Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

TEKNIK PENDEKATAN PADA ANAK UNTUK


MENINGKATKAN KEBERHASILAN PERAWATAN GIGI
DAN MULUT

Oleh:
Liananta Chayriyah
101611101050

Instruktur:
drg. Berlian P., Sp.KGA

KLINIK PEDODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dokter gigi yang akan melakukan perawatan pada anak anak, seringkali
menghadapi keadaan dimana anak akan merasa cemas dan takut terutama saat
bertemu untuk pertama kalinya. Rasa cemas dan takut ini bisa disebabkan oleh
pengalaman buruk anak, usia anak, rasa takut dan kecemasan berlebihan dari
keluarga terutama orang tua anak ketika anaknya dirawat, bahkan rasa cemas dan
takut ini bisa disebabkan oleh pengelolaan yang kurang tepat oleh dokter gigi
(Soeparmin, 2014). Rasa cemas dan takut ini juga akan dirasakan pada kunjungan
berikutnya apabila pada kunjungan yang pertama, dia mendapatkan pengalaman
yang kurang menyenangkan (Simon, 2014). Kecemasan pada anak selama
perawatan gigi dapat menyebabkan anak bersikap tidak kooperatif sehingga
menghambat proses perawatan (Raducanu, 2009).
Teknik pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi bisa dilakukan
baik dengan pendekatan farmakologi maupun dengan non farmakologi.
Pendekatan pada anak secara farmakologi dapat berupa premedikasi, sedasi
ataupun anastesi umum. Sedangkan teknik pendekatan non farmakologi dapat
berupa komunikasi baik secara verbal maupun non verbal, modelling, Tell Show
Do (TSD), Hand Over Mouth Exercise (HOME), distraksi, behavior shaping,
reinforcement, restraint (pengekangan), retraining, desensitisasi, kontrol suara,
bahkan dengan hipnotis (Herdiyati, 2014). Teknik pendekatan ini bisa dilakukan
pada semua anak, baik yang kooperatif maupun yang tidak kooperatif yang masih
bisa untuk diajak kerja sama. Sedangkan untuk pasien yang tidak kooperatif
teknik pendekatan yang dipilih berupa teknik restraint (pengekangan), Hand Over
Mouth Exercise (HOME) bahkan teknik pendekatan secara farmakologi seperti
sedasi (Herdiyati, 2014).
Penatalaksanan tingkah laku pasien merupakan salah satu faktor penting
dalam ilmu kedokteran gigi anak. Tanpa kerja sama yang baik dari pasien, maka
perawatan gigi yang dilakukan akan sulit untuk berhasil. Keberhasilan dalam

memberikan pelayanan kesehatan gigi bagi anak-anak tergantung pada cara kita
dalam menghadapi dan menangani anak-anak tersebut. Selain itu, untuk mencapai
keberhasilan dalam perawatan gigi terdapat tiga komponen yang harus bekerja
sama, agar perawatan dapat berlangsung dengan lancar. Komponen tersebut
digambarkan dalam bentuk segitiga yang dikenal sebagai segitiga perawatan gigi
anak (Pedodontic Treatment Triangle) yakni anak, keluarga, dan dokter gigi.
Segitiga tersebut saling berhubungan secara dinamik (Soeparmin, 2011).
Pemilihan teknik pendekatan yang tepatpun perlu dilakukan agar perawatan bisa
berhasil. Rasa empati, pengetahuan, pembawaan, dan kemampuan dokter gigi juga
turut mempengaruhi dalam melakukan pendekatan pada anak sehingga
keberhasilan perawatan bisa tercapai (Herdiyati, 2014).
Perawatan yang maksimal dapat tercapai apabila terdapat kerjasama yang
baik antara pasien dan dokter gigi sehingga dokter gigi perlu untuk mengetahui
teknik pendekatan yang efektif agar dapat menangani pasien anak dengan baik,
mengurangi

ketakutannya,

dan

menanggulangi

tingkah

lakunya

serta

menumbuhkan rasa percaya diri anak untuk tidak takut melakukan perawatan ke
dokter gigi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
pada makalah ini yaitu bagaimana teknik pendekatan yang efektif pada pasien
anak dan cara menanggulangi rasa cemas dan takut pada anak dalam melakukan
perawatan ke dokter gigi?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui teknik pendekatan pada
pasien anak yang efektif dan cara menanggulangi rasa cemas dan takut pada anak
perawatan ke dokter gigi.
1.4 Manfaat Makalah
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat yakni ;

1. Melengkapi informasi ilmiah mengenai teknik pendekatan pada pasien


anak.
2. Melengkapi informasi ilmiah mengenai cara menanggulangi rasa cemas
dan takut pada anak perawatan ke dokter gigi.
3. Dapat digunakan sebagai pertimbangan oleh praktisi kedokteran gigi di
dalam menyikapi pasien anak yang datang ke dokter gigi dengan
melakukan pendekatan yang efektif pada anak juga untuk mngurangi rasa
cemas dan takut yang dialaminya.
4. Dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap makalah lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Perilaku Anak terhadap Perawatan Gigi dan Mulut
Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman dan interaksi
manusia dengan lingkungannya. Wujudnya bisa berupa pengetahuan, sikap,
dantindakan. Perilaku manusia cenderung bersifat menyeluruh (holistik). Perilaku
manusia merupakan pencerminan dari berbagai unsur kejiwaan yang mencakup
hasrat, sikap, reaksi, rasa takut, atau cemas, dan sebagainya. Oleh karena itu,
perilaku manusia dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor-faktor yang ada dalam diri
manusia atau unsur kejiwaannya (Budhiarto, 2008).
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
berhubungan dengan konsep sehat, sakit, dan penyakit. Sedangkan perilaku
kesehatan gigi adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan yang berkaitan dengan
konsep sehatdan sakit gigi serta upaya pencegahannya. Bentuk operasional dari
perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga wujud, yaitu (Budhiarto, 2008):
a. Perilaku dalam wujud pengetahuan yakni dengan mengetahui situasi dan
rangsangan dari luar yang berupa konsep sehat, sakit, dan penyakit.
b. Perilaku dalam wujud sikap yakni tanggapan batin terhadap rangsangan
dari luaryang dipengaruhi faktor lingkungan: fisik yaitu kondisi alam;
biologis yang berkaitan dengan makhluk hidup lainnya; dan lingkungan
sosial yang berkaitan dengan masyarakat sekitarnya.
c. Perilaku dalam wujud tindakan yang sudah nyata, yakni berupa perbuatan
terhadap situasi atau rangsangan luar.
Setiap anak yang datang berkunjung ke dokter gigi memiliki kondisi
kesehatan gigi yang berbeda-beda dan akan memperlihatkan perilaku yang
berbedapula terhadap perwatan gigi yang akan diberikan. Ada anak yang bersikap
kooperatif terhadap perawatan gigi dan ada juga yang menolak untuk dilakukan
pemeriksaan gigi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik dari
internal anak itu sendiri maupun dari eksternal seperti pengaruh orang tua, dokter
gigi, maupun lingkungan klinik gigi. Perilaku anak tersebut ada kalanya dapat

memudahkan dokter gigi atau menyulitkan dokter gigi dalam melakukan


perawatan (Soeparmin, 2014).
2.2 klasifikasi Perilaku Anak
Beberapa ahli telah mengembangkan sistem untuk mengklasifikasikan
perilaku anak dalam menerima perawatan dokter gigi. Pemahaman tersebut sangat
peting dan berguna bagi dokter gigi yakni untuk membantu dalam penentuan
metode manajemen perilaku yang tepat, menjadi sarana yang bersifat sistematis
dalam merekam perilaku pasien. Berikut beberapa klasifikasi perilaku anak
menurut beberapa ahli.
2.2.1 Klasifikasi perilaku anak menurut Wright
Menurut Wright, perilaku anaksecara umum dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kategori yakni (Soeparmin, 2014):
a. Kooperatif (Cooperative)
Sikap kooperatif ini ditunjukkan dengan sikap anak yang cukup tenang,
memiliki rasa takut yang minimal, dan antusias serta anak terlihat rileks dan
santai terhadap perawatan gigi dan mulut yang diberikan. Anak dengan sikap
kooperatif memudahkan dokter gigi dalam melakukan perawatan karena
mereka dapat dirawat dengan mudah dan tanpa mengalami kesulitan dalam
melakukan pendekatan.
b. Tidak mampu kooperatif (Lacking in cooperative ability)
Kategori ini terdapat pada anak-anak yang masih sangat muda misalnya
anak usia dibawah 3 tahun dengan kemampuan komunikasi yang terbatas dan
pemahaman yang kurang mengenai perawatan yang akan dilakukan. Kelompok
lain yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka dengan keterbatasan yang
spesifik seperti fisik maupun mental, sehingga sulit untuk melakukan
komunikasi. Oleh karena itu, anak dengan kondisi seperti ini membutuhkan
teknik manajemen perilaku yang khusus, kadang kala perlu menggunakan
teknik pendekatan farmakologi dengan premedikasi maupun anastesi umum.
c. Berpotensi kooperatif(Potentially cooperative)

Kategori perilaku ini berbeda dengan tidak mampu kooperatif. Karena


anak dalam kategori ini memiliki kapabilitas untuk menjadi kooperatif.
Sehingga diperlukan kompetensi dokter gigi yang mampu melakukan
manajemen perilaku dalam mengembangkan potensi kooperatif menjadi
kooperatif.
Klasifikasi perilaku yang dikemukakan oleh Wright masih memiliki
kelemahan. Ketiga klasifikasi tersebut masih sulit untuk ditegakkan secara
klinis. Terutama untuk kategori perilaku berpotensi kooperatif karena belum
ada penjelasan mendetail tentang ciri khas pasien anak yang berpotensi
kooperatif. Hal ini menyebabkan para ahli terus mengkaji dan mengembangkan
sistem klasifikasi perilaku menjadi lebih detail sehingga dapat dengan mudah
ditegakkan secara klinis.
2.2.2 Klasifikasi perilaku anak menurut Frankl
Salah satu sistem klasifikasi perilaku anak dalam perawatan gigi
diperkenalkan oleh Frankl dikenal sebagai skala yang disebut : Frankl
Behavioral Rating Scale yang biasa dipergunakan sebagai evaluasi tingkah laku
misalnya di klinik atau penelitian. Frankl mengklasifikasikan perilaku anak
menjadi empat kelompok sesuai dengan sikap anak dan kerjasama pada perawatan
gigi dan mulut, yakni (Soeparmin, 2014):
a. Jelas negatif (--)
Anak menolak perawatan gigi yang akan dilakukan. Penolakan ini ditunjukkan
dengan cara menangis keras, penuh rasa takut, mengisolasi diri, anak bersikap
menentang dan tidak mau mendengar apapun yang dikatakan oleh dokter gigi.
b. Negatif (-)
Anak

enggan

menerima

perawatan,

bersikap

tidak

kooperatif,

menunjukkan beberapa perilaku negatif, tetapi tidak diucapkan misalnya


cemberut atau menyendiri.
c. Positif (+)

Anak mau menerima perawatan tetapi selalu bersikap hati-hati, bersedia


untuk menuruti dokter giginya dengan mengajukan syarat tetapi si anak
tersebut tetap mengikuti arahan dokter giginya secara kooperatif.
d. Jelas positif (++)
Anak menjalin hubungan yang baik dengan dokter gigi, anak tertarik
dengan prosedur perawatan gigi, anak juga merasa senang, menikmati prosedur
perawatan gigi, menunjukkan kontak verbal yang baik, dan banyak bertanya.
Akan tetapi kelemahan dari klasifikasi Frankl adalah teknik tersebut tidak
spesifik sehingga mampu menggambarkan situasi secara tepat dan tidak
sesuaidengan fakta di lapangan. Pendiagnosaan perilaku negatif dan sangat
negatif bertentangan dengan etika dan memberi pencitraan yang tidak baik.
2.1.3 Klasifikasi perilaku anak menurut White
Pada dasarnya pembagian perilaku yang diajukan oleh White merupakan
penjelasan atas dua klasifikasi perilaku sebelumnya, khususnya penjelasan atas
klasifikasi potensial kooperatif yang masih belum jelas. Klasifikasi perilaku anak
terhadap perawatan gigi dan mulut menurut White, yaitu (Herdiyati, 2014):
1. Perilaku kooperatif (Cooperative patient)
Perilaku kooperatif merupakan kunci keberhasilan dokter gigi dalam
melakukan perawatan gigi dan mulut. Anak dapat dirawat dengan baik jika dia
menunjukkan sikap positif terhadap perawatan yang dilakukan. Kebanyakan
pasien gigi anak menunjukkan sikap kooperatif dalam kunjungannya ke dokter
gigi. Tanda-tanda pasien anak dan remaja yang tergolong kooperatif adalah:
a.

Tampak rileks dan menikmati kunjungan sejak di ruang tunggu

b.

Mengikuti semua instruksi yang disampaikan dengan rileks

c.

Memahami sendiri semua perintah

d.

Terlihat antusias terhadap perawatan yang akan dilakukan

e.

Penanganan dalam klinik biasanya cukup dengan teknik Tell Show Do


(TSD)

f.

Adanya hubungan antara dokter

2. Perilaku tidak mampu kooperatif (Inability to cooperative patient)

Ada dua kelompok pasien yang termasuk dalam kelompok perilaku


tidak mampu kooperatif, yakni:
a. Anak yang berumur di bawah 3 tahun yang masih sangat bergantung
kepada ibunya.
b. Pasien anak atau remaja yang handicapped, baik retardasi mental maupun
keterbatasan fisik/cacat.
Kedua kelompok pasien ini pada dasarnya adalah ketidakmampuan untuk
berkomunikasi dan untuk memahami segala instruksi. Hal ini sangat
menyulitkan dokter gigi dalam melakukan perawatan. Pasien anak dengan
kategori tidak mampu kooperatif dapat ditangani dengan premedikasi dan
menggunakan anastesi umum.
3. Perilaku histeris (Out of control patient)
Ada beberapa karakteristik pada pasien anak yang tergolong dalam
perilaku histeris, yakni:
a. Pasien umumnya berumur 3-6 tahun dan merupakan kunjungan pertama
b. Tangisan yang keras, memekik, dan marah
c. Merengek dan mudah marah
d. Memiliki tingkat kecemasan dan ketakutan yang tinggi
Perilaku jenis ini dapat ditangani dengan mengevaluasi pasien sebelum
melakukan perawatan dan melakukan pendekatan kepada anak secara lembut
disertai pemberian penjelasan mengenai prosedur perawatan untuk mengurangi
tingkat kecemasannya.
4. Perilaku keras kepala (Obstinate/ defiant patient)
Beberapa karakteristik anak dengan perilaku keras kepala, yakni:
a. Melawan pada setiap instruksi
b. Pasif mempertahankan diri dan tidak ada perhatian terhadap perintah
c. Berdiam diri tidak mau bergerak dan membuka mulut.
d. Bersikap menentang dan tidak sopan
Pasien anak dengan perilaku keras kepala dapat ditangani dengan
mencoba memahami dan melakukan komunikasi dengan pasien tersebut tanpa

melakukan paksaan. Karena dengan paksaan akan semakin menyulitkan dokter


gigi dalam melakukan perawatan.
5. Perilaku pemalu (Timid patient)
Perilaku pemalu dalam perawatan gigi dan mulut merupakan suatu
perasaan gelisah atau mengalami hambatan dalam membentuk hubungan atau
komunikasi antara dokter gigi dan pasien anak sehingga mengganggu
tercapainya keberhasilan perawatan. Pemalu dapat berubah menjadi fobia yang
menjadikan pasien tersebut menjadi tidak kooperatif terhadap perawatan gigi
dan mulut.
Karakteristik anak dengan perilaku pemalu, yakni:
a. Pemalu karena takut berbuat salah dan susah mendengarkan instruksi
b. Menghindari kontak mata dan berlindung di belakang orang tua
c. Tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja
d. Membutuhkan dorongan kepercayaan diri
e. Berasal dari lingkungan keluarga yang bersifat overprotektif.
6. Perilaku tegang (Tense patient)
a. Anak tersebut tampak tegang secara fisik, dahi dan tangan berkeringat,
bibir kering
b. Suara terdengar tremor
c. Memulai percakapan dengan tidak dan saya tidak akan
d. Tangan bergetar
e. Menatap ke sekeliling ruang klinik
f. Menerima perawatan yang diberikan
g. Anak jenis ini ingin tampak berani dan tumbuh dewasa.
7. Perilaku cengeng (Whining patient)
a. Merengek atau menangis sepanjang prosedur perawatan
b. Masih tetap bisa menerima perawatan
c. Bisa menerima perhatian dari dokter gigi
d. Penangan yang paling tepat adalah dokter gigi harus bersikap sabar dan
tenang. Dokter gigi sebaiknya memberikan pujian terhadap mereka jika

bersikap kooperatif selama perawatan gigi dan menyampaikan bahwa


tidak akan lama lagi dan mereka bisa pulang ke rumah.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak
Sebelum dokter gigi menegakkan prinsip-prinsip diagnosis dan melakukan
manajemen perilaku sesuai diagnosis, maka dokter gigi harus memahami faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku anak terhadap perawatan gigi dan mulut.
Faktor tersebut terdiri atas faktor anak, faktor keluarga, faktor tim dokter gigi,
serta faktor lingkungan klinik gigi (Budiyanti, 2001).
2.2.1 Faktor anak
a. Umur
Kematangan anak bisa dikelompokkan mengikuti kronologis tingkatan
usia sebagai berikut (Soeparmin, 2011):
1. Usia 2 tahun
Anak yang berusia dua tahun memiliki kosakata yang bervariasi dari 15
sampai 1000 kata. Anak pada periode ini takut pada gerakan mendadak yang
tidak terduga. Pergerakan mendadak pada kursi gigi(dental chair) tanpa
peringatan akan menimbulkan rasa takut, cahayayang terang juga terasa
menakutkan bagi anak. Memisahkan anak padausia ini dari orang tuanya
sangat sulit. Sebisa mungkin anak pada periodeusia dua tahun ditemani oleh
orang tua atau pendamping selama berada diruang perawatan.
2. Usia 3 tahun
Anak usia tiga tahun memiliki keinginan untuk berbicara dan
mendengarkan. Pada usia ini, sikap kooperatif muncul dan dokter gigi bisa
mulai menggunakan pendekatan positif dengan anak tersebut .
3. Usia 4 tahun
Seorang anak usia empat tahun umumnya mendengarkan dan tertarik
untuk menjelaskan. Jika tidak diatur dengan baik pada beberapa situasi anak
usia empat tahun bisa menjadi tidak patuh dan menentang.

4. Usia 5 tahun
Usia ini merupakan periode dari penggabungan, dimana anak pada usia
lima tahun senang melakukan aktifitas berkelompok dan siap berpartisipasi
didalamnya dan mereka juga memiliki sedikit rasa khawatir bila terpisah dari
orang tuanya saat melakukan perawatan gigi.
5. Usia 6 sampai 12 tahun
Biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap
prosedur perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yangakan
dilakukan dan alasan kenapa perawatan tersebut dilakukan. Faktor umur sangat
mempengaruhi perilaku anak terhadap perawatan gigidan mulut. Anak dengan
usia sangat muda sering menunjukkan perilaku kurang kooperatif terhadap
perawatan gigi dan mulut. Penelitian yang dilakukan oleh Mittal dan Sharma
pada tahun 2013 pada 180 anak usia 6 - 12 tahun menunjukkan bahwa semua
anak pada penelitian tersebut berperilaku kooperatiif. Sebanyak 92.22% anak
memiliki persepsi yang positif terhadap perawatan gigi dan mulut. Mereka
menunjukkan sikap senang dan bahagia. Bahkan lima anak di antara mereka
menunjukkan ambisi atau cita-citanya untuk menjadi dokter gigi (Mittal,
2012). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Klein yang mengatakan
bahwa terdapat persentase yang tinggi (52.23%) dari 111 anak-anakyang
berumur 3-6 yang menunjukkan perilaku negatif (Klein, 1967).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohammed juga menunjukkan
bahwa tingkat kecemasan berkurang seiring dengan bertambahnya umur.Hal
inijuga sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Liddell and Locker
berpendapat bahwa tingkat kecemasan dipengaruhi oleh umur. Selain itu
Gatchel et.al .mengemukakan bahwa 70% pasien yang berkunjung ke dokter
gigi menunjukkan rasa takut dan 15% menghindari berkunjung ke dokter gigi
karena rasa cemasnya (Mohammed, 2014).
Beberapa penelitian juga banyak mengemukakan bahwa masalah
perilaku terhadap perawatan gigi dan mulut paling banyak ditemukan pada usia
prasekolah. Meskipun begitu, anak-anak dengan usia sekolah sampai remaja
juga memperlihatkan perilaku yang bermasalah selama perawatan gigi dan

mulut karena komunikasi antara pasien dan dokter gigi tidak dibangun dengan
baik (Suprabha, 2011).
Penelitian ini juga semakin dipertegas dengan penelitian yang
dilakukan Lee et.al (2008) bahwa anak-anak yang berusia sangat muda
menunjukkan ekspresi takut yang tinggi terhadap perawatan gigi dan mulut.
Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Arapostathis et.al (2008) mengatakan
bahwa tingkat kecemasan pada anak tidak berkaitan dengan umur. Pengaruh
umur berkaitan dengan perkembangan psikologi yang belum matang pada
anak-anak.
b. Jenis Kelamin
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Azodo dan Unamatokpa
(2012) di Nigeria dari total 37 orang yang berkunjung ke dokter gigi, 21 orang
berjenis kelamin perempuan dan sisanya 16 orang berjenis kelamin laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengunjungi dokter gigi
disbanding laki-laki.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mohammed pada tahun
2014 di India sehubungan dengan jenis kelamin, bahwa pada populasi yang
diteliti, perempuan dinilai lebih tinggi tingkat ketakutannya terhadap tindakan
perawatan gigi dan mulut, tetapi analisis statistik menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam hal ini berkaitan dengan jenis kelamin. Hal
ini mungkin disebabkan karena perbedaan budaya.
c. Pengalaman perawatan gigi sebelumnya
Anak-anak yang memiliki pengalaman medis yang positif cenderung
bersifat kooperatif dengan dokter gigi. Berbeda dengan yang pernah mendapat
pengalaman buruk pada perawatan gigi dapat bersikap non kooperatif pada
perawatan selanjutnya sehingga memerlukan waktu untuk mengembalikan
kepercayaannya (Mathewson, 1995).
d. Jenis Perawatan
Penelitian yang dilakukan oleh Alaki et.al pada tahun 2012
menunjukkan bahwa ketika anak-anak ditanya tentang prosedur perawatan gigi
yang paling mengkhawatirkan adalah ekstraksi (43.5% laki-laki dan 64,6%

perempuan), diikuti dengan perawatan saluran akar (36,6% laki-laki dan 49,5%
perempuan), takut akan cedera gigi (31,2% dari laki-laki dan 43,9%
perempuan), suntikan (24,0% laki-laki dan 50,5% perempuan).
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa penyebab terbesar anak
cemas terhadap perawatan gigi dan mulut adalah tindakan ekstraksi. Dari hasil
ini dapat diketahui bahwa jenis perawatan yang berbeda juga berpotensi untuk
menghasilkan perilaku anak yang berbeda dalam merespon perawatan yang
dilakukan (Alaki, 2012).
e. Anak dengan penyakit yang melemahkan, penyandang cacat, atau menderita
gangguan perkembangan. Karena keparahan kondisinya, maka tidak dapat
diperoleh kerjasama dari mereka dengan cara biasa.
f. Ambang rasa sakit anak rendah sehingga biasanya mereka mudah berperilaku
tidak kooperatif.
2.2.2 Faktor keluarga
Perilaku anak tidak kooperatif dapat berasal dari orang tua maupun
lingkungan keluarga, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Soeparmin,
2011 & Budiyanti, 2001):
a. Rasa takut dan cemas orang tua atau anggota keluarga yang ditularkan anak
karena anak mudah sekali meniru orang-orang disekitarnya (orang tua, saudara
kandung, sanak saudara) yang dianggapnya sebagai contoh. Terdapat korelasi
yang kuat anatara rasa takut ibu dan rasa takut anak yang bisa menular pada
anaknya.
b. Tindakan orang tua yang mengancam anak dengan menggunakan kunjungan
kedokter gigi sebagai hukuman. Beberapa orang tua menggunakan dokter gigi
atauperawatan gigi untuk menakut-nakuti anaknya. Karena kunjungan ke
dokter gigi sering digunakan untuk mengancam anak agar berperilaku baik.
c. Membicarakan perawatan gigi di depan anak. Hal ini dapat menimbulkan
kecemasan, ketakutan, dan akibatnya anak menjadi tidak koperatif.
d. Sikap orang tua yang berpengaruh terhadap perawatan gigi dan mulut
anaknya,antara lain:

1. Orang tua yang otoriter


Sikap otoriter yang ditunjukkan orang tua biasanya membuat
seorang anak patuh, bertingkah laku baik, ramah, dan sopan. Sikap anak
yang seperti ini akan menerima perawatan dengan baik yang dilakukan oleh
dokter gigi, tetapi meskipun demikian dokter gigi harus bersikap tidak
menambah kecemasan yang mungkin akan dialami anak serta mengingatkan
orang tua untuk bersikap netral.
2. Orang tua yang terlalu sabar
Orang tua yang menunjukkan perhatian yang berlebihan kepada anak
dan segala permintaan/kebutuhan anak selalu dipenuhi, sehingga sikap yang
seperti ini akan membuat anak tidak mengalami perkembangan dalam
reaksinya. Perilaku anak akan menjadi pemarah, tidak memiliki kontrol diri
mempunyai keinginan yang berlebihan, menjadi lengah, dan tidak penurut.
Sikap orang tua yang demikian mengharuskan dokter gigi memberikan
pengertian kepada orangtua terhadap tindakan yang mungkin akan
dilakukan dalam perawatan, karenaanak dengan orang tua seperti ini
biasanya memiliki sikap suka menentang.
3. Orang tua yang lalai/ penolakan (rejection)
Sikap ini menunjukkan kurangnya perhatian orang tua terhadap
kesehatan gigi anaknya. Biasanya tipe orang tua seperti ini terlihat setelah
kunjungan pertama dan saat perjanjian kunjungan berikutnya anak tersebut
tidak kembali. Hal lain yang nampak adalah penyuluhan dan motivasimotivasi yang diberikan oleh dokter gigi tidak dijalankan dengan baik.
Penyebabnya mungkin diakibatkan oleh kesibukan orang tua sehingga
menjadi kurang perhatian terhadap anaknya. Anak yang sedikit terabaikan
oleh orang tuanya merasa rendah diri, dilupakan, pesimis dan memiliki rasa
percaya diri yang rendah. Pada perawatan gigi anak seperti ini bisa menjadi
tidak kooperatif, menyulitkan, dan susah diatur
4. Orang tua yang manipulatif
Orang tua yang manipulatif adalah orang tua yang suka bertanya
secara berlebihan dalam hal perawatan gigi, misalnya lama perawatan,

proses mendiagnosis penyakit, dan proses perawatan gigi. Keingintahuan


orang tua ini biasanya justru menyebabkan anak semakin cemas. Dokter gigi
harus mengatur situasi yang baik untuk berdiskusi dengan orang tua agar
mereka dapat mengerti dan mengenali prosedur perawatan gigi dengan baik.
5. Orang tua yang suka mencurigai
Merupakan orang tua yang mempertanyakan perlunya perawatan
gigi. Pertanyaan ini ini biasanya bukan karena keingintahuan dari orang tua
tetapi karena rasa ketidakpercayaannya terhadap dokter gigi.
6. Orang tua yang terlalu melindungi (overprotection)
Sikap terlalu melindungi ditunjukan oleh orang tua dengan terlalu
mencampuri dan mendominasi anak. Sikap seperti ini membuat anak akan
mengalami keterlambatan dalam pematangan sosial dan aturan-aturan sosial
anak akan memiliki perasaan selalu dibawah, merasa tidak berdaya, malu,
dan sering merasa cemas. Biasanya orang tua yang terlalu melindungi
memiliki perasaan cemas yang berlebihan, untuk itu dokter gigi harus
memberi lebih banyak waktu untuk menjelaskan hal-hal yang berhubungan
dengan perawatan gigi. Sebab jika rasa cemas pada orang tua berkurang
akan mengurangi kecemasan pada anak.
7. Orang tua yang terlalu cemas (overanxiety)
Sikap dari orang tua dengan perhatian yang berlebihan dan tidak
semestinya pada anak. Hal ini selalu diiringi dengan sikap terlalu
memanjakan anak, terlalu melindungi, atau terlalu ikut campur.
8. Orang tua yang terlalu mengidentifikasi (over identification)
Jika anak tidak mau mengikuti keinginannya, orang tua anak
tersebut merasa dikecewakan. Umumnya tingkah laku anak tercermin dalam
perasaan malu-malu, mengucilkan diri sendiri, pesimis, dan tidak percaya
diri.
Selain lingkungan keluarga, faktor yang bisa mempengaruhi perilaku anak
adalah teman sebayanya meski dalam derajat yang lebih kecil. Hal ini didapat
anak saat berinteraksi dengan teman sebayanya, terutama mereka yang sudah
pernah berkunjung ke dokter gigi. Mereka akan menceritakan pengalaman -

pengalaman saat berkunjung ke dokter gigi yang akan mempengaruhi


pembentukan perilaku teman yang mendengarkannya. (Soeparmin, 2014)
2.2.3 Faktor dokter gigi
Perilaku tidak kooperatif pasien anak bisa disebabkan oleh pengelolaan
yang kurang tepat oleh dokter gigi. Sikap dokter gigi yang kaku atau keras, kurang
sabar, kurang menunjukkan kehangatan dan perhatian dapat menyebabkan anak
bersikap negatif. Ketidaktepatan penanganan oleh dokter gigi juga dapat
disebabkan karena ketidakpahaman dokter gigi terhadap perilaku anak sehingga
dia tidak menangani pasien anak secara tepat (Budiyanti, 2001).
Pasien anak akan memperhatikan perilaku dokter gigi setiap kali mereka
berkunjung. Kunjungan pasien anak pada saat itu akan mempengaruhi perilaku
anak pada kunjungan berikutnya. Sehingga, dokter gigi harus mampu menjalin
komunikasi dan hubungan yang baik dengan pasien anak untuk memperoleh
perawatan gigi dan mulut yang optimal terutama paa kunjungan pertama anak ke
dokter gigi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan bersikap ramah,
bersahabat dan menyenangkan kepada mereka. Selain dengan motivasi lisan
seperti membujuk dan berempati, pasien anakjuga dapat diajak bekerja sama
dengan melakukan sentuhan fisik seperti menepuk pungggung (Zhou, 2011). Agar
dapat tercipta komunikasi yang baik oleh dokter gigi dengan pasien anak dan
orang tuanya terdapat syarat yang harus dipenuhi, yaitu (Budiayanti, 2001):
a. Positiveness (sikap positif)
Dokter gigi diharapkan mau menunjukkan sikap positif pada pesan
yang disampaikan oleh pasien anak atau orang tuanya seperti keluhan, usulan,
pendapat, pertanyaan.
b. Supportiveness (sikap mendukung)
Ketika pasien atau orang tua pasien anak Nampak ragu untuk
memutuskan sebuah pilihan tindakan, maka dokter gigi diharapkan
memberikan dukungan agar keraguan tersebut berkurang atau bahkan hilang.
c. Equality (keseimbangan antara pelaku komunikasi)

Antara dokter gigi, pasien, dan orang tua pasien tidak boleh ada
kedudukan yang sangat berbeda misalnya dokter yang menguasai semua
keadaan dan pasien yang tidak berdaya.
d. Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka)
Dokter gigi bila perlu juga mengatakan kesulitan yang dihadapinya
kepada orang tua/wali pasien saat menangani masalah pasien. Dengan
keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun kepercayaan dari pasien
anak dan orang tuanya.
2.2.4 Faktor lingkungan klinik gigi
Pada umumnya penyebab rasa takut dan rasa cemas dalam perawatan
gigipada anak timbul terutama pada alat yang dilihatnya, yang seperti akan
membuatnya merasa sakit. Situasi dan keadaan lingkungan perawatan gigi juga
berpengaruh timbulnya rasa takut dan cemas.Sebagai contoh ruang tunggu yang
pengap atau panas berbeda dengan ruang tunggu yang sejuk dan nyaman.
Kecemasan pasien anak terhadap perawatan gigi sering kali timbul karena
anak merasa takut berada di ruang praktik dokter gigi. Ruangan praktik dokter
gigi sebaiknya dibuat senyaman mungkin sehingga anak merasa seperti di
rumahnya sendiri. Ruangan praktik tersebut dibedakan antara ruang tunggu dan
ruang perawatan. Jika tempat praktik tidak terbatas hanya untuk pasien anak-anak,
salah satu metode yang efektif di antaranya adalah dengan pembuatan ruang
tunggu yang dibuat sedemikian rupa khusus untuk anak. Oleh karena itu dekorasi
ruangan sangat memegang peranan penting dan erat kaitannya dengan kondisi
psikologis mereka. Faktor lain yang seringkali menimbulkan rasa takut pada
perawatan gigi anak adalah keadaan lingkungan kamar praktik, seperti bau obatobatan, peralatan, bunyi bur,atau mesin (Mathewson, 1995).
2.3 Manajemen Perilaku Anak
Beberapa definisi telah dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Wright
yang mengatakan bahwa manajemen perilaku merupakan pelaksanaan perawatan
secara efektif dan efisien bagi seorang penderita sekaligus menanamkan sikap

positif terhadap perawatan. Dalam definisi ini tersirat kata-kata kunci yakni
(Lesmana, 2003):
a. Manajemen perilaku, melibatkan seluruh dental health team
b. Efektif, memberikan perawatan yang berkualitas tinggi
c. Efisien, diperlukan untuk menghemat waktu
d. Pengembangan sikap positif dari penderita untuk mempertahankan
kesehatan gigi dan mulutnya.
2.3.1 Dasar manajemen perilaku pada anak
Perawatan kesehatan gigi dan mulut anak secara dini sangat berguna bagi
anak yang masih dalam taraf tumbuh kembang. Untuk mencapai keberhasilan
dalam perawatan gigi dan mulut maka hendaknya doktergigi memahami konsep
Pedodontic Treatment Triangle. PedodonticTreatment Triangle (Gambar 2.1)
adalah gambaran hubungan antar komponen dalam segitiga perawatan pedodontik
dimana setiap komponen saling berhubungan erat, dimana posisi anak berada pada
puncak segitiga dan posisi orang tua serta dokter gigi berada pada masing-masing
sudut kaki segitiga. Garis menunjukan komunikasi berjalan dua arah antar
masing-masing komponen dan merupakan hubungan timbal balik. Anak menjadi
fokus dari dokter gigi dan dibantu oleh orang tua (Soeparmin, 2011).

Gambar 2.1 Pedodontic treatment triangle ( Soeparmin, 2011)

Perawatan gigi anak akan dipusatkan pada orientasi anak sebagai pasien
dan orangtuanya, dokter gigi akan bertindak untuk mengarahkan orang tua pada
perawatan yang diindikasikan kepada anaknya. Pada usia bayi sampai dengan 18
tahun diperlukan komunikasi dan kerja sama dari dokter gigi dengan anak dan
orang tua dalam perawatan gigi anak (Soeparmin, 2011).
Parameter bahwa perawatan gigi dan mulut pada anak telah berhasil
dilakukan antara lain: anak tidak mengalami keluhan fisik setelah perawatan,
perawatan yang diberikan efektif dan tepat, anak memahami cara merawat gigi
dan pencegahan dari penyakit serta kerusakan pada gigi, anak tidak merasa takut
pada perawatan gigi, menjadi pasien yang kooperatif dan dapat diajak
bekerjasama, secara umum keadaan gigi geligi anak menjadi sehat, gigi terawat,
jaringan lunak sehat. Untuk mencapai keberhasilan itu penerapan konsep
pedodontic treatment triangle saat menangani pasien anak perlu di tekankan agar
tercipta komunikasi efektif antar komponennya. (Soeparmin, 2011)
2.3.2 Teknik Pendekatan pada Anak dalam manajemen perilaku anak
Perawatan gigi dan mulut tidak dapat dilakukan sebelum anak berperilaku
kooperatif. Oleh karena itu dalam penanganan rasa takut yang merupakan
manifestasi anak menjadi tidak kooperatif, dokter gigi memerlukan suatu
pemahaman tahap perkembangan anak dan rasa takut berkaitan dengan usia,
penanganan pada kunjungan pertama, dan pendekatan selama perawatan.
Pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi dalam pengelolaan tingkah laku
anak dapat berupa pendekatan farmakologis dan non famakologis (Herdiyati,
2014).
1. Pendekatan farmakologis berupa premedikasi, penggunaan teknik sedasi
ataupun anastesi umum.
2. Pendekatan non farmakologis antara lain: komunikasi baik secara verbal
maupun non verbal, modelling, tell show do (TSD), distraksi, behaviour
shaping, Hand Over Mouth Exercise (HOME), reinforcement, restaint
(pengekangan), desensitisasi, kontrol suara, dan hipnotis

Teknik pendekatan ini bisa dilakukan pada semua anak, baik yang
kooperatif maupun yang tidak kooperatif yang masih bisa untuk diajak kerja
sama. Sedangkan untuk pasien yang tidak kooperatif teknik pendekatan yang
dipilih berupa teknik restraint (pengekangan), Hand Over Mouth Exercise
(HOME) bahkan tenik pendekatan secara farmakolog (Herdiyati, 2014). Sehingga
pemilihan teknik pendekatan yang efektif perlu dilakukan agar perawatan pada
anak bisa berhasil.
2.3.3 Teknik Pendekatan Farmakologi
Teknik pendekatan farmakologis berupa premedikasi, penggunaan teknik
sedasi ataupun anastesi umum.
a. Premedikasi
Penggunaan obat-obatan selain untuk menenangkan anak, juga dapat
mengurangi ketegangan anak sebagai akibat rasa takut. Indikasi premedikasi:
1. Mengurangi dan menghilangkan rasa sakit.
2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah.
3. Mengendalikan reflex yang dapat membahayakan pasien.
4. Perawatan yang membutuhkan perawatan panjang.
5. Membantu anak menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
6. Membantu anak sehingga memudahkan perawatan gigi.
7. Mengendalikan tingkah laku anak yang sulit diatasi.
Macam-macam golongan obat yang diberikan pada anak sebagai
premedikasi antara lain hydroxine, diazepam, promerazine, dan meperidine
b. Anestesi lokal
Diartikan sebagai obat yang bila diberikan pada lokasi yang
memerlukan anestesi lokal pada konsentrasi tertentu ke dalam jaringan
setempat akan mengakibatkan hilangnya rasa sakit setempat di daerah tertentu
dalam jangka waktu tertentu.
c. Anestesi umum

Bennet (1974) mendefinisikannya sebagai pemantauan timbal balik


terhadap ketidakakuratan kelumpuhan sel sistem saraf pusat. Terhadap
beberapa cara pemberian anestesi ke dalam tubuh yaitu:
1. Inhalasi: pemberian anestesi melalui saluran pernafasan.
2. Intravena: melalui pembuluh darah balik.
3. Rectal: melalui dubur (rectum).
4. Intramuscular: melalui otot secara suntikan.
5. Intraoral: melalui rongga mulut dengan menggunakan tablet.
Anestesi umum dapat diberikan pada pasien anak dengan 5 kriteria,
yaitu:
a.

Pasien; apakah ada kelainan fisik atau perilaku yang cukup serius dan
seringkali menghambat anak untuk berperilaku kooperatif.

b.

Prosedur; apakah pekerjaan perawatan akan dapat selesai dengan baik di


mana anak tidak mau berperilaku kooperatif.

c.

Tempat; fasilitas penyembuhan pasca perawatan.

d.

Personal; apakah dokter gigi dan staf cukup berpengalaman untuk


melakukan anestesi dan mampu untuk menanggulangi pra sewaktu dan
pasca pemberian anestesi.

e.

Persiapan; apakah pasien telah dipersiapkan emosi dan fisiknya


(pemeriksaan fisik dan laboratorium).

2.3.4 Teknik Pendekatan Non Farmakologi


Pendekatan non farmakologis antara lain: komunikasi baik secara verbal
maupun non verbal, modelling, tell show do (TSD), distraksi, behaviour shaping,
Hand Over Mouth Exercise (HOME), reinforcement, restaint (pengekangan),
desensitisasi, kontrol suara, dan hipnotis
Teknik pendekatan non farmakologi adalah membahas dan memfokuskan
pada anak sebagai pasien dan keluarganya di mana bekerja sama dengan dokter
gigi dan lingkungan penting sekali untuk mengetahui konsep dari segitiga
perawatan gigi anak yang menunjukkan bingkai dari keseluruhan. Beberapa
macam pendekatan non farmakoterapi adalah:

1.

Komunikasi
Phychology of communication (1972) berpendapat bahwa sewaktu-waktu
komunikasi terdiri atas transmitter (dokter gigi), medium (dental office) dan
penerima (anak). Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien anak
adalah kesanggupannya berkomunikasi dengan anak dan memperoleh rasa
percaya dari anak, sehingga anak berperilaku kooperatif. Komunikasi adalah
suatu proses dimana setiap orang dapat saling berbagi informasi, bertukar
pikiran, berbagi rasa dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Cara komunikasi dengan anak yang paling umum digunakan adalah cara
verbal yaitu melalui bahasa lisan. Banyak cara untuk memulai komunikasi
verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan tentang pakaian baru,
kakak, adik, benda atau binatang kesayangannya. Berbicara pada anak harus
disesuaikan dengan tingkat pemahamannya. Kadang diperlukan second
language terutama untuk anak kecil misalnya untuk melakukan anastesi pada
gigi sebelum pencabutan dapat digunakan istilah menidurkan gigi (Herdiyati,
2014).
Komunikasi tidak terbatas pada percakapan. Komunikasi nonverbal juga
dapat dilakukan misalnya dengan melakukan kontak mata dengan anak,
menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan, menggandeng
tangan anak sebelum mendudukkan ke kursi perawatan gigi, dan lain-lain.
Komunikasi yang dilakukan hendaknya dokter gigi memberikan pertanyaan
yang tidak terpaku pada jawaban ya atau tidak (Chadwik, 2003).
Beberapa teknik komunikasi yang efektif pada anak yaitu (Soeparmin,
2014):
1. Menciptakan komunikasi
Yakni mengikut sertakan anak dalam percakapan, diperlukan selain agar
dokter gigi dapat memahami pasien, juga sekaligus membuat anak jadi
lebih rileks. Banyak cara untuk menciptakan komunikasi verbal, dan
keefektivan dari komunikasi ini tergantung dari usia anak. Tahap awal
yang sangat baik untuk memulainya ialah dengan memberikan komentarkomentar yang bersifat pujian dan diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan

yang merangsang timbulnya jawaban dari anak, selain kata ya atau


tidak.
2. Melalui Komunikator
Biasanya, asisten dental yang berbicara dengan anak selama perjalanan
pasien dari ruang resepsionis sampai ke ruang operator dan juga selama
proses preparasi di dental unit.
3. Kejelasan pasien
Komunikasi ialah sesuatu yang kompleks dan multisensoris. Didalamnya
mencakup penyampai pesan (dokter gigi), media (kata-kata yang
diucapkan), dan penerima pesan (pasien). Pesan yang disampaikan harus
dapat dimengerti dengan satu pemikiran yang sama antara penyampai
pesan dan penerima pesan. Sangat sering digunakan eufimisme (pengganti
kata) untuk lebih dimengerti dalam menjelaskan prosedur terhadap pasien
muda. Berikut contohnya:
Terminologi dental = Kata ganti
a) alginate = puding
b) crown = gigi robot
c) bur = sikat kecil
d) radiograf = gambar gigi
e) anestesi = obat penidur untuk gigi
f) karies = kutu / cacing pada gigi
4. Kontrol suara
Dokter gigi sebaiknya mengeluarkan kata-kata yang tegas tetapi lembut,
agar dapat menarik perhatian anak atan memberhentikan si anak dari
segala aktivitas yang sedang dikerjakannya.
5. Komunikasi multisensory
Komunikasi verbal fokus pada apa yang diucapkan dan bagaimana katakata itu diucapkan. Komunikasi non-verbal juga dapat disampaikan
melalui kontak tubuh. Contohnya, dokter gigi meletakkan tangannya pada
pundak anak saat duduk di dental chair agar merasakan kehangatan dan

lebih merasa bersahabat. Kontak mata juga penting. Dokter gigi sebaiknya
menatap anak dengan tatapan lembut dan tidak melotot.
6. Masalah kepemilikan
Pada suatu masa, adakalanya dokter gigi lupa dengan siapa dia
berhadapan. Mereka memanggil kamu kepada anak tersebut. Panggillan
si anak dengan panggilan di rumahnya karena kata kamu lebih
mengimplikasikan bahwa anak tersebut salah.
7. Aktif mendengarkan
Mendengarkan juga penting dalam merawat anak. Aktif mendengarkan
ialah tahap kedua terbaik yang diungkapkan Wepman dan Sonnenberg
dalam teknik berkomunikasi. Sehingga pasien terstimulasi untuk
mengungkapkan apa yang dirasakannya.
8. Respon yang tepat
Dokter gigi juga harus memberikan respon yang positif terhadap apa-apa
yang diungkapkan anak.
2.

Modelling
Modelling merupakan prinsip psikolgis yaitu belajar dari pengamatan
model. Tujuan: untuk mengurangi dan menghilangkan rasa takut dan rasa
cemas yang tinggi. Anak diajak mengamati anak lain sebayanya yang sedang
dirawat giginya yang berperilaku kooperatif, baik secara langsung atau
melalui film dan video demonstrasi tentang perawatan gigi. Pengamatan
terhadap model yang diamati dapat memberikan pengaruh positif terhadap
perilaku anak. Teknik ini sangat memberikan efek pada anak-anak yang
berumur 3-5 tahun dan sangat baik digunakan pada saat kunjungan pertama
anak ke dokter gigi (Chadwik, 2003).

3.

Behaviour Shaping
Behaviour shaping adalah suatu cara yang dilakukan secara bertahap
untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan oleh dokter gigi selama
perawatan. Indikasi behaviour shaping adalah untuk anak yang kurang
dipersiapkan pada kunjungan pertama, anak yang mepunyai pengalaman yang
tidak menyenangkan terhadap dokter gigi pada perawatan sebelumnya dan

anak yang takut terhadap perawatan gigi akibat informasi orang tuanya
(Agniti, 2009).
Penanggulangan behaviour shaping adalah Tell Show Do. Cara ini
dikemukakan pertama kali oleh Adellson (1959). Cara Tell Show Do Juga
menggunakan beberapa konsep teori belajar, yaitu pendekatan dilakukan
secara perlahan-lahan. Dengan kunjungan yang berulang dan pengenalan
terhadap peralatan kedokteran gigi, dapat mengenalkan pasien terhadap
lingkungan. Hindari tindakan yang dapat menimbulkan rasa sakit, terutama
pada anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan mental. Teknik
ini digunakan secara rutin dalam memperkenalkan anak pada perawatan
profilaksis, yang selalu dipilih sebagai prosedur operatif pertama.
(Soeparmin, 2011)
4.

Retraining
Cara ini sebenarnya sama dengan cara behaviour shaping, tetapi
retraining terutama dilakukan pada anak yang menunjukkan rasa cemas atau
tingkah laku negatif yang cukup tinggi. Sikap yang ditunjukkan ini dapat
sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan pada waktu dilakukan
perawatan pertama kali terhadap giginya ataupun akibat dari keterangan
mengenai perawatan negatif maupun kekurangan dukungan dari orang tua
atau teman sebayanya (Herdiyati, 2014).
Apabila sumber penyebab tingkah laku tidak dapat ditentukan dengan
pasti, maka cara menaggulanginya dapat digunakan dengan cara lain, yaitu
dengan memberi perhatian dan kepercayaan yang lebih besar pada diri anak
(reemphasized), atau dengan cara mengalihkan perhatian anak (distraksi).
Rasa takut akan disakiti oleh dokter gigi yang ada pada pikiran anak jika tidak
segera diubah, anak akan menunjukkan tingkah laku yang negatif. Hal ini
harus diatasi dengan cara menanamkan kepercayaan pada diri anak. Dengan
demikian dokter gigi menanamkan kepercayaan pada diri anak sehingga anak
akan mengubah tingkah laku yang negatif menjadi kooperatif (Mappahijjah,
2010).

5.

Tell Show Do (TSD)

Konsep Tell Show Do (TSD) merupakan prosedur/teknik pendekatan


untuk merawat gigi anak yang sangat sederhana dan cukup efektif. Cara Tell
Show Do (TSD) ini dibagi dalam tiga tingkatan (Herdiyati, 2014):
a. Tell artinya mengatakan kepada anak dengan bahasa yang bisa
dimengerti oleh anak tersebut. Tentang apa yang akan dilakukan dan
bagaimana seharusnya anak tersebut bersikap. Dalam hal ini
dijelaskan juga alat-alat yang mungkin akan digunakan. Terkadang
langkah ini perlu diulang-ulang sampai dapat dimengerti oleh anak.
Semuanya diterangkan secara singkat, jelas dan padat agar terjadi
komunikasi yang lancer serta setiap kali anak akan menunjukkan hal
yang positif diberikan penghargaan.
b. Show artinya menunjukkan/ mendemonstrasikan objek sesuai dengan
yang diterangkan sebelumnya tanpa menimbulkan rasa takut serta apa
yang akan dilakukan padanya. Dalam hal ini dapat dipergunakan
model gigi, menunjukkan alat yang akan dipergunakan misalnya bur
dan kalau perlu dipegang pasien.
c. Do yaitu tahap akhir yang dilakukan jika tahap show telah dapat
diterima oleh anak. Pada tahap do, anak didiberikan perlakuan sesuai
dengan apa yang telah diceritakan maupun ditunjukkan.
Pada waktu melakukan TSD harus sesuai dengan yang diceritakan atau
ditunjukkan, jadi jangan sampai anak merasa dibohongi. Pendekatan dengan
cara TSD dapat dilakukan bersama-sama dengan cara modeling. Cara
pendekatan dengan TSD dapat diterapkan untuk semua jenis perawatan pada
anak kecuali melakukan suntikan.
Teknik perawatan ini adalah salah satu cara pendekatan yang biasa
dilakukan dengan membangun kepercayaan antara dokter gigi dan pasien.
Tujuan TSD adalah memungkinkan anak untuk mempelajari dan memahami
prosedur perawatan gigi dengan cara yang meminimalkan kecemasan.
Digunakan dengan penghargaan/imbalan, secara bertahap membentuk
perilaku anak terhadap penerimaan prosedur invasif lebih. Tell show do bisa
digunakan dengan semua pasien. Dapat digunakan untuk berurusan dengan

yang sudah ada kecemasan dan ketakutan, atau dengan pasien menghadapi
kedokteran gigi untuk pertama kalinya (Welbury, 2005).
6.

Distraksi
Teknik distraksi adalah suatu proses pengalihan dari fokus atau perhatian
pada nyeri ke stimulus yang lain. Distraksi digunakan untuk memusatkan
perhatian anak agar menghiraukan rasa nyeri. Beberapa teknik distraksi yang
dikenal dalam pendekatan pada anak antara lain distraksi visual seperti
melihat gambar di buku, bermain video games, distraksi pendengaran dengan
mendengarkan musik atau bercerita juga sangat efektif. Dokter gigi yang
berbicara selagi mengaplikasikan pasta topical ataupun anastesi local juga
menggunakan distraksi verbal (Chadwik, 2003).

7.

Desensitasi
Desentisasi secara tradisional digunakan untuk anak yang gelisah, takut,
ataupun fobia pada perawatan gigi. Prinsip ini dapat dengan mudah
dimanfaatkan oleh dokter gigi anak dengan semua pasien, untuk
meminimalkan

kemungkinan

bahwa

pasien

mungkin

menimbulkan

kecemasan. Kecemasan anak ditangani dengan memberikan serangkaian


pengalaman perawatan anak (Chadwik, 2003).
Tujuan desensitasi adalah untuk membantu anak mengatasi kecemasan
pada perawatan gigi dan untuk memberikan serangkaian pengalaman
mengatasi kecemasan anak pada perawatan gigi. Teknik ini bisa digunakan
pada semua pasien anak (Soeparmin, 2011).
Wolpe

(1969)

menamakan

cara

ini

dengan

istilah

sysfemic

desensitization, cara ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu :


a. latihlah pasien agar santai atau relaks
b. Menyusun secara berurutan hal-hal yang membuat pasien cemas
atau takut, yaitu dari hal yang paling menakutkan sampai ke hal
yang tidak begitu menakutkan.
c. Memberi rangsang dari hal yang tidak begitu menakutkan sampai
anak tidak merasa takut lagi dan rangsang ini dtingkatkan
menurut ukuran yang telah disusun tersebut di atas.

Melalui pengenalan bertahap yang berlangsung sampai beberapa kali


kunjungan, anak akan terbiasa dengan hal-hal yang membuat anak.pada
mulanya merasa takut dan cemas di lingkungan klinik gigi. Desensitasi adalah
cara yang paling sering digunakan untuk: mengatasi rasa takut dengan
pertama kali menghadirkan rangsangan yang menimbulkan suatu respon yang
ringan. Desensitasi meliputi: melatih pasien melemaskan otot, menyusun
hierarki rasa takut, dan mengerjakan berdasarkan hieraraki rasa takur. Ikatan
antara rangsangan dan rasa takut diperlemah perlahan-lahan dengan rileksasi
rasa takut dan relaksasi otot yang dalam hal ini adalah hal yang bertentangan
dan tidak akan terjadi bersama-sama. -ladi bagi kebanyakan anak
pemeriksaan visual akan didahului dengan pengqunaan kaca mulut dan probe,
diikuti dengan radiografi, karet poles profilaksis, fissure sealent, kemudian
barulah melakukan perawatan dengan anastesi local, rubber dam, dan
penambalan gigi (Herdiyati, 2014).
8.

Pengaturan Suara (Voice Control)


Nada suara dapat juga digunakan untuk mengubah perilaku anak.
Perubahan

nada

dan

volume

suara

dapat

digunakan

untuk

mengkomunikasikan perasaan kepada anak. Perintah yang tiba-tiba dan tegas


dapat mengejutkan dan menarik perhatian anak dengan cepat. Dengan adanya
perhatian anak yang diperoleh melalui intonasi tersebut, dokter gigi dapat
melanjutkan komunikasinya atau untuk menghentikan apa yang sudah
dilakukan oleh anak. Tujuannya untuk mengontrol perilaku mengganggu dan
untuk mendapatkan perhatian anak. Teknik ini dapat digunakan dengan
semua pasien (AAPD, 2011).
9.

Reinforcement
Merupakan tindakan untuk menghargai prestasi yang telah dicapai, agar
prestasi tersebut diulang. Pada umumnya anak akan senang jika prestasi yang
telah ditunjukkan dihargai dan diberi hadiah. Hal ini dapat meningkatkan
keberanian anak dan dipertahankan untuk perawatan dikemudian hari.
Reinforcement mempunyai keuntungan karena dokter gigi secara langsung

dapat mengontrol pemberian hadiah yang akan diberikan dipraktek untuk


meningkatkan frekwensi tingkah laku yang diinginkan (AAPD, 2011).
10. Hipnosis
Hipnosis adalah metode efektif dari pengaturan mengenai kecemasan dan
ketakutan kedokteran gigi pada anak-anak. Teknik ini membuat pasien lebih
merasa nyaman, dan pasien diperintahkan untuk berkosentrasi dan
memfokuskan pikiran. Keuntungan dari hipnosis ini adalah, memberikan rasa
nyaman, tidak mahal, dan bisa digunakan kapan saja dan dimana saja.
Hipnosis dapat diaplikasikan langsung oleh dokter gigi karena dapat
dipergunakan untuk menghilangkan rasa takut. Menyebabkan relax,
menimbulkan amnesia dan analgesia, mencegah penyumbatan dan nausea.
Anak-anak diatas umur 5 tahun telah menjadi subjek hipnosis yang
paling baik, karena gambaran kehidupan mereka merupakan bagian integral
dari hipnosis. Awal permulaan hipnosis dimulai dengan tehnik induksi.
Teknik ini membuat pasien berkonsentrasi lebih tenang dan terfokus pada
satu pemikiran. Dengan demikian membatasi sensori yang masuk hanya
menerima perintah hipnodontisf. Ini dilakukan dengan menyuruh subjek
menetapkan pandangannya pada objek, relax, dan menutup matanya, dan
membayangkan pemandangan, atau dengan mengindikasi pasien untuk lebih
dan lebih relax sehingga tangannya menutupi wajah (Zuhri, 2010).
Setelah pasien relax dan dalam keaadaan hipnotis, keaadaannya
diperdalam, sesekali diperdalam, pasien dapat memperlihatkan tugas yang
diinginkan dan diperlukan oleh dokte gigi. Sugesti post-hypnofic biasanya
diberikan pada titik ini. Itu dilakukan dengan memberi perintah untuk
menghilangkan

kecemasan.

Ini

berperan

penting

jika

dokter

gigi

menginginkan anak untuk rileks dan tidak cemas diantara kunjungan dental
(Zuhri, 2010).
Saat prosedur dental diselesaikan dengan tujuan hipnosis. Pasien menjadi
lebih terorientasi. Dokter gigi berkualitas, dapat menghilangkan kebiasaan
negatif pada pasien anak-anak dan menjadi nyaman dan rileks saat kunjungan
(Zuhri, 2010).

Caranya dengan memasukan sugesti-sugesti positif seperti sehat, tenang,


dan sebagainya. "Mental manusia itu seperti disket. Jika didalamnya ada
rekaman-rekaman file yang bersifat negatif, kita bisa menghapusnya, lalu
memasukkan program baru yang positif (Mapphijah, 2010).
11. Hand Over Mouth Exercise (HOME)
Hand Over Mouth Exercise (HOME) adalah suatu teknik manajemen
perilaku digunakan pada kasus yang selektif misalnya pada anak yang agresif
dan histeris yang tidak dapat ditangani secara langsung. Teknik ini juga
sering digunakan bersama teknik sedasi inhalasi. Tujuannya ialah untuk
mendapatkan perhatian dari anak sehingga komunikasi dapat dijalin dan
diperoleh kerjasama dalam melakukan perawatan yang aman. Teknik ini
hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan tidak boleh digunakan secara
rutin.
Hand Over Mouth Exercise digunakan untuk mencapai komunikasi
dengan anak-anak histeris atau mengamuk, dengan perkiraan usia anak
sekitar 3-6 tahun dan pada anak-anak yang mampu berkomunikasi yang
efektif. Kontraindikasi tindakan ini untuk setiap anak dengan kemampuan
mental dan penguasaan bahasa yang kurang yang berarti bahwa komunikasi
yang efektif tidak mungkin terjadi (Soeparmin, 2011).
Teknik ini dilakukan dengan cara menahan kursi anak yang melawan
dengan pelan tetapi kuat pada kursi perawatan gigi, dengan meletakkan
tangan (atau handuk) di atas mulutnya untuk menahan perlawanannya dan
berbicara dengan perlahan tetapi jelas ke dalam telinganya, dengan
mengatakan bahwa tangan akan diangkat segera setelah ia berhenti menangis.
Bila anak menanggapi dengan baik, tangan segera diangkat dan ia diberikan
pujian, jika melawan, ulangi lagi prosedur ini. Dalam penggunaan teknik
HOME perlu dipertimbangkan tentang : teknik alternatif penatalaksanaan
tingkah laku lainnya, kebutuhan pasien, pengaruh terhadap kualitas perawatan
gigi, perkembangan emosional pasien, dan psikis pasien (Andlaw, 1992).
Teknik ini sebaiknya jangan dipergunakan pada anak yang takut, bagi
anak seperti ini desensitasi atau metode metode lainnya lebih tepat. Karena

itu, pemeriksaan yang benar terhadap alasan mengapa anak bertingkah laku
tidak kooperatif penting sebelum mempergunakan teknik hand-over-mouth
(Andlaw, 1992).
12. Pengekangan (Restraint)
Pengekangan dalam kondisi lingkungan kedokteran gigi adalah suatu
tindakan fisik yang membatasi pergerakan tubuh anak dalam rangka
perawatan gigi dan mengurangi kemungkinan untuk terjadinya luka yang
tidak diinginkan pada anak atau dokter gigi. Hal ini mencakup beberapa
prosedur/dari menjaga kepala anak tetap pada posisi dengan satu tangan
sementara tangan yang lainnya melakukan suntikan, hingga membungkus
seluruh tubuh anak dengan penahan tubuh buatan khusus (Papoose Board)
atau dengan sprei. Hal ini umumnya dianggap bahwa penggunaan alat peraga
mulut pada pasien yang masih sadar tidak dianggap sebagai bentuk
pengekangan (Herdiyati, 2014).
Beberapa pendekatan lebih tegas hanya diajarkan sebagai bagian dari
pendidikan spesialisasi kedokteran gigi anak, dan hai ini menuai kritikan.
Tidak diragukan lagi bahwa penerimaan oleh orang tua, dan yang lebih
penting lagi, keberhasilan mereka dalam membantu untuk menanamkan
penerimaan positif dari kedokteran gigi kepada pasien anak, sebagian besar
tergantung pada kerangka pikiran dari dokter gigi ketika menggunakan teknik
ini. Jika penahanan diri dalam bentuk apapun yang digunakan pasien,
berdasarkan kemarahan atau frustrasi, maka fatal itu benar-benar tidak dapat
diterima. Itu harus diakui bahwa sikap orangtua terhadap pengelolaan anakanak mereka terus berubah, dan untuk mengakomodasi perubahan itu maka
akan disarankan bahwa istilah pengekangan harus dengan 'stabilisasi
pelindung' (Horax, 2011).
Indikasi (Horax, 2011) :
Dalam ulasan tentang pengekangan diri yang digunakan dalam berbagai
peraturan kesehatan, Connick et al. (2000) mengutip lima poin penting:
a. Hal ini hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan
b. Alternatif pengekangan yang paling ringanlah yang harus dipilih

c. Hal ini tidak boleh digunakan sebagai bentuk hukuman


d. Hal ini tidak boleh digunakan semata-mata untuk kenyamanan dari
tim kedokteran gigi
e. Para staf harus memonitor hal ini secara ketat untuk penggunaannya
Restraint mencakup (Horax, 2011 dan Herdiyati, 2014):
1) Pengekangan/pembalutan seluruh tubuh.
Pengekangan/pembatutan seluruh tubuh dengan Papoose Board adalah
teknik

pengendalian

yang

paling

diterima

oleh

orang

tua.

Pengekangan/pembalutan seluruh tubuh sering digunakan bersamaan


dengan sedasi untuk pasien yang memiliki kondisi handicapped secara
fisik atau mental untuk membantu mencegah gerakan anggota badan atau
kepala atau pada anak-anak yang sangat kecil sebagai alternatif untuk
obat penenang atau anestesi umum. Teknik ini dapat digunakan dengan
mudah untuk bahan seperti sprei, selimut anak itu sendiri atau papan
berlapis buatan'khusus seperti yang dijual komersial 'Papoose Board'.
2) Hand-Over-Mouth (HOM)
Ini adalah teknik lain dari pengekangan diri yang digunakan, dan salah
satu yang telah terpolarisasi selama beberapa dekade. Hal ini telah
dipromosikan dan juga diserang oleh berbagai pihak dengan berbagai
keyakinan. Tujuan dari teknik ini adalah untuk mendapatkan perhatian
dari seorang anak untuk memungkinkan adanya komunikasi. Mungkin
sebaiknya dijelaskan dalam hal penguatan negatif, di mana perilaku anak
yang menghentikan protesnya dan menjadi tenang diperkuat oleh
berhentinya

ketidaknyamanan

memprotes

keras

dan

dari

tidak

mengendalikan

diperbolehkannya

tubuhnya

sendiri.

untuk
Ketika

dihadapkan dengan pembangkangan atau anak yang marah-marah, dokter


gigi menempatkannya tangannya di atas mulut anak yang hanya cukup
untuk menahan kebisingan anak dan untuk memungkinkan komunikasi
yang efektif. Hal ini mungkin perlu diulang beberapa kali, dan kemudian
ketika anak tenang saat tangan dokter dilepaskan, maka setiap ada
kesempatan kemudian harus dimanfaatkan untuk memperkuat sikap

positif yang ditunjukkan oleh anak tersebut. Namun, jika setelah beberapa
pengulangan tingkat kecemasan anak meningkat sebaiknya dokter gigi
rnenghentikan teknik ini segera (Horax, 2011).
Tujuan restraint (pengekangan) adalah untuk mengontrol gerakan
fisik yang tidak diinginkan dari anak, baik untuk memfasilitasi perawatan
dan juga untuk mencegah bahaya yang dapat terjadi pada anak dan staf
kedokteran gigi. Pengekangan dilakukan ketika perawatan atau diagnosis
segera, diperlukan dan pasien tidak mampu untuk bekerja sama. Biasanya
dilakukan untuk menjamin keamanan pasien dan staf kedokteran gigi dan
mengontrol gerakan spontan dari pasien sedasi. pengekangan dilakukan
ketika sedasi atau anestesi umum tidak tersedia atau diizinkan oleh orang
tua (Horax, 2011).

BAB III
PEMBAHASAN
Makalah ini bertujuan untuk teknik pendekatan yang efektif pada anak dan
cara menanggulangi rasa cemas dan takutvpada anak dalam melakukan
perawatam ke dokter gigi. Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi praktisi kedokteran gigi di dalam menyikapi pasien anak yang datang ke
dokter gigi serta mengurangi rasa cemas dan takut anak. Pada dasarnya, macam
perawatan yang dilakukan pada anak-anak hampir sama dengan dewasa namun
yang membedakan hanya teknik pendekatan yang dilakukan dokter gigi pada
anak. Pendekatan ini dilakukan dokter gigi lebih lama untuk pasien anak serta
penanganannya tergantung dari tipe anak tersebut (Herdiyati, 2014).
Perbedaan antara perawatan yang dilakukan pada anak-anak dan
perawatan pada orang dewasa terletak pada hubungan dokter gigi dan pasien.
Perawatan untuk orang dewasa meliputi hubungan antara dokter-pasien (one to
one relationship), sedangkan perawatan terhadap anak-anak adalah hubungan
antara dokter gigi pasien anak orang tua/ orang yang mendampingi anak
tersebut (one to two relationship). Hal ini disebut segitiga perawatan anak. Pasien
anak, keluarga, dokter gigi dan lingkungan (Soeparmin, 2014).
Teknik pendekatan seperti komunikasi, modelling, Tell Show Do (TSD),
desensitisasi, behaviour shaping, reinforcement, retraining, kontrol suara, dan
hipnotis bisa dilakukan pada semua anak maupun pada anak yang tidak kooperatif
namun masih bisa untuk diajak kerja sama. Sedangkan teknik pendekatan seperti
restraint (pengekangan), Hand Over Mouth Exercise (HOME) bahkan tenik
pendekatan secara farmakologi seperti premedikasi dan sedasi hanya digunakan
untuk pasien - pasien khusus seperti pasien handicapped maupun pasien yang
sangat tidak kooperatif dan histeris (Herdiyati, 2014).
Pendekatan untuk membentuk tingkah laku anak agar dapat kooperatif
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan non farmakologis seperti dengan
modelling, desensitisasi, retraining, behaviour shaping, tell show do, dan
reinforcemenf serta penanganan yang sedikit kontroversial seperti hand over
mouth exercise ataupun pengekangan. Tell show do digunakan untuk pasien anak

yang sebelumnya memiliki pengalaman cemas ke dokter gigi ataupun pada pasien
yang baru pertama kali datang. Restraint atau pengekangan digunakan untuk
pasien yang sangat tidak kooperatif atau pada pasien handicapped.l
Kombinasi dari teknik pendekatan pada anak dalam perawatan
menunjukkan hasil yang jauh lebih baik. Penggunaan metode dengan
menggabungkan beberapa metode pada suatu paket perawatan. Pasien yang takut
diajarkan rileks dan kemudian menunjukkan film model disaat rileks. Modelling
dan desensitisasi dapat diterapkan sekaligus, dengan pengkombinasian dua cara
ini akan diperoleh hasil yang lebih memuaskan. Modeling dan desensitisasi juga
dapat mengurangi rasa cemas orang pada perawatan gigi anaknya. Merubah
perilaku dengan cara modelling dan desensitisasi dapat diterapkan baik di klinik
gigi maupun praktik pribadi (Narwaty, 2008).
Teknik pendekatan komunikasi bisa dikombinasikan pada semua teknik
pendekatan pada anak, baik itu komunikasi secara verbal maupun non verbal.
Komunikasi yang baik disertai kontrol suara yang tepat dapat membuat pasien
anak merasa nyaman, bisa menerima penjelasan, serta mau melakukan apa yang di
instruksikan oleh dokter gigi. Dimana komunikasi yang dilakukan juga harus
sesuai dengan anak. Pada anak usia pra sekolah (umur 2-6 tahun) komunikasi
yang dilakukan lebih sering digunakan pengganti kata biar anak lebih paham dan
menghindarkan kecemasan dan rasa takut. Sedangkan untuk anak usia sekolah (>6
tahun) komunikasi yang lebih ilmiah sudah mulai diterima. Selain komunikasi
verbal, komunikasi non verbal seperti tersenyum yang hangat, melakuakan kontak
mata dan lain-lain juga bisa meningkatkan keefektifan dalam pendekatan pada
anak.
Modeling bisa dilakukan pada semua anak dalam, terutama anak usia pra
sekolah pada saat kunjungan pertama anak ke dokter gigi. Selain itu modeling
cocok untuk memberikan contoh/demonstrasi tentang apa yang akan dilakukan
pada anak dan saat mengajarkan anak tentang suatu perawatan misalnya cara
menggosok gigi yang benar. Oleh karena itu teknik modeling ini bisa
dikombinasikan dengan teknik tell show do, dimana anak diberi penjelasan,
ditunjukkan caranya, baru kemudian perawatan dilakukan pada anak. Strategi ini

cocok diterapkan pada anak yang tidak kooperatif karena anak dirangsang untuk
menghilangkan rasa cemasnya sedikit demi sedikit, ditunjang dengan proses
sosialisasi yang baik antara dokter gigi, anak, dan orang tua. Untuk melengkapi
strategi ini bisa digunakan behaviour shapping, dimana hal-hal yang dilakukan
pada anak seperti TSD dilakukan secara bertahap dan berulang-ulang setiap
kunjungan agar kecemasan dan rasa takut anak terhadap perawatan berkurang
hingga hilang sama sekali. Apabila anak menunjukkan tingkat kecemasan yang
tinggi atau menjadi tidak kooperatif padahal sebelumnya anak sudah
menunjukkan kekooperatifannya, maka bisa dilakukan retraining agar anak
kembali kooperatif dan rasa percaya dirinya meningkat.
Selain itu juga bisa digunakan teknik desentisasi untuk mengatasi
kecemasan dan rasa takut anak dengan melatih anak agar relaks dengan
memberikan perawatan sesuai kecemasan anak. Pada teknik desentisasi sebaiknya
anak dikenalkan lebih dahulu dengan perawatan yang tidak terlampau
membuatnya takut dan cemas, dan saat kecemasan dan rasa takut itu sudah
berkurang baru dilakukan perawatan-perawatan yang lebih seperti pencabutan gigi
maupun penambalan pada kunjungan berikutnya.
Teknik pendekatan yang dilakukan pada anak bisa dikombinasikan dengan
teknik distraksi untuk mengalihkan focus anak agar tidak lebih memperhatikan
rasa cemas, takut maupun nyeri yang diterima saat perawatan gigi dan mulut.
Selain itu, reinforcement juga bisa dilakukan pada setiap perawatan maupun untuk
memberikan pujian atas perawatan yang telah berhasil dilakukan oleh anak
maupun ketika ada peningkatan dalam proses pembentukan sikap kooperatif anak
dengan memnggunakan teknik pendekatan yang lain. Hal ini dilakukan sebagai
penguatan bagi anak agar merasa senang dan meningkatkan keberanian anak.
Teknik pendekatan restraint (pengekangan) dan hand over mouth exercise
(HOME) dapat dilakukan pada anak yang mengalami rasa takut berlebihan dan
tidak kooperatif maupun pada anak yang handicapped. Teknik ini dilakukan
sebagai pilihan terakhir jika teknik-teknik pendekatan non farmakologi lain tidak
mampu membuat anak kooperatif dan mengurangi kecemasan dan rasa takutnya.
Teknik ini juga bisa dikombinasikan dengan teknik pendekatan farmakologi

seperti penggunaan anastesi umum. Penggunaan premedikasi seperti diazepam,


hydroxine dan lain-lain juga bisa digunakan untuk pendekatan pada anak untuk
mengurangi kecemasan dan rasa takutnya. Tapi penggunaan teknik pendekatan
farmakologi ini harus melalui pertimbangan yang matang.
Hipnotis sekarang ini juga mulai dikembangkan sebagai teknik pendekatan
pada anak. Teknik ini bisa membuat anak merasa lebih relaks bahkan dapat
memberikan sugesti-sugesti positif agar anak lebih kooperatif. Teknik ini bisa
digunakan pada semua pasien anak yang bisa diajak kerja sama.
Dasar dari menerapkan perilaku dentistry terhadap anak-anak adalah
dengan membentuk kemampuan untuk dapat mengarahkan mereka melalui
pengalaman dental mereka. Pada jangka pendek kemampuan tersebut adalah
prasyarat untuk menghasilkan kebutuhan perawatan gigi dan mulut bagi mereka
dalam waktu segera mungkin pada jangka panjang efek keuntungan dapat
diperoleh ketika bibit-bibit untuk kesehatan gigi kedepannya ditanam mulai dari
kecil. Selain itu, pemilihan cara pendekatan manajemen tingkah laku anak yang
tepat tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan dari perawatan gigi dan mulut.
Rasa empati, pengetahuan, pembawaan, dan kemampuan dokter gigi juga turut
mempengaruhi pengendalian perilaku anak dalam perawatan gigi dan mulut
(Herdiyati, 2014).

BAB IV
KESIMPULAN
Teknik pendekatan yang efektif pada pasien anak untuk menanggulangi
kecemasan dan rasa takut anak sebaiknya menggunakan kombinasi dari beberapa
teknik pendekatan agar didapatkan hasil yang maksimal. Teknik pendekatan
seperti komunikasi, modelling, Tell Show Do (TSD), desensitisasi, behaviour
shaping, reinforcement, retraining, kontrol suara, dan hipnotis bisa dilakukan
pada semua anak maupun pada anak yang tidak kooperatif namun masih bisa
untuk diajak kerja sama. Sedangkan teknik pendekatan seperti restraint
(pengekangan), Hand Over Mouth Exercise (HOME) bahkan tenik pendekatan
secara farmakologi seperti premedikasi dan sedasi hanya digunakan untuk pasien pasien khusus seperti pasien handicapped maupun pasien yang sangat tidak
kooperatif dan histeris.

Anda mungkin juga menyukai