurunnya pendapatan masyarakat, terganggunya kegiatan ekonomi di daerah-daerah yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah-daerah konflik. Meningkatnya tekanan bagi dunia bisnis untuk bekerja baik secara komersial maupun sosial. Di hampir setiap sektor bisnis, perusahaan-perusahaan berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk memenuhi tuntutan para pemegang saham maupun tuntutan lebih luas dari stakeholder terhadapinefisiensi penanganan konflik. 7) Sosial Budaya. Dampak sosial budaya ini ditandai dengan munculnya gelombang pengungsian, gangguan kesehatan, terganggunya proses pendidikan, serta trauma psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan dan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Migrasi penduduk akibat konflik berupa pertentangan pendapat hingga kekerasan fisik dan psikis membuat perubahan komposisi penduduk asli dan pendatang. Penduduk yang sudah merasa aman dan tinggal di daerah pengungsian, namun faktanya banyak menjadi korban kebijakan penanganan konflik yang mengharuskan mereka kembali ke lokasi semula. Kembalinya mereka ke lokasi semula menimbulkan konflik-konflik sosial budaya baru yang lebih rumit untuk diatasi. 8) Dampak Infrastruktur. Dampak infrastruktur ini ditandai dengan terjadinya kerusakankerusakan pada rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas-fasilitas
97

pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi menandai telah bergesernya penyebab dasar konflik dari terutama kepentingan geostrategis ke

perbedaanperbedaan ideologi berdasarkan akses terhadap sumber daya, isu-isu identitas, dan kegagalan peran pemerintah dalam penanganan konflik. 9) Politik dan Pemerintahan. Dampak dibidang politik dan pemerintahan ditandai dengan melemahnya fungsi kelembagaan pemerintahan, menurunnya pelayanan kepada masyarakat, membengkaknya pembelanjaan pemerintah,

terganggunya pranata politik yang ada, menguatnya gejala separatisme dan lain-lain. Proses transisi politik dan sosial-ekonomi mempengaruhi pula dampak konflik politik dan pemerintahan, sehingga banyak milisi sipil dan telah terjadi peningkatan kekerasan secara dramatis. Adanya kekerasan yang terjadi di masyarakat Indonesia paska konflik, banyak disebabkan oleh penarikan tentara yang didemobilisasi dan belum berfungsinya kelembagaan pemerintahan sipil.

98

DAFTAR PUSTAKA Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga BALITBANG DEPHAN dan DEPDIKNAS. http://bpbd.sungaipenuhkota.go.id/index.php/jenis-bencana/60-rusuh.html Bernard, H. Russell. 1994. Research Methods in Anthropology. Thousand Oaks: Sage. Buaran, Desa. 1997. Monografi Dinamis Desa Buaran Kecamatan Pekalongan Selatan. Maret. Emerson, Robert M., Rachel I. Fretz and Linda L. Shaw. 1995. Writing Ethnographic Fieldnotes. Chicago: The University of Chicago Press. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press. Kradenan, Desa. 1997. Monografi Dinamis Desa Kradenan Kecamatan Pekalongan Selatan. Januari, Pebruari, Maret. Lewis. Kebudayaan Kemiskinan; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta Sinar Harapan Yayasan Obor 1983. Mariam Budiarjo, dkk, Dasar-dasar ilmu Politik, Gramedia, 2003 Ningrum, Epon. 2010. Konflik Dalam Proses Sosial Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun. Parsudi Suparlan, Parsudi. Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006. Universitas Indonesia. Pekalongan, Kakan Sospol Kodya. 1997 & 1997/1998. Laporan Situasi Kondisi Sosial Politik Kotamadya Dati II Pekalongan.

99

Pusat Penelitian Politik, 2005. Year Book 2005 Politik BBM. LIPI Press Rahman, Arif. 2011. Kontrol Vertikal. Dikutip dari :

http://blog.uad.ac.id/arifrahman/ 2011/12/05/konflik-vertikal/ Sukmana, Oman. 2008. ANALISIS TIPOLOGI KONFLIK ANTAR ELIT LOKAL DALAM PEMLIHAN WALIKOTA (PILWALI) KOTA MALANG. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP-UMM. Surbakti, Ramlan. 1984. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Tadjoeddin, Mohammad Zulfan. 2002. Anatomi kekerasan sosial dalam konteks transisi : kasus indonesia 1990-2001 Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat Untuk Kelas X Sekolah Menengah Ke Atas. Bandung : PT Setia Purna Inves.

100

Anda mungkin juga menyukai