Anda di halaman 1dari 15

Jilid 01-Bab 1 Si Dogol CERAHNYA matahari pagi telah mewarnai Singasari.

Setelah tidak ada lagi kesulita n yang bakal mengabut di seluruh daerah Singasari sepeninggal Linggapati dan mPu Baladatu. Niat sepasang anak muda yang memerintah Singasari untuk mengangkat Ma hisa Bungalan menjadi seorang Senapati, telah diterima dengan senang hati. Bukan saja oleh Mahisa Bungalan dan ayahnya Mahendra, tetapi juga oleh para prajurit dan Senapati yang lain, yang telah melihat, apa yang pernah dilakukan oleh anak muda itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih mohon kesempatan untuk memuaskan mas a-masa mudanya dengan bertualang. Jika ia sudah menerima pengangkatannya, maka i a akan terikat. Ia akan berada di suatu tempat bersama sepasukan prajurit untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Sulit baginya untuk meninggalkan pasukannya, men jelajahi padesan, bagaikan menghitung setiap pintu rumah. Kau memerlukan waktu berapa hari? bertanya Ranggawuni. Mungkin sebulan, tetapi mungkin setahun, tuanku jawab Mahisa Bungalan. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyadari bahwa ia tidak akan dapat mengekang jiwa Mahisa Bungalan yang bagaikan burung di udara itu. Ia masih ingin mengarungi lu asnya angkasa dan panjangnya lereng di pegunungan. Baiklah Mahisa Bungalan berkata Ranggawuni seandainya aku memaksa mengikatmu dalam satu tugas tertentu, maka kau akan merasa tersiksa. Kau akan merasa seperti seek or burung yang bagaimanapun perkasa sayapnya, namun, hidup di dalam sangkar tert utup Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja. Bagaimana pendapat ayahmu, pamanmu Witantra dan pamanmu Mahisa Agni? bertanya Mahi sa Cempaka. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya Ampun tuanku. Paman-paman ham ba menyerahkan semuanya kepada hamba sendiri Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Katanya Jika demikian, benarlah kata kakanda Ra nggawuni. Puaskanlah dengan petualangan yang panjang untuk menambah pengalaman d an mematangkan ilmu yag pernah kau miliki. Bahkan mungkin kau akan dapat menamba h kemampuanmu dengan pengalamanmu yang mungkin tidak terduga sebelumnya. Namun d emikian, jangan meninggalkan kewaspadaan. Kau harus selalu berhati--hati diperja lanan, karena bahaya akan dapat saja menyergapmu dari segala arah Niat hamba bukannya mencari musuh tuanku berkata Mahisa Bungalan mungkin ada satu d ua orang tua yang memiliki kelebihan pengetahuan lahir dan batin yang dapat hamb a sadap ilmunya bila dikehendakinya Ranggawuni tersenyum. Katanya Aku percaya akan niatmu itu. Tetapi kau yang tentu lebih banyak mempunyai pengalamanmu petualangan akan dapat mengerti, betapa kemu ngkinan yang tidak kita kehendaki dapat terjadi setiap saat dan di segala tempat Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya semakin dalam. Katanya Hamba, tuanku. Dan h amba memang melihat kemungkinan-kemungkinan itu Justru karena itu, maka petualangan memang sangat menarik bagi anak muda sahut Mah isa Cempaka jika aku tidak terikat pada kedudukanku, alangkah senangnya mengikuti mu Ah, tentu tidak bagi tuanku jawab Mahisa Bungalah tuanku sudah dilahirkan untuk ber ada di dalam istana. Ilmu yang bagaimanapun juga akan tuanku dapatkan. Tuanku da pat memanggil siapa saja yang tuanku kehendaki Itulah sulitnya Mahisa Bungalan berkata Ranggawuni aku dapat memanggil siapa saja. Tetapi siapa saja itulah yang tidak aku ketahui. Mungkin beberapa orang petugas sandi akan dapat menyebut. Tetapi apakah ada hubungan batin yang timbal balik an tara aku dan orang-orang yang hanya disebut namanya itu, agaknya menjadi persoal an pula di dalam pewarisan ilmu. Seseorang yang karena terpaksa, bukan atas sent uhan batinnya, tentu tidak akan dapat mewariskan ilmunya sampai tuntas. Tentu ma sih ada yang tersisa di dalam dirinya yang sengaja atau tidak sengaja, tetap dir ahasiakannya Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia sadar sepenuhnya bahwa yang dikatakan oleh Ranggawuni itu memang benar. Karena itu, maka ia tidak membantahnya. Mahisa Bungalan berkata Ranggawuni selanjutnya aku hanya dapat memberimu bekal doa keselamatan. Tetapi kau tentu tidak akan meninggalkan Kota Raja sampai satu atau dua tahun tanpa menengoknya barang dua tiga kali

Tentu tuanku. Seperti yang pernah aku lakukan, aku akan berada di rumah antara ti ga atau empat bulan sekali. Beristirahat sebentar, kemudian berangkat kembali. M ungkin aku akan pergi bersama ayah dalam hubungan jual beli batu-batu dan permat a serta besi-besi aji. Namun biasanya ayah selalu mamisahkan diri Siapakah sebenarnya yang memisahkan diri? bertanya Ranggawuni. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum. Jawabnya Mungkin ayah, tetapi mungkin pula hamba Baiklah Mahisa Bungalan berkata Ranggawuni kemudian sebaiknya kau juga minta diri k epada Lembu Ampai yang menjadi semakin tua pula. Sebentar lagi ia akan menjadi p ikun dan tidak lagi dapat mengendalikan prajurit-prajurit yang berada di bawah p erintahnya Hamba tuanku. Hamba akan menemuinya dan minta diri kepadanya. Paman Lembu Ampai t entu masih akan bertahan pada keadaannya sampai beberapa tahun lagi Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan ternyata masih mohon waktu beberapa saat, sebelum ia mengikat diri dalam lingkungan keprajuritan. Ia masih ingin mengikuti keinginannya untuk menjelajahi gunung dan ngarai. Bertemu dengan orang-orang ya ng jauh terpencil, tetapi juga berusaha menghadap para pertapa yang dapat member ikan banyak petunjuk kepadanya, lahir dan batin, untuk melengkapi bekal di harihari yang panjang. Ketika Mahisa Bungalan bertemu dengan Lembu Ampai, maka orang tua itu berkata Ada -ada saja kau Mahisa Bungalan. Apakah masih kurang ilmu yang kau miliki, atau ka u masih selalu dikuasai oleh keinginan untuk bertualang? Aku akan menuruti keinginanku sampai tuntas agar aku tidak menyesal dikemudian ha ri. Baru kemudian aku akan mengikatkan diri pada kewajiban yang berat dan tidak dapat dilakukan sambil lalu saja. Seorang prajurit harus bertanggung jawab pada kewajibannya. Sementara aku masih ingin berbuat sesuatu atas keinginan pribadi s emata-mata Agaknya itu adalah keinginan wajar dari anak-anak muda Tetapi kau wajib dapat mengendalikan dirimu. Jangan kau turuti saja kehendak hati , karena tidak terasa, umurmu akan semakin meningkat. Pada saatnya kau akan samp ai pada batas kebebasan seorang anak muda. Kau akan berkeluarga, dan kau akan be rtanggung jawab atas keluargamu, karena itu, maka kau harus mempertimbangkan ban yak masalah. Juga masalah hidup berkeluarga. Kau tidak akan dapat menjalaninya d engan petualangan, meskipun ada juga yang melakukannya Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya Aku akan selalu mengingatnya, paman. Aku akan mempersiapkan diri menghadapi masa-masa yang lain dari masa-masa muda ini. Tetap i tidak sekarang Lembu Ampai menepuk bahu anak muda itu. Sekilas teringat olehnya, seorang anak m uda yang dengan petualangnya, justru telah membawanya kejalan lurus ke singgasan a Tumapel dan seterusnya menguasai seluruh Singasari. Meskipun kemudian masih ha rus timbul pertumpuhan darah karena kutuk seorang Empu yang terbunuh oleh keris yang dibuatnya sendiri. Lembu Ampai menarik nafas dalam-dalam. Semuanya itu tinggal merupakan ceritera y ang sangat menarik. Aku akan selalu berdoa untukmu berkata Lembu Ampai ketika ia melepas Mahisa Bungal an pergi. Di rumah Mahisa Bungalan masih harus mendengarkan nasehat ayahnya, pamannya Wita ntra dan Mahisa Agni. Bahkan semuanya menasehatkan agar ia tidak terlalu menurut i kata hatinya saja. Aku akan mengendalikan diri, ayah. Pada suatu saat aku akan terikat oleh beberapa kewajiban. Mungkin aku akan menjadi seorang prajurit seperti yang pernah aku sa nggupkan kepada tuanku berdua di istana Singasari. Tetapi disamping itu akupun a kan terikat dalam suatu ikatan keluarga. Pada saat itu, aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk bertualang, melihat luasnya bumi dan menyelusuri panjangn ya sungai Tidak ada yang dapat mencegah Mahisa Bungalan. Karena itu, maka orang-orang tua yang melepasnya pergi, hanya dapat memberikan beberapa pesan dan petunjuk. Tidak lama lagi, ayah juga akan pergi berkata Mahendra. Ayah beruntung dengan pekerjaan ayah berkata Mahisa Bungalan Ada dua pekerjaan yang dapat ayah lakukan dalam satu perjalanan. Mencari nafkah, dan sekaligus bertual

ang ke tempat-tempat yang jauh Ah berkata Mahendra yang penting bagiku, bagaimana aku mendapat nafkah dengan perja lananku. Aku tidak pernah menganggap perjalanku sebagai suatu perulangan. Aku me lakukan perjalanan dengan sungguh-sungguh dan perhitungan yang matang. Aku tidak sekedar mengikuti hasrat hati. Bahkan kadang-kadang aku harus pergi ke tempat y ang, tidak aku sukai, karena aku mendapat pesanan jenis batu-batu berharga atau semacam pusaka dari jenis senjata alau sekedar berupa wesi aji yang tidak berben tuk Mahisa Bungalan tertawa. Katanya Tetapi itu lebih menyenangkan daripada harus mem ikul kewajiban di tempat tertentu dengan lingkungan tertentu pula Kau dapat saja membuat berbagai macam alasan. Tetapi ingat, bahwa kau sudah berja nji kepada tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa pada suatu saat, kau akan mengabdi kepada Singasari dalam lingkungan keprajuritan Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya Aku akan selalu mengingatnya. Tetapi p erjalananku tentu akan hanyak memberikan manfaat bagiku. Di beberapa tempat mung kin aku akan memperkenalkan diri sebagai putera Mahendra yang dapat menerima pes an batu-batu berharga dan berbagai jenis pusaka Asal tidak kau salah gunakan dan kau salah artikan, aku tidak berkeberatan. Tetap i bukan berarti bahwa kau akan memilih usaha itu daripada janjimu kepada tuanku Ranggawuni f Mahisa Bungalan tertawa, Mahisa Agni dan Witantra tertawa pula. Nah, jika saatnya kau pergi, jagalah, agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak me ngetahui alasan kepergianmu. Biarlah mereka menyangka bahwa kau sedang melakukan tugas yang dibebankan kepadamu, agar mereka tidak merengek untuk mengikutimu, a tau kelak memaksa aku untuk menyusulmu meskipun aku tidak tahu dimana pada suatu saat kau berada Aku akan selalu berusaha berhubungan dengan ayah jawab Mahisa Bungalan entah cara a pa yang dapat aku tempuh. Mungkin lewat kawan ayah, mungkin lewat petugas-petuga s Singasari yang bertebaran, atau lewat cara apapun juga Mahendra tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan anaknya pergi. Sudah bebera pa kali hal itu dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Namun orang tuanya masih juga be rdebar-debar karenanya. Di hari berikutnya, ketika Matahari mulai melontarkan cahayanya yang kemerah-mer ahan, Mahisa Bungalan berjalan meninggalkan regol halaman rumahnya. Beberapa ora ng melepaskannya dengan dada yang berdebar-debar. Namun karena hal itu sudah dik ehendakinya, maka yang dapat diiringkan kepadanya hanyalah doa agar Yang Maha Ag ung melindunginya. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seperti yang diduga oleh ayahnya, hampir saja tidak dapat dicegah lagi. Tetapi seperti pesan ayahnya, Mahisa Bunga lan akhirnya berhasil meyakinkan adiknya, bahwa ia sedang melakukan tugas yang d ibebankan oleh Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka. Tugas yang sangat berat berkata Mahisa Bungalan aku harus mencari sebuah kitab ront al yang hilang dari istana Kitab apa? bertanya Mahisa Murti. Kitab yang berisi ramalan tentang tanah ini. Setiap pemegang kekuasaan harus memp elajari isi kitab itu, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan ramalan ya ng terdapat di dalamnya, serta mengusahakan tumbal dan penolak jika ternyata aka n datang malapetaka jawab Mahisa Bungalan. Aku dapat membantu berkata Mahisa Pukat. Tiga orang tentu lebih kuat dari kakang seorang diri sambung Mahisa Murti. Aku tidak hanya sendiri Mahisa Bungalan membantah dengan serta merta aku akan pergi bertiga dengan dua orang. Senapati dari istana. Mereka berdualah yang mengemban tugas pokok. Aku diperintahkan untuk membantu keduanya Sehingga karena itu, aku tidak akan dapat membawa kalian serta Keduanya nampaknya masih ragu-ragu. Tetapi akhirnya, atas nasehat Mahendra, Wija ntra dan Mahisa Agni, keduanya melepaskan maksudnya untuk memaksa ikut bersama k akaknya. Mahisa Bungalan sengaja meninggalkan rumahnya dengan berjalan kaki. Dengan berja lan kaki, ia akan dapat banyak melihat, mendengar dan mengalami. Ia dapat melalu i jalan-jalan sempit dan jalan-jalan setapak. Bahkan sepanjang pematang. Di daer

ah yang sulit, kuda justru hanya akan menjadi beban semata-mata. Namun, Mahisa Bungalanpun sadar, bahwa dengan berjalan kaki jarak yang dijangkau nya akan lebih pendek dari jika ia berkuda. Mula-mula ada niatnya untuk singgah di padepokan mPu Sanggadaru. Tetapi niat itu pun diurungkannya. Yang kemudian menarik perhatiannya adalah perjalanan ke Mahib it. Ada semacam keinginan yang mendesak untuk melihat Mahibit dan daerah-daerah pengaruhnya sepeninggal Linggapati dan Linggadadi. Tetapi Mahibitpun akhirnya bukan merupakan tujuan, utama. Ia akan berjalan saja kearah Mahibit. Mungkin ia akan sampai kesana. Tetapi mungkin ada hal-hal lain y ang menarik perhatiannya di perjalanan sehingga ia tidak meneruskan perjalanan k earah bekas daerah pengaruh Linggapati itu. Diperjalanan, Mahisa Bungalan benar-benar bagaikan seorang perantau. Meskipun ay ahnya termasuk seseorang yang cukup, tetapi ia lebih senang mengenakan pakaian y ang sederhana. Kelebihannya dari perantau yang sebenarnya adalah, bahwa Mahisa B ungalan serba sedikit membawa bekal uang di perjalanannya. Bahkan ia telah memba wa beberapa buah batu berharga yang diberikan oleh ayahnya, yang akan dapat diju alnya di sepanjang jalan apabila ia terpaksa karena kehabisan bekal. Selebihnya, ada dua bentuk cincin yang dibawanya pula sebagai persediaan jika sangat diperl ukan. Perjalanan Mahisa Bungalan tidak banyak menarik perhatian orang-orang yang melih atnya di sepanjang jalan. Tidak ada tanda-tanda apapun padanya, yang dapat menim bulkan kecurigaan. Di padukuhan yang dilaluinya, kadang-kadang Mahisa Bungalan beristirahat di baya ngan rimbunnya pepohonan sambil memperhatikan keadaan. Namun tidak ada yang perl u diperhatikannya. Orang-orang di padukuhan-padukuhan itu hidup seperti yang sud ah mereka jalani untuk waktu yang lama. Bekerja disawah dan ladang. Pulang ke ru mah mereka, sementara isterinya telah menanak nasi atau merebus palawija. Dari h ari kehari tanpa perubahan apapun juga. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun hanya melewati padukuhan itu tanpa berbuat s esuatu, kecuali angan di kepalanya, kapan orang-orang yang hidup dari tahun keta hun dengan cara yang hampir tidak berubah itu, mendapatkan kesempatan untuk meng enal lebih banyak lagi cara-cara yang dapat dilakukan bagi sawah dan ladangnya. Kapan mereka mengenal usaha khusus untuk berternak ayam atau itik bahkan kambing , bukan sekedar kebiasaan memelihara saja. Kapan mereka berusaha memperpanjang j alur parit yang dapat mengairi sawah mereka di musim kering dengan membuat bendu ngan di sungai yang melintasi pedukuhan mereka. Namun suasana yang berbeda dijumpai Mahisa Bungalan apabila ia memasuki sebuah p adukuhan yang besar dan ramai. Padukuhan yang sudah banyak mendapat pengaruh keh idupan orang-orang yang hilir mudik ke Kota Raja untuk bermacam-macam kepentinga n, atau ke tempat-tempat lain yang cukup ramai. Tetapi di tempat-tempat yang demikian, jenis orang-orang yang tinggal dan ternya ta lebih banyak pula, Mereka bukan saja petani-petani yang hidup matinya tergant ung pada sawah ladang. Tetapi diantara mereka terdapat pula beberapa orang yang hidup dengan berjual beli barang-barang yang diperlukan bagi para petani, termas uk alat-alat pertanian. Beberapa orang pandai besi nampak sibuk dengan perapian masing-masing. Sedangkan di hari-hari tertentu, ada beberapa orang yang membawa ternak mereka ke tempat yang sudah disediakan untuk diperjual belikan. Tempat itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan. Dari orang-orang yang ditany ainya, ia mengetahui bahwa ia sudah berada di padukuhan yang besar yang bernama Watan. Dimanakah Ganter? bertanya Mahisa Bungalan. Ganter sudah tidak terlalu jauh dari tempat ini jawab yang ditanyainya. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ganter pernah dilihatnya pada suatu saat yang sudah agak lama. Rasa-rasanya iapun ingin sekali lagi melihat tempat yang menja di ramai, melebihi padukuhan Watan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu. Karena itu , maka iapun berhasrat untuk tinggal di Watan beberapa hari. Oleh Ki Buyut di Watan, Mahisa Bungalan diperkenankan bermalam di banjar padukuh an. Karena Mahisa Bungalan nampaknya tidak lebih dari seorang perantau, maka tid ak seorangpun yang menghiraukannya.

Siapa namamu? bertanya Ki Buyut. Dogol Ki Buyut jawab Mahisa Bungalan. Ki Buyut mengerutkan keningnya. Hampir tidak percaya ia bertanya Apakah itu benar namamu? Nampaknya meskipun kau seorang perantau, tetapi kau pantas mempunyai na ma yang lebih baik Aku tidak tahu Ki Buyut. Biyung menyebutkan demikian Bagaimana dengan ayahmu? Aku tidak pernah mengenal ayahku. Menurut biyung, ayah meninggal sejak aku belum lahir Ki Buyut mengerutkan keningnya. Ada kecurigaan terbersit di wajahnya. Dengan rag u-ragu iapun bertanya He, apakah kau benar mempunyai seorang ayah? Mahisa Bungalanlah yang kemudian menjadi heran. Jawabnya Apakah ada seseorang yan g tidak mempunyai ayah? Maksudku, kau mempunyai ayah yang sah? Mungkin biyungmu telah ditinggal pergi ole h seorang laki-laki yang belum pernah menjadi suaminya Ah rasa-rasanya Mahisa Bungalan tersinggung. Untunglah ia segera menyadari, bahwa ialah yang telah memulai dengan suatu ceritera khayal yang memang dapat menimbul kan dugaan yang demikian. Namun demikian ia menjawab Menurut biyung, tidak Ki Buy ut. Ayah meninggal sebelum aku lahir. Tetapi ia benar ayahku, karena aku mempuny ai seorang kakak perempuan Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya Jika demikian, singgahlah di Banjar. Tetapi j ika kau seorang anak yang tidak berbapa, maka telapak kakimu akan membuat paduku han ini terlalu kotor dan nafasmu akan menodai udara bersih di padukuhan Watan y ang menjadi semakin besar. Padukuhan ini kemudian akan menjadi cengkar dan sawah -sawah akan kekeringan Sebenarnyalah Ki Buyut. Kakakku lahir lebih dahulu. Ia sekarang hidup mengawani b iyung yang sangat miskin, sehingga aku, anaknya yang laki-laki, tidak pantas men ambah bebannya yang sudah terlalu berat Dan kau tidak berusaha menolong biyung dan kakak perempuanmu? Aku meninggalkan mereka setelah aku melihat kemungkinan sepeletik terang. Kakak p erempuanku akan kawin dengan seorang laki-laki yang baik. Tetapi laki-laki itupu n laki-laki miskin yang tentu akan merasa sangat berat untuk menerima beban keha diranku. Itulah sebabnya aku pergi merantau. Mungkin aku akan tersesat kedalam l ingkungan yang dapat memberikan lapangan kehidupan baru bagiku Namun ternyata Ki Buyut hanya mengangguk-angguk saja. Ta tidak menawarkan apapun juga kecuali kesempatan bermalam. Ia tidak menawarkan untuk memberinya pekerjaa n sebagai seorang pekatik sekalipun meskipun nampaknya Buyut di Watan hidup agak cukup. Tetapi kesempatan untuk bermalam itupun sudah terlalu cukup baginya. Ia akan men dapat kesempatan untuk melihat padukuhan yang besar itu, yang terdiri dari beber apa kelompok padesan yang terpencar di daerah yang cukup luas. Di hari-hari pertama, tidak ada yang menarik perhatian Mahisa Bungalan. Di siang hari ia melihat-lihat keadaan dari regol banjar, atau sekali-sekali ia berjalan menyusuri lorong menuju ke pusat keramaian padukuhan Watan. Namun di malam hari lah, Mahisa Bungalan justru banyak melihat. Hampir ia telah melihat dari dekat r umah di padukuhan induk. Rumah yang nampaknya lebih baik dari rumah-rumah di pad esan- padesan yang lebih kecil. Tetapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Rumah itu tidak memiliki sesuatu yan g pantas diperhatikan, selain beberapa diantaranya yang mempunyai satu dua orang gadis yang menginjak masa remaja. Karena itu, maka padukuhan itu tidak lagi dapat mengikat Mahisa Bungalan lebih l ama lagi. Ia sudah berniat untuk meneruskan perjalanannya ke Ganter. Tetapi di hari berikutnya, justru terjadi sesuatu yang menahan Mahisa Bungalan. Ia mulai melihat keganjilan-keganjilan di warung-warung yang pernah dikunjunginy a. Apa yang mereka lakukan? bertanya Mahisa Bungalan kepada seorang perempuan penjual jagung ketika ia duduk bersila sambil mengunyah jagung di bawah sebatang pohon preh di depan sebuah warung yang cukup besar. Biasa jawab perempuan penjual jagung itu lambat sekali. Mahisa Bungalan tidak memaksanya untuk berbicara, karena agaknya perempuan itu m

enjadi ketakutan. Baru setelah beberapa orang meninggalkan warung itu, perempuan itu berkata Mereka adalah pemungut-pemungut pajak O Mahisa Bungalan mengangguk-angguk wajar sekali. Dimanapun juga ada pemungut pajak Itu pemungut pajak padukuhan yang menyerahkan uangnya kepada Ki Buyut dan bebahun ya bagi perkembangan padukuhan ini. Tetapi disamping mereka, masih ada pemungutpemungut pajak yang lain Wajah perempuan itu menjadi pucat. Namun Mahisa Bungalan tidak mendesaknya lagi. Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan masih duduk di tempanya. Beberapa on tong jagung telah dikunyahnya habis. Beberapa orang lewat telah berhenti dan mem beli jagung rebus itu pula. Mahisa Bungalan beringsut ketika seorang laki-laki setengah umur duduk disamping nya setelah membuka capingnya yang besar. Belum habis? bertanya laki-laki itu. Masih sedikit jawab perempuan penjual jagung itu. Laki-laki itu memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian sambil tersenyum ia be rtanya Enak bukan jagung rebus ini? Ya paman. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua jawab Mahisa Bungalan. Ia suamiku berkata perempuan penjual jagung itu setiap saat seperti ini ia menjemputku Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja timbul niatnya untuk ber tanya tentang para pemungut pajak. Mungkin suami penjual jagung itu lebih berani memberikan keterangan. Apalagi tidak ada lagi orang-orang yang mencurigakan dia ntara mereka yang masih berkeliaran. Paman berkata Mahisa Buagalan kemudian Apakah paman mengetahui serba sedikit tentan g pemungut-pemungut pajak itu? He wajah orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Dipandanginya beberapa orang di sekel ilingnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya Marilah kita be rbicara tentang hal yang lebih menarik. He? apakah kau orang asing disini? Aku adalah seorang perantau. Aku singgah di desa Watan ini untuk beberapa hari Kemanakah tujuanmu? Aku tidak tahu paman. Aku berjalan asal saja berjalan. Aku meninggalkan keluargak u yang kesulitan jawab Mahisa Bungalan. Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Lalu katanya Sebaiknya kau tidak usah bertanya tentang pemungut pajak lalu laki-laki i tu berpaling kepada isterinya sambil bertanya Apakah mereka datang? Perempuan itu mendekat. Kemudian berbisik Kelompok Ki Branang Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Mereka adalah orang-orang yang k eras hati. Tetapi kelompok Ki Branang masih lebih baik dari kelompok yang lain Kelompok yang mana lagi? bertanya Mahisa Bungalan. Kelompok Ki Lambun Kenapa ada dua kelompok? bertanya Mahisa Bungalan pula meskipun ia sudah dapat mer aba. Laki-laki ku terdiam. Dipandanginya bakul isterinya yang memang sudah hampir kos ong. Jangan bertanya. Jika kau masih ingin makan jagung, makanlah Aku sudah kenyang Kalau begitu pergilah. He, kau bermalam dimana di padukuhan ini? Di Banjar paman, atas kemurahan Ki Buyut Orang ku mengangguk-angguk. Katanya, Pergilah ke banjar. Tidak ada gunanya kau me ngetahui apapun juga tentang pemungut pajak itu Mahisa Bungalan terdiam, la sadar, bahwa ada sesuatu yang kurang wajar. Kebanyak an dari orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan apapun lebih senang diam dan tidak berbicara tentang pemungut-pemungut pajak. Sejenak Mahisa Bungalan masih duduk bersila meskipun ia tidak mengunyah jagung l agi. Beberapa saat Limanya ia masih memandangi orang-orang yang berkeliaran untu k membeli bermacam-macam keperluan. Satu dua orang masih duduk di dalam warung y ang seolah-olah memang tidak pernah kosong itu. Penjual jagung itu masih duduk di belakang bakulnya, dan suaminyapun masih duduk tepekur di tempatnya.

Wajah suami isteri penjual jagung itu tiba-tiba menjadi tegang. Sekilas mereka m emandang seorang laki-laki muda yang mendekati warung itu diikuti oleh seorang y ang sudah lebih tua. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu memandangi beberapa orang yang nampak seolah-olah menyibak. Namun kemudian iapun memasuki pintu war ung itu. Mahisa Bungalan menjadi semakin curiga. Apalagi ketiika satu dua orang yang bera da di warung itupun dengan tergesa-gesa pergi meskipun barangkali perut mereka b elum kenyang. Mahisa Bungalan menjadi semakin curiga. Apa lagi ketika beberapa orang yang bera da di warung itu dengan tergesa-gesa pergi meskipun barangkali perut mereka belu m kenyang. Nyi berkata laki-laki yang duduk di dekat Mahisa Bungalan sudahlah. Jika jagungmu t inggal sedikit, marilah kita pulang Perempuan penjual jagung itu tidak menjawab. Iapun kemudian mengemasi daganganny a dan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempatnya. Mahisa Bungalan masih duduk di tempatnya. Perempuan penjual jagung itu menerima uangnya seolah-olah sambil berlari saja tanpa dihitungnya. Tentu ada sesuatu yang gawat berkala Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun ia su dah dapai menerka, bahwa anak muda yang memasuki warung itu adalah seorang anak muda yang disegani. Tentu ada hubungannya dengan pungutan pajak yang lain dari y ang sudah dilakukan oleh beberapa orang terdahulu. Aneh, Nampaknya Ki Buyut termasuk seorang yang baik dan sabar, bahkan pemurah. Te tapi menilai sikap pemungut pajaknya., ternyata ia termasuk orang yang keras dan barangkali suka memeras rakyat yang tinggal di dalam lingkungan kuasanya Mahisa Bungalan berteka-teki dengan dirinya sendiri. Namun justru karena itu, maka Mahisa Bungalanpun, tetap duduk di tempatnya. Ia i ngin mengetahui, apa yang akan dilaksanakan oleh anak muda itu. Beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan duduk di tempatnya. Beberapa orang telah m eninggalkan tempat itu, seperti penjual jagung yang seolah-olah menjadi ketakuta n. Beberapa saat lamanya ia menunggu. Tetapi anak muda bersama kawannya itu masih s aja berada di dalam warung. Apa saja yang dilakukan? pertanyaan itu rasanya mengganggu perasaan Mahisa Bungala n. Tetapi ia tidak dapat memasuki warung itu tanpa menumbuhkan kecurigaan. Sampai kapanpun aku akan menunggu berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Karena itu, maka iapun beringsut sedikit dan duduk bersandar pohon preh. Dengan demikian ia akan dapat menunggu untuk waktu yang lebih lama sambil bersandar dan memeluk lutut. Kegelisahan masih saja nampak pada orang-orang yang masih ada di sekitar tempat itu. Orang-orang yang tidak dapat pergi meninggalkan dagangan mereka yang masih cukup banyak. Namun ada juga satu dua orang yang lebih baik menyingkir daripada duduk di tempatnya dengan gelisah. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak menunggu lebih lama lagi. Anak muda itupun kemudian keluar dari warung itu tanpa terjadi sesuatu. Sejenak anak muda itu berdiri di muka warung sambil memandang ke sekelilingnya. Agaknya sikap Mahi sa Bungalan sangat menarik perhatiannya. Mahisa Bungalan sama sekali tidak menun jukkan sikap yang gelisah seperti kebanyakan orang yang ada di tempat itu. Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar karena ternyata anak muda itu melangkah m endekatinya diikuti oleh kawannya yang lebih tua. Di luar sadarnya Mahisa Bungalan telah melihat di pinggang anak muda itu melilit seutas rantai baja putih yang mengkilap. Ki Sanak sapa anak muda itu apakah yang sedang kau lakukan disitu? Mahisa Bungalan tergagap. Ia mulai menyadari kesalahannya. Bahwa sikapnya telah menarik perhatian anak muda itu. Dengan demikian maka untuk selanjutnya Mahisa Bungalan nampak gelisah dan ketaku tan. Dengan suara yang bergetar ia menjawab Aku, aku tidak apa-apa Ki Sanak Apakah kau menunggu seseorang? Tidak, Tidak Ki Sanak. Aku duduk disini melepaskan lelah. Aku sebenarnya hanya in gin melihat tempat yang termasuk ramai di padukuhan ini. Tempat yang belum perna h aku lihat sebelumnya

O anak muda itu mengangguk-angguk jadi kau bukan orang Watan? Mahisa Bungalan menggeleng lemah Bukan. Bukan Ki Sanak. Aku bukan orang Watan Orang itu tersenyum. Lalu kalanya Jika kau ingin duduk saja disitu, duduk sajalah . Kau akan melihat sesuatu terjadi. Tetapi agaknya aku datang terlampau pagi Mahisa Bungalan menjadi tegang. Bukan sekedar pura-pura. Tetapi keterangan anak muda itu benar-benar lelah menarik perhatiannya. Apakah maksud Ki Sanak dengan sesuatu yang akan terjadi itu? bertanya Mahisa Bunga lan. Beberapa hari yang lalu aku sudah berjanji akan datang di tempat ini di hari pasa ran. Tetapi karena sesuatu hal, maka di hari pasaran yang lalu, aku telah ingkar , sehingga aku tidak datang. Alasannya tidak perlu aku katakan kepadamu. Baru ha ri ini aku sempat datang. Tetapi pemungut pajak di hari pasaran itu nampaknya be lum datang Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Di luar sadarnya ia bertanya Pemungut paj ak di warung-warung itu? Ya. Pemungut pajak di warung-warung Beberapa orang laki-laki yang garang? Ya. Beberapa orang laki-laki yang garang Di luar sadarnya Mahisa Bungalan bangkit. Tanpa prasangka apapun juga ia berkata Mereka sudah datang. Belum lama. Dan mereka kini sudah pergi He wajah anak muda itu menjadi tegang jadi mereka sudah datang? Ya. Mereka sudah datang Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dipandanginya kawannya yang berdiri terman gu-mangu. Geramnya kemudian Gila. Kali inipun aku terlambat Kemanakah mereka pergi anak muda? bertanya kawannya. Kesana. Kearah padukuhan sebelah jawab Mahisa Bungalan jujur. Orang-orang disinipun sudah gila. Menurut penjual di warung itu, mereka belum dat ang. Ia mencoba menipuku. He, apakah pemungut pajak itu justru menguntungkan ora ng-orang disini? Tentu tidak jawab kawannya agaknya mereka takut untuk mengatakannya dengan jujur Anak muda itu menjadi semakin tegang. Tiba-tiba ia menggeram Gila orang warung it u Namun ketika ia melangkah, kawannya mencegahnya Pertimbangkan baik-baik. Mungkin ia tidak sengaja menipumu. Kau harus tahu, bahwa orang-orang yang lemah itu sela lu dibayangi oleh ketakutan Anak muda itu menarik, nafas dalam-dalam. Katanya Aku hanya akan bertanya, apakah maksudnya dengan menipuku Dengan tergesa-gesa anak muda itu kembali ke warung diikuti oleh kawannya. Mahis a Bungalanpun telah mengikutinya pula beberapa langkah dibelakangnya. Dari luar Mahisa Bungalan mendengar anak muda itu bercakap-cakap dengan nada yan g agak keras. Kau ingin menyesatkan aku, he? katanya. Tidak anak muda. Aku berkata sebenarnya Menurut anak muda Di luar warung ini, mereka sudah datang. Dan kini mereka justru telah pergi ia berhenti sebentar, lalu kenapa kau menipuku? Penjual di warung itu menjadi pucat. Namun terdengar ia menjawab Siapakah yang me ngatakan bahwa mereka telah pergi? Itu, anak muda itu melihatnya Penjual di warung itupun kemudian melangkah ke pintu. Dilihatnya Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Namun dengan ragu-ragu Mahisa Bungalanpun bergeser suru t. Ia harus memerankan penyamaran itu sebaik-baiknya, agar tidak menimbulkan mas alah yang kemudian akan berkisar pada dirinya. Aku, aku memang melihat Penjual di warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Mungkin ia keliru, anak muda. Yang dikatakan itu tentu sekelompok petugas yang dipimpin oleh Ki Branang Siapa mereka itu? bertanya anak muda itu. Petugas-petugas yang memang mendapat perintah dari Ki Buyut. Tetapi bukankah yang kau maksudkan bukan orang-orang Ki Branang? Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya Yang dahulu pernah aku seb utkan. Aku pernah mendapat laporan, bahwa sekelompok pemungut pajak telah mengad

akan pemerasan disini. He, apakah ada kelompok lain? Kelompok Ki Lambun. Ya, tentu kelompok Ki Lambun. Karena itu aku mengatakan bahwa hari ini mereka belum nampak. Ki Lambun memang sering datang di hari pasaran. M emeras dengan semena-mena. Tetapi kadang-kadang ia tidak nampak. Dan sampai seka rang kami belum melihat kedatangannya Gila geram anak muda itu jadi ada dua kelompok, he? Tetapi yang dipimpin oleh Ki Branang, adalah orang-orang Ki Buyut Tetapi apakah kedua kelompok itu tidak saling bersaing dan saling bertengkar jika mereka bertemu? Kelompok Ki Branang adalah petugas-petugas padukuhan. Mereka memang kasar dan kad ang-kadang keras. Tetapi mereka tidak berbuat melampaui batas yang ditentukan ol eh Ki Buyut. Sedangkan Ki Lambun..... orang itu berhenti sejenak, dipandanginya k eadaan di sekelilingnya. Karena ia tidak segera melanjutkan, maka anak muda itu mendesaknya Kau takut bahw a kata-katamu akan didengar oleh orang yang bernama Lambun itu? Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Ia adalah seorang yang memiliki keku atan jin di dalam dirinya Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya Jadi yang dimaksud anak muda itu bukanny a orang-orang yang aku maksudkan Tentu bukan Ki Sanak Tetapi mereka menjadi ketakutan pula sahut Mahisa Bungalan. Bukan saja orang-orang yang ada di sekitar tempat ini. Bahkan Ki Branangpun melak ukan tugasnya dengan tergesa-gesa. Ia tidak berani berhadapan dengan Ki Lambun. Jika mereka berpapasan maka Ki Branang akan mengambil jalan lain Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sementara anak muda itu berkata. Jika demikian, a ku masih akan menunggu. Aku akan bertemu dengan orang yang bernama Ki Lambun. Mu ngkin aku dapat mengekang tindakannya yang biadab itu Penjual di warung ku menjadi pucat. Lalu katanya Tetapi sekali lagi aku mohon, ja ngan membuat keadaan kami semakin parah Anak muda itu tersenyum. Katanya Aku minta maaf bahwa kehadiranku membuat kalian bertambah gelisah dan barangkali! menjadi ketakutan. Tetapi jika aku berhasil, m aka kalian akan bebas dari pemerasan lebih lama lagi. Tetapi jika aku gagal, mak a mungkin aku mati disini sekarang. Namun orang-orang Ganter tidak akan membiark an mayatku diludahi oleh Ki Lambun. Ia tentu akan segera dimusnahkan seperti pen jahat-penjahat yang pernah aku lumatkan Tetapi sekilas Mahisa Bungalan melihat kerut kening di wajah kawan anak muda itu , seolah-olah ada sesuatu yang tidak benar yang dikatakannya. Namun demikian. Mahisa Bungalan mengetahui bahwa anak muda itu tentu bersangkut paut dengan orang-orang Ganter yang menurut keterangan memang sudah tidak terlal u jauh lagi dari Watan. Nah, aku akan menunggu Di luar berkata anak muda itu, lalu katanya kepada Mahisa B ungalan yang berdiri di luar warung itu Nah, kau sudah mengetahui persoalannya. J ika kau ingin duduk di bawah pohon preh itu duduklah. Mungkin kau akan melihat s esuatu terjadi disini. Jika aku menang, kau dapat ikut bersorak. Tetapi jika aku kalah dan terbunuh, kau tidak usah menangis. Aku memang sudah sengaja melakukan nya. Mahisa Bungalan tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah kembali kebawah pohon p reh dan duduk bersandar batangnya yang besar dan kukuh. Siapakah anak muda itu bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Bahkan kemudi an timbullah keragu-raguannya atas sikap dan tingkah laku anak muda itu. Apakah ia akan dapat melakukan rencananya. Tetapi aku juga belum tahu, apakah orang yang bernama Ki Lambun itu benar-benar m emiliki ilmu yang cukup Sejenak kemudian anak muda itu berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian mengitari w arung dan beberapa penjual yang masih ada, tetapi yang sudah menjadi semakin sed ikit. Satu-satu mereka meninggalkan tempatnya. Yang masih mempunyai banyak baran g dagangan masih ada juga di tempatnya. Bahkan, ada diantara mereka yang bergere mang diantara kawannya Apa pula yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Jika ia t idak mengganggu Ki Lambun, maka aku kira tidak akan ada persoalan. Dengan member i beberapa keping uang, ia akan pergi tanpa mengganggu kita

Tetapi kadang-kadang Ki Lambun menuntut terlalu banyak berkata yang lain. Biarlah dilakukan terhadap warung-warung yang besar jawabnya. Kawannya mengangguk-angguk. Sekilas dilihatnya anak muda yang nampaknya tidak sa bar lagi menunggu. Sekali-sekali anak muda itu duduk di atas batu. Kemudian berj alan lagi hilir mudik. Sikapnya benar-benar membuat beberapa orang bertambah cemas, sehingga akhirnya t empat itu benar-benar menjadi semakin sepi. Seorang penjual kedele yang duduk agak jauh dari warung-warung yang lain, merasa kesal karena peristiwa yang tidak di harapkannya itu. Ia lebih suka melihat Ki Lambun datang dan memaksa orang-orang yang mempunyai penghasilan yang lebih bany ak dari dirinya untuk membayar lebih banyak. Tetapi orang-orang yang pernah dikenai pungutan yang dilakukan oleh Ki Lambun, b enar-benar mengharap bahwa pada suatu saat ada seseorang yang sanggup menghentik annya. Ki Lambun tidak segan-segan menyakiti mereka yang tidak mau memberikan ua ng yang dimintanya. Bahkan ia tidak segan-segan menyeret korbannya ketengah-teng ah bulak dan membiarkannya dibakar oleh terik matahari. Namun nampaknya, ada beberapa orang yang tidak ingin mengalami peristiwa lain ya ng dapat mengungkat kemarahan Ki Lambun, sehingga ia akan bertindak lebih garang lagi. Bahkan mungkin Ki Lambun tidak saja bertindak kasar dan keras terhadap or ang-orang yang dikiranya dapat memberikan uang banyak kepadanya, tetapi juga kep ada penjual kecil hanya memiliki apa yang dibawanya saat itu. Mudah-mudahan Ki Lambun tidak datang desis seseorang yang lain. Tetapi yang lain lagi mengharap Mudah-mudahan kali ini ia datang. Anak muda itu t entu akan membinasakannya Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan Ki Lambun tidak nampak datang, maka anak muda yang menunggunya itu menjadi semakin gelisah. Sementara kawannya yang tidak ikut hilir mudik bersamanya, telah duduk di bawah pohon preh di dekat Mahi sa Bungalan. Hampir Di luar sadarnya orang itu bertanya Siapa namamu? Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hampir tidak percaya ia bahkan bertanya Ki Sanak bertanya kepadaku? Ya. Kau Namaku Dogol jawab Mahisa Bungalan. Orang itu tersenyum. Katanya Itu benar-benar namamu? Ya. Memang namaku. Ki Buyut juga bertanya demikian kepadaku Mahisa Bungalan berhen ti sejenak, lalu siapakah nama Ki Sanak dan anak muda itu? Namaku Makerti. Aku masih bersangkut paut kadang dari anak muda itu. Namanya Gema k Werdi. Ia murid seorang pertapa yang baru saja turun dari padepokannya. Ketika ia mendengar ceritera tentang Ki Lambun di daerah Watan, maka ia telah menawark an diri untuk menghalaunya. Aku sudah memperingatkan, bahwa tugas ini bukan tuga s yang ringan. Tetapi ia terlalu yakin akan ilmunya. Ilmu yang masih hangat Namun orang itu kemudian berguman tetapi aku masih belum yakin, sehingga karena itu ak u menyertainya Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa anak muda itu baru saj a turun dari padepokan, sehingga ia merasa perlu untuk menguji ilmunya yang baru saja di terimanya dari tempatnya berguru. Namun dengan demikian, justru orang yang mengikutinya itulah yang dinilai oleh M ahisa Bungalan sebagai seorang yang tentu memiliki ilmu yang cukup pula. Ia mera sa perlu untuk menyertai salah seorang kadangnya yang telah terjun kedalam bahay a gawat. Tetapi ia tidak mencegahnya. Ia memberi kesempatan kepada anak muda yan g bernama Gemak Werdi itu untuk mendapatkan pengalaman. Tetapi satu pertanyaan telah tumbuh di hati Mahisa Bungalan, kenapa justru ia me ngatakannya kepadanya. Tetapi rasa-rasanya orang itu mengetahui pertanyaan yang melonjak di hati Mahisa Bungalan, sehingga orang itu berkata Ki Sanak. Sikapmu ya ng aneh memberikan kesan yang aneh pula kepadaku. Aku belum mengenalmu. Mungkin kau justru anak buah Ki Lambun. Tetapi kau menunjukkan sesuatu yang lain dari or ang kebanyakan, apalagi seorang yang bernama Dogol Apakah yang lain? bertanya Mahisa Bungalan. Kehadiranmu disini, dan bahwa kau tidak berlari-lari kecil menyingkir, merupakan sesuatu yang aneh bagiku. Mungkin karena kau memang sangat dungu sehingga kau ti

dak mengerti bahaya yang gawat di tempat ini, tetapi mungkin pula bahwa kau terl alu yakin akan dirimu, bahwa kau akan dapat menghindarkan diri dari bahaya Ah. apakah ada bahayanya duduk disini? bertanya Mahisa Bungalan bukankah aku tidak turut campur Tetapi Makerti tidak menjawab. Ia justru tersenyum. Sementara itu, anak muda yang bernama Gemak Werdi itu menjadi semakin gelisah. S ejenak kemudian ia melangkah mendekati kawannya yang duduk di bawah pohon preh d ekat Mahisa Bungalan sambil berkata Jika sebentar lagi orang itu tidak datang, ki ta akan kembali. Besok pada hari pasaran berikutnya aku akan datang. Aku akan me mberikan tantangan langsung kepadanya. Jika ia menolak tantanganku, berarti ia a kan menghentikan tindakan-tindakannya yang biadab itu Kawannya yang duduk iitu mengangguk. Jawabnya Baik. Kita kembali saja Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja, orang yang masih ada menjadi gelisah. Bebe rapa orang benar-benar telah, meninggalkan tempatnya. Penjual di warung di dekat pohon preh itupun dengan tergesa-tergesa pula mengumpulkan dagangannya yang ter sisa. Tetapi ia tidak berani menutup pintu warungnya. Dari kejauhan mereka melihat sekelompok orang berjalan dengan tenang mendekati t empat itu. Sekelompok orang yang sudah banyak dikenal, karena pemimpin kelompok itulah yang disebut Ki Lambun. Makerti yang juga melihat kehadiran orang-orang itu menjadi gelisah. Bahkan hamp ir di luar sadarnya ia berbisik Gemak Werdi benar-benar orang baru sehingga ia ma sih harus menilai dirinya sendiri Tetapi bagaimana jika ia gagal seperti yang dikatakannya? bertanya Mahisa Bungalan sambil berbisik pula. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun Di luar sadarnya ia telah memutar ped ang pendek yang tergantung di pinggangnya. Mahisa Bungalan kemudian beringsut surut. Katanya Aku tidak mau terlibat. Aku aka n pergi saja Gemak Werdi memandanginya sejenak. Lalu katanya Jika kau pergi, pergilah. Tetapi jika kau ingin melihat Lambun mati, tinggallah disini Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun iapun kemudian bergeser menjauh, meskipun ia tidak meninggalkan tempat itu. Dengan tegang iapun kemudian berdiri di sudut sebuah warung yang masih tetap terbuka, karena pemiliknya tidak berani menutup p intunya. Sejenak kemudian, sekelompok orang yang berjalan dengan tenang itupun sudah menj adi semakin dekat. Adalah mendebarkan, karena mereka justru mendekati warung tem pat Mahisa Bungalan berdiri, beberapa langkah dari Gemak Werdi yang menunggu sam bil bersandar dinding warung yang lain. Sekilas Mahisa Bungalan dapat mengetahui, yang manakah yang menjadi pemimpin dar i kelompok orang-orang yang namanya telah menghantui daerah Watan itu. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia melihat orang yang diduganya be rnama Ki Lambun itu mengangguk hormat di muka pintu warung yang terbuka itu. Den gan ramah ia berkata Selamat siang Ki Sanak. Aku mohon maaf bahwa aku datang agak terlambat O terdengar suara gemetar silahkan, silahkan Kiai Orang itu tertawa pendek. Sekali lagi ia mengangguk dalam-dalam. Bahkan terlalu dalam, sambil berkata Kedatanganku tidak ada ubahnya dengan kedatanganku sebelumn ya. Kami adalah orang-orang miskin yang perlu dikasihani. Sebenarnyalah bahwa ka mi sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Ki Sanak. Namun apaboleh buat, bah wa kami masih harus datang lagi kali ini. Mudahkan kami untuk seterusnya tidak a kan mengganggu Ki Sanak lagi Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya Tetapi, apakah yang dap at aku berikan kali ini. Masih belum banyak orang yang membeli sementara Ki Bran ang telah datang pula. Karena itu, aku mohon maaf, bahwa yang dapat aku sediakan tidak terlalu banyak Ki Lambun tertawa. Katanya Itu tidak menjadi soal Ki Sanak. Sedikitpun sudah cuku p bagi, kami. Kami akan mengucapkan beribu terima kasih Mahisa Bungalan yang berdiri tegak di sudut warung itu menjadi termangu-mangu. S ejenak ia tidak mendengar sesuatu sementara Ki Lambun melangkah masuk kedalam wa rung itu.

Ini Kiai terdengar kemudian suara pemilik warung itu. Apakah sudah tidak ada lagi yang dapat kami terima Ki Sanak? bertanya Ki Lambun. Maaf Kiai Semua yang aku dapatkan hari ini sudah aku berikan semuanya. Sebagian k epada Ki Branang Terima kasih Ki Sanak jawab Ki Lambun tetapi kenapa Ki Sanak memberikan sebagian da ri milik Ki Sanak kepada Ki Branang. Seharusnya Ki Sanak tidak melakukannya. Aku pun berusaha untuk dapat berjumpa dengan Ki Branang. Aku ingin memperingatkan ke padanya, agar ia tidak melakukannya lagi. Bukankah yang dilakukan itu sama sekal i tidak berperi-kemanusiaan? Ki Sanak adalah orang-orang yang berusaha dengan su sah payah. Ki Branang datang dengan tanpa berbuat apa-apa, mengambil uang Ki San ak dan di berikannya kepada Ki Buyut Ki Lambun berhenti sejenak, lalu Tetapi aku m asih segan berurusan dengan orang itu lebih jauh lagi. Namun apabila pada suatu saat aku tidak dapat mengendalikan perasaan belas kasihanku kepada para pemilik warung disini, maka aku akan terpaksa bertindak Pemilik warung itu sama sekali tidak menyahut. Sudahlah Ki Sanak berkata Ki Lambun aku mohon diri. Semua yang telah aku terima, ak an aku pergunakan sebaik-baiknya bagi kepentingan kami sekeluarga. Kebaikan hati Ki Sanak tidak akan dapat aku lupakan Silahkan Kiai jawab pemilik warung itu. Tetapi tiba-tiba saja Ki Lambun berkata nampan teko dari tembaga itu baik sekali Ki Sanak. O. Itu peninggalan orang tuaku Kiai. Nampan tembaga itu dengan teko dan mangkuk-m angkuknya Ah manis sekali. Jika Ki Sanak bermurah hati, aku ingin memilikinya untuk kenangkenangan, bahwa Ki Sanak telah menolong kami dan keluarga kami Tetapi, tetapi Kiai telah membawa teko berselut perak itu beberapa hari yang lalu Lupakan Ki Sanak. Lupakan saja yang sudah lalu. Sekarang aku berterima kasih seka li atas kebaikan hati Ki Sanak Tidak ada jawaban. Yang terdengar adalah gemerincing mangkuk dan nampan tembaga yang agaknya telah diambil oleh Ki Lambun. Gila geram Mahisa Bungalan keramahan seekor serigala Sejenak kemudian Ki Lambun telah keluar dari warung itu. Ia berhenti termangu-ma ngu ketika ia mendengar Gemak Werdi yang berdiri bersandar dinding warung yang l ain mendeham. Ki Lambun memandanginya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya A pakah Ki Sanak tertarik kepadaku dan kawan-kawanku Gemak Werdipmi kemudain melangkah mendekat. Ia sama sekali tidak nampak ragu-rag u meskipun ia melihat bahwa kelompok yang dipimpin oleh Ki Lambun itu berjumlah lebih dari lima orang. Apakah Ki Sanak yang bernama Ki Lambun? bertanya Gemak Werdi. Ki Lambun memandang anak muda itu dengan tajamnya. Ia melihat sesuatu yang lain pada Gemak Werdi daripada orang-orang lain di daerah Watan yang pernah dikenalny a. Akulah orang yang disebut Ki Lambun jawab Ki Lambun dengan kerut merut di dahinya. Ha sahut Gemak Werdi sekarang aku berhasil menemuimu. Beberapa hari yang lalu, aku pernah berjanji kepada orang-orang Watan yang terlalu baik hati untuk datang men jumpaimu. Tetapi di hari pasaran yang lalu, aku berhalangan, sehingga, baru seka rang aku datang lagi memenuhi janji itu O. Nampaknya kau memang sangat tertarik kepadaku berkata Ki Lambun. Bukan tertarik kepadamu. Nampaknya kau seorang yang lumrah. Bahkan sudah lebih tu a dari dugaanku. Yang menarik adalah tingkah lakumu. Ternyata kau mempunyai ting kah laku yang berbeda dari yang aku bayangkan. Aku kira kau adalah seorang yang dengan garang menendang pintu yang tertutup. Melemparkan tempat makanan dan mang kuk di paga warung itu. Kemudian dengan rakus mengambil semua uang yang ada samb il membentak-bentak dengan kasar ia berhenti sejenak, lalu ternyata kau adalah seo rang yang ramah, sopan, bahkan terlalu sopan, karena kau membungkukan punggungmu terlalu dalam di muka pintu saat kau memasuki warung itu. Dengan ramah dan rend ah hati kau minta belas kasihan kepada pemiliknya. Ki Lambun mengerutkan keningnya. Namun iapun kmudian tertawa sambil berkata Bukan kah itu lebih baik. Aku memang menghargai sopan santun. Aku menghormati adat dan

mencoba untuk bertingkah laku sebaik-baiknya Dan itu sudah kau lakukan dengan baik. Tetapi sayang, bahwa di balik tingkah laku mu yang baik, rendah hati, ramah dan sopan itu, tersembunyi maksudmu yang justru jauh lebih jahat dari orang-orang kasar yang menendang pintu dan menghamburkan makanan Ki Lambun mengerutkan keningnya. Kemudian katanya Kau terlalu banyak berbicara, a nak muda. Aku mohon agar kau sudi berlalu dari tempat ini. Aku hargai perhatianm u atas kami sekelompok kecil ini. Tetapi agaknya waktu kami tidak terlalu banyak untuk melayanimu. Jika kau tidak sudi untuk meninggalkan tempat ini, baiklah ka milah yang akan mohon diri untuk melanjutkan tugas kami. Kami masih akan pergi k e warung sebelah dan yang lain lagi. Agar kami tidak kesiangan sampai di rumah, maka kami akan melanjutkannya sekarang. Isteri dan anak-anak kami yang perlu dik asihani, sudah menunggu kami. Tentu mereka belum makan karena mereka tidak mempu nyai persediaan apapun juga, selalu menunggu kepergian kami untuk mendapat belas kasihan dari pada pemilik warung yang mempunyai uang berkelebihan Jawaban dan sikap Ki Lambun yang ternyata tidak mencerminkan sikapnya yang jujur itu, membuat dada Gemak Werdi semakin bergejolak. Bahkan tiba-tiba meledaklah p erasaannya yang tertahan selama itu Gila. Kau masih mempertahankan sikapmu yang b erlebih-lebihan itu? Kau kira itu bukan suatu penghinaan bagiku? Ki Lambun mengerutkan keningnya. Nampak kerut-marut ketegangan di wajahnya. Kata nya Aku tidak mengerti, anak muda. Apakah maksudmu? Aku hanya sekedar minta belas kasihan disini. Apa salahku? Jika ada orang yang menaruh belas, akan memberinya dengan ikhlas. Jika tidak, maka akupun tidak akan menyesali nasib karena aku ha rus menyadari bahwa sikap seseorang itu tidak harus sama yang satu dengan yang l ain Jangan berkicau lagi seperti burung kedasih. Kembalikan semuanya yang kau ambil d ari warung itu. Apa saja. Tentu nampan tembaga itu juga kau ambil dari warung it u Wajah Ki Lambun menjadi semakin tegang. Katanya Anak muda. Selama aku berkeliaran di daerah Watan untuk mohon belas kasihan aku belum pernah menjumpai sikap sepe rti ini. Jika kau tidak mempunyai belas sedikitpun, baiklah, aku tidak akan dapa t berbuat apa-apa. Tetapi jangan membentak-bentak dan berlaku demikian kasar Persetan anak muda itu menggeram kembalikan barang-barang itu. Juga yang lain-lain yang tentu kau rampok dari warung-warung atau rumah-rumah yang kau jadikan sumbe r perahan seperti kau memerah kelapa untuk mendapatkan santannya. Sampai akhirny a menjadi ampas yang kering dan tidak berarti sama sekali Sudahlah anak muda potong Ki Lambun apakah maumu sebenarnya Menghentikan ulahmu yang gila itu. Kau mengerti? Jika dan dapat diajak berbicara dan mengerti kata-kataku, maka tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi jika kau keras kepala, maka aku akan bertindak lebih kasar lagi Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi bertambah tegang. Katanya K au memang tidak dapat dihargai dengan sikap yang baik dan adat yang lengkap. Kal au begitu, apakah aku harus bersikap kasar? Bersikaplah seperti sikapmu yang sewajarnya. Kau adalah seorang perampok apapun a lasanmu dan cara apapun yang kau lakukan Ki Lambun akhirnya tidak id!apat menguasai diri lagi. Sambil menggeram ia berkat a Apa maumu sekarang? Nah, itu adalah sikapmu yang jujur. Sikapmu sebagai seorang perampok. Dan akupun akan menunjukkan sikapku yang jujur. Aku bukan anak muda yang berbudi pekerti se perti seorang perempuan. Aku akan memilih berkelahi untuk maksud baikku Ki Lambunpun kemudian menggeram. Selangkah ia surut. Kemudian iapun menggeram Ana k muda yang gila. Kau belum mengenal Lambun yang sebenarnya Memang belum karena sikapmu yang pura-pura dan dibuat-buat Tetapi justru sangat m emuakkan itu Wajah Ki Lambun menjadi merah. Ia belum pernah di perlakukan sekasar itu. Apalag i oleh seorang anak muda yang tidak dikenal. Karena itu, maka iapun kemudian men ggeram Anak muda. Jangan banyak tingkah. Aku dapat berbuat baik, sopan dan menuru t adat. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar dan bahkan membunuh tanpa akibat apa pun yang dapat dikenakan atasku, karena aku akan melawan siapapun juga yang meng anggap aku bersalah. Apalagi seseorang yang akan menjatuhkan hukuman atasku. Aku

lah yang justru akan menghukum seseorang yang tidak menyetujui sikap dan perbuat anku. Termasuk kau Tetapi Gemak Werdi tertawa. Katanya Kau mempunyai sikap yang aneh. Tetapi kau kas ar seperti aku. Karena itu, maka persoalan ini hanya dapat diselesaikan dengan p erkelahian. Salah seorang dari kita harus kalah. Bahkan kekalahan itu harus jela s Aku mengerti maksudmu. Salah seorang dari kita harus tidak berdaya lagi untuk mel awan. Bahkan mati Sekali lagi Gmak Werdi tertawa berkepanjangan. Katanya Kau memang cerdas Gila. Kau memang anak muda yang gila. Cepat, bersiaplah. Sekejap lagi kau akan ma ti. Dan aku akan memenggal kepala setiap korbanku Bagus. Marilah kita berkelahi. Aku menghargai sikapmu jika kau menghadapi aku dal am perkelahian jantan. Seorang lawan seorang. Tetapi jika kau terbiasa berkelahi dalam kelompokan yang lebih dari lima orang itu, akupun tidak akan gentar Persetan. Bersiaplah Gemak Werdi meloncat surut, ketika ia melihat Ki Lambun yang marah itu melangkah maju. Dengan hati-hati ia berdiri menghadap lawannya yang seorang itu, tetapi i a tidak melepaskan perhatiannya kepada kawan-kawan Ki Lambun yang ternyata telah bersiap-siap pula. Aku akan membunuhnya geram Ki Lambun sambil melangkah maju lagi. Gemak Werdi melangkah selangkah surut. Tetapi ia masih tersenyum sambil berkata K ita benar-benar akan mulai. Bersiaplah. Jangan hanya marah-marah saja Ki Lambun menggeram. Namun iapun terkejut ketika tiba-tiba saja anak muda itu me loncat menyerang dengan kecepatan yang tidak diduganya. Ki Lambun terlambat menghindar. Karena itu, maka serangan tangan Gemak Werdi ber hasil menyentuh pundaknya sehingga Ki Lambun terdorong oleh kekuatan raksasa ke samping. Hampir saja ia terlempar jatuh. Untunglah bahwa orang itu masih sempat berputar dan memperbaiki keseimbangan dengan sebuah loncatan kecil. Namun dalam pada itu terdengar ia menumpat dengan kasar Anak setan. Kau licik Bukankah kita sudah bersiap untuk mulai Gemak Werdi bertanya sambil tertawa kecil. Si'kap itu benar-benar menyakitkan hati Ki Lambun yang sudah melakukan pekerjaan itu untuk waktu yang lama tanpa seorangpun yang menghalanginya. Pada permulaan dari pekerjaannya, memang ada satu dua orang yang mencoba mencegahnya. Terutama orang-orang dan bebahu Watan yang merasa tersinggung atas perbuatannya. Tetapi d engan mudah mereka ditundukkannya dan bahkan untuk seterusnya tifdak berani lagi menghalanginya. Kini aku tidak mempunyai pilihan lajni kecuali membunuhmu geram Ki Lambun. Namun jawab Gemak Werdi semakin menyakiti hatinya. Berkata anak muda itu Jangan h anya bicara saja seperti orang menggigau. Ayo, berbuatlah sesuatu Ki Lambun tidak dapat menahan hatinya yang tetbakar. Dengan serta merta ia melon cat menyerang dengan garangnya. Tetapi Gemak Werdi telah bersiap menghadapi serangan itu. Karena itu, dengan tan gkasnya ia meloncat mengelak, sehingga setangan lawannya tidak menyentuhnya. Bah kan ia sudah memperhitungkannya sebelumnya. Kemarahan Ki Lambun adalah salah sat u segi kelemahannya. Katena itu, demikian kakinya menyentuh tanah, Gemak Werdi langsung menyerang den gan putaran kakinya yang mendatar. Ki Lambun terlambat menghindar. Karena itu maka serangan tangan Gemak Werdi berh asil menyentuh pundaknya, sehingga Ki Lambun terdorong oleh kekuatan raksasa ke samping. Serangan itupun mengejutkan lawannya. Dengan tergesa-gesa Ki Lambun meloncat men gelak. Namun ternyata bahwa Gemak Werdi mengubah sikapnya. Kakinya yang berputar mendatar itu tiba-tiba merapat. Seperti seekor bilalang ia melenting, Ketika ka kinya terbuka, maka Ki Lambun tidak dapat menghindarinya lagi. Sekali lagi Ki La mbun tersentuh serangan Gemak Werdi sehingga ia terdorong beberapa langkah surut . Ki Lambun menggeram oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi kegagalannya telah memp eringatkannya, bahwa anak muda itu ternyata bukan anak muda kebanyakan yang hany a sekedar didorong oleh keinginannya menjadi seorang pahlawan. Tetapi anak muda yang sedang dihadapinya itu benar-benar memiliki bekal ilmu yang dapat dibanggak

an. Di luar arena, kawan-kawan Ki Lambun memperhatikan perkelahian itu dengan jantun g yang berddbaran. Rasa-rasanya mereka ingin meloncat memasuki arena dan beramai -ramai mencincang anak muda yang sombong itu. Namun mereka masih harus menunggu perintah Ki Lambun, sehingga dengan demikian mereka hanya dapat memandang perkel ahian itu dengan gigi gemeretak. Di bawah pohon preh, kawan Gemak Werdi telah berdiri pula. Wajahnyapun menegang. Tangannya telah berada di hulu pedangnya dengan gemetar. Tetapi iapun tidak ber buat sesuatu. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Bahkan sekali-sekali ia sempa t memandang Mahisa Bungalan yang, memperhatikan perkelahian itu dengan saksama. Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun menjadi semakin sengit. Ki Lambun tida k mau lagi membuat kesalahan-kesalahan yang akan dapat mencelakakannya. Ia sudah dikenai lebih dahulu serangan-serangan anak muda yang sombong itu. Rasa-rasanya sentuhan itu telah membuat darahnya menjadi mendidih. Karena itu, maka perkelahian berikutnya benar-benar diperhitungkannya dengan cer mat. Meskipun kemarahannya masih tetap menyala, namun ia tidak terseret tanpa pe rhitungan seperti yang telah dilakukannya. Namun demikian, ternyata Gemak Werdi tidak terdesak karenanya. Meskipun ia tidak sempat lagi tersenyum dan apalagi tertawa, namun ia masih tetap dapat bertahan dari serangan Ki Lambun yang datang beruntun bagaikan badai. Mahisa Bungalan yang berdiri tegak di tempatnya, memandang perkelahian itu denga n berdebar-debar. Ketajaman pengamatannya mencoba menilai, siapakah yang akan me menangkan perkelahian itu. Bersambung

Anda mungkin juga menyukai