Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ada banyak sekali konsep pembelajaran yang diterapkan khususnya di Indonesia.

Salah satunya konsep pembelajaran konstekstual yang dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip pembelajaran. Konsep pembelajaran yang konstekstual ini merupakan pembelajaran aktif antara guru dan siswa. Di dalam konsep pembelajaran konstekstual ada unsur-unsurnya. Salah satunya konstruktivisme pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian ata pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997). Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

BAB II PEMBAHASAN 2. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme Teori konstruktivisme lahir dari ide Piaget dan Vygotsky. Konstruktivisme adalah satu faham bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Dalam Proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru. Mengikut Briner (1999), pembelajaran secara konstruktivisme berlaku di mana siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengimplikasikannya pada satu situasi baru dan mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud. 2.1 Teori Konstruktivisme Menurut Piaget Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual dalam pembelajaran. Tahap-tahap tersebut berdasarkan umur seorang anak. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut: 1. Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun) Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.

2. Tahap Preoporational (2-7 tahun) Pada tahap ini anak mampu berpikir sebelum bertindak, meski kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata. 3. Tahap Concrete (7-11 thn) Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak seegosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibanding penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata). 4. Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas) Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesis, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesis yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis. Sehingga pada yang terakhir

inilah merupakan kesempurnaan dari penerimaan pembelajaran yang baik dan mengembangkan potensi diri yang sempurna. 2.2 Teori Konstruktivisme Menurut Vigotsky Vygotsky adalah salah seorang tokoh konstrutivisme. Hal terpenting dari teorinya adalah pentingnya interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek lingkungan sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Sumbangan teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosial budaya dalam pembelajaran. Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona perkembangan proksima (zone of proximal development). Zona perkembangan proksima adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada ketika pembelajaran berlaku. 2.3 Prinsip-prinsip teori konstruktivisme Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri 2. murid sendiri untuk menalar 3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah 4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar. 5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa 6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. Mencari dan menilai pendapat siswa

8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengetengahkan tentang 7 (tujuh) prinsip praktik pembelajaran yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala sekolah, pemerintah, maupun pihak lainnya yang terkait dengan pendidikan. 1. Encourages Contact Between Students and Faculty Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas merupakan faktor yang amat penting untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar. Dengan seringnya kontak antara guru-siswa ini, guru dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya. Guru dapat membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga dengan guru, guru dapat berusaha memelihara semangat belajar, meningkatkan komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir tentang nilai-nilai mereka sendiri serta membantu menyusun rencana masa depannya. 2. Develops Reciprocity and Cooperation Among Students Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara tim dibandingkan melalui perpacuan individual (solo race). Belajar yang baik bukanlah seperti bekerja yang baik, yakni kolaboratif dan sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja dengan orang lain, siswa dapat meningkatkan keterlibatannya dalam belajar. Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang lain, semakin dapat mempertajam pemikiran dan memperdalam pemahamannya tentang sesuatu. 3. Encourages Active Learning Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau pertunjukkan film. Siswa tidak hanya sekedar duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi yang telah dikemas guru, atau menjawab pertanyaan guru. Tetapi mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam

kehidupan sehari-hari mereka. Mereka harus menjadikan apa yang mereka pelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri. 4. Gives Prompt Feedback Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai atas kinerjanya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar, siswa membutuhkan bantuan untuk menilai pengetahuan dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu sering diberi kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan. Dan pada bagian akhir, siswa perlu diberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang telah dipelajari, apa yang masih perlu diketahui, dan bagaimana menilai dirinya sendiri. 5. Emphasizes Time on Task Ada pernyataan waktu + energi = belajar. Memanfaatkan waktu dengan sebaikbaiknya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi siswa. Siswa membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu efektif belajarnya. Mengalokasikan jumlah waktu yang realistis artinya sama dengan belajar yang efektif bagi siswa dan pengajaran yang efektif bagi guru. Sekolah sebenarnya dapat mendefinisikan ekspektasi waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf lainnya untuk membangun kinerja yang tinggi bagi semuanya. 6. Communicates High Expectations Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang tinggi merupakan hal penting bagi semua orang. Mengharapkan para siswa berkinerja atau berprestasi baik, pada gilirannya akan mendorong guru maupun sekolah bekerja keras dan berusaha ekstra untuk dapat memenuhinya.

7. Respects Diverse Talents and Ways of Learning Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan membawa bakat dan gaya belajarnya masing-masing Ada yang kuat dalam matematika, tetapi lemah dalam bahasa, ada yang mahir dalam praktik tetapi lemah dalam teori, dan sebagainya. Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing. Kemudian mereka didorong untuk belajar dengan cara-cara baru, yang mungkin ini bukanlah hal mudah bagi guru untuk melakukannya. Pada bagian lain, Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengatakan bahwa guru dan siswa memegang peran dan tanggung jawab penting untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi mereka tetap membutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak untuk membentuk sebuah lingkungan belajar yang kondusif bagi praktik pembelajaran yang baik. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan tersebut meliputi: 1. Adanya rasa tujuan bersama yang kuat; 2. Dukungan kongkrit dari kepala sekolah dan para administrator pendidikan untuk mencapai tujuan ; 3. Dana yang memadai sesuai dengan tujuan; 4. Kebijakan dan prosedur yang konsisten dengan tujuan; dan 5. Evaluasi yang berkesinambungan tentang sejauh mana ketercapaian tujuan. 2.4 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme Adapun ciri ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
1. Memberi

peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui

penglibatan dalam dunia sebenarnya.


2. Menggalakkan ide yang dipunyai oleh murid dan menggunakannya sebagai

panduan merancang pengajaran.


3. Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambil sikap dan pembawaan

murid.
4. Mengambil kesimpulan bagaimana murid belajar sesuatu ide

5. Mengutamakan menerima usaha & autonomi murid 6. Mengutamakan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru

7. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8. Mengutamakan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

2.5 Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan konsep yaitu; perubahan konsep yang kuat dan yang lemah. Perubahan konsep yang kuat terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan perubahan itu pengetahuan manusia berkembang dan berubah. Untuk memungkinkan terjadinya perubahan diperlukan suatu keadaan yang menantang orang tesebut berpikir. Teori asimilasi Ausubel menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi, yaitu bila siswa mengasimilasikan apa yang ia pelajari dengan pengetahuan yang ia punyai sebelumnya. Dalam proses ini pengetahuan seseorang selalu diperbaharui dan dikembangkan lewat fenomena dan pengalaman yang baru. Teori skema lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat mengubah dan menambahkan skema yang ada sehingga dapat menjadi luas dan berkembang. Ketiga teori tersebut dalam banyak hal mengandung kesamaan dengan prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam.

2.6 Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar

Menurut

kaum

konstruktivis,

belajar

merupakan

proses

aktif

pelajar

mengkonstruksi dari teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, tapi suatu pengembangan pemikiran membuat pengertian baru. Proses belajar yang sebenarnya terjadi adalah pada saat skemata seseorang tidak seimbang. Hal ini memacu seseorang untuk terus berpikir dan belajar. Sementara itu hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. Belajar merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses konstruksi ini dilakukan secara aktif baik oleh indiidu maupun kelompok. 2.7 Implikasi Konstruktivisme terhadap Mengajar Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan , membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. 2.8 Fungsi dan Peran Pengajar Menurut prinsip konstruktivis, seorang pengajar atau guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid belajar dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar bukan kepada guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut: 1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian. 2. Menyediakan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. 3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid.

Guru berdasarkan teori konstruktivisme bukan merupakan satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Hal ini didasari bahwa setiap manusia mulai dari kandungan sudah dibekali oleh pengetahuan dasar dengan memberikan respon terhadap rangasangan. Kemudian setelah bayi itu lahir dan kemudian berinteraksi dengan lingkungan maka sebenarnya anak tersebut sudah memiliki bekal pengetahuan awal. Berpijak dari pemikiran inilah, guru konstruktivis berperan menggali pengetahuan awal siswa untuk dikembangkan ke potensi maksimal. Selain hal tersebut di atas, guru perlu menciptakan suasana yang membuat murid antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. 2.9 Kelebihan Dan Kekurangan Teori Konstruktivisme 1. Kelebihan Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, membuat idea dan membuat keputusan. a. Faham Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi. b. Ingat Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep, yakni Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru. c. Kemahiran sosial Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru. 2. Kelemahan Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.

10

BAB III PENUTUP 3. Kesimpulan Dari berbagai penjelasan mengenai Teori, prinsip dan konsep pembelajaran ternyata merupakan hal yang beraneka ragam di pembelajaran. Sehingga hal ini perlu dihubungkan dan dikaitkan agar bisa menjadi sebuah kesatuan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. Karena hal itulah yang menjadi cita-cita setiap pembelajaran agar mutunya lebih daripada yang lalu.

11

Anda mungkin juga menyukai