Anda di halaman 1dari 5

Wednesday, 10 February 2010 Permendiknas No 74 dan Nomor 75 Home Artikel Sekolah Gratis Dalam Fenomena Propaganda Politik Sekolah

Gratis Dalam Fenomena Propaganda Politik KOMUNIKASI MASA YANG SEHARUSNYA BIJAK : Sekolah Gratis dalam fenomena propaganda politik, Kearifan mengimplementasikan dalam Kerangka Otonomi Sekolah /MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) Penulis : Budi Azizi, SE Saat ini, kita sedang merasakan dan menyaksikan para politikus di Indonesia ramai-ramai berjualan slogan-slogan janji politik. Janji politik mereka sangat bermacam-macam jenisnya, namun jika kita menyaring intisari janji-janji politik para politikus kita pada umumnya bermuara pada hal-hal yang sama. Salah satu yang dijanjikan oleh para politikus kita adalah Sekolah Gratis. Nampaknya janji politik Sekolah Gratis sangat mujarab melenakan para pemilih (masyarakat) untuk memilih wakil rakyat ( calon legislative) dan atau calon pimpinan pemerintah ( pilkada Bupati, walikota, gubernur, presiden & wakil presiden). Ini terbukti, dimana-mana di daerah Indonesia ini, dari fenomena pilkada untuk pimpinan pemerintah daerah dimenangkan oleh kontestan pilkada yang memilki paket janji yang salah satu isinya adalah Sekolah Gratis. Berarti janji sekolah gratis adalah salah satu senjata pamungkas untuk dapat menarik minat pemilih dalam era kampaye pilkada atau pemilu. Selanjutnya, setelah resmi kontestan itu memenangkan pilkada/pemilu, menjabat jabatannya yang diperebutkan tersebut, apakah para politikus itu bijaksana dalam menyampaikan janji saat kampaye atau mengimplementasikannya dalam urusan kedinasan di lingkungan pemerintahan? Apakah dampak pengunaan bahasa sekolah gratis kepada kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab bersama dalam pembangunan bidang pendidikan? Apakah benar para politikus kita benar-benar paham tentang fenomena masyarakat tentang kesadaran pendidikan dan ruang lingkup dunia pendidikan di sekolah?. Untuk menjawab unek-unek pertanyaan itu, mari kita melihat fenomena dalam proses berjalannya kegiatan bidang pendidikan di sekolah saat ini, peran kebijaksanaan para pimpianan pemerintah dan birokrasinya, dan kesesuaian dengan aturan-aturan yang mengikat berjalannya proses pendidikan di sekolah. Sebenaranya penggunaan istilah Sekolah Gratis pada konteks masyarakat saat ini kurang bijaksana. Ketidakbijaksanaanya bias dilihat dari beberapa hal berikut ini. a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Sisdiknas. Istilah Sekolah Gratis dalam aturan ini secara ekplisit tidak ada sama sekali, namun secara implicit muncul pada BAB VIII, Wajib Belajar, Pasal 34, yaitu pada Ayat (2) Pemerintah 1

dan Pememrintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pungutan. Seandainya kita telaah kalimat Ayat (2) tersebut makanya yang minimal bebas pungutan adalah jenjang pendidikan dasar, masih menurut undang-undang tersebut pada Bagian Kedua, Pasal 17 Ayat (1) dan secara eksplisit dijelaskan pada Ayat (2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau berbentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lainnya yang sederajat. Jadi, yang dimaksud sekolah gratis secara perundangan oleh kebijakan pemerintah pusat adalah jenjang SD/MI atau SMP/MTs. Konsekwensi perundangan tersebut diimplementasikan oleh kebijaksnaan pendidikan oleh pemerintah pusat dalam bentuk kebijaksanaan BOS ( Bantuan Operasional Sekolah) & BOS Buku ( Bantuan Operasional Sekolah khusus Pembelanjaan Buku, pada tahun 2006, 2007, dan terakhir 2008, sedangkan tahun 2009 BOS Buku sudah dimasukan dalam pencairan dana BOS (regular)). Berarti Pemerintah Pusat sudah dan sedang berupaya menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pungutan sesuai Ayat (2) pada BAB VIII, Wajib Belajar, Pasal 34. Selanjutnya, apakah pemerintah daerah (provinsi & Kab./Kota) sudah ikut menjamin seperti yang dilakukan oleh pemerintah pusat? Kalau pertanyaan ini disampaikan kepada para pejabat lingkungan Dinas Pendidikan atau Pemerintah Daerah akan menjawab sudah. Jawaban sudah itu adalah lumrah menurut definisi operasional istilah sekolah gratis sesuai janji kampaye mereka yaitu dengan membuat surat edaran larangan adanya pungutan dalam bentuk apapun ke seluruh sekolah dari mulai jenjang SD/MI dan SMP/MTs (kategori pendidikan dasar) dan bahkan sampai ke jenjang SMA/MA dan SMK ( yang kategori sekolah tersebut adalah Pendidikan menengah). Padahal, menurut undangundang yang sama pula, yang dimaksud ikut menjamin adalah mengimplementasikan Bagian Keempat, Pengalokasian Dana Pendidikan, Pasal 49, Ayat (1) Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan Pasal 49, Ayat (1) tersebut, pemerintah daerah sudah dapat dikatakan telah menjamin terlaksananya pendidikan dasar tanpa pungutan ( yang dimaksud istilah sekolah gratis), jika pemerintah daerah tersebut telah menyediakan dana alokasi di sector pendidikan, seperti yang dimaksudkan dalam pasal 49 tersebut, dan melakukan program-program pendidikan yang berasal dari APBDnya, melengkapi kekurangan apa yang sudah pemerintah pusat laksanakan dalam konteks menjamin terlaksananya pendidikan dasar tanpa pungutan. Fenomenanya saat ini di beberapa daerah di Indonesia, pengimplementasian sekolah gratis, nampaknya di setiap daerah pada umumnya adalah sama kecuali beberapa daerah yang sudah berjalan seperti Kab. Musi Banyuasin ( Sumsel), Kota Balikpapan ( Kaltim ), Kab. Gowa ( Sulsel), untuk tingkat provinsi pada tahun anggaran 2009 ada beberapa daerah yang masih mencoba memulai seperti Sumsel, Kaltim, Jabar, Sulsel, Jatim, dan DKI. Implementasi sama dalam hal ini adalah masih berupa ungkapan lisan (dalam momen pertemuan atau media massa), Surat Edaran, Spanduk, atau benner yang disebarluaskan ke sekolah ke seluruh sekolah SD/MI dan SMP/MTs. Lebih parahnya lagi Surat Edaran itu pun berlaku pada jenjang SMA/MA dan SMK dengan berbau penekanan dan ancaman seperti seandainya terbukti ada pungutan tanpa mempelajari latarbelakang masalah mengapa terjadi pungutan, maka akan mendapat hukuman konsekwensi pungutan tersebut, berupa diturunkannya jabatan kepala sekolah, pemutasian guru sekolah ke lokasi sekolah yang lebih terpencil, dan lainnya. 2

Allahu Alaam, indikasi penekanan & ancaman ini muncul membayangi khususnya para kepala sekolah justru setiap menjelang pergantian tahun ajaran baru atau PSB. Kenapa harus tiap tahun? Apakah karena kepala sekolah memungut biaya? Apakah karena kepala sekolah selalu pragmatis ukuran keberhsilan pendidikan sekolah banyak ditonjolkan dengan berubahnya warna cat sekolah saja? Bagaimanakah para pimpinan daerah memilih Kepala Dinas Pendidikan yang mengerti tentang dunia pendidikan? Apakah para kepala sekolah berprestasi dan berpengalaman panjang tidak layak menjadi Kepala Dinas Pendidikan? Bagaimanakah para pemimpin daerah memilih kepala sekolah? Apakah guru-guru berprestasi di bidangnya dan berpengalaman panjang seperti para instruktur di MGMP tidak layak menjadi kepala sekolah? Atau sekolah gratis adalah alat propaganda para pemimpin pemerintah daerah untuk nengendalikan para PNS di kalangan dinas pendidikan untuk kommersialisasi jabatan?. b. Tuntutan Masyarakat Yang Partisipatif Atas Dasar Sadar Pendidikan Kesadaran masyarakat dalam pendidikan kita memang masih rendah. Salah satu parameter masyarakat masih rendah adalah hampir organisasi atau para pengurus komite sekolah hanya berperan sebagai boneka , nihil, dan hanya tukang tanda tangan untuk melenkapi tanda tangan kepala sekolah dan bendahara sekolah pada dokumen-dokumen pertanggungjawaban penerimaan dana di sekolah. Padahal, komite sekolah adalah mitra sekolah untuk mencari sumbangan partisipasi masyarakat di sekitar lingkungan sekolah ( masyarakat yang berdomisili di sekitar sekolah, orang tua siswa, atau pihak lain/institusi yang perduli pendidikan). Sumbangan untuk sekolah yang digalang oleh para pengurus komite sekolah ini akan digunakan oleh sekolah untuk mengembangkan sekolah sesuai visi dan misinya sekolah bersangkutan. Namun kenyataannya, komite sekolah selalu mengalami kegagalan untuk menjaring dana masyarakat tersebut. Barangkali fenomena masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang ingin berposisi telapak tangan di bawah atau telapak tangan di atas dengan menyimpan hasrat kepentingan dan memainkan bidak catur kepada pihak yang tangannya di bawah (tidak ikhlas). Selain itu, kesadaran pendidikan di kalangan siswa (salah satu golongan masyarakat) juga masih dalam taraf yang masih rendah. Parameter bahwa golongan masyarakat siswa ini masih rendah adalah rendahnya minat baca buku di kalangan siswa. Toko-toko buku sepi pembelian buku keperluan sekolah, padahal khususnya di jenjang SMA/MA dan SMK masih sangat jauh ketersediaan buku di sekolah, begitu pula siswa jenjang SD/MI dan SMP/MTs yang sedikit lebih baik daripada jenjang SMA/MA dan SMK, walau diperkirakan di jenjang SD/MI dan SMP/MTs itu belum semua terpenuhi dari adanya BOS Buku atau BOS, karena buku-buku pembelanjaan yang berasal dari BOS dan BOS Buku tahun 2006 dan tahun 2007 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kurikulum yang berlaku saat ini. Selain itu, siswa lebih suka membeli buku LKS daripada membeli buku pelajaran, padahal untuk mengisi LKS dibutuhkan buku-buku pelajaran. Barangkali karena sekolah terpaksa berjualan LKS karena buku-buku pelajaran sudah kharam dijual di sekolah walau yang berjualan bukan guru, atau bukan Koperasi Sekolah yang beranggotakan kepala sekolah, guru, pegawai TU, atau pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan. Apakah fenomena ini akan terus berjalan? Ada buku saja belum tentu menjamin siswa tambah pintar, apakah masyarakat lebih senang memberi uang lebih kepada toko buku yang tidak pernah ngajari siswa di kelas daripada menghargai keringat guru-guru mereka sendiri?, atau susah mengajar saat ini karena siswa banyak yang tidak pegang buku dan jarang baca buku menyadur kata-kata guru yang mengeluh dengan kondisi saat ini.

Nampaknya, fenomena ini akan semakin memburuk karena propaganda sekolah gratis semakin menenggelamkan semakin dalam dalam kubangan lumpur ketidaksadaran partisipasi tanggung jawab pendidikan. Semakin menenggelamkan ini didasari pada semakin terlindunginya peran masyarakat yang tidak partisipatif dan tidak sadar dalam pendidikan akibat propaganda sekolah gratis. Sebagai pengetahuan bahwa undang-undang sangat menghendaki peran aktif dan partisipasi masyarakat dalam sector pendidikan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB. XV tentang PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN, Bagian Kesatu, Umum, Pasal 54, Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3). Oleh karena itu, perlu bahasa yang bijaksana untuk menyampaikan propaganda politik tentang sekolah gratis. c. Jangan membuat Psikologi Pendidik Tertekan Sehingga Mematikan Otonomi Sekolah secara komprehensif dalam batasan wilayah dan Unit Sekolah Pada zaman orde baru, kita mengenal istilah kota pendidikan, parameter yang saat itu diukur adalah jumlah perguruan tinggi yang ada di kota bersangkutan, kualitas & kuantitas prestasi pendidikan di setiap jenjang pendidikan yang muncul, fasilitas pendidikan yang tersedia dan selalu menjadi patokan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan formal. Namun, untuk saat ini, parameter itu bukanlah parameter yang tepat, karena tetap saja dengan parameter konvensional tersebut terjadi beberapa hal yang memalukan yaitu tawuran antarpelajar, tawuran antarmahasiswa, radikalisme generasi muda, dekadensi moral, pergaulan bebas di kalangan siswa dan mahasiswa. Pada era saat ini, citra kota pendidikan akan nampak pada bagaimana demokrasi dalam dunia pendidikan itu berjalan, karena sesungguhnya metode pembelajaran kurikulum KTSP ( Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang berbasis SKKD ( Standard Kompetensi dan Kompetensi Dasar ) saat ini adalah demokrasi dalam metode pembelajaran. Untuk berjalannya mekanisme demokrasi dalam dunia pendidikan, dibutuhkan kebebasan berkreatifitas di kalangan pendidik, sehingga tidak tepat pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan atau surat edaran yang membatasi apalagi ikut mencampuri urusan rumah tangga sekolah seperti harus ini dan itu apalagi yang berhubungan dengan media pembelajaran di sekolah seperti kebijakan harus menggunakan buku ini (titik), kalau bukan ini itu menyalahi aturan, nanti dokumen pertanggungjawabannya tidak akan saya acc . Kenapa ini bisa terjadi? Kerangka pembangunan pembelajaran pendidikan yang berdemokrasi dan sudah dikonsep, dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2003/2004 telah terputus (Kerangka ini yang dimaksud adalah Metode Pembelajaran Berbasis Kompetensi tahun 2003 dengan menggabungkan Konsep Otonomi Sekolah/MBS tahun 2002). Seharusnya, saat ini di setiap daerah kota atau kabupaten telah terbentuk dewan pendidikan (sebagai mitra dinas pendidikan, yang mewakili aspirasi masyarakat dan sekolah untuk sharing input kepada pemerintah ), Komite Sekolah yang aktif di setiap sekolah, KKKS (Kelompok Kerja Kepala sekolah) jenjang SD, KKG (Kelompok Kerja Guru) di tingkat SD, MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) Tingkat SMP dan Tingkat SMA, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setiap bidang study.

Apabila, lemabaga atau wadah profesi guru itu berjalan secara regular minimal sebulan sekali ( bukan sekedar tulisan dalam kertas yang memunculkan susunan nama-nama pengurus, anggota dan kalender kegiatan yang fiktif ), maka akan kita ketahui sebenarnya arah pengembangan kurikulum sekolah, kebutuhan sarana buku dan media pembelajaran lainnya yang sesuai dengan pengembangan kurikulum, kebutuhan pelatihan dan sharing pengalaman mengajar, bagaimana setiap sekolah/kepala sekolah mengadopsi dan mengakomodir kebutuhan pembelajaran secara bersama-sama dalam hal-hal tertentu yang terkendala di masing-masing sekolah, dan lain-lain. Jadi, siapa yang mengetahui bagaimana pembelajaran dan pendidikan di Sekolah akan maju dan akan lebih baik adalah para guru/pendidik di sekolah bukan pejabat pemerintah yang otoriter atau pejabat politik yang opportunis. Atau, biarkan, bebaskan sesuai konsep otonomi sekolah/MBS sekolah dan para pendidik berdemokrasi untuk memajukan pendidikan tanpa tekanan bathin yang dapat membunuh kreatifitas guru dan pendidik di sekolah, dan atau tanpa diintervensi atau dipolitisir oleh para politikus yang opportunis. Para guru dan Pendidik sangat tahu bahwa yang dimaksud sekolah gratis adalah tidak akan menolak calon siswa yang ingin masuk sekolah, tidak akan memungut pungutan secara paksa kalau dana sekolah belum cukup seandainya dana BOS dirasakan masih belum memadai. Selanjutnya, para guru dan pendidik di sekolah sangat tahu bahwa yang dimaksud sekolah gratis sama dengan memberikan kesempatan hak pendidikan kepada semua warga Negara tanpa pandang bulu sesuai amanah UUD45 Pasal 31. Alangkah baiknya, penggunaan bahasa propaganda politik baik pada momentum kampaye atau bahasa program kebijakan pemerintah menggunakan bahasa yang tidak menimbulkan pemahaman yang salah kaprah. Istilah sekolah gratis akan dipahami berbeda oleh pihak yang berposisi berbeda, bagi aparat birokrasi sekolah gratis ada yang mengejawantahkan hanya berupa uangkapan lisan, surat edaran, spanduk, benner yang menyatakan sekolah gratis tanpa pungutan. Namun bagi kalangan masyarakat, istilah sekolah gratis akan dipahami bahwa menyekolahkan anak tidak ada lagi beban biaya apapun, semua gratis, yang penting anak saya sekolah, semua telah disediakan tanpa dipungut biaya lagi, jika ada pungutan itu dianggap pelanggaran. Di lain pihak, bagi masyarakat guru dan pendidik di sekolah, ungkapan sekolah gratis adalah sesuai dengan UUD45 Pasal 31, dan merasakan adanya efek negative terhadap slogan sekolah gratis yaitu kurangnya partisipasi masyarakat terhadap sumbangan pendidikan di sekolah. Namun, apabila kita kembali pada hakekat filsafat hidup, bahwa di dunia ini, tidak ada sumber daya yang tidak terbatas untuk pemenuhan kebutuhan, maka sebenarnya sekolah gratis bukan dipahami semua sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, peningkatana pelayanan mutu pendidikan di sekolah telah tersedia, pasti banyak yang masih kurang dari ketersediaan, apalagi seperti Negara Indonesia yang masih dalam kategori Negara berkembang. Karena itu, dibutuhkan sikap yang bijaksana dalam penyampaian ungkapan dan bahasa komunikasi kepada masyarkat agar supaya tidak meninbulkan persepsi yang salah tentang istilah sekolah gratis. Kita patut meniru prinsip manajemen yaitu pemberdayaan sumber daya yang terbatas dengan segala upaya (termasuk juga pengorbanan) sesuai prinsipprinsip efektifitas, efiensi, dan produktifitas yang optimal. Jangan membuat istilah gratis yang menyesatkan.**

Anda mungkin juga menyukai