Pembimbing :
dr. Dani Kurnia, Sp.A
Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Bagian Ilmu Kesehatan Anak
BRSUD Arjawinangun.
Lembar Pengesahan Journal reading / Case report / Referat
Telah diajukan dan disahkan oleh Dr. Dhani Kurnia, Sp.A, di Arjawinangun, Cirebon pada tanggal......., bulan......, tahun......
Mengetahui :
Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak Dosen pembimbing BRSUD Arjawinangun Cirebon.
Dr. Dani
h. Rencana Pengelolaan ...10 i.Prognosis ..10 j. Follow Up .11 BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 15 a. Definisi 15 b. Epidemiologi ..15 c. Etiologi 16 d. Patogenesis Pertusis ...19 e. Manifestasi Klinis ...20 f. Diagnosis ..22 g. Diagnosis Banding ..23 h. Komplikasi ...23 i. Pengobatan .24 j. Pencegahan dan control 25 k. Prognosis .27 BAB IV PEMBAHASAN................................................. ............28
4
BAB I PENDAHULUAN
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis. Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun. meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang. Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu
5
memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.
ANAMNESIS (Alloanamnesis terhadap Ibu kandung Pasien Tgl: 17 Desember 2011 jam 15:00 WIB) 1. Keluhan Utama: Batuk Persisten 2. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan batuk tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan SMRS, frekuensi batuk 3x sehari dengan durasi tiap kali batuk berlangsung sekitar 10 menit, batuk tidak berhenti-henti hingga sesak nafas dan muka kebiruan, diakhiri dengan tarikan nafas panjang dan muntah bercampur dahak kental putih kehijauan.
Keluhan ini juga diikuti demam tinggi sejak 2 hari SMRS dan diikuti dengan kejang 1x 4 jam SMRS dengan durasi sekitar 5 menit dan nafsu makan menurun sehingga terjadi penurunan berat badan dari 12 kg hingga sekarang menjadi 9,5 kg. Selain itu pasien juga mengeluh buang air besar mencret 1x sehari sejak 2 hari SMRS, terdapat ampas dan lendir, namun tidak dijumpai adanya darah. 3. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. 4. Riwayat Penyakit Keluarga: Keluarga pasien baik ayah, ibu dan kakak tidak ada yang mengalami keluhan yang sama. 5. Silsilah/Ikhtisar keturunan:
Ayah
Ibu
Pasien Anak Ke 3
6. Riwayat Pribadi: Riwayat kehamilan: P3 A0 Selama kehamilan ibu rutin periksa ke bidan, tidak mengkonsumsi obat obatan dan sewaktu hamil ibu dalam keadaan sehat. Riwayat persalinan: Bayi lahir spontanl, cukup bulan, waktu lahir langsung menangis, melahirkan di rumah bidan, ditolong oleh bidan. Berat badan lahir 2900 g, panjang badan lupa, anggota tubuh lengkap dan tidak ada kelainan bawaan. Riwayat pasca lahir imunisasi teratur 7. Riwayat Makanan: Kebutuhan kalori 11,65 kg x 100kkal = 1165 kalori perhari Umur 0-4 bulan Umur 4-10 bulan : ASI ekslusif : ASI, PASI : Promina, Pisang, bubur nasi
Motorik halus Mengikuti objek dengan mata Mengenali ibunya Bisa memegang mainan Memindahkan mainan
Bicara Bersuara Tertawa Berteriak Menoleh ke suara bunyi Meniru bunyi Belajar Mengucapkan ma..ma..
Sosial Tersenyum Mengamati tangan Berusaha mencapai mainan Makan sendiri Bisa daag daag dengan tangan
48 bulan
8 12 bulan
12 16 bulan
Berdiri tanpa pegangan Berjalan beberapa langkah hingga berjalan dengan baik Berjalan mundur berlari
Membenturkan 2 mainan
Mengucap 1 kata
Mencoret-coret
Mengucap 2 kata
Kesan : tidak ada keterlambatan perkembangan. 9. Imunisasi: Dasar Umur BCG DPT Polio Campak Hep B lahir 1 Bulan 2 bulan 4 bulan Jumlah 1x 2x 3x 3x
III. PEMERIKSAAN FISIS: A. Pemeriksaan Umum: 1. Kesan Umum 2. Kesadaran 3. Tanda Utama Frekuensi nadi : Tampak sakit sedang dan rewel : Compos mentis : : 144 x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup (pada keempat ekstremitas) Frekuensi napas : 66 x/menit Suhu : 38.30 Celsius
4. Status Gizi: Klinis : edema -/-, tampak kurus -/Antropometris: Berat Badan (BB) : 9,5 kg Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 80 cm BB/U : 9,5/11,65 x 100% = 81% (gizi baik) TB/U : 80/82 x 100% = 97% (baik/normal) BB/TB : 9,5/11,4 x 100% = 83% (gizi kurang) Simpulan status gizi: kurang B. Pemeriksaan Khusus 1. Kulit : Normal, tidak ada ikterik, tidak sianosis, tidak ada ptechiae, turgor kulit baik 2. Kepala : Normocefal, UUB tidak cekung, rambut berwarna hitam, distribusi rambut merata, dan tidak mudah rontok 3. Mata : Palpebra superior dan inferior tidak udem, tidak cekung, conjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, air mata ada, reflex cahaya positif 4. Leher : trachea ditengah, tidak teraba adanya pembesaran KGB 5. Telinga : Bentuk normal, secret -/-, membrane timpani intak. 6. Hidung : bentuk normal, septum ditengah, tidak ada deviasi, secret -/-, nafas cuping hidung -/7. Tenggorok : Faring hiperemis, T1 T1 8. Mulut : Mukosa mulut basah 9. Thoraks : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris saat statis maupun dinamis, retraksi interkostal -/-. a. Jantung Inspeksi : Iktus kordis tampak di sela iga 5 midclavicula sinistra Palpasi : Iktus cordis teraba di sela iga 5 midclavicula sinistra Perkusi : Batas atas : di sela iga 2 linea parasternalis sinistra Batas kanan : di sela iga 4 linea parasternalis dextra Batas kiri : di sela iga 5 linea midclavicula sinistra Auskultasi : BJ I II regular, murmur (-), gallop (-) b. Paru Inspeksi : Simetris saat ststis dan dinamis Palpasi Perkusi : Nyeri tekan (-/-), fremitus taktil dan fremitus vocal simetris kanan dan kiri : Sonor diseluruh lapang paru 9
: Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-) : Datar : Bising usus (+) normal : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba membesar, turgor kulit baik. : Tympani pada seluruh lapang paru
11. Ekstremitas: Akral teraba hangat, tidak ada deformitas, tidak ada edema, tidak ada sianosis.
DATA LABORATORIUM Darah rutin Leukosit Lymfosit Monosit Granulosit Lymfosit % Monosit % Granulosit % Eritrosit Hb Ht MCV MCH MCHC RDW PLT MPV PCT PDW KGDS Tgl: 14/12/2011 55.4 x 10 3 /l 16.0 x 10 /l 12.0 x 10 /l 27.5 x 10 /l 28.8 % 21.6 % 49.6 % 5.25 x 10 /l 9.9 g/dl 34.9 % 66.5 m 18.9 pg 28.4 g/dl 15.1 % 645 x 10 /l 6.9 m 13.3 % 70 mg/dl
3 3 3 6 3 3 3
Nilai normal 4.0 10.0 1.0 5.0 0.1 1.0 2.0 8.0 25.0 50.0 2.0 10.0 50.0 80.0 4.00 6.20 11.0 17.0 35.0 55.0 80.0 100.0 26.0 34.0 31.0 35.5 10.0 16.0 150 400 7.9 11.0 0.200 0.500 10.0 18.0
0.445 %
V. RESUME Anak laki laki 18 bulan, batuk lama tidak berhenti-henti +, sianosis pada wajah +, tarikan nafas panjang (whooping +), muntah +, dahak +, demam + kejang +, mencret +, lendir +, 10
Pada pemeriksaan Fisik : faring hiperemis, pada auskultasi paru terdengar Rhonki +/+ Pada pemeriksaan Lab : ditemukan leukositosis
VI. VII.
DIAGNOSIS KERJA Pertusis dengan diare akut tanpa dehidrasi DIAGNOSIS BANDING Bordetella Parapertusis dengan diare akut tanpa dehidrasi Infeksi oleh Adeno virus dengan diare akut tanpa dehidrasi
VIII. RENCANA PENGELOLAAN A. Rencana Pemeriksaan Kultur specimen nasofaring Feses lengkap Foto Rongten Thoraks AP B. Rencana Pengobatan dan diit 1. Medikamentosa Oksigen 1-2 L/menit IVFD RL 10 tpm Eritromicin 4 x 1/2 Cth Diazepam 3 mg (k/p) Antrain 3 x 90 mg L-Bio 2 x 1 Sachet Zinkid 1 x 1 Tablet 2. Diit (Kebutuhan cairan, kalori, jenis makanan) Kebutuhan cairan : 9,5 kg x 100 = 950 cc Suhu 38,3 (Peningkatan 1,30C) 12,5% x 950 cc = 118.75 Total kebutuhan cairan : 950 cc + 118,75 cc = 1068.75 cc/24 jam 10 tetes makro atau 40 tetes mikro Kebutuhan kalori : BBI : 11,65 Kebutuhan kalori anak laki-laki usia 1 3 tahun : 100 kalori/KgBB/hari 11,65 x 100 kal = 1165 kalori/hari IX. PROGNOSIS
11
X. FOLLOW UP 14 Desember 2011 S Demam +, batuk berdahak +, mual +, muntah -, mencret 1x +, BAK (n) O KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 144x/menit RR : 66x/menit Suhu : 38,30C Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh (-) 15 Desember 2011 S Demam -, batuk +, pilek +, mencret 1x +, lendir -, darah O KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 120x/menit RR : 28x/menit Suhu : 36,50C Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Leher : pembesaran KGB A Pertusis Kejang demam sederhana + Diare akut tanpa dehidrasi susp. bronkopneum onia 12 P Infuse KAEN RL 11 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Azytromicin 1 x 100 mg (selama 5 hari) Diazepam 3 mg (k/p) L-Bio 2 x 1 Sachet Zinkid 1 x 1 Tablet A Kejang demam sederhana + diare akut tanpa dehidrasi Susp Bronkopneu monia P Infuse RL 15 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Diazepam 3 mg (k/p) L-Bio 3 x Sachet Zinkid 1 x Tablet
Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh (-) 16 Desember 2011 S Batuk tidak berhentihenti, diakhir batuk disertai muntah, demam +, lemas +, nafsu makan mencret O KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 128x/menit RR : 28x/menit Suhu : 37,30C Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Leher : pembesaran KGB Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh (-) 17 Desember 2011 S Batuk tidak berhentihenti, diakhir batuk O KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 120x/menit RR : 26x/menit Suhu : 37,40C A Pertusis Riwayat Kejang demam sederhana P Infuse RL 11 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Eritromicin syr 4 x 1/2 Cth A Pertusis diare akut tanpa dehidrasi dengan perbaikan riwayat kejang demam sederhana P Infuse RL 11 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Azyitromicin 1 x 100 mg Diazepam 3 mg (k/p) L-Bio 2 x 1 Sachet Zinkid 1 x 1 Tablet
13
Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Leher : pembesaran KGB Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh (-)
18 Desember 2011 S Batuk tidak berhentihenti, diakhir batuk disertai muntah, demam -, lemas +, nafsu makan mencret O KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 130x/menit RR : 26x/menit Suhu : 37,00C Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Leher : pembesaran KGB Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh (-) 19 Desember 2011 S O A P 14 A Pertusis Riwayat Kejang demam sederhana Riwayat diare akut tanpa dehidrasi P Infuse RL 11 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Diazepam 3 mg (k/p) Eritromicin syr 4 x 1/2 Cth L-Bio 2 x 1 Sachet Zinkid 1 x 1 Tablet
Batuk berkurang muntah sehabis batuk berkurang, demam -, lemas -, nafsu makan mencret -
KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 120x/menit RR : 26x/menit Suhu : 37,40C Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Leher : pembesaran KGB Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh (-)
Pertusis Riwayat Kejang demam sederhana Riwayat diare akut tanpa dehidrasi
Infuse RL 15 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Valisanbe 3 mg (k/p) Eritromicin Syr 4 x Cth L-Bio 2 x 1 Sachet Zinkid 1 x 1 Tablet
20 Desember 2011 S Batuk berkurang, demam -, lemas -, nafsu makan mencret O KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Nadi : 120x/menit RR : 26x/menit Suhu : 37,40C Kepala : Normocephal, UUB tidak cekung Mata : CA-/-, SI-/-, palpebra superior & inferor tidak edem. Leher : pembesaran KGB Toraks : Ves +/+, Rh +/+, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) N, H/L ttb, tympani, turgor kulit baik Ekstremitas : akral hangat, udem (-), sianosis (-), jari tabuh 15 A Pertusis Riwayat Kejang demam sederhana Riwayat diare akut tanpa dehidrasi P Infuse RL 15 tpm Inj Antrain 3 x 90 mg Cefotaksim 2 x 450 mg Diazepam 3 mg (k/p) Eritromicin syr 4 x Cth L-Bio 2 x 1 Sachet Zinkid 1 x 1 Tablet
(-)
II.2 EPIDEMIOLOGI
Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
1,2,3
Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian, daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata mencapai 200500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000 pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di galakkan vaksinasi .
3
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.
1,3
100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
16
Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-1993. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal.
3
II.3.ETIOLOGI
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 1 um dan diameter 0,2 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organism lain. Dengan sifat sifat pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis.
4,5,6,7,8,9
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 100C).
Klasifikasi
Kingdom Filum Kelas Ordo :Eubacterium :Coccobacillus :Bacillus :Coccobacillus 17
Morfologi
Boredetella pertussis berbentuk coccobacillus kecil-kecil, terdapat sendiri-sendiri, berpasangan, atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada isolasi primer, bentuk kuman biasanya uniform, tetapi setelah subkultur dapat bersifat pleomorfik.Bentuk koloni pada biakan agar yaitu smooth, cembung, mengkilap, dan tembus cahaya. Bentuk-bentuk filament dan batang-batang tebal umum dijumpai. Simpai dibentuk tapi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan khusus, dan tidak dengan penggabungan simpai. Kuman ini hidup aerob, tidak membentuk H2S, indol serta asetilmetilkarbinol. Bakteri ini merupakan gram negative dan dengan pewarnaan toluidin biru dapat terlihat granula bipolar metakromatik. Pada Bordetella pertussis ditemukan dua macam toksin yaitu : Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel kuman. Sifat endotoksin ini mirip dengan sifat endotoksin-endotoksin yang dihasilkan oleh kuman negative gram lainnya. Protein yang bersifat termolabil dan dermonekrotik. Toksin ini dibentuk di dalam protoplasma dan dapat dilepaskan dari sel dengan jalan memecah sel tersebut atau dengan jalan ekstraksi memakai NaCl. Baik endotoksin maupun toksin yang termolabil tersbeut tidak dapat memancing timbulnya proteksi terhadap infeksi Bordetella pertussis. Peranan yang pasti daripada kedua toksin ini dalam pathogenesis pertusis belum diketahui. Berbeda dengan spesies-spesies Hemophilus, kuman Bordetella dapat tumbuh tanpa adanya hemin (factor X) dan koenzim I (factor V). Pembiakan dilakukan pada perbenihan Bordet-gengou, dimana kuman-kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni yang bersifat smooth, cembung, mengkilat, dan tembus cahaya. Kuman ini membentuk zona hemolisis. Sifat-sifat ini dapat berubah tergantung lingkungan dimana kuman ini dibiakkan, yang diikuti oleh perubahan-perubahan sifat antigenic serta virulensinya.
10
18
19
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.11 Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.11 Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.11
20
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
11
akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah. Pada anak anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar. Juga pada bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi whoop, tetapi penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu, sianosis, muntah. Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan , muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional (menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik.Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah. Walaupun batuknya khas, tetapi d luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa. Setelah 1 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 3 minggu dan berangsur angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang. 4,5,6,8
22
Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah muntah di mana puncak serangan paroksimal berangsur angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 3 minggu. Pada beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksimal kembali dengan gejala whoop dan muntah muntah. Episode ini terjadi berulang - ulang untuk beberapa bulan malahan bisa sampai 1 2 tahun.
4,5,6,8
II.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi Bordetella pertusis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95 100%, stadium parosismal 94% pada minggu ketiga dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Serologi untuk antobiodi toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh penyakit atau vaksinasi
5,6,8.
23
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau empisema,7
II.8 KOMPLIKASI
II.8.1.PADA SALURAN PERNAPASAN 1. Bronkopneumonia merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi dan
menyebabkan kematian pada anak di bawah 3 tahun terutama bayi yang lebih kecil dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk, sesak napas, panas. Pada foto thoraks terlihat bercak bercak infiltrate tersebar.
2. Otitis media
Karena batuk batuk hebat, kuman masuk ke tuba eustachi kemudian masuk ke telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media.
3. Bronchitis
24
Batuk mula mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih kemudian menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan kasar atau ronki kasar atau ronki kering.
4. Atelektasis
Timbul karena lendir kental yang dapat menyumbat bronkioli.
5. Emfisema pulmonum
Terjadi oleah karena batuk batuk yang hebat sehingga alveoli pecah.
6. Bronkiektasis
Terjadi karena pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lendir yang kental dan dapat disertai dengan infeksi sekunder.
7. Kolaps alveoli paru akibat batuk paroksimal yang lama pada anak anak sehingga dapat
menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba tiba.4,5,6,7 II.8.2.PADA SISTEM SARAF PUSAT Terjadi kejang karena : Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang lama. Perdarahan subarachnoid yang massif. Enselopati akibat atrofi kortikal yang difus. Gangguan elektrolit karena muntah. 4,5,6,7
II.9 PENGOBATAN
II.9.1.ANTIMIKROBA
Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama diberikan pada stadium
25
paroksimal. Oleh karena itu obat obat ini lebih dianjurkan pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini. Pengobatan baku dengan antimikroba selalu diberikan pada pasien pertusis adalah Eritromisin 40 50 mg/kgBB/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari. Ampisilin, rifampisin, trimethopri sulfametoksasol cukup efektif. Cephalosporin generasi pertama dan kedua tidak efektif. Menurut penelitian Eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti. Azytromicin dapat diberikan dengan single daily dose dosisnya : bayi < 6 bulan : 10 mg/kgBB/hari selama 5 hari; pada bayi dan anak-anak umur 6 bulan : 10 mg/KgBB/hari (maksimum 500 mg) pada hari pertama, selanjutnya 5 mg/kgBB/hari (maksimal 250 mg) pada hari kedua sampai ke lima. Pada dewasa 500 mg pada hari pertama selanjutnya 250 mg pada hari kedua sampai kelima.
II.9.2. SALBUTAMOL
Salbutamol dapat sedikit mengurangi gejala-gejala dari stimulasi 2-adrenergik. Namun pemberian dengan aerosol malah dapat menginduksi paroksism. Kortikosteroid tidak bermanfaat, Globulin Imun pertusis tidak direkomendasikan
II.9.3.TERAPI SUPORTIF
1. Lingkungan perawatan yang tenang 2. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk cair. 3. Bila penderita muntah muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral. 4. Pembersihan jalna napas. 5. Oksigen, terutama pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.
4,5,6,7,9
26
II.10.1. ISOLASI
Penderita ditempatkan pada ruang isolasi sekurang-kurangnya 5 hari sesudah mulai terapi eritromisin. Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin 40 -50 mg/kgBB/24jam dalam 2 4 dosis selama 14 hari. kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai priofilaksis.7
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan setiap 4 6 jam untuk selama 48 72 jam. Anak dengan kelainan neurologi yang mempunyai riwayat kejang, 7 kali lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4 kali lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada anak dalam keadaan demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan imunisasi DT.7,8
27
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami enselopati dalam hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalm 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >40,5 0C dalam 2 hari. eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.
7
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi pertusis selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi.7,8
II.11. PROGNOSIS
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari.7
28
BAB IV PEMBAHASA N
Pada pasien ini di diagnose pertusis dan diare akut tanpa dehidrasi berdasarkan pada anamnesis terdapat keluhan batuk selama 1 bulan dengan durasi tiap batuk 10 menit tidakberhenti-henti hingga sesak nafas dan muka kebiruan, pada pemeriksaan fisik di dapatkan ronkhi dan pada pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis (55,4x103/l) Pasien ini memasuki fase paroksimal yang ditandai oleh saat batuk anak tidak dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan di akhiri dengan muntah bercampur dahak kental berwarna putih kehijauan, selama serangan wajah pasien menjadi kebiruan. Penyebab dari penyakit ini addalah bakteri bordetella pertusis terapi yang diberikan dengan pemberian eritromicin
29
BAB V KESIMPULAN
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik. Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa. Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal. Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax. Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 40 50 mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif. Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter 62. h :1018-1023. 2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik . Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86. 3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics . USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079. 4. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta, 2000. Hal : 960 965 5. Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7, volume 2, Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal :564 568. 6. Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33. 7. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 337. 8. Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151. 9. James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427. 10. Wicaksono Prakasa : http://www.infokedokteran.com/info-penyakit/pertusis/referatkedokteran-etiology-dan patogenesis-pertusis-batuk-rejan.html
31
TUGAS
1. Sepsis: Merupakan respon sistemik terhadap suatu penyakit infeksi yang berat, ditandai dengan hipotermi aatau hipertermia, takikardi dan hiperventilasi. 2. Tekanan darah pada bayi umur 18 bulan : 90 105 / 55 70 mmHg
3. Nadi normal pada bayi umur 18 bulan: 70 110 x/menit 4. Respirasi normal pada bayi umur 18 bulan: 20 30 x/menit
5. Hb normal pada bayi umur 18 bulan menurut WHO: 11 g/dl 6. Sediaan eritromicyn syrup : 200 mg/ml
7. Kerja eritromycin : Mekanisme kerja dari antibiotik Eritromycin yakni melalui
pengikatan reversibel pada ribosom 50 S kuman, menyekat reaksi-reaksi transpeptidasi dan translokasi, sehingga sintesa proteinnya dihambat. (http://anggyanggraeni611.wordpress.com/) 8. Efek samping eritromycin : a. Gangguan epigastrik Efek samping ini paling sering dan dapat mengakibatkan ketidakpatuhan pasien terhadap eritromisin.
b. Ikterus Kolestatik Efek samping ini terjadi terutama pada eritromisin estolat.
Reaksi ini timbul pada hari ke 10-20 setelah dimulainya terapi. Gejalanya berupa nyeri perut yang menyerupai nyeri pada kolestasis akut, mual, muntah, kemudian timbul ikterus, demam, leukositosis dan eosinofilia; transaminase serum dan kadar bilirubin meninggi; kolesitogram tidak menunjukkan kelainan. c. Ototoksisitas Ketulian sementara berkaitan dengan eritromisin terutama dalam dosis tinggi.
32
d. Reaksi Alergi Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia
dan
eksantem
yang
cepat
hilang
bila
terapi
dihentikan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Eritromisin) 6. Reseptor batuk berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma. (http://belibis-a17.com/2010/04/22/patofisiologi-batuk/)
33