Anda di halaman 1dari 32

PERJANJIAN MOU 1978, MALAYSIA DAN INDONESIA BELUM DISAHKAN DPR Polemik Indonesia-Malaysia berkaitan dengan perbatasan di Tanjung

Datu dan Camar Bulan, Kalimantan Barat, kian berlarut-larut. Temuan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanudin segera ditindaklanjuti. Indonesia harus bersikap tegas terhadap Malaysia. Dimana, Kawasan Camar Bulan tepatnya di patok batas A 88 sampai patok A 156 bergeser dan masuk ke Malaysia. Bahkkan hingga kini, Malaysia masih mempertahankan lahan seluas 1.499 Ha itu karena merasa dikuatkan oleh MoU 1978. Melihat dari situ, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pemerintah harus membuka kembali MoU yang kini menjadi pegangan Malaysia pada tahun 1978, terkait Outstanding Boundary Problems (OBP) Tanjung Datu. Hal ini, karena koordinat yang telah disepakati dalam MoU 1978 belum mengikat dan menjadi referensi perbatasan di OBP Tanjung Datu. Untuk diketahui MoU bukanlah perjanjian perbatasan antara Malaysia dan Indonesia, bahkan MoU belum pernah disahkan oleh DPR, . Menurut UU Perjanjian Internasional terkait perjanjian tapal batas untuk berlaku efektif maka harus ada pengesahan DPR. Tapi, waktu itu, tidak ada restu dari anggota legislatif. Sehingga tidak berlaku perjanjian itu, pemerintah harus tegas meminta Malaysia untuk membongkar patok yang telah dibuat sesuai koordinat yang ada dalam MoU 1978. Pemerintah juga harus meminta pemerintah Malaysia untuk menghormati status quo dan menganggap belum ada yang konklusif terkait dengan koordinat perbatasan. Oleh karenanya patok harus dibongkar, ujarnya. Malaysia juga harus bersedia melakukan survei dan merundingkan kembali titik-titik koordinat, yang tahun 1978 tidak bisa dijadikan dasar bagi perjanjian perbatasan kedua negara. Karena koordinat yang disepakati MoU 1978 sudah dapat dipastikan akan ditolak oleh publik dan DPR, jelasnya. Namun, bila pemerintah Malaysia menolak untuk merundingkan kembali, maka sebaiknya pemerintah tidak melakukan sesuatu

apapun, tidak perlu merengek untuk dibuka kembali perundingan. Memang masalah ini akan menjadi diambangkan. Tetapi dari sisi kepentingan nasional lebih baik diambangkan daripada disepakati MoU 1978 sebagai titik koordinat perbatasan negara. Dengan diambangkan maka Indonesia akan tetap bisa mengklaim kedaulatan di OBP Tanjung Datu. Penulis semakin menyadari betapa pentingnya memahami definisi perjanjian internasional guna membedakannya dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas negara/transnasional. Dalam publik opini, dengan serta merta MOU Helsinki antara Pemerintah RI-GAM 2005 akan dimengerti sebagai Perjanjian Internasional, MOU RI-Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RI-Microsoft 2007 juga akan pahami sebagai suatu perjanjian internasional. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh Pemerintah RI adalah perjanjian internasional sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian internasional. Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah: An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation

Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu: an International Agreement; by Subject of International Law; in Written Form;

Governed by International Law (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik); Whatever Form. Parameter yang paling menentukan dan acapkali sulita dipahami oleh publik adalah Governed by International Law dan format (judul/momenklatur). Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional tidak hanya di kalangan praktisi namun juga akademisi. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, suatu dokumen disebut sebagai Governed by International Law jika memenuhi dua elemen, yaitu intended to create obligations and legal relations under international law: a. Intended to create obligations and legal relations.

There may be agreements whilst concluded between States but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a Joint Statement, or MOU, depends on the subject-matter and the intention of the partie

b. Under International Law. There may be agreements between States but subject to the local law of one of the parties or by a private law system/conflict of law such as agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions i.e. loan agreements Permasalahan teoritis tentang bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu dokumen adalah Governed by International Law juga masih menimbulkan perdebatan akademis. Apakah hal ini dapat ditarik dari the intention of the Parties? the Subject-Matter of the agreement?, atau should there be a presumption that an inter-state agreement which is intended to create legal relations is governed by international law? Pakar hukum D.J. Harris sendiri masih melihat hal ini sebagai unanswered questions. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerinth Indonesia yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktek Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam Treaty Room Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktek di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan Governed by International Law, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai

perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti loan agreements. Keputusan MK terhadap judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), dimana penulis juga terlibat untuk mewakili pemerintah, merupakan jurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia. Dalam kasus ini, beberapa anggota DPR mempermasalahkan bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi Setiap Kontrak Kerja Sama (KPS) yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR. Mahkamah Konstitusi dalam judical review ini telah melakukan koreksi terhadap distorsi yang terjadi dalam opini public tentang apa itu perjanjian internasional. Mahkamah Konstitusi menyatakan: Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, kami dapat menyetujui pendapat Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945, dan karena itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan.

Status loan agreements juga menjadi kontroversi dalam perspektif definisi perjanjian internasional. Hal ini disebabkan adanya pergeseran tentang governing law yang mendasari perjanjian-perjanjian pinjaman. Secara konvensional, perjanjian pinjaman dikenal sebagai perjanjian perdata internasional dan tunduk pada hukum nasional tertentu sehingga status perjanjian ini bukanlah perjanjian internasional Governed by International Law, dan dengan demikian bukan perjanjian internasional seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata.[4] Akibatnya, muncul berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang mengindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti yang disyaraatkan oleh General Conditions for Loans IBRD 2005. Namun di lain pihak, banyak perjanjian pinjaman seperti halnya perjanjian komersial lainnya yang tidak secara tegas menyebutkan governing law, sehingga penetapan status perjanjian diserahkan pada intepretasi di kemudian hari manakala terjadi sengketa. Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjian pinjaman, yaitu: a. perjanjian internasional publik Governed by International Law seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan; b. perjanjian perdata internasional biasa yang Governed by other than International Law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.[5]

Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat

pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.[6] Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri yang saat ini sedang berlangsung, kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri. Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR dalam konteks UndangUndang APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang APBN bukanlah Undang-Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan Undang-Undang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN bukanlah mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI sedangkan persetujuan

dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian, secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam UU lainnya. Dalam prakteknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut, wewenang penandatanganan Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan. Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah sebabnya, dalam rangka akuntabilitas juridis serta untuk mengamankan kepentingan hukum khususnya kewajiban pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar Negeri pada setiap perjanjian pinjaman kategori ini selalu mengupayakan klausula akan tentang dipenuhinya terlebih dahulu prosedur

konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian. Dalam praktek, Departemen Luar Negeri menyampaikan notifikasi telah terpenuhinya prosedur konstitusional/internal setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan perihal itu. Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan

Pemerintah No. 2 Tahun 2006 (bahkan dalam Rancangan Undang-Undang Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UndangUndang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per definisi Undang-Undang ini yaitu perjanjian Governed by International Law. Untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang ini, akan terjadi konflik kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi, dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri ditandatangani oleh Menteri Keuangan sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) mendelegasikan kepada Menteri Keuangan. Seperti telah diuraikan diatas, dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman dapat merupakan perjanjian internasional dan juga dapat berupa perjanjian perdata internasional. Loan Agreements yang dibuat oleh Indonesia selama ini adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional. Namun di pihak lain, beberapa negara seperti Jerman dan lembaga donor seperti International Fund for Agriculture Development[7] menginginkan agar perjanjian pinjaman ini mengambil format perjanjian internasional yang tunduk pada Konvensi Wina 1969, sehingga prosedur

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 harus diterapkan, termasuk prosedur ratifikasi berdasarkan pasal 10. Dalam definisi tentang Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri pada Rancangan Undang-Undang ini, diindikasikan bahwa Pemerintah RI dapat membuat perjanjian dengan pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank Swasta Asing, Lembaga Keuangan Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta lainnya. Lembaga-lembaga ini jelas bukan Subjek Hukum Internasional dan dengan demikian perjanjian pinjaman dengan lembaga-lembaga ini bukan merupakan perjanjian yang menjadi lingkup Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau nomenklatur, namun praktek Indonesia pada umumnya tanpa disengaja telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu, misalnya lebih cenderung menggunakan Agreement sebagai instrumen payung dan kemudian MOU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan ini dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak menyepakatinya. Selain itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek Indonesia bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian yang bersifat teknis antar sektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian payung, seperti Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik. Pendekatan ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan conveniences dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja dibuat untuk masalah yang teknis dan konkrit tanpa adanya perjanjian payung. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) merupakan salah satu model dokumen yang memiliki sifat khas/typical. Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law system, yang berpandangan bahwa MOU adalah non-legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip

bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat seperti Treaties. Para ahli berpendapat bahwa istilah MOU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Adanya pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Pada tataran praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MOU melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian internasional. Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara common law, pengertian non-legally binding memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional. Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi concern yang berarti bagi Indonesia. Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai bentuk yang lebih informal dari kontrak atau perjanjian dalam hubungan perdata nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah mulai menggunakan format MOU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam ini masih menjadi perdebatan. Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia. Pengertian MOU oleh otonomi daerah merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk Perjanjian Kerjasama yang bersifat mengikat.

Metode yang digunakan dalam praktek Indonesia untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional masih belum konsisten. Hal ini terlihat dari pola sistem penyimpanan perjanjian (depository system) yang ternyata menyimpan pada Treaty Room Departemen Luar Negeri semua dokumen sepanjang ditandatangani oleh Pemerintah RI tanpa melihat apakah dokumen tersebut memenuhi semua elemen sebagai suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang tersimpan pada Treaty Room berdasarkan materi perjanjian (the merits of the documents), maka pada hakekatnya dapat dilakukan klasifikasi sbb: a) Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Multilateral Convention, Border Treaties, Extradition, Agreement, MOUs, Exchange of Notes, etc); b) Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi tidak tunduk pada hukum internasional publik (loan agreements, procurement contracts, etc); c) Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (joint statements, declarations, agreed minutes, etc). Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada percepatan arus globlalisasi, mengakibatkan hukum perjanjian internasional juga mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri. Sekalipun literatur hukum internasional telah menyediakan banyak teori dan praktek tentang perjanjian internasional yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang kreatif dan inovatif. Dari uraian diatas maka praktek Indonesia juga ternyata tidak luput dari dinamika tersebut.

PENETAPAN DAN PENEGAKAN BATAS WILAYAH LAUT NEGARA Sebagai negara maritim dan kepulauan (the archipelagic state) terbesar di dunia, dengan 17.500 lebih pulau dan 81.000 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada) serta 75 persen (5,8 juta km2) wilayahnya berupa laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia memiliki batas-batas wilayah berupa perairan laut dengan 10 negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Niugini, Australia, Timor Timur, dan Palau. Sementara wilayah darat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga hanya dua, yakni Malaysia di Kalimantan dan Papua Niugini di Papua. Penetapan dan penegakan batas wilayah merupakan hal yang sangat krusial karena menyangkut kedaulatan wilayah Indonesia di laut, aspek perekonomian (pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan), dan aspek hankam serta stabilitas kawasan. Pengaturan mengenai penetapan batas wilayah laut suatu negara dan berbagai kegiatan di laut sebenarnya telah termuat dalam suatu perjanjian internasional yang komprehensif yang dikenal dengan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 atau Hukum Laut PBB 1982). Dalam UNCLOS 1982 dikenal delapan zona pengaturan (regime) yang berlaku di laut, yaitu (1) perairan pedalaman (internal waters), (2) perairan kepulauan (archipelagic waters), (3) laut teritorial (teritorial waters), (4) zona tambahan (contiguous zone), (5) Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone), (6) landas kontinen (continental shelf), (7) laut lepas (high seas), dan (8) kawasan dasar laut internasional (international seabed area). Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No 17/1985 dan memberlakukan UU No 6/1966 tentang Perairan Indonesia menggantikan UU No 4/Perp.1960 yang disesuaikan dengan jiwa atau ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982. Lebih lanjut, untuk keperluan penetapan batas-batas wilayah perairan Indonesia telah diundangkan PP No 38 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Adapun batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga meliputi: (1) batas laut teritorial, (2) batas zona tambahan, (3) batas perairan ZEE, dan (4) batas landas kontinen. Yang dimaksud laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai yang meliputi ruang udara dan laut serta tanah di bawahnya sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Zona tambahan mencakup wilayah perairan laut sampai ke batas 12 mil laut di luar laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal. ZEE adalah suatu wilayah perairan laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal; yang mana suatu negara pantai (coastal state) memiliki hak atas kedaulatan untuk eksplorasi, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya alam. Landas kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang menyambung dari laut teritorial negara pantai melalui kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai ujung terluar tepian kontinen. Sayangnya, hingga saat ini penetapan batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga masih banyak yang belum tuntas. Dari 10 negara yang wilayah lautnya berbatasan dengan Indonesia, baru antara Indonesia dan Australia yang batas-batas wilayah lautnya telah diselesaikan secara lengkap. Sementara dengan negara-negara tetangga lainnya baru dilaksanakan penetapan batas-batas landas kontinen dan sebagian batas-batas laut teritorial serta ZEE. Kondisi semacam inilah yang sering menimbulkan konflik wilayah laut antara Indonesia dan negaranegara tetangga, seperti kasus Sipadan, Ligitan, dan Ambalat. Konflik yang terjadi akan menimbulkan ketidakstabilan dan mengganggu pembangunan perekonomian pada wilayah tersebut. Dengan belum adanya kepastian batas-batas wilayah perairan, maka kegiatan perekonomian kelautan, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi, pariwisata bahari, transportasi laut, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam lainnya, serta konservasi akan terhambat. Oleh karena itu, penyelesaian batas-batas wilayah laut dengan kesepuluh negara di atas, kecuali Australia, tidak boleh ditunda-tunda lagi. Kerja keras, cerdas, ikhlas, dan sinergis antarinstansi terkait mesti segara diwujudkan guna menyelesaikan segenap permasalahan batas wilayah

laut. Di masa Pemerintahan Kabinet Persatuan Indonesia dan Kabinet Gotong Royong, program ini sesungguhnya telah dikerjakan di bawah koordinasi Dewan Maritim Indonesia (DMI). Selain PP No 38/2002, Peta Wilayah NKRI juga telah disusun melalui kerja sama antara Bakosurtanal, Dishidros-TNI AL, serta Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Peta ini perlu penyempurnaan dan kemudian oleh Pemerintah RI segera didepositkan (dikirim) ke PBB untuk mendapatkan pengakuan internasional. Program penamaan pulau-pulau yang belum bernama juga telah dirintis oleh Departemen Dalam Negeri dan DKP, yang harus diselesaikan secepatnya, karena paling lambat tahun 2009 kita harus mendepositkan ke PBB untuk mendapatkan pengesahan dunia. Departemen Luar Negeri yang selama ini cukup aktif harus lebih proaktif lagi melakukan perundingan penetapan batas wilayah laut dengan negaranegara tetangga, baik secara bilateral maupun unilateral. Perlu adanya kajian ilmiah dan survei untuk dapat mengklaim wilayah perairan laut sebagai wilayah Indonesia. Akhirnya, Deplu sebagai leading agency harus didukung secara penuh dan produktif oleh instansi terkait, utamanya DKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Perhubungan, TNI AL, Kantor Menneg Ristek dan BPPT, Bakosurtanal, LIPI, dan Perguruan Tinggi Kelautan.

PENINGKATAN KEMAMPUAN HANKAM LAUT


Kasus Ambalat merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap kedaulatan dan kehormatan bangsa Indonesia. Di samping masalah perbatasan wilayah perairan, permasalahan lain yang dapat menggerogoti kedaulatan dan kehormatan kita sebagai bangsa adalah: perompakan (armed robbery), pembajakan (piracy), penyelundupan manusia (imigran gelap), penyelundupan barang (seperti kayu, gula, beras, bahan bakar minyak, pakaian bekas, dan senjata), illegal fishing; eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, serta pelanggaran lain di wilayah perairan Indonesia. Dikarenakan begitu tingginya kasus-kasus pelanggaran dan kegiatan ilegal di wilayah laut ini, maka Indonesia mengalami kerugian ekonomi lebih kurang Rp 100 triliun/tahun (Bappenas, Juli 2004). Selain kerugian ekonomi, dignity kita sebagai bangsa berdaulat juga terlecehkan, bahkan para pelaku asing kegiatan ilegal tersebut menanggap laut Indonesia sebagai daerah tak bertuan. Sungguh tragis dan menyakitkan, kita memperoleh predikat tersebut. Oleh sebab itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu padu dan all-out menyatakan perang terhadap segala bentuk pelanggaran dan kegiatan ilegal di tanah air tercinta melalui penguatan dan pengembangan kemampuan hankam di wilayah laut kita. Dalam rangka penegakan kedaulatan wilayah perairan tersebut, perlu adanya pertahanan negara dan penangkalan gangguan, menyiapkan kekuatan untuk persiapan perang, menangkal setiap ancaman militer melalui laut, melindungi dan menjaga batas-batas wilayah perairan, serta menjaga keamanan laut nasional dan regional. Selain itu, perlu juga adanya sistem dan mekanisme yang mampu melindungi sumber daya alam dan kekayaan laut nasional serta pemeliharaan ketertiban di wilayah perairan nasional. Untuk melakukan sistem pengamanan tersebut, selain diperlukan dasar hukum yang jelas, diperlukan juga prasarana dan sarana hankam laut, seperti kapal patroli dan kapal perang yang memadai. Saat ini TNI AL hanya memiliki 117 kapal perang (KRI) yang sebagian besar telah berusia tua dengan persenjataan yang ketinggalan zaman (out of date). Dengan kondisi seperti ini tidak mungkin dilakukan sistem

pengamanan yang terpadu, malahan diperkirakan pada dekade selanjutnya kita tidak akan memiliki kapal perang jika tidak dilakukan penambahan kapal baru dan penambahan anggaran pemeliharaan kapal (KSAL, 2004). Beranjak dari kondisi kemampuan hankam laut nasional, kita harus meningkatkan prasarana dan sarana hankam di laut, seperti menara suar (light house) dan pos pengamanan di 92 pulau terluar Indonesia, kapal patroli dan kapal perang sesuai dengan kebutuhan minimal, sistem MCS (monitoring, controlling, and surveillance) Kelautan, dan lainnya. Sebenarnya sejak tahun 2003 DKP telah memiliki sistem MCS Perikanan dan Kelautan terbesar kedua di dunia setelah AS, yang dengan penambahan beberapa komponen sistemnya (seperti radar) mampu secara digital dan real- time memantau pergerakan hampir seluruh jenis kapal di wilayah perairan Indonesia. Oleh karena itu, sistem ini tinggal diintegrasikan dengan kepentingan segenap instansi lainnya di laut dan dioptimalkan penggunannya sehingga dapat memfasilitasi kegiatan hankam di laut. Kesejahteraan para petugas atau anak bangsa lainnya di laut, seperti anggota TNI AL, Polri, DKP, Dephub, Bea Cukai, Imigrasi, dan lainnya, sudah saatnya ditingkatkan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya, sudah saatnya kita memiliki lembaga pengamanan laut terpadu, semacam Coast Guard, yang sudah dirintis pendiriannya sejak pemerintahan Orde Baru, namun sampai sekarang tak kunjung terbentuk karena soal ego-sektoral. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk menunjang keamanan wilayah perairan merupakan sebuah kendala kenapa masih banyak ditemukan berbagai pelanggaran kedaulatan dan hukum laut nasional. Pemerintah dan DPR seharusnya menyadari akan hal ini dan melakukan perubahan dalam menentukan skala prioritas pembangunan dengan menyadari bahwa Indonesia adalah negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut, panjang garis pantai, kekayaan alam, dan tingkat kerawanan terhadap gangguan keamanan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH PERBATASAN


Selain pendekatan hankam, pengamanan kedaulatan dan kehormatan negarabangsa di wilayah perairan laut akan berjalan efektif dan efisien (berhasil) jika secara simultan dan sinergis dibarengi dengan melaksanakan program pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan (92 pulau terluar) yang berdaya saing dan berkelanjutan (sustainable) untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Basis ekonomi yang dapat dikembangkan, antara lain, meliputi perikanan tangkap, mariculture (budidaya laut), pariwisata bahari, migas, industri bioteknologi, industri dan jasa maritim, serta industri ramah lingkungan lainnya. Berhubung lokasi pulau-pulau terluar ini sangat jauh (remote) dari pusat ekonomi dan pemerintahan Indonesia, maka kegiatan-kegiatan ekonomi yang dikembangkan adalah yang mampu memenuhi economy of scale (skala ekonomi). Oleh sebab itu, sesuai dengan ukuran pulau dan potensi ekonomi (sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan) yang dikandungnya, pola pembangunannya mesti mencakup gugusan pulau (lebih dari dua pulau) sebagai sebuah unit pengelolaan (a management unit), kegiatan usahanya mesti terpadu dari hulu (produksi), industri pengolahan sampai pemasaran (hilir), dan sesuai dengan daya dukung lingkungan pulau agar pembangunan berlangsung secara berkelanjutan (on a sustainable basis). Pola pembangunan sejenis inilah yang telah berhasil memakmurkan penduduk di gugusan kepulauan di Florida (AS), Maladewa, Maladewa, Mauritius, Scycelles, Langkawi, Palau, dan lainnya. Kawasan industri perikanan terpadu yang dilengkapi dengan pelabuhan perikanan bertaraf internasional (seperti Muara Baru, Jakarta) maupun regional (seperti Pekalongan) dan armada kapal penangkapan ikan modern sebanyak rata-rata 500 unit setiap pelabuhan, saya yakin juga kita mampu memakmurkan wilayah-wilayah perbatasan dan menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Untuk dapat merealisasikan potensi ekonomi di wilayah perbatasan yang besar ini, maka pemerintah, kalangan pengusaha (swasta), perbankan, dan rakyat sudah saatnya merapatkan barisan, bahu-membahu secara sinergis, produktif, dan

kreatif dengan melaksanakan perannya masing-masing. Pemerintah seyogianya mengeluarkan kebijakan dan membangun infrastruktur yang atraktif dan kondusif bagi pengusaha untuk berinvestasi di wilayah perbatasan ini. Pihak swasta selekasnya berani dan kreatif berinvestasi di wilayah ini dan rakyat menunjukkan etos kerja positif serta produktif untuk bekerja pada usaha ekonomi di wilayah perbatasan. Pola pembangunan oleh swasta nasional maupun asing melalui BOT (built, operation, and transfer) yang saling menguntungkan (win-win) juga patut dicoba diterapkan di sini, mengingat keterbatasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sudah saatnya pula kita memiliki badan (lembaga) khusus yang bertanggung jawab atas percepatan pembangunan dan pengelolaan pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan. Apabila kita mampu memakmurkan wilayah perbatasan (92 pulau beserta gugusan kepulauan dan perairan laut sekitarnya) yang mengelilingi seluruh Nusantara dengan pola pembangunan seperti di atas, maka kemakmuran beserta segenap dinamika kegiatan ekonomi (manusia), lalu lalangnya kapal-kapal ikan nasional serta kapal niaga, dan gemerlapnya lampu di wilayah tersebut juga dapat berfungsi sebagai sabuk pengaman (security belt) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kombinasi pendekatan ekonomi dan hankam ini, penulis optimistis bahwa kemakmuran dan penciptaan lapangan kerja akan tercipta secara dramatis, kedaulatan dan harga diri (dignity) bangsa pun akan kuat serta tegak secara otomatis. Guna mewujudkan grand strategy tersebut, diperlukan sebuah big push dan leadership dari pemerintah untuk memimpin gerakan nasional dalam melakukan reorientasi paradigma pembangunan nasional dari basis daratan, yang telah berlangsung hampir 350 tahun (sejak zaman penjajahan), ke basis kelautan (maritim)

"Selamatkan Penyu di Sukabumi Secepatnya!!" http://kusukabumiku.or.id DI SUKABUMI, PULUHAN TAHUN PENYU DIBINASAKAN SEJAK DARI TELURNYA (Dukung Penghentian Pembantaian Penyu, Sekarang juga dan Selamanya !) PENYU merupakan satwa liar sisa peninggalan jaman purba yang dilindungi baik secara nasional, regional maupun internasional. Namun, populasi dan kelangsungan hidupnya sangat terancam punah akibat berbagai permasalahan. Dan, tindakan manusialah yang paling sangat serius mengancam keberadaan penyu dibanding fenomena alam. Seperti diantaranya pengunduhan/pengambilan telur penyu secara langsung dari sarang alaminya, yang secara tidak disadari pengunduhan telur sama saja pembinsaan penyu itu sendiri. Perburuan penyu untuk diambil daging dan bagian-bagian lainnya, kerusakan lokasi tempat pendaratan untuk bertelur di pesisir pantai, juga pengambilan ikan oleh nelayan dengan menggunakan jaring yang secara tidak sengaja mengambil penyu. Dan semuanya itu terjadi dan dialami penyu di pantai pendaratan dan peneluran Sukabumi. Karena di Sukabumi, hampir sepanjang pantai yang masih alami mungkin saja dapat dijadikan sebagai tempat penyu mendarat untuk membuat sarang dan bertelur. Namun menurut para ahli yang terbaik, terbesar dan terkenal hanya terdapat di Pantai Pangumbahan Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap. Bahkan Pantai Pangumbahan ini termasuk pantai pendaratan penyu terbaik se Pulau Jawa bahkan diakui secara internasional. Pantai Pangumbahan memiliki garis pantai sepanjang sekitar 3.000 meter dengan butiran pasir yang halus dan tebal itu dimiliki Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi. Dalam pengelolaan penyu, pihak Pemkab Sukabumi untuk alasan sebagai pendapatan asli daerah, melakukan kerjasama dengan pihak swasta, yakni CV. Daya Bakti, seperti tertuang dalam perjanjian kerjasama No. 660.1/PJ-13 Huk/2002 No. 45/DB-UPTP/VII/2002 tanggal 29 Juni 2002 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Penyu di Kawasan Pantai Pangumbahan Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap

Kabupaten Sukabumi. Dan berdasarkan Surat Persetujuan Pimpinan DPRD Kabupaten Sukabumi Nomor 523/295/RT tanggal 12 Juni 2002 perihal Kerjasama Pengelolaan Pengunduhan Telur Penyu di Pantai Pangumbahan. Dalam perjanjian tersebut, diantaranya pihak pengelola CV. Daya Bakti berhak melakukan usaha pengunduhan/pengambilan telur dari satwa yang dilindungi undang-undang dari sarang alaminya. Apalagi, Pemkab Sukabumi telah menerbitkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet, Telur Penyu dan Rumput laut. Sesuai Perda tersebut, pihak pengelola berhak atas 70 persen telur penyu untuk dimanfaatkan sebagai dana kompensasi biaya pelestariannya dan berkewajiban hanya 30 persen dari telur-telur penyu itu ditetaskan menjadi tukik untuk dilepas ke laut bebas. Perda tersebut telah dibatalkan sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 92 Tahun 2005 tentang Pembatalan Peraturan daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet, Telur Penyu dan Rumput Laut tertanggal 29 April 2005. Namun, pada perjalananannya setelah pembatalan perda, lagi-lagi Penyelenggara Pemerintahan Kabupaten Sukabumi, baik eksekutif maupun legislatifnya, keukeuh kembali mengeluarkan perda yang nyaris sama dengan perda sebelumnya. Yakni Perda Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pelestarian Penyu di Kabupaten Sukabumi. Dalam perda terbaru itu, dalam pasal 7 ayat 3 diperbolehkan adanya pemanfaatan langsung telur penyu dari habitat alaminya. Dengan alasan untuk membiayai pengelolaan dan pelestarian penyu serta habitatnya. Hanya saja nilainya berbeda, maksimal 50 persen yang boleh dimanfaatkan dan minimal 50 persen untuk ditetaskan. Padahal sudah diketahui kalau di Sukabumi ini, penyu sangat terancam kelestariannya dan perlu diselamatkan. Karena telah berpuluh-puluh tahun, telur penyu itu diambil dan dimanfaatkan untuk dibinasakan. Kini, perda tersebut, sedang dalam proses evaluasi di Departemen Dalam Negeri. Semoga saja secepatnya Perda tersebut dibatalkan ! Sedangkan lokasi pendaratan penyu lainnya yang juga cukup terkenal bagi kalangan peneliti, tersebar di sepanjang pantai yang di dalam kawasan konservasi

Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat I Departemen Kehutanan, yakni antara Cipanarikan hingga Cibulakan. Di sepanjang pantai ini terdapat tujuh titik pendaratan penyu, antara lain Hujungan sepanjang 500 meter, Citirem sepanjang 1.500 meter, Cibulakan sepanjang 500 meter. Sedangkan Pulau Keris, Karang Dulang, Legon dan Karang Handap masingmasing berjarak hanya beberapa puluh meter saja. Di lokasi pendaratan dan peneluran penyu milik Departemen Kehutanan ini pun, kelangsungan hidupnya tidak luput dari permasalahan dan ancaman, terutama dari manusianya. Padahal, seharusnya di dalam kawasan ini telur-telur penyu itu dapat terjaga dengan aman hingga menjadi tukik dan lepas menghirup udara bebas di samudera. Namun, tangan-tangan jahil dari orangorang tidak bertanggungjawab beraksi di kawasan perlindungan ini dengan melakukan pengunduhan telur penyu yang seharusnya dijaga. Bahkan disinyalir adanya keterlibatan oknum-oknum penjaga hutan. Dengan alasan, untuk dana operasional pengamanan kawasan. Karena tidak ada dana khusus untuk pelestarian penyu. Sejumlah oknum tidak bertanggungjawab itu pun telah ditindak oleh instansinya.

Penting !!!!!!!!! Dan selama ini, patut diketahui masyarakat bahwa telur penyu yang beredar dipasaran, baik di Sukabumi maupun sekitarnya bukanlah hasil dari penangkaran penyu ! Melainkan berasal dari pengambilan telur langsung dari sarang alaminya. Karena sampai saat ini, belum ada upaya dan usaha penangkaran penyu yang berhasil, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

HANYA DIBATASI SUNGAI CIPANARIKAN Antara dua kawasan pendaratan penyu yang terkenal di Sukabumi itu yakni Pantai Pangumbahan dan Kawasan SM Cikepuh itu hanya dibatasi Sungai Cipanarikan yang lebarnya hanya beberapa meter saja. Kenapa harus terpisah, itulah pertanyaan yang selalu mengiang-ngiang dalam hati nurani sejumlah kalangan. Padahal secara ekologis, kedua kawasan tersebut sama, tidak ada perbedaan yang sangat menyolok. Mungkin saja puluhan tahun lalu, terpisahnya pengelolaan kawasan yang sama-sama mengelola satwa langka sisa peninggalan jaman purba itu disinyalir hanya karena kepentingan sesaat saja sejumlah kalangan. Padahal pada era akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an, pemerintah pusat merencanakan menjadikan kawasan sepanjang pantai pendaratan dan peneluran penyu sebagai kawasan konservasi. Antara batas SM Cikepuh hingga Pantai Ujung Genteng itu dijadikan Suaka Margasatwa Laut Pangumbahan. Berarti, pemerintah pusat saat itu telah punya niatan sangat baik dalam upaya penyelamatan penyu, kendatipun saat itu khusus Penyu hijau (Chelonia mydas) belum dilindungi. Namun, nampaknya upaya tersebut mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan yang berkepentingan. Hingga akhirnya, rencana tersebut nampaknya gagal di pertengahan jalan. Dan kini, kelangsungan hidup penyu-penyu Sukabumi itu diambang kepunahan, diantaranya akibat adanya pengunduhan telurnya. Menurut para ahli, pada lingkungan normal, hanya 1 (satu) dari 1.000 (seribu) telur penyu yang bisa hidup hingga dewasa atau mencapai usia lebih dari 30 tahunan dan kembali bisa bertelur. Hal tersebut terjadi, akibat ancaman dari predator alami di laut samudera, itu belum termasuk ancaman dari manusia. Bila, manusia ikut-ikutan mengkonsumsi telurnya, tentu penyu-penyu di Sukabumi itu akan berada pada posisi diambang kepunahan. Dan generasi mendatang hanya akan mendengar dari kisah-kisah atau dongeng-dongeng saja, atau berupa gambar dan foto serta patung-patung atau hanya sketsa pada logo Pemkab Sukabumi Kepunahan? tentunya janganlah sampai terjadi ! Untuk itu, diharapkan demi keselamatan penyu dan habitatnya serta bagi kepentingan generasi sekarang dan masa yang akan datang, jadikan kawasan yang hanya dipisahkan sungai itu menjadi

satu kawasan penyelamatan penyu secara terpadu yang dikelola secara arif dan bijaksana. Apalagi, kini penyu telah dilindungi undang-undang, baik nasional, regional dan internasional. Sekaranglahsaatnya menebus dosa-dosa generasi sebelumnya, karena penyu merupakan warisan generasi mendatang. Caranya dengan pengelolaan penyu tanpa harus memanfaatkan langsung dari penyu, telurnya dan bagian-bagian lainnya. Marilah bergerak bersama-sama menghambat laju kepunahan penyu, memulihkan habitatnya yang rusak dan menyelamatkan penyu-penyu yang tersisa ! Dan mudah-mudahan, kita semua kembali kepada jalan yang benar sesuai petunjuk Yang Maha Esa. Amiiin

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENYU di Indonesia dilindungi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pangawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Bahwa penyu berikut bagian-bagiannya termasuk telurnya merupakan satwa yang dilindungi oleh negara. Dan peluang pemanfaatannya melalui penangkaran yang diatur PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Secara internasional, Indonesia termasuk negara yang telah menandatangani CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/Konvensi Internasional yang Mengatur Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah). Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 43 Tahun 1974. Menurut CITES, seluruh penyu termasuk Appendiks I CITES, yang berarti, satwa tersebut dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan karena kondisinya terancam punah. Juga seluruh penyu yang hidup di muka bumi termasuk jenis satwa yang terancam punah dan telah terdaftar pada Red Data Book (RDB) yang diterbitkan oleh IUCN (International Union on Conservation Nature and Natural Resources/Badan Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam Internasional). Juga Indonesia telah menandatangani Biodiversity Convention dengan meratifikasinya melalui UU No. 5

Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman hayati. Dan secara regional, pada tanggal 12 September 1997 bertempat di Thailand, Pemerintah Indonesia bersama-sama negara ASEAN lainnya telah menandatangani kesepakatan bersama mengenai Konservasi dan Perlindungan Penyu. Serta tahun 2001 menandatangani nota kesepahaman di bawah Konvensi Konservasi Species Migratori Satwa Liar, perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Nota Kesepahaman Penyu Laut Kawasan Samudra Hindia dan Asia Tenggara (MoU Penyu Laut IOSEA/www.ioseaturtles.org).

PROSES PENEGAKAN HOKUM

Dalam kasus perdagangan telur penyu di wilayah hukumnya, Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim) Kepolisian Resort Kota (Polresta) Sukabumi pada Jumat, 14 Juli 2006 telah menetapkan tiga tersangka, masing-masing Tar, Nen dan H.AG. Dua diantaranya, Tar dan Nen yang perkaranya telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukabumi hanyalah pedagang asongan telur penyu yang biasa mangkal di Jalan Ahmad Yani Kota Sukabumi. Sedangkan H. AG adalah seorang pengusaha yang selama ini melakukan usaha pengunduhan telur penyu di Pantai Pangumbahan, Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi dan mendistribusikan telur penyu ke berbagai wilayah, termasuk Kota Sukabumi. Jajaran Satuan Reskrim Polresta Sukabumi masih terus mengembangkan Kasus Perdagangan Telur Penyu ini. Dan setidaknya dari pengakuan dan pengembangan para tersangka sebelumnya, tidak menutup kemungkinan akan menyeret aktor-aktor lain dibalik perdagangan telur penyu Sukabumi tersebut. Terbukti dengan adanya sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Sukabumi yang sempat dimintai keterangan oleh penyidik Satuan Reskrim Polresta Sukabumi. Sebagai masyarakat mari kita tunggu hasil sepak terjang dari upaya proses penegakan hukum yang merupakan salah satu agenda reformasi bangsa ini. Dan mari kita

berdoaa agar para aparat penegak hukum itu masih memiliki hati nurani dan berpikiran bahwa penyu memang harus diselamatkan demi kepentingan generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Karena selamatnya penyu, khususnya di Sukabumi, kini berada ditangannya ! Semoga Untuk itu Kusukabumiku bersikap dan menegaskan bahwa : 1. Penyu di Sukabumi Harus Diselamatkan dan Pembantaian Penyu Harus Dihentikan Sekarang juga dan Selamanya 2. Peraturan Daerah (Perda) No. 16 Tahun 2005 tentang Pelestarian Penyu di Kabupaten Sukabumi harus dibatalkan. Karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional, regional dan internasional. 3. Perkara pidana perdagangan telur penyu yang baru memunculkan tiga tersangka harus diproses secara hukum dan seret aktor intelektual lainnya, jangan hanya pedagang kecil saja yang dikorbankan. 4. Pantai pendaratan dan peneluran penyu di Pantai Pangumbahan dan SM. Cikepuh harus satu pengelolaan terpadu, profesional dan nasional dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai Kawasan Penyelamatan Penyu Sukabumi.

PENYU YANG DILINDUNGI DIJUAL BEBAS DI TEPI JALAN


Posted 7 Oktober 2011 by Ronny Adolof Buol in Jurnalistik. Ditandai:konservasi, penangkaran penyu, pengkapan penyu, penyu, terancam punah, tuturuga. Tanggal 29 September 2011 lalu, saya mendapat kesempatan berlayar bersama KRI Teluk Sampit 515 ke Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud. Salah satu kapal perang RI bertipe LST (Landing Ship Tank) tersebut mendapat tugas mengangkut pasukan dari Lantamal VIII Manado, guna persiapan Peresmian Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Melonguane. Kecamatan Melonguane merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud. Kabupeten hasil pemekaran dari Kabupaten induknya, Sangihe ini merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Filipina. Kepulauan Talaud merupakan gugusan pulau-pulau terluar di bagian utara jazirah Sulawesi Utara yang merupakan daerah bahari. Mempunyai luas lautan 37.800 km persegi dan luas daratan hanya 1.251 km persegi, menjadikan Talaud rawan dari kegiatan ilegal fishing. Melonguane sendiri berjarak sekitar 271 mil laut dari ibukota Provinsi Sulawesi Utara, Manado. Salah satu pulau terjauhnya, Pulau Miangas, berbatasan langsung dengan Kota Davoa (berjarak kurang lebih 60 mil laut) dan Tanjung St. Agustin Mindanao, Filipina yang hanya berjarak 50.4 mil laut. Bandingkan jaraknya dengan Melonguane sejauh 129 mil laut. Perjalanan dari Dermaga Yonmarhalan (Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan) Bitung ditempuh selama 24 jam. Kami bertolak dengan ratusan pasukan TNI AL sekitar pukul 15.00 wita dan nanti tiba pada keesokan harinya sekitar pukul 14.30 wita. Hari pertama kedatangan di Kabupaten yang sering juga dijuluki sebagai Bumi Porodisa ini, diisi dengan Gladi Resik Pasukan Lantamal, untuk Upacara Pengukuhan Danlantamal Melonguane pada 3 Oktober 2011 nanti. Karena hari sudah menjelan malam, saya mengisitirahatkan camera, dan mengatur jadwal untuk besok paginya jalan-jalan mencari objek foto. Cuaca dalam perjalanan kali ini kurang bersahabat, musim penghujan telah datang. Langit selalu saja diselimuti awan, sangat tidak ideal untuk melakukan pemotretan lansekap. Kondisi ini membuat saya harus rajin bangun subuh, berharap awan belum terbentuk dengan padat.

Hari ketiga, Sabtu, 1 Oktober 2011 saya sengaja bangun subuh. Menanti sunrise di sekitar pelabuhan Melonguane, tetapi mentari itu malu-malu keluar dan hanya bersembunyi dibalik awan. Terpaksa, saya mengarahkan lensa ke aktifitas masyarakat di sekitar pelabuhan. Asyik juga memotret mereka yang ramai memancing di sekitar pelabuhan. Kepulauan Talaud memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan yang sangat besar sekaligus juga menjadi objek wisata laut. Perairan Talaud memiliki potensi lestari untuk jenis-jenis ikan pelagis dan demersal. Jenis-jenis ikan pelagis yang bernilai ekonomis diantaranya: Yellow Fin Tuna, Ikan Layaran, Cakalang, Tongkol dan Layang Selar. Juga termasuk dalam jenis demersal antara lain: ikan Kerapu Sunuk, Kerapu Macan, Kerapu Lumpur, Kakap Merah, Kakap Putih, Baronang dan Kuwe. Hasil produksi ikan-ikan ini tergolong besar, untuk ukuran kabupaten kecil di ujung utara pulau Sulawesi. Tercatat dalam setahun produksi tangkapan jenis pelagis saja sebesar 38.720 ton. Dengan potensi perikanan yang melimpah ini, tak heran hanya dengan bermodal tali pancing apa adanya, masyarakat yang melempar umpan dari dermaga bisa menangkap ikan Bobara seberat 2 kg. Puas dengan atraksi menangkap ikan, saya melangkahkan kaki ke pasar ikan tradisional yang hanya berjarak 300-an meter dari pelabuhan. Pagi itu, jemariku tak henti menekan shutter membidik para nelayan menurunkan hasil tangkapan ikan setelah semalaman melaut. Cukup banyak dan bervariasi. Mereka langsung menjualnya di tepi jalan. Dan, lagi asyik-asyiknya mengabadikan aktivitas nelayan itu, tiba-tiba mataku dikejutkan dengan

pemandangan yang tak biasanya. Dua ekor penyu dengan santainya mereka turunkan dari sebuah perahu. Lensaku langsung memburunya. Tak berhenti sampai disitu, menyusul dari perahu lain, dua ekor penyu lagi. Digeletakkan begitu saja di pasir, penyu-penyu itu seakan memberontak ingin kembali ke habitatnya. Menurut keterangan penjual ikan, seeokor penyu dihargai sekitar Rp.100.000. Cara menjualnya pun hanya diletakkan begitu saja di pinggir jalan.

Setiap hari ada saja hasil tangkapan penyu, dan kegiatan tangkap penyu ini sepertinya telah menjadi salah satu bagian dari mata pencarian para nelayan di Bumi Porodisa. Menurut keterangan salah seorang nelayan, mereka menangkap penyu dengan menggunakan teknik compressor.

PENYU YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penyu merupakan salah satu satwa yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap secara bebas. Ancaman hukuman terhadap pelarangan ini adalah penjara 5 tahun dan denda Rp. 100 .000.000. Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pangawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, mengatur: Bahwa penyu berikut bagianbagiannya termasuk telurnya merupakan satwa yang dilindungi oleh negara. Dan secara internasional, Indonesia termasuk negara yang telah

menandatangani CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/Konvensi Internasional yang Mengatur Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah). Indonesia telah meratifikasinya melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1978 tentang CITES. Menurut CITES, seluruh penyu termasuk Appendiks I CITES, yang berarti, satwa tersebut dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan karena kondisinya terancam punah.

Demikian pula IUCN (International Union on Conservation Nature Resources / Badan Konservasi Alam dan sumber Daya Alam International) telah menerbitkan Red Data Book (RDB) yang memuat jenis satwa yang terancam punah. Penyu termasuk dalam daftar merah tersebut. Dan Indonesia telah menandatangani Biodiversity Convention dengan meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. Secara regional, pada tanggal 12 September 1997 bertempat di Thailand, Pemerintah Indonesia bersama-sama negara ASEAN lainnya telah menandatangani kesepakatan bersama mengenai Konservasi dan Perlindungan Penyu. Serta tahun 2001 menandatangani nota kesepahaman di bawah Konvensi Konservasi Species Migratori Satwa Liar. Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Nota

Kesepahaman Penyu Laut Kawasan Samudra Hindia dan Asia Tenggara. Dibeberapa tempat, telah terdapat Penangkaran Penyu sebagai bagian dari upaya penyelamatan species laut yang mulai terancam punah ini. Bahkan di bagian Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, yang secara geografis berhadapan langsung dengan Daerah Nusa Utara, terdapat Penangkaran Penyu. Di lokasi penangkaran, tetasan telur penyu tersebut dipelihara dan dirawat baik-baik. Sehingga setelah menjadi tukik (anak penyu), dilepas ke laut bebas untuk berkembang biak melalui habitat aslinya. Sangatlah ironi, di seberang lautan, di Bumi Porodisa, justru penyu-penyu yang diusahakan tidak punah ini, diperjual belikan dengan sangat bebas. Dari

wawancara singkat dengan penjual penyu ini, diperoleh keterangan, bahwa mereka tahu kalau penyu-penyu tersebut dilarang ditangkap dan diperjualbelikan. Bahkan, ada yang sengaja membelinya untuk dilepaskan kembali ke laut, beber ibu yang ada dalam foto dan sedang menjagai penyu tersebut. Pertanyaanya, jika para nelayan dan penjual tersebut sadar akan larangan penangkapannya, lalu dimana pengawasan dari pihak terkait. Sayang, waktu yang sangat padat membuat saya tidak dapat mengkonfirmasi kenyataan pahit ini ke instansi terkait yang ada di Bumi Porodisa tersebut. Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995 yang secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut. Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini mengakui arti penting aspek gizi, ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang menyangkut kegiatan perikanan dan terkait dengan semua pihak yang berkepertingan yang peduli terhadap sector perikanan. Tatalaksana ini memperhatikan karakteristik biologi sumberdaya

perikanan yang terkait dengan lingkungan/habitatnya serta menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan kepentingan para konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya. Pelaksanaan konvensi ini bersifat sukarela. Namun beberapa bagian dari pola perilaku tersebut disusun dengan merujuk pada UNCLOS 1982. Standar pola perilaku tersebut juga memuat beberapa ketentuan yang mungkin atau bahkan sudah memberikan efek mengikat berdasarkan instrumen hukum lainnya di antara peserta, seperti pada "Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (Compliance Agreement 1993J'. Oleh sebab itu negara-negara dan semua yang terlibat dalam pengusahaan perikanan didorong untuk memberlakukan Tatalaksana ini dan mulai menerapkannya.

Anda mungkin juga menyukai

  • NO
    NO
    Dokumen6 halaman
    NO
    Yusman Btr
    Belum ada peringkat
  • BUAT
    BUAT
    Dokumen1 halaman
    BUAT
    Yusman Btr
    Belum ada peringkat
  • Tugas1 Yus
    Tugas1 Yus
    Dokumen13 halaman
    Tugas1 Yus
    Yusman Btr
    Belum ada peringkat
  • A A A A A A A
    A A A A A A A
    Dokumen10 halaman
    A A A A A A A
    Yusman Btr
    Belum ada peringkat