Oleh:
Liananta Chayriyah
101611101050
Instruktur:
drg. Berlian P., Sp.KGA
KLINIK PEDODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dokter gigi yang akan melakukan perawatan pada anak anak, seringkali
menghadapi keadaan dimana anak akan merasa cemas dan takut terutama saat
bertemu untuk pertama kalinya. Rasa cemas dan takut ini bisa disebabkan oleh
pengalaman buruk anak, usia anak, rasa takut dan kecemasan berlebihan dari
keluarga terutama orang tua anak ketika anaknya dirawat, bahkan rasa cemas dan
takut ini bisa disebabkan oleh pengelolaan yang kurang tepat oleh dokter gigi
(Soeparmin, 2014). Rasa cemas dan takut ini juga akan dirasakan pada kunjungan
berikutnya apabila pada kunjungan yang pertama, dia mendapatkan pengalaman
yang kurang menyenangkan (Simon, 2014). Kecemasan pada anak selama
perawatan gigi dapat menyebabkan anak bersikap tidak kooperatif sehingga
menghambat proses perawatan (Raducanu, 2009).
Teknik pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi bisa dilakukan
baik dengan pendekatan farmakologi maupun dengan non farmakologi.
Pendekatan pada anak secara farmakologi dapat berupa premedikasi, sedasi
ataupun anastesi umum. Sedangkan teknik pendekatan non farmakologi dapat
berupa komunikasi baik secara verbal maupun non verbal, modelling, Tell Show
Do (TSD), Hand Over Mouth Exercise (HOME), distraksi, behavior shaping,
reinforcement, restraint (pengekangan), retraining, desensitisasi, kontrol suara,
bahkan dengan hipnotis (Herdiyati, 2014). Teknik pendekatan ini bisa dilakukan
pada semua anak, baik yang kooperatif maupun yang tidak kooperatif yang masih
bisa untuk diajak kerja sama. Sedangkan untuk pasien yang tidak kooperatif
teknik pendekatan yang dipilih berupa teknik restraint (pengekangan), Hand Over
Mouth Exercise (HOME) bahkan teknik pendekatan secara farmakologi seperti
sedasi (Herdiyati, 2014).
Penatalaksanan tingkah laku pasien merupakan salah satu faktor penting
dalam ilmu kedokteran gigi anak. Tanpa kerja sama yang baik dari pasien, maka
perawatan gigi yang dilakukan akan sulit untuk berhasil. Keberhasilan dalam
memberikan pelayanan kesehatan gigi bagi anak-anak tergantung pada cara kita
dalam menghadapi dan menangani anak-anak tersebut. Selain itu, untuk mencapai
keberhasilan dalam perawatan gigi terdapat tiga komponen yang harus bekerja
sama, agar perawatan dapat berlangsung dengan lancar. Komponen tersebut
digambarkan dalam bentuk segitiga yang dikenal sebagai segitiga perawatan gigi
anak (Pedodontic Treatment Triangle) yakni anak, keluarga, dan dokter gigi.
Segitiga tersebut saling berhubungan secara dinamik (Soeparmin, 2011).
Pemilihan teknik pendekatan yang tepatpun perlu dilakukan agar perawatan bisa
berhasil. Rasa empati, pengetahuan, pembawaan, dan kemampuan dokter gigi juga
turut mempengaruhi dalam melakukan pendekatan pada anak sehingga
keberhasilan perawatan bisa tercapai (Herdiyati, 2014).
Perawatan yang maksimal dapat tercapai apabila terdapat kerjasama yang
baik antara pasien dan dokter gigi sehingga dokter gigi perlu untuk mengetahui
teknik pendekatan yang efektif agar dapat menangani pasien anak dengan baik,
mengurangi
ketakutannya,
dan
menanggulangi
tingkah
lakunya
serta
menumbuhkan rasa percaya diri anak untuk tidak takut melakukan perawatan ke
dokter gigi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
pada makalah ini yaitu bagaimana teknik pendekatan yang efektif pada pasien
anak dan cara menanggulangi rasa cemas dan takut pada anak dalam melakukan
perawatan ke dokter gigi?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui teknik pendekatan pada
pasien anak yang efektif dan cara menanggulangi rasa cemas dan takut pada anak
perawatan ke dokter gigi.
1.4 Manfaat Makalah
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat yakni ;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Perilaku Anak terhadap Perawatan Gigi dan Mulut
Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman dan interaksi
manusia dengan lingkungannya. Wujudnya bisa berupa pengetahuan, sikap,
dantindakan. Perilaku manusia cenderung bersifat menyeluruh (holistik). Perilaku
manusia merupakan pencerminan dari berbagai unsur kejiwaan yang mencakup
hasrat, sikap, reaksi, rasa takut, atau cemas, dan sebagainya. Oleh karena itu,
perilaku manusia dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor-faktor yang ada dalam diri
manusia atau unsur kejiwaannya (Budhiarto, 2008).
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
berhubungan dengan konsep sehat, sakit, dan penyakit. Sedangkan perilaku
kesehatan gigi adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan yang berkaitan dengan
konsep sehatdan sakit gigi serta upaya pencegahannya. Bentuk operasional dari
perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga wujud, yaitu (Budhiarto, 2008):
a. Perilaku dalam wujud pengetahuan yakni dengan mengetahui situasi dan
rangsangan dari luar yang berupa konsep sehat, sakit, dan penyakit.
b. Perilaku dalam wujud sikap yakni tanggapan batin terhadap rangsangan
dari luaryang dipengaruhi faktor lingkungan: fisik yaitu kondisi alam;
biologis yang berkaitan dengan makhluk hidup lainnya; dan lingkungan
sosial yang berkaitan dengan masyarakat sekitarnya.
c. Perilaku dalam wujud tindakan yang sudah nyata, yakni berupa perbuatan
terhadap situasi atau rangsangan luar.
Setiap anak yang datang berkunjung ke dokter gigi memiliki kondisi
kesehatan gigi yang berbeda-beda dan akan memperlihatkan perilaku yang
berbedapula terhadap perwatan gigi yang akan diberikan. Ada anak yang bersikap
kooperatif terhadap perawatan gigi dan ada juga yang menolak untuk dilakukan
pemeriksaan gigi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik dari
internal anak itu sendiri maupun dari eksternal seperti pengaruh orang tua, dokter
gigi, maupun lingkungan klinik gigi. Perilaku anak tersebut ada kalanya dapat
enggan
menerima
perawatan,
bersikap
tidak
kooperatif,
b.
c.
d.
e.
f.
4. Usia 5 tahun
Usia ini merupakan periode dari penggabungan, dimana anak pada usia
lima tahun senang melakukan aktifitas berkelompok dan siap berpartisipasi
didalamnya dan mereka juga memiliki sedikit rasa khawatir bila terpisah dari
orang tuanya saat melakukan perawatan gigi.
5. Usia 6 sampai 12 tahun
Biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap
prosedur perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yangakan
dilakukan dan alasan kenapa perawatan tersebut dilakukan. Faktor umur sangat
mempengaruhi perilaku anak terhadap perawatan gigidan mulut. Anak dengan
usia sangat muda sering menunjukkan perilaku kurang kooperatif terhadap
perawatan gigi dan mulut. Penelitian yang dilakukan oleh Mittal dan Sharma
pada tahun 2013 pada 180 anak usia 6 - 12 tahun menunjukkan bahwa semua
anak pada penelitian tersebut berperilaku kooperatiif. Sebanyak 92.22% anak
memiliki persepsi yang positif terhadap perawatan gigi dan mulut. Mereka
menunjukkan sikap senang dan bahagia. Bahkan lima anak di antara mereka
menunjukkan ambisi atau cita-citanya untuk menjadi dokter gigi (Mittal,
2012). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Klein yang mengatakan
bahwa terdapat persentase yang tinggi (52.23%) dari 111 anak-anakyang
berumur 3-6 yang menunjukkan perilaku negatif (Klein, 1967).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohammed juga menunjukkan
bahwa tingkat kecemasan berkurang seiring dengan bertambahnya umur.Hal
inijuga sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Liddell and Locker
berpendapat bahwa tingkat kecemasan dipengaruhi oleh umur. Selain itu
Gatchel et.al .mengemukakan bahwa 70% pasien yang berkunjung ke dokter
gigi menunjukkan rasa takut dan 15% menghindari berkunjung ke dokter gigi
karena rasa cemasnya (Mohammed, 2014).
Beberapa penelitian juga banyak mengemukakan bahwa masalah
perilaku terhadap perawatan gigi dan mulut paling banyak ditemukan pada usia
prasekolah. Meskipun begitu, anak-anak dengan usia sekolah sampai remaja
juga memperlihatkan perilaku yang bermasalah selama perawatan gigi dan
mulut karena komunikasi antara pasien dan dokter gigi tidak dibangun dengan
baik (Suprabha, 2011).
Penelitian ini juga semakin dipertegas dengan penelitian yang
dilakukan Lee et.al (2008) bahwa anak-anak yang berusia sangat muda
menunjukkan ekspresi takut yang tinggi terhadap perawatan gigi dan mulut.
Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Arapostathis et.al (2008) mengatakan
bahwa tingkat kecemasan pada anak tidak berkaitan dengan umur. Pengaruh
umur berkaitan dengan perkembangan psikologi yang belum matang pada
anak-anak.
b. Jenis Kelamin
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Azodo dan Unamatokpa
(2012) di Nigeria dari total 37 orang yang berkunjung ke dokter gigi, 21 orang
berjenis kelamin perempuan dan sisanya 16 orang berjenis kelamin laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengunjungi dokter gigi
disbanding laki-laki.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mohammed pada tahun
2014 di India sehubungan dengan jenis kelamin, bahwa pada populasi yang
diteliti, perempuan dinilai lebih tinggi tingkat ketakutannya terhadap tindakan
perawatan gigi dan mulut, tetapi analisis statistik menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam hal ini berkaitan dengan jenis kelamin. Hal
ini mungkin disebabkan karena perbedaan budaya.
c. Pengalaman perawatan gigi sebelumnya
Anak-anak yang memiliki pengalaman medis yang positif cenderung
bersifat kooperatif dengan dokter gigi. Berbeda dengan yang pernah mendapat
pengalaman buruk pada perawatan gigi dapat bersikap non kooperatif pada
perawatan selanjutnya sehingga memerlukan waktu untuk mengembalikan
kepercayaannya (Mathewson, 1995).
d. Jenis Perawatan
Penelitian yang dilakukan oleh Alaki et.al pada tahun 2012
menunjukkan bahwa ketika anak-anak ditanya tentang prosedur perawatan gigi
yang paling mengkhawatirkan adalah ekstraksi (43.5% laki-laki dan 64,6%
perempuan), diikuti dengan perawatan saluran akar (36,6% laki-laki dan 49,5%
perempuan), takut akan cedera gigi (31,2% dari laki-laki dan 43,9%
perempuan), suntikan (24,0% laki-laki dan 50,5% perempuan).
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa penyebab terbesar anak
cemas terhadap perawatan gigi dan mulut adalah tindakan ekstraksi. Dari hasil
ini dapat diketahui bahwa jenis perawatan yang berbeda juga berpotensi untuk
menghasilkan perilaku anak yang berbeda dalam merespon perawatan yang
dilakukan (Alaki, 2012).
e. Anak dengan penyakit yang melemahkan, penyandang cacat, atau menderita
gangguan perkembangan. Karena keparahan kondisinya, maka tidak dapat
diperoleh kerjasama dari mereka dengan cara biasa.
f. Ambang rasa sakit anak rendah sehingga biasanya mereka mudah berperilaku
tidak kooperatif.
2.2.2 Faktor keluarga
Perilaku anak tidak kooperatif dapat berasal dari orang tua maupun
lingkungan keluarga, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Soeparmin,
2011 & Budiyanti, 2001):
a. Rasa takut dan cemas orang tua atau anggota keluarga yang ditularkan anak
karena anak mudah sekali meniru orang-orang disekitarnya (orang tua, saudara
kandung, sanak saudara) yang dianggapnya sebagai contoh. Terdapat korelasi
yang kuat anatara rasa takut ibu dan rasa takut anak yang bisa menular pada
anaknya.
b. Tindakan orang tua yang mengancam anak dengan menggunakan kunjungan
kedokter gigi sebagai hukuman. Beberapa orang tua menggunakan dokter gigi
atauperawatan gigi untuk menakut-nakuti anaknya. Karena kunjungan ke
dokter gigi sering digunakan untuk mengancam anak agar berperilaku baik.
c. Membicarakan perawatan gigi di depan anak. Hal ini dapat menimbulkan
kecemasan, ketakutan, dan akibatnya anak menjadi tidak koperatif.
d. Sikap orang tua yang berpengaruh terhadap perawatan gigi dan mulut
anaknya,antara lain:
Antara dokter gigi, pasien, dan orang tua pasien tidak boleh ada
kedudukan yang sangat berbeda misalnya dokter yang menguasai semua
keadaan dan pasien yang tidak berdaya.
d. Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka)
Dokter gigi bila perlu juga mengatakan kesulitan yang dihadapinya
kepada orang tua/wali pasien saat menangani masalah pasien. Dengan
keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun kepercayaan dari pasien
anak dan orang tuanya.
2.2.4 Faktor lingkungan klinik gigi
Pada umumnya penyebab rasa takut dan rasa cemas dalam perawatan
gigipada anak timbul terutama pada alat yang dilihatnya, yang seperti akan
membuatnya merasa sakit. Situasi dan keadaan lingkungan perawatan gigi juga
berpengaruh timbulnya rasa takut dan cemas.Sebagai contoh ruang tunggu yang
pengap atau panas berbeda dengan ruang tunggu yang sejuk dan nyaman.
Kecemasan pasien anak terhadap perawatan gigi sering kali timbul karena
anak merasa takut berada di ruang praktik dokter gigi. Ruangan praktik dokter
gigi sebaiknya dibuat senyaman mungkin sehingga anak merasa seperti di
rumahnya sendiri. Ruangan praktik tersebut dibedakan antara ruang tunggu dan
ruang perawatan. Jika tempat praktik tidak terbatas hanya untuk pasien anak-anak,
salah satu metode yang efektif di antaranya adalah dengan pembuatan ruang
tunggu yang dibuat sedemikian rupa khusus untuk anak. Oleh karena itu dekorasi
ruangan sangat memegang peranan penting dan erat kaitannya dengan kondisi
psikologis mereka. Faktor lain yang seringkali menimbulkan rasa takut pada
perawatan gigi anak adalah keadaan lingkungan kamar praktik, seperti bau obatobatan, peralatan, bunyi bur,atau mesin (Mathewson, 1995).
2.3 Manajemen Perilaku Anak
Beberapa definisi telah dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Wright
yang mengatakan bahwa manajemen perilaku merupakan pelaksanaan perawatan
secara efektif dan efisien bagi seorang penderita sekaligus menanamkan sikap
positif terhadap perawatan. Dalam definisi ini tersirat kata-kata kunci yakni
(Lesmana, 2003):
a. Manajemen perilaku, melibatkan seluruh dental health team
b. Efektif, memberikan perawatan yang berkualitas tinggi
c. Efisien, diperlukan untuk menghemat waktu
d. Pengembangan sikap positif dari penderita untuk mempertahankan
kesehatan gigi dan mulutnya.
2.3.1 Dasar manajemen perilaku pada anak
Perawatan kesehatan gigi dan mulut anak secara dini sangat berguna bagi
anak yang masih dalam taraf tumbuh kembang. Untuk mencapai keberhasilan
dalam perawatan gigi dan mulut maka hendaknya doktergigi memahami konsep
Pedodontic Treatment Triangle. PedodonticTreatment Triangle (Gambar 2.1)
adalah gambaran hubungan antar komponen dalam segitiga perawatan pedodontik
dimana setiap komponen saling berhubungan erat, dimana posisi anak berada pada
puncak segitiga dan posisi orang tua serta dokter gigi berada pada masing-masing
sudut kaki segitiga. Garis menunjukan komunikasi berjalan dua arah antar
masing-masing komponen dan merupakan hubungan timbal balik. Anak menjadi
fokus dari dokter gigi dan dibantu oleh orang tua (Soeparmin, 2011).
Perawatan gigi anak akan dipusatkan pada orientasi anak sebagai pasien
dan orangtuanya, dokter gigi akan bertindak untuk mengarahkan orang tua pada
perawatan yang diindikasikan kepada anaknya. Pada usia bayi sampai dengan 18
tahun diperlukan komunikasi dan kerja sama dari dokter gigi dengan anak dan
orang tua dalam perawatan gigi anak (Soeparmin, 2011).
Parameter bahwa perawatan gigi dan mulut pada anak telah berhasil
dilakukan antara lain: anak tidak mengalami keluhan fisik setelah perawatan,
perawatan yang diberikan efektif dan tepat, anak memahami cara merawat gigi
dan pencegahan dari penyakit serta kerusakan pada gigi, anak tidak merasa takut
pada perawatan gigi, menjadi pasien yang kooperatif dan dapat diajak
bekerjasama, secara umum keadaan gigi geligi anak menjadi sehat, gigi terawat,
jaringan lunak sehat. Untuk mencapai keberhasilan itu penerapan konsep
pedodontic treatment triangle saat menangani pasien anak perlu di tekankan agar
tercipta komunikasi efektif antar komponennya. (Soeparmin, 2011)
2.3.2 Teknik Pendekatan pada Anak dalam manajemen perilaku anak
Perawatan gigi dan mulut tidak dapat dilakukan sebelum anak berperilaku
kooperatif. Oleh karena itu dalam penanganan rasa takut yang merupakan
manifestasi anak menjadi tidak kooperatif, dokter gigi memerlukan suatu
pemahaman tahap perkembangan anak dan rasa takut berkaitan dengan usia,
penanganan pada kunjungan pertama, dan pendekatan selama perawatan.
Pendekatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi dalam pengelolaan tingkah laku
anak dapat berupa pendekatan farmakologis dan non famakologis (Herdiyati,
2014).
1. Pendekatan farmakologis berupa premedikasi, penggunaan teknik sedasi
ataupun anastesi umum.
2. Pendekatan non farmakologis antara lain: komunikasi baik secara verbal
maupun non verbal, modelling, tell show do (TSD), distraksi, behaviour
shaping, Hand Over Mouth Exercise (HOME), reinforcement, restaint
(pengekangan), desensitisasi, kontrol suara, dan hipnotis
Teknik pendekatan ini bisa dilakukan pada semua anak, baik yang
kooperatif maupun yang tidak kooperatif yang masih bisa untuk diajak kerja
sama. Sedangkan untuk pasien yang tidak kooperatif teknik pendekatan yang
dipilih berupa teknik restraint (pengekangan), Hand Over Mouth Exercise
(HOME) bahkan tenik pendekatan secara farmakolog (Herdiyati, 2014). Sehingga
pemilihan teknik pendekatan yang efektif perlu dilakukan agar perawatan pada
anak bisa berhasil.
2.3.3 Teknik Pendekatan Farmakologi
Teknik pendekatan farmakologis berupa premedikasi, penggunaan teknik
sedasi ataupun anastesi umum.
a. Premedikasi
Penggunaan obat-obatan selain untuk menenangkan anak, juga dapat
mengurangi ketegangan anak sebagai akibat rasa takut. Indikasi premedikasi:
1. Mengurangi dan menghilangkan rasa sakit.
2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah.
3. Mengendalikan reflex yang dapat membahayakan pasien.
4. Perawatan yang membutuhkan perawatan panjang.
5. Membantu anak menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
6. Membantu anak sehingga memudahkan perawatan gigi.
7. Mengendalikan tingkah laku anak yang sulit diatasi.
Macam-macam golongan obat yang diberikan pada anak sebagai
premedikasi antara lain hydroxine, diazepam, promerazine, dan meperidine
b. Anestesi lokal
Diartikan sebagai obat yang bila diberikan pada lokasi yang
memerlukan anestesi lokal pada konsentrasi tertentu ke dalam jaringan
setempat akan mengakibatkan hilangnya rasa sakit setempat di daerah tertentu
dalam jangka waktu tertentu.
c. Anestesi umum
Pasien; apakah ada kelainan fisik atau perilaku yang cukup serius dan
seringkali menghambat anak untuk berperilaku kooperatif.
b.
c.
d.
e.
1.
Komunikasi
Phychology of communication (1972) berpendapat bahwa sewaktu-waktu
komunikasi terdiri atas transmitter (dokter gigi), medium (dental office) dan
penerima (anak). Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien anak
adalah kesanggupannya berkomunikasi dengan anak dan memperoleh rasa
percaya dari anak, sehingga anak berperilaku kooperatif. Komunikasi adalah
suatu proses dimana setiap orang dapat saling berbagi informasi, bertukar
pikiran, berbagi rasa dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Cara komunikasi dengan anak yang paling umum digunakan adalah cara
verbal yaitu melalui bahasa lisan. Banyak cara untuk memulai komunikasi
verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan tentang pakaian baru,
kakak, adik, benda atau binatang kesayangannya. Berbicara pada anak harus
disesuaikan dengan tingkat pemahamannya. Kadang diperlukan second
language terutama untuk anak kecil misalnya untuk melakukan anastesi pada
gigi sebelum pencabutan dapat digunakan istilah menidurkan gigi (Herdiyati,
2014).
Komunikasi tidak terbatas pada percakapan. Komunikasi nonverbal juga
dapat dilakukan misalnya dengan melakukan kontak mata dengan anak,
menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan, menggandeng
tangan anak sebelum mendudukkan ke kursi perawatan gigi, dan lain-lain.
Komunikasi yang dilakukan hendaknya dokter gigi memberikan pertanyaan
yang tidak terpaku pada jawaban ya atau tidak (Chadwik, 2003).
Beberapa teknik komunikasi yang efektif pada anak yaitu (Soeparmin,
2014):
1. Menciptakan komunikasi
Yakni mengikut sertakan anak dalam percakapan, diperlukan selain agar
dokter gigi dapat memahami pasien, juga sekaligus membuat anak jadi
lebih rileks. Banyak cara untuk menciptakan komunikasi verbal, dan
keefektivan dari komunikasi ini tergantung dari usia anak. Tahap awal
yang sangat baik untuk memulainya ialah dengan memberikan komentarkomentar yang bersifat pujian dan diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan
lebih merasa bersahabat. Kontak mata juga penting. Dokter gigi sebaiknya
menatap anak dengan tatapan lembut dan tidak melotot.
6. Masalah kepemilikan
Pada suatu masa, adakalanya dokter gigi lupa dengan siapa dia
berhadapan. Mereka memanggil kamu kepada anak tersebut. Panggillan
si anak dengan panggilan di rumahnya karena kata kamu lebih
mengimplikasikan bahwa anak tersebut salah.
7. Aktif mendengarkan
Mendengarkan juga penting dalam merawat anak. Aktif mendengarkan
ialah tahap kedua terbaik yang diungkapkan Wepman dan Sonnenberg
dalam teknik berkomunikasi. Sehingga pasien terstimulasi untuk
mengungkapkan apa yang dirasakannya.
8. Respon yang tepat
Dokter gigi juga harus memberikan respon yang positif terhadap apa-apa
yang diungkapkan anak.
2.
Modelling
Modelling merupakan prinsip psikolgis yaitu belajar dari pengamatan
model. Tujuan: untuk mengurangi dan menghilangkan rasa takut dan rasa
cemas yang tinggi. Anak diajak mengamati anak lain sebayanya yang sedang
dirawat giginya yang berperilaku kooperatif, baik secara langsung atau
melalui film dan video demonstrasi tentang perawatan gigi. Pengamatan
terhadap model yang diamati dapat memberikan pengaruh positif terhadap
perilaku anak. Teknik ini sangat memberikan efek pada anak-anak yang
berumur 3-5 tahun dan sangat baik digunakan pada saat kunjungan pertama
anak ke dokter gigi (Chadwik, 2003).
3.
Behaviour Shaping
Behaviour shaping adalah suatu cara yang dilakukan secara bertahap
untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan oleh dokter gigi selama
perawatan. Indikasi behaviour shaping adalah untuk anak yang kurang
dipersiapkan pada kunjungan pertama, anak yang mepunyai pengalaman yang
tidak menyenangkan terhadap dokter gigi pada perawatan sebelumnya dan
anak yang takut terhadap perawatan gigi akibat informasi orang tuanya
(Agniti, 2009).
Penanggulangan behaviour shaping adalah Tell Show Do. Cara ini
dikemukakan pertama kali oleh Adellson (1959). Cara Tell Show Do Juga
menggunakan beberapa konsep teori belajar, yaitu pendekatan dilakukan
secara perlahan-lahan. Dengan kunjungan yang berulang dan pengenalan
terhadap peralatan kedokteran gigi, dapat mengenalkan pasien terhadap
lingkungan. Hindari tindakan yang dapat menimbulkan rasa sakit, terutama
pada anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan mental. Teknik
ini digunakan secara rutin dalam memperkenalkan anak pada perawatan
profilaksis, yang selalu dipilih sebagai prosedur operatif pertama.
(Soeparmin, 2011)
4.
Retraining
Cara ini sebenarnya sama dengan cara behaviour shaping, tetapi
retraining terutama dilakukan pada anak yang menunjukkan rasa cemas atau
tingkah laku negatif yang cukup tinggi. Sikap yang ditunjukkan ini dapat
sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan pada waktu dilakukan
perawatan pertama kali terhadap giginya ataupun akibat dari keterangan
mengenai perawatan negatif maupun kekurangan dukungan dari orang tua
atau teman sebayanya (Herdiyati, 2014).
Apabila sumber penyebab tingkah laku tidak dapat ditentukan dengan
pasti, maka cara menaggulanginya dapat digunakan dengan cara lain, yaitu
dengan memberi perhatian dan kepercayaan yang lebih besar pada diri anak
(reemphasized), atau dengan cara mengalihkan perhatian anak (distraksi).
Rasa takut akan disakiti oleh dokter gigi yang ada pada pikiran anak jika tidak
segera diubah, anak akan menunjukkan tingkah laku yang negatif. Hal ini
harus diatasi dengan cara menanamkan kepercayaan pada diri anak. Dengan
demikian dokter gigi menanamkan kepercayaan pada diri anak sehingga anak
akan mengubah tingkah laku yang negatif menjadi kooperatif (Mappahijjah,
2010).
5.
yang sudah ada kecemasan dan ketakutan, atau dengan pasien menghadapi
kedokteran gigi untuk pertama kalinya (Welbury, 2005).
6.
Distraksi
Teknik distraksi adalah suatu proses pengalihan dari fokus atau perhatian
pada nyeri ke stimulus yang lain. Distraksi digunakan untuk memusatkan
perhatian anak agar menghiraukan rasa nyeri. Beberapa teknik distraksi yang
dikenal dalam pendekatan pada anak antara lain distraksi visual seperti
melihat gambar di buku, bermain video games, distraksi pendengaran dengan
mendengarkan musik atau bercerita juga sangat efektif. Dokter gigi yang
berbicara selagi mengaplikasikan pasta topical ataupun anastesi local juga
menggunakan distraksi verbal (Chadwik, 2003).
7.
Desensitasi
Desentisasi secara tradisional digunakan untuk anak yang gelisah, takut,
ataupun fobia pada perawatan gigi. Prinsip ini dapat dengan mudah
dimanfaatkan oleh dokter gigi anak dengan semua pasien, untuk
meminimalkan
kemungkinan
bahwa
pasien
mungkin
menimbulkan
(1969)
menamakan
cara
ini
dengan
istilah
sysfemic
nada
dan
volume
suara
dapat
digunakan
untuk
Reinforcement
Merupakan tindakan untuk menghargai prestasi yang telah dicapai, agar
prestasi tersebut diulang. Pada umumnya anak akan senang jika prestasi yang
telah ditunjukkan dihargai dan diberi hadiah. Hal ini dapat meningkatkan
keberanian anak dan dipertahankan untuk perawatan dikemudian hari.
Reinforcement mempunyai keuntungan karena dokter gigi secara langsung
kecemasan.
Ini
berperan
penting
jika
dokter
gigi
menginginkan anak untuk rileks dan tidak cemas diantara kunjungan dental
(Zuhri, 2010).
Saat prosedur dental diselesaikan dengan tujuan hipnosis. Pasien menjadi
lebih terorientasi. Dokter gigi berkualitas, dapat menghilangkan kebiasaan
negatif pada pasien anak-anak dan menjadi nyaman dan rileks saat kunjungan
(Zuhri, 2010).
itu, pemeriksaan yang benar terhadap alasan mengapa anak bertingkah laku
tidak kooperatif penting sebelum mempergunakan teknik hand-over-mouth
(Andlaw, 1992).
12. Pengekangan (Restraint)
Pengekangan dalam kondisi lingkungan kedokteran gigi adalah suatu
tindakan fisik yang membatasi pergerakan tubuh anak dalam rangka
perawatan gigi dan mengurangi kemungkinan untuk terjadinya luka yang
tidak diinginkan pada anak atau dokter gigi. Hal ini mencakup beberapa
prosedur/dari menjaga kepala anak tetap pada posisi dengan satu tangan
sementara tangan yang lainnya melakukan suntikan, hingga membungkus
seluruh tubuh anak dengan penahan tubuh buatan khusus (Papoose Board)
atau dengan sprei. Hal ini umumnya dianggap bahwa penggunaan alat peraga
mulut pada pasien yang masih sadar tidak dianggap sebagai bentuk
pengekangan (Herdiyati, 2014).
Beberapa pendekatan lebih tegas hanya diajarkan sebagai bagian dari
pendidikan spesialisasi kedokteran gigi anak, dan hai ini menuai kritikan.
Tidak diragukan lagi bahwa penerimaan oleh orang tua, dan yang lebih
penting lagi, keberhasilan mereka dalam membantu untuk menanamkan
penerimaan positif dari kedokteran gigi kepada pasien anak, sebagian besar
tergantung pada kerangka pikiran dari dokter gigi ketika menggunakan teknik
ini. Jika penahanan diri dalam bentuk apapun yang digunakan pasien,
berdasarkan kemarahan atau frustrasi, maka fatal itu benar-benar tidak dapat
diterima. Itu harus diakui bahwa sikap orangtua terhadap pengelolaan anakanak mereka terus berubah, dan untuk mengakomodasi perubahan itu maka
akan disarankan bahwa istilah pengekangan harus dengan 'stabilisasi
pelindung' (Horax, 2011).
Indikasi (Horax, 2011) :
Dalam ulasan tentang pengekangan diri yang digunakan dalam berbagai
peraturan kesehatan, Connick et al. (2000) mengutip lima poin penting:
a. Hal ini hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan
b. Alternatif pengekangan yang paling ringanlah yang harus dipilih
pengendalian
yang
paling
diterima
oleh
orang
tua.
ketidaknyamanan
memprotes
keras
dan
dari
tidak
mengendalikan
diperbolehkannya
tubuhnya
sendiri.
untuk
Ketika
positif yang ditunjukkan oleh anak tersebut. Namun, jika setelah beberapa
pengulangan tingkat kecemasan anak meningkat sebaiknya dokter gigi
rnenghentikan teknik ini segera (Horax, 2011).
Tujuan restraint (pengekangan) adalah untuk mengontrol gerakan
fisik yang tidak diinginkan dari anak, baik untuk memfasilitasi perawatan
dan juga untuk mencegah bahaya yang dapat terjadi pada anak dan staf
kedokteran gigi. Pengekangan dilakukan ketika perawatan atau diagnosis
segera, diperlukan dan pasien tidak mampu untuk bekerja sama. Biasanya
dilakukan untuk menjamin keamanan pasien dan staf kedokteran gigi dan
mengontrol gerakan spontan dari pasien sedasi. pengekangan dilakukan
ketika sedasi atau anestesi umum tidak tersedia atau diizinkan oleh orang
tua (Horax, 2011).
BAB III
PEMBAHASAN
Makalah ini bertujuan untuk teknik pendekatan yang efektif pada anak dan
cara menanggulangi rasa cemas dan takutvpada anak dalam melakukan
perawatam ke dokter gigi. Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi praktisi kedokteran gigi di dalam menyikapi pasien anak yang datang ke
dokter gigi serta mengurangi rasa cemas dan takut anak. Pada dasarnya, macam
perawatan yang dilakukan pada anak-anak hampir sama dengan dewasa namun
yang membedakan hanya teknik pendekatan yang dilakukan dokter gigi pada
anak. Pendekatan ini dilakukan dokter gigi lebih lama untuk pasien anak serta
penanganannya tergantung dari tipe anak tersebut (Herdiyati, 2014).
Perbedaan antara perawatan yang dilakukan pada anak-anak dan
perawatan pada orang dewasa terletak pada hubungan dokter gigi dan pasien.
Perawatan untuk orang dewasa meliputi hubungan antara dokter-pasien (one to
one relationship), sedangkan perawatan terhadap anak-anak adalah hubungan
antara dokter gigi pasien anak orang tua/ orang yang mendampingi anak
tersebut (one to two relationship). Hal ini disebut segitiga perawatan anak. Pasien
anak, keluarga, dokter gigi dan lingkungan (Soeparmin, 2014).
Teknik pendekatan seperti komunikasi, modelling, Tell Show Do (TSD),
desensitisasi, behaviour shaping, reinforcement, retraining, kontrol suara, dan
hipnotis bisa dilakukan pada semua anak maupun pada anak yang tidak kooperatif
namun masih bisa untuk diajak kerja sama. Sedangkan teknik pendekatan seperti
restraint (pengekangan), Hand Over Mouth Exercise (HOME) bahkan tenik
pendekatan secara farmakologi seperti premedikasi dan sedasi hanya digunakan
untuk pasien - pasien khusus seperti pasien handicapped maupun pasien yang
sangat tidak kooperatif dan histeris (Herdiyati, 2014).
Pendekatan untuk membentuk tingkah laku anak agar dapat kooperatif
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan non farmakologis seperti dengan
modelling, desensitisasi, retraining, behaviour shaping, tell show do, dan
reinforcemenf serta penanganan yang sedikit kontroversial seperti hand over
mouth exercise ataupun pengekangan. Tell show do digunakan untuk pasien anak
yang sebelumnya memiliki pengalaman cemas ke dokter gigi ataupun pada pasien
yang baru pertama kali datang. Restraint atau pengekangan digunakan untuk
pasien yang sangat tidak kooperatif atau pada pasien handicapped.l
Kombinasi dari teknik pendekatan pada anak dalam perawatan
menunjukkan hasil yang jauh lebih baik. Penggunaan metode dengan
menggabungkan beberapa metode pada suatu paket perawatan. Pasien yang takut
diajarkan rileks dan kemudian menunjukkan film model disaat rileks. Modelling
dan desensitisasi dapat diterapkan sekaligus, dengan pengkombinasian dua cara
ini akan diperoleh hasil yang lebih memuaskan. Modeling dan desensitisasi juga
dapat mengurangi rasa cemas orang pada perawatan gigi anaknya. Merubah
perilaku dengan cara modelling dan desensitisasi dapat diterapkan baik di klinik
gigi maupun praktik pribadi (Narwaty, 2008).
Teknik pendekatan komunikasi bisa dikombinasikan pada semua teknik
pendekatan pada anak, baik itu komunikasi secara verbal maupun non verbal.
Komunikasi yang baik disertai kontrol suara yang tepat dapat membuat pasien
anak merasa nyaman, bisa menerima penjelasan, serta mau melakukan apa yang di
instruksikan oleh dokter gigi. Dimana komunikasi yang dilakukan juga harus
sesuai dengan anak. Pada anak usia pra sekolah (umur 2-6 tahun) komunikasi
yang dilakukan lebih sering digunakan pengganti kata biar anak lebih paham dan
menghindarkan kecemasan dan rasa takut. Sedangkan untuk anak usia sekolah (>6
tahun) komunikasi yang lebih ilmiah sudah mulai diterima. Selain komunikasi
verbal, komunikasi non verbal seperti tersenyum yang hangat, melakuakan kontak
mata dan lain-lain juga bisa meningkatkan keefektifan dalam pendekatan pada
anak.
Modeling bisa dilakukan pada semua anak dalam, terutama anak usia pra
sekolah pada saat kunjungan pertama anak ke dokter gigi. Selain itu modeling
cocok untuk memberikan contoh/demonstrasi tentang apa yang akan dilakukan
pada anak dan saat mengajarkan anak tentang suatu perawatan misalnya cara
menggosok gigi yang benar. Oleh karena itu teknik modeling ini bisa
dikombinasikan dengan teknik tell show do, dimana anak diberi penjelasan,
ditunjukkan caranya, baru kemudian perawatan dilakukan pada anak. Strategi ini
cocok diterapkan pada anak yang tidak kooperatif karena anak dirangsang untuk
menghilangkan rasa cemasnya sedikit demi sedikit, ditunjang dengan proses
sosialisasi yang baik antara dokter gigi, anak, dan orang tua. Untuk melengkapi
strategi ini bisa digunakan behaviour shapping, dimana hal-hal yang dilakukan
pada anak seperti TSD dilakukan secara bertahap dan berulang-ulang setiap
kunjungan agar kecemasan dan rasa takut anak terhadap perawatan berkurang
hingga hilang sama sekali. Apabila anak menunjukkan tingkat kecemasan yang
tinggi atau menjadi tidak kooperatif padahal sebelumnya anak sudah
menunjukkan kekooperatifannya, maka bisa dilakukan retraining agar anak
kembali kooperatif dan rasa percaya dirinya meningkat.
Selain itu juga bisa digunakan teknik desentisasi untuk mengatasi
kecemasan dan rasa takut anak dengan melatih anak agar relaks dengan
memberikan perawatan sesuai kecemasan anak. Pada teknik desentisasi sebaiknya
anak dikenalkan lebih dahulu dengan perawatan yang tidak terlampau
membuatnya takut dan cemas, dan saat kecemasan dan rasa takut itu sudah
berkurang baru dilakukan perawatan-perawatan yang lebih seperti pencabutan gigi
maupun penambalan pada kunjungan berikutnya.
Teknik pendekatan yang dilakukan pada anak bisa dikombinasikan dengan
teknik distraksi untuk mengalihkan focus anak agar tidak lebih memperhatikan
rasa cemas, takut maupun nyeri yang diterima saat perawatan gigi dan mulut.
Selain itu, reinforcement juga bisa dilakukan pada setiap perawatan maupun untuk
memberikan pujian atas perawatan yang telah berhasil dilakukan oleh anak
maupun ketika ada peningkatan dalam proses pembentukan sikap kooperatif anak
dengan memnggunakan teknik pendekatan yang lain. Hal ini dilakukan sebagai
penguatan bagi anak agar merasa senang dan meningkatkan keberanian anak.
Teknik pendekatan restraint (pengekangan) dan hand over mouth exercise
(HOME) dapat dilakukan pada anak yang mengalami rasa takut berlebihan dan
tidak kooperatif maupun pada anak yang handicapped. Teknik ini dilakukan
sebagai pilihan terakhir jika teknik-teknik pendekatan non farmakologi lain tidak
mampu membuat anak kooperatif dan mengurangi kecemasan dan rasa takutnya.
Teknik ini juga bisa dikombinasikan dengan teknik pendekatan farmakologi
BAB IV
KESIMPULAN
Teknik pendekatan yang efektif pada pasien anak untuk menanggulangi
kecemasan dan rasa takut anak sebaiknya menggunakan kombinasi dari beberapa
teknik pendekatan agar didapatkan hasil yang maksimal. Teknik pendekatan
seperti komunikasi, modelling, Tell Show Do (TSD), desensitisasi, behaviour
shaping, reinforcement, retraining, kontrol suara, dan hipnotis bisa dilakukan
pada semua anak maupun pada anak yang tidak kooperatif namun masih bisa
untuk diajak kerja sama. Sedangkan teknik pendekatan seperti restraint
(pengekangan), Hand Over Mouth Exercise (HOME) bahkan tenik pendekatan
secara farmakologi seperti premedikasi dan sedasi hanya digunakan untuk pasien pasien khusus seperti pasien handicapped maupun pasien yang sangat tidak
kooperatif dan histeris.