Anda di halaman 1dari 4

Istilah Subsidi BBM Menyesatkan. Mengapa Dipakai Untuk Menaikkan Harga Lagi??

(Artikel 1)
1. Beberapa kalkulasi tentang jumlah uang yang masuk karena penjualan BBM dan

uang yang harus dikeluarkan untuk memproduksi dan mengadakannya. Hasilnya pemerintah kelebihan uang. 2. Mengapa dikatakan pemerintah harus mengeluarkan uang untuk memberi subsidi, sehingga APBN-nya jebol. Dan karena itu harus menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan lebih menyengsarakan rakyat lagi setelah kenaikan luar biasa di tahun 2005 sebesar 126%. 3. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Ani) memberi keterangan kepada Rakyat Merdeka yang dimuat pada tanggal 24 April 2008. 4. Angka-angka yang dikemukakannya adalah angka-angka yang terakhir disepakati antara Pemerintah dan DPR, yang sekarang tentunya sudah ketinggalan lagi. 5. Maka dalam perhitungan diperlukan untuk mengetahui berapa persen bagian bangsa Indonesia dari minyak mentah yang dikeluarkan dari perut bumi Indonesia. 6. Berapa jumlah penerimaan Pemerintah dari Migas di luar pajak. 7. Angka kesepakatan antara Pemerintah dan Panitia Anggaran harga minyak masih US$ 95 per barrel. Sekarang sudah di atas US$ 120. 8. Keseluruhan data dan angka yang menjadi landasan kalkulasi tercantum dalam tabel-tabel kalkulasi yang bersangkutan.
9. Setiap Tabel kalkulasi sudah cukup jelas. Penjelasannya, sebagai berikut. 10. Menteri Ani antara lain mengemukakan bahwa lifting (minyak mentah yang disedot

dari dalam perut bumi Indonesia) sebanyak 339,28 juta barrel per tahun. Dikatakan bahwa angka ini tidak seluruhnya menjadi bagian Pemerintah. (baca : bagian milik bangsa Indonesia). Kita mengetahui bahwa 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Maka mereka berhak atas sebagian minyak mentah yang digali. Berapa bagian mereka? Menteri Ani tidak mengatakannya. Tetapi kita bisa menghitungnya sendiri berdasarkan angka-angka lain yang dikemukakannya, yaitu sebagai berikut.

Menteri Ani memberi angka-angka sebagai berikut. Lifting : 339,28 juta barrel per tahun Harga minyak mentah : US$ 95 per barrel Nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$ Penerimaan Migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun.

11. Dari angka-angka tersebut dapat dihitung berapa hak bangsa Indonesia dari lifting

dan berapa persen haknya perusahaan asing. Perhitungannya sebagai berikut.

Hasil Lifting dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x Rp. 9.100 = Rp. 293,31 trilyun. Penerimaan Migas Indonesia : Rp. 203,54 trilyun. Ini sama dengan (203,54 : 293,31) x 100 % = 69,39%. Untuk mudahnya dalam perhitungan selanjutnya, kita bulatkan menjadi 70% yang menjadi hak bangsa Indonesia.

12. Hasil lifting yang miliknya bangsa Indonesia sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya

339,28 juta barrel per tahunnya, milik bangsa Indonesia 70% dari 339,28 juta barrel atau 237,5 juta barrel per tahun.
13. Berapa kebutuhan konsumsi BBM bangsa Indonesia? Banyak yang mengatakan

35,5 juta kiloliter per tahun. Tetapi ada yang mengatakan 60 juta kiloliter, paling jelek, yaitu yang 60 juta kiloliter, sehingga konsumsi minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksinya. 14. Produksi yang haknya bangsa Indonesia : 237,5 juta kiloliter. 15. Konsumsinya 60 juta kiloliter. 1 barrel = 159 liter. Maka 60 juta kiloliter sama dengan 60.000.000.000 :159 = 377,36 juta barrel. 16. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang dikatakan Menteri Ani tentang harga minyak mentah US$ 95 per barrel, saya ambil US$ 120 per barrel. 17. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000 per US$. 18. Pemerintah kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,71 trilyun, walaupun dihadapkan pada keharusan mengimpor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rakyatnya. Produksi minyak mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia 237,5 juta barrel. Konsumsinya 60 juta kiloliter yang sama dengan 377,36 juta barrel. Terjadi kekurangan sebesar 139,86 juta barrel yang harus dibeli dari pasar internasional dengan harga US$ 120 per barrelnya dan nilai tukar diambil Rp. 10.000 per US$. Toh masih kelebihan uang tunai. 19. Apalagi kalau kita merangkaikan semua data kesepakatan terakhir antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Ani kepada Rakyat Merdeka tanggal 24 April yang lalu kesepakatannya adalah sebagai berikut.

Lifting : 339,28 juta barrel per tahun Harga : US$ 95 per barrel Nilai tukar : Rp. 9.100 per US$

Penerimaan Migas di luar pajak : Rp. 203,54 trilyun.

20. Kelebihan uang tunainya sebesar Rp. 82,63 trilyun. Ketika itu Pemerintah sudah

teriak bahwa kekurangan uang dalam APBN dan minta mandat dari DPR supaya diperbolehkan menggunakan uang APBN sebesar lebih dari Rp. 100 trilyun, yang disetujui oleh DPR.
21. Pikiran teoretis dari Pemerintah yang mengatakan bahwa Pertamina harus membeli

minyak mentahnya dari Menteri Keuangan dengan harga internasional yang dalam kesepakatan antara Pemerintah dan Panitia Anggaran US$ 95 per barrel dan nilai tukar ditetapkan Rp. 9.100 per US$.
22. Hasilnya memang Defisit sebesar Rp. 122,69 trilyun. Tetapi uang yang harus

dibayar oleh Pertamina kepada Menteri Keuangan yang sebesar Rp. 205,32 trilyun kan milik rakyat Indonesia juga? Maka kalau ini ditambahkan menjadi surplus, kelebihan uang yang jumlahnya Rp. 82,63 trilyun, persis sama dengan angka surplus yang ada dalam Tabel I.

MENGAPA? 1. Mengapa Pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun dalam bentuk puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak. 2. Sekarang saya mengulanginya lagi, karena masalahnya sudah menjadi kritis dalam dua aspek. Yang pertama, kesengsaraan rakyat sudah sangat parah. Kedua, kenaikan harga BBM lagi bisa memicu kerusuhan sosial. Kali ini jangan main-main. Semoga saya salah.

PIKIRAN BINGUNG YANG ZIG-ZAG 1. Ketika harga BBM di tahun 2005 dinaikkan dengan 126%, bensin premium menjadi Rp. 4.500 per liter. Ketika itu, harga bensin ini ekivalen dengan harga minyak mentah sebesar US$ 61,5 per barrel. 2. Pemerintah mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi, karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile Exchange. Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu harga minyak mentah US$ 60 per barrel. 3. Ketika harga minyak mentah turun sampai sekitar US$ 57 dan Wapres JK ditanya wartawan apakah harga BBM akan diturunkan, beliau menjawab tidak. Lantas

harga minyak meningkat sampai US$ 80. Wartawan bertanya lagi kepadanya, apakah harga BBM akan dinaikkan? Dijawab : Tidak, dan tidak akan dinaikkan walaupun harga minyak mentah meningkat sampai US$ 100 per barrel. 4. Lantas Presiden mengumumkan bahwa kalau harga minyak sudah US$ 120 pemerintah akan kekurangan uang untuk memberikan subsidi kepada rakyatnya dalam jumlah besar, sehingga APBN akan jebol. Maka terpaksa menaikkan harga BBM pada akhir Mei dengan sekitar 30 %. Jadi sangatlah jelas bahwa Presiden menganggap subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah. 5. Pada tanggal 13 Mei jam 22.05 Metro TV menayangkan Todays Dialogue, di mana Wapres Jusuf Kalla mengakui bahwa pemerintah akan kelebihan uang, yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur. 6. Jadi dalam pengadaan BBM pemerintah kekurangan uang karena harus memberikan subsidi, atau kelebihan uang yang akan dipakai untuk membangun infrastruktur?

Penutup 1. Tulisan ini baru awal dari sebuah perdebatan publik. Ayo, saya mohon dibantah. Wahai media televisi, selenggarakanlah debat publik tanpa batas waktu siapa yang benar dan siapa yang salah? Buat urusan perut rakyat yang termiskin yang notabene pemilik minyak, janganlah lebih mementingkan iklan iklan. 2. Tunggu artikel-artikel berikutnya di KoranInternet ini. Artikel-artikel berikutnya akan membahas masalah penentuan harga BBM untuk rakyatnya ini dari segi disiplin ilmu cost accounting beserta landasan falsafahnya yang nampaknya tidak dikuasai dan tidak dipahami oleh para teknokrat, tetapi selalu bersikap gebrak dulu dengan sikap biar bodoh asal sombong. Pokoknya gebrak dan gertak. Boleh boleh saja, tetapi kalau lantas menyengsarakan rakyat ya ayolah berdebat keras!

Anda mungkin juga menyukai