Anda di halaman 1dari 5

Setelah sekian lama ditunggu publik, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan politikus dan anggota DPR

dari Partai Demokrat Angelina Sondakh, menjadi tersangka kasus suap pembangunan wisma atlet. Dengan demikian, diperkirakan Angelina akan menyusul rekannya, mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin, menjadi terdakwa dalam kasus yang sama. Kita katakan penetapan status itu ditunggu publik, tak lain karena pola korupsi yang dilakukan orang-orang di kelompok usaha milik Nazaruddin, bukanlah modus operandi tindak pidana korupsi yang canggih. Cara-cara seperti itu juga dilakukan para politikus lain yang telah lebih dahulu masuk penjara karena korupsi. Hanya saja kita duga ketersendatan itu karena kasus tersebut melibatkan Partai Demokrat yang kini sedang berkuasa. Kita tentu ingat ketika Partai Demokrat menggelar Rapat Koordinasi Nasional di Sentul International Conference Center, 2324 Juli 2011, Nazaruddin, yang kabur ke luar negeri, terus beraksi mengganggu melalui pernyataan-pernyataanya via skype di dua stasiun televisi. Dia melontarkan berbagai tuduhan yang intinya membongkar kebobrokan para oknum pemimpin di mantan partainya. Para pemimpin partai itu ditudingnya berbuat korupsi untuk kepentingan sendiri maupun untuk partai. Kemudian, dalam persidangan dengan para terdakwa para mantan pegawai di perusahaan milik Nazaruddin yang kini sedang berlangsung, terungkap sejumlah nama yang merupakan para pejabat teras partai tersebut dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian, meski belum diputuskan pengadilan, dapat

diperkirakan Angelina, dan entah politikus manalagi yang akan dijadikan tersangka oleh KPK, sudah setengah kakinya di penjara.

Tidak Berbeda Hal itu mengingat seseorang yang ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh KPK, pada umumnya didapati bersalah dan tidak akan bebas. Maka kejadian demi kejadian yang menimpa Partai Demokrat ini membuat kita terpaksa harus menerima kenyataan pahit bahwa partai politik tersebut yang diharapkan mengedepankan agenda antikorupsi itu ternyata tidak berbeda dengan partai-partai politik lain yang para kadernya juga terkena perkara korupsi. Apa yang didengang-dengungkan semasa kampanye bahwa antikorupsi menjadi agenda mereka, ternyata juga hanya janji-janji kosong. Partai Demokrat tak beda dengan partai-partai politik lainnya yang mengandalkan keuangan partai mereka dari komisi kegiatan-kegiatan yang dibiayai APBN, atau dari menjual berbagai izin dan kemudahan usaha (tambang, perkebunan, infrastruktur, dan lain-lain). Ini karena dari situlah partai (dan para kadernya) bisa hidup atau mengumpulkan kekayaan. Karena itu, meski kejadian-kejadian terkait para kader Partai Demokrat itu berpotensi menurunkan popularitas partai tersebut, kita sarankan ada baiknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina, memerintahkan pembersihan besarbesaran di tubuh partainya. Prinsipnya sama seperti memotong benalu dari ranting-ranting sehingga pohon itu menjadi sehat kembali. Langkah seperti itu, meski terasa menyakitkan,

akan lebih baik sebagai unjuk bukti kepada masyarakat pemilih mereka bahwa para elite dan pemimpin partai konsisten dengan sikap antikorupsi, bahwa mereka yang korupsi itu adalah para "benalu" yang menumpang hidup dan mencari kekayaan dari partai yang saat ini sedang berkuasa. Hal itu untuk mengobati sakit hati rakyat para pemilih yang "telah dikhianati" para elite dan kader Partai Demokrat.

Dalam hal ini, tidak ada gunanya lagi melindungi atau pun menutup-nutupi tokoh-tokoh lain di partai yang kemungkinan besar terlibat korupsi. Bila Partai Demokrat berani berbuat demikian, maka partai tersebut akan memperlihatkan kepeloporan dalam upaya pemberantasan korupsi. Kepada KPK, langkah yang tegas tanpa pandang bulu merupakan momentum yang baik untuk membuktikan lembaga ini memang tidak tebang pilih, tetapi bertindak berdasarkan fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yang telah dikumpulkan. Kalau KPK bertindak seperti itu, rakyat masih bisa berharap lembaga ini masih dapat diharapkan dalam perang kita melawan korupsi.

Harus dicatat bahwa, pemimpin yang masih ingin bersandar dan berlindung pada Parpol, maka orang itu adalah pemimpin yang lemah. Seorang pengamat di TV mengatakan bahwa Presiden Yudhoyono bukan seorang presiden yang kuat. Tetapi seorang presiden yang adaptif. Barangkali hal itu bukan pandangan yang salah. Mungkin karena begitu adaptifnya, maka keputusan-keputusan yang diambil dirasakan oleh publik sangat lambat dan telat. Tetapi apa mau dikata lagi, barangkali

itulah yang merupakan pilihan rakyat pada saat pemilu yang lalu. Kiranya dapat dikatakan bahwa sepanjang pemimpin negara (presiden, wapres dan menteri) masih berkiblat pada parpol, maka bangsa ini tidak akan maju dengan pesat. Korupsi cenderung masih akan merajalela.

Mungkin karena KKN, atau karena kepentingan sesaat untuk memperkokoh kekuasaan. Untuk itu, kiranya ide yang pernah berkembang agar pemimpin negara keluar dari Parpol (bebas Parpol) harus terus dihidupkan. Kita yakin bahwa presiden atau menteri yang parpolnya keruh dan bermasalah, pasti tidak fokus pada kepentingan bangsa dan negara. Karena kalau Parpol yang merupakan sebuah kendaraan politik menghadapi masalah, pasti akan memperlemah image pemimpin tersebut.

Selanjutnya pasti akan mampu menurunkan dirinya yang sedang berkuasa. Kalau kaum Parpol memang akan mengabdi dan berbuat untuk negara, maka mereka harus dengan sadar dan sukarela membangun sebuah undang-undang yang mengatur semuanya itu. Yakni mengatur bahwa pejabat negara tidak boleh menjabat dalam struktur Parpol. Risikonya adalah pejabat itu harus profesional. Artinya, mereka harus memiliki integritas intelektual, integritas etik dan integritas religius.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Parpol di parlemen untuk mengkritiknya, karena memang mereka berbuat dan bekerja dengan cara-cara yang

profesional. Masalahnya, kapankah para elite Parpol mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang negarawan? Tidak sekadar elite Parpol yang hanya mengembangkan dirinya sebagai seorang politikus. Mungkin kita harus menunggu negara ini porakporanda, maka barulah akan muncul seseorang yang mumpuni sebagai negarawan. Sebetulnya, saat ini sudah mulai muncul calon pemimpin yang ingin bermain bersih, yang ingin maju ke panggung politik dengan tidak mengandalkan pada kekuatan uang. Hal ini tampak muncul dalam proses pemilihan Gubernur DKI. Harus diakui bahwa bibit politik seperti ini adalah sesuatu yang baik bagi masa depan Indonesia. Namun tampaknya ide dan harapan politik seperti ini masih akan kalah dalam melawan gemuruh rupiah dan dolar dalam proses politik-uang di negara kita. Kini kitapun disuguhi tontonan atas perseteruan yang sedang terjadi antara KPK dengan Demokrat. Dikatakan perseteruan, karena KPK sedang gencar mengendus sejumlah elit Demokrat yang terindikasi korupsi.

Anda mungkin juga menyukai