Anda di halaman 1dari 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengertian Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan

peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan sekresi insulin, atau fungsi insulin, ataupun keduanya.1 Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah agar tetap normal. Insulin berfungsi untuk memasukkan gula dari dalam otot ke dalam jaringan sehingga tubuh dapat menghasilkan energi.4 Menurut WHO (World Health Organization), diabetes merupakan penyakit kronis, yang terjadi apabila pankreas tidak menghasilkan insulin yang adekuat, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksinya. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah yang dikenal dengan istilah hiperglikemia. Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia) pada tahun 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada waktu 2 jam selepas makan (postprandial) >200 mg/dL. Kadar gula darah bervariasi pada setiap individu setiap hari dimana kandungan gula darah akan meningkat jumlahnya setelah individu tersebut makan dan akan kembali normal dalam waktu 2 jam setelah makan.2 Pada keadaan normal, lebih kurang 50% glukosa dari makanan yang dimakan akan mengalami metabolisme sempurna menjadi karbon dioksida (CO2) dan air, 10%

Universitas Sumatera Utara

menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Semua proses metabolik terganggu pada penderita diabetes melitus akibat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa ke dalam sel menurun dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.8 Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% di dalam tubuh sehingga, bila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak dapat menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar apabila konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, akibatnya glukosa tersebut diekskresikan melalui urin (glukosuria).7,8 Ekskresi ini akan disertai dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut dengan diuresis osmotik. Akibat hal ini, penderita akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan sering merasa haus (polidipsi).1,9

2.2

Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) dan yang

sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah: 2.2.1 Diabetes melitus tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Diabetes melitus tipe 1 adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Kondisi ini menyebabkan tubuh kekurangan insulin. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan

Universitas Sumatera Utara

hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Diabetes tipe 1 lebih cenderung terjadi pada usia muda, biasanya sebelum usia 30 tahun. Pasien dengan diabetes tipe 1 harus bergantung pada insulin dan pengambilan obat diet kontrol.1,4,5 2.2.2 Diabetes melitus tipe 2: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non

Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM]) DM tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Resistensi insulin adalah berkurangnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Dalam hal ini, sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, sehingga terjadi defisiensi relatif insulin. Kondisi ini menyebabkan sel mengalami desensitisasi terhadap glukosa.1,7,8 Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe 2.8,9 2.2.3 Diabetes Melitus Gestasional (GDM) Diabetes Melitus Gestasional adalah intoleransi glukosa yang terjadi pada saat kehamilan. Diabetes ini terjadi pada perempuan yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemi terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada

Universitas Sumatera Utara

perempuan yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal. Anak-anak dari ibu dengan GDM memiliki risiko lebih besar mengalami obesitas dan diabetes pada usia dewasa muda.1,7,8 2.2.4 Diabetes melitus Tipe Spesifik Lain. Defek genetik pada fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, pankreatektomi, endokrinopati, akromegali, sindrom Cushing dan hipertiroidisme tergolong di dalam tipe ini. Penggunaan narkoba atau obat/ zat kimia, infeksi contohnya rubella kongenital, sitomegalovirus, penyebab imunologi yang jarang seperti antibodi antiinsulin, dan sindrom genetik lain yang berhubungan dengan DM seperti syndrome Down, syndrome Klinefelter juga tergolong ke dalam tipe ini. 1,7-9 2.3 Komplikasi Diabetes Melitus Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya penyakit lain) paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi secara terus menerus, sehingga mengakibatkan kerusakan pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya di dalam tubuh. Zat kompleks yang terdiri dari glukosa di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju kulit dan saraf.7-11

2.3.1 Komplikasi Sistemik

Universitas Sumatera Utara

Komplikasi sistemik diabetes berhubungan dengan deposisi advanced glycation endproducts (AGE) pada berbagai jaringan terutama sistem vaskularisasi dan sistem saraf perifer.1,4,8 Perubahan sistem vaskularisasi meliputi angiopati dan pembentukan atheroma. Perubahan mikroskopis antara lain deposisi lipida, proliferasi endotel dan pembesaran tunika intima kapiler di seluruh tubuh.9,10 Perubahan makropatologis dapat diamati pada sistem sirkulasi secara esensial dan berkaitan dengan pembentukan atheroma (atherosklerosis). Atheroma dihasilkan dari deposisi AGE dan LDL yang berkonsekuensi menimbulkan kalsifikasi berbagai arteri di dalam tubuh. Atheroma mengakibatkan sirkulasi yang buruk dan bertanggungjawab atas ulserasi dan gangren pada ekstremitas bawah. Komplikasi paling parah atheroma adalah adanya miokard infark, hipertensi, stroke, insufisiensi koroner dan gagal ginjal.8,9,11 Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi melalui akibat DM adalah retinopati (yang mungkin menyebabkan kebutaan), nefropati (mungkin menyebabkan gagal ginjal) dan neuropati. Neuropati diabetik berkaitan dengan hiperglikemia dan hal tersebut terjadi karena meningkatnya absorpsi glukosa oleh sel-sel Schwann. Beberapa manifestasi klinis yang berhubungan dengan neuropati antara lain nyeri terbakar, dan rasa baal terutama pada ekstremitas tubuh, kelemahan otot, dan timbulnya parestesi pada rongga mulut.1,7,8 Retina dan mikrosirkulasi glomerulus ginjal adalah organ yang paling terpengaruh. Retinopati diabetik merupakan penemuan umum pada pasien diabetes tipe 1 dan kurang terlihat pada pasien diabetes tipe 2. Nefropati diabetes adalah

Universitas Sumatera Utara

penyebab utama pasien diabetes tipe 1 akibat gagal ginjal. Pasien diabetes tipe 2 juga dapat mengalami penyakit ginjal akan tetapi prevalensinya lebih rendah.1,7,8 2.3.2 Komplikasi Oral Komplikasi oral yang dapat terjadi pada penderita diabetes tipe 1 maupun 2 dapat dilihat pada penderita diabetes tak terkontrol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika kadar glukosa pada penderita terkontrol baik, maka manifestasi penyakit ini terhadap rongga mulut minimal bahkan hilang.5 Manifestasi oral antara lain adalah penyakit periodontal, Serostomia, burning mouth syndrome (BMS), Kandidiasis, penyembuhan luka yang lama dan abnormal, peningkatan infeksi, penurunan aliran saliva dan pembesaran glandula saliva.2,7,8 Beberapa komplikasi ini dapat secara langsung berhubungan dengan peningkatan cairan yang berkaitan dengan urinasi berlebihan pada penderita diabetes tak terkontrol sedangkan kondisi lainnya, terutama Serostomia, dapat dipengaruhi atau secara langsung tergantung pada tipe perawatan yang diperoleh penderita. Serostomia merupakan kondisi penurunan aliran saliva yang dapat memicu burning mouth syndrome (BMS) dan karies, dan dapat juga mengakibatkan perkembangan bakteri patogen seperti kandidiasis.1,2,7,8 Perkembangan karies dapat dipengaruhi oleh peninggian kadar glukosa pada sekresi saliva, terutama pada penderita diabetes tak terkontrol, sedangkan pada penderita yang terkontrol hal tersebut kurang terjadi karena asupan karbohidratnya yang rendah. Secara statistik telah dibuktikan bahwa diabetes merupakan salah satu faktor predisposisi perkembangan penyakit periodontal. Inflamasi gingiva, meskipun

Universitas Sumatera Utara

dengan kadar plak yang rendah, lebih berisiko pada penderita diabetes tak terkontrol dibandingkan pada penderita non diabetes.4 Deposisi AGE pada dinding kapiler gingiva, kolagen ligamen periodontal dan matriks tulang alveolar, peningkatan kadar LDL dengan pembentukan atheroma, hiperglikemia yang mempengaruhi penyembuhan luka periodontal normal, perubahan respon imun, peningkatan oksidasi, perubahan fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) dan faktor genetik merupakan faktor-faktor yag berkontribusi terhadap perkembangan inflamasi jaringan periodonsium dan penyakit periodontal pada penderita diabetes melitus.7 2.4 Periodontitis Periodontitis merupakan peradangan atau infeksi pada jaringan periodonsium yaitu gingiva, tulang alveolar, sementum dan ligamen periodontal. Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi pada gingiva) yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gingiva ke arah tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodonsium.6 Periodontitis bersifat kronis, kumulatif, progresif dan apabila telah mengenai jaringan yang lebih dalam dapat menjadi irreversibel. Secara klinis pada awalnya terlihat peradangan jaringan gingiva di servikal gigi dan warnanya lebih merah dibandingkan jaringan gingiva sehat. Pada keadaan ini sudah terdapat keluhan pada gingiva berupa perdarahan spontan atau perdarahan yang sering terjadi pada waktu menyikat gigi. Bila gingivitis ini dibiarkan berlanjut tanpa perawatan, keadaan ini akan merusak jaringan periodonsium yang lebih dalam. Akibatnya adalah kehilangan perlekatan yang banyak, destruksi jaringan gingiva dan terbentuk saku periodontal.

Universitas Sumatera Utara

Bila keparahan tersebut telah mengenai tulang, maka gigi menjadi goyang bahkan gigi tersebut dapat lepas dari socket nya.6 2.5 Patogenesis Periodontitis sebagai Komplikasi Diabetes Sintesis dan sekresi sitokin akibat infeksi yang berasal dari periodontitis dapat mengakibatkan sintesis dan sekresi sitokin yang berasal dari interaksi AGE dengan RAGE, dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan periodontitis dengan DM berlangsung dalam dua arah.1,3,5 Dengan demikian penyakit periodontal yang berupa inflamasi kronis dapat menyebabkan penderita diabetes melitus mengalami komplikasi yang lebih berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komplikasi yang terjadi pada diabetes melitus tipe 1 maupun tipe 2 lebih parah pada penderita diabetik dengan penyakit periodontal yang berat dibandingkan dengan penderita diabetik yang menderita penyakit periodontal ringan sampai sedang.7 Periodontitis kronis yang parah pada penderita DM menjadi penyebab bagi peningkatan konsentrasi hemoglobin terglikosilasi. Infeksi yang berasal dari periodontitis selain meningkatkan produksi sitokin, juga mampu meningkatkan resistensi insulin yang pada akhirnya memperburuk kontrol glikemik penderita diabetes.8,9 2.6 Keparahan Inflamasi pada Gingiva Pengaruh periodontitis pada diabetes melitus merupakan hasil respon inflamasi jaringan periodonsium. Sejumlah mediator proinflamasi diproduksi oleh jaringan periodonsium terinflamasi, termasuk Tumor Necrosis Factor-Alfa (TNF-), interleukin 6 dan interleukin 1, mediator ini akan masuk ke dalam aliran darah

Universitas Sumatera Utara

melalui mikrosirkulasi jaringan periodonsium sehingga dapat mempengaruhi jaringan dan organ tubuh yang lain. Pembentukan AGEs terjadi ketika glukosa yang tersedia berkontak dengan stuktur protein yang lain. Proses ini tidak berlangsung secara enzimatik, dan ketika AGEs terbentuk, maka AGE akan terikat dengan reseptor seluler spesifik yang dikenal sebagai reseptor AGE (RAGE). Reseptor AGE ditemukan dalam sel-sel endotelial dan monosit yang mempunyai peran penting dalam periodontitis. Pengikatan antara AGE dengan RAGE menyebabkan rangkaian kejadian proinflamasi yang bersifat self-sustaining karena ikatan AGE-RAGE pada permukaan sel-sel endotelial menginduksi ekspresi vascular cell adhesion molecule-1 yang menarik monosit pada sel-sel endotelial, sehingga terus menerus memicu respon inflamasi.3-5 Graves dkk menjelaskan bahwa respon inflamasi dan peningkatan apoptosis berperan dalam periodontitis karena merupakan komplikasi diabetes melitus.3 Jika apoptosis meningkat maka efek yang terjadi adalah penyembuhan luka yang lambat. Oleh karena itu, inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan mengurangi perbaikan pada jaringan yang rusak.3 2.7 Inflamasi Periodontitis pada Diabetes Melitus Inflamasi jaringan periodonsium pada penderita diabetes melitus lebih parah dibandingkan dengan yang bukan penderita diabetes melitus meskipun penumpukan plak pada kelompok bukan penderita diabetes melitus lebih banyak dibanding penumpukan plak penderita diabetes melitus.10,11

Universitas Sumatera Utara

Banyak penelitian menyatakan bahwa respon imun lebih berperan terhadap keparahan inflamasi pada periodontitis. Bakteri berperan secara tidak langsung dalam merangsang inflamasi, dimana bakteri akan menghasilkan mediator inflamasi seperti prostaglandin atau sitokin meliputi Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-) dan Interleukin-1 (IL-1). Mediator-mediator ini akan merangsang produksi dan aktivasi enzim sehingga mampu merusak jaringan ikat gingiva dan memproduksi osteoklas yang dapat meresorpsi tulang.11 Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jaringan periodonsium. Terdapat beberapa hal yang terjadi pada pasien diabetes sehingga penyakit ini cenderung memperparah kesehatan jaringan periodonsium dan meningkatkan inflamasi pada gingiva. Kandungan glukosa yang terdapat di dalam cairan sulkus gingiva dan darah pada penderita diabetes dapat mengubah lingkungan dari mikroflora dalam rongga mulut sehingga terjadi perubahan kualitatif bakteri yang berpengaruh terhadap keparahan dari penyakit periodontal.9-11 Kedua adalah fungsi polymorphonuclear leukocytes (PMN). Penderita diabetes rentan terhadap terjadinya infeksi. Hal ini terjadi sebagai akibat dari defisiensi polymorphonuclear leukocyte yang menyebabkan gangguan chemotaxis, adherence, dan defek fagositosis. Pada penderita diabetes yang tidak terkontrol terjadi pula gangguan pada fungsi PMN dan monocytes / macrophage yang berperan sebagai pertahanan terhadap bakteri patogen.9-11 Ketiga adalah perubahan pada metabolisme kolagen. Pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol dan mengalami hiperglikemi kronis terjadi perubahan

Universitas Sumatera Utara

metabolisme kolagen, dimana terjadi peningkatan aktivitas kolagenese dan penurunan sintesis kolagen. Kolagen yang terdapat di dalam jaringan cenderung lebih mudah mengalami kerusakan akibat infeksi periodontal. Hal ini mempengaruhi integritas jaringan tersebut. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa DM yang disertai oleh beberapa perubahan pada periodonsium berpotensi dan berperan dalam terjadinya periodontitis kronis. Hiperglikemia yang terjadi pada diabetes berperan bagi terjadinya komplikasi yang menyertai penyakit tersebut.9-11,13 Buruknya kontrol gula darah dan meningkatnya pembentukan AGE menginduksi stress oksidan pada gingiva sehingga akan memperparah kerusakan jaringan periodonsium. Di samping itu, dengan adanya peningkatan kadar sel radang dalam cairan sulkus gingiva, menyebabkan jaringan periodonsium lebih mudah terinfeksi dan menyebabkan kerusakan tulang. Selain merusak leukosit, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dalam tubuh. Lambatnya aliran darah akan menurunkan kemampuan tubuh terhadap infeksi, sehingga periodontitis yang merupakan penyakit infeksi bakteri akan bertambah parah pada penderita diabetes. Perubahan-perubahan yang dikemukakan di atas membuktikan hal-hal yang dapat mempengaruhi kondisi periodonsium pada penderita diabetes.13

Universitas Sumatera Utara

AGEs

Glikolisis nonenzimatik

AGEs

Hiperglikemi

AGEs

Kondisi inflamasi hiperreaktif

Siklus Keparahan Inflamasi Jaringan Periodonsium pada penderita diabetes melitus Perubahan pada mirobiota rongga mulut Inflamasi periodontal semakin parah Sekresi berlebihan mediator inflamatori

IL-6 TNF-a Ig-G IL-B

Gambar 1. Siklus keparahan inflamasi jaringan periodonsium pada penderita diabetes melitus tidak terkontrol. (Sumber: Cronin dkk. Oral inflammatory conditions and diabetes melitus, 2008:11)

2.7.1 Indeks Pengukuran Keparahan Inflamasi Untuk mengetahui derajat keparahan inflamasi jaringan periodonsium pada penderita diabetes maka dilakukan pengukuran dengan berbagai indeks yaitu: Indeks Gingiva (IG), Indeks Perdarahan Papila Gingiva Dimodifikasi (IPPD), dan Indeks Oral Higiene (OHIS).12 2.7.1.1 Indeks Gingiva (IG) Indeks yang diperkenalkan oleh Loe dan Silness ini digunakan untuk menilai derajat keparahan inflamasi. Pengukuran dilakukan pada gingiva di dua sisi gigi geligi yang diperiksa yaitu vestibular dan oral.12 Kriteria untuk penentuan skornya adalah sebagai berikut:12 0: Gingiva normal

Universitas Sumatera Utara

1:

Inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai dengan perubahan warna, sedikit oedema; pada palpasi tidak terjadi pendarahan.

2:

Inflamasi gingiva sedang, gingiva berwarna merah, oedema, dan berkilat; pada palpasi terjadi pendarahan.

3:

Inflamasi gingiva parah, gingiva berwarna merah menyolok, oedematous, terjadi ulserasi; gingiva cenderung berdarah spontan.

Skor untuk setiap gigi diperoleh dengan menjumlahkan skor dari keempat sisi yang diperiksa lalu dibagi dengan dua (jumlah sisi yang diperiksa per gigi). Skor Indeks Gingiva untuk individu diperoleh dengan membagi jumlah skor dari semua gigi yang diperiksa dengan jumlah gigi yang diperiksa. Keparahan inflamasi gingiva secara klinis dapat ditentukan dari skor Indeks Gingiva dengan kriteria sebagai berikut: Skor Indeks Gingiva 0,1-1,0 1,1-2,0 2,1-3,0 Kondisi gingiva Gingivitis ringan Gingivitis sedang Gingivitis parah

Tabel 1: Kriteria Skor Indeks Gingiva (Sumber: Daliemunthe SH.Periodonsia.2008:51)

2.7.1.2 Indeks Perdarahan Papilla Gingiva Dimodifikasi (IPPD)

Universitas Sumatera Utara

Perdarahan gingiva dicatat dengan menggunakan indeks perdarahan papila dan gingiva (P.B.I.) dari Saxer danMuhlemann dengan kriteria sebagai berikut:12 0: 1: 2: 3: Tidak ada perdarahan Perdarahan berupa titik kecil Perdarahan berupa titik yang besar atau berupa ganis Perdarahan menggenang di interdental GAMBARAN KLINIS

Skor 0 Tidak terjadi perdarahan

Skor 1 Perdarahan berupa titik kecil

Skor 2 Perdarahan berupa titik besar atau berupa garis

Skor 3 Perdarahan menggenang di interdental

Gambar 2. Indeks perdarahan papila modifikasi menurut Saxen dan Muhlemann (Sumber: Daliemunthe SH.Periodonsia.2008:51)

2.7.1.3 Indeks Higiene Oral (OHIS) Indeks Higiene Oral merupakan salah satu indeks yang populer digunakan untuk menentukan status kebersihan mulut pada penelitian epidemiologis. Indeks ini bertujuan mengukur permukaan gigi yang ditutupi oleh debris dan kalkulus. Indeks ini terdiri dari dua komponen yaitu Indeks Debris dan Indeks Kalkulus.12

Universitas Sumatera Utara

Total skor IPPD = Jumlah total skor IPPD dari tiap gigi yang diperiksa

Pemeriksaan dilakukan pada enam gigi yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46. Pada gigi 16, 11, 26, 31 yang dilihat permukaan bukalnya sedangkan gigi 36 dan 46 permukaan lingualnya. Apabila gigi 11 tidak ada maka diganti dengan gigi 21 dan sebaliknya. Alat yang digunakan adalah kaca mulut dan sonde. Setiap permukaan gigi dibagi secara horizontal atas sepertiga gingiva, sepertiga tengah dan sepertiga insisal. Untuk mengukur skor indeks debris, sonde ditempatkan pada sepertiga insasal permukaan gigi lalu digerakkan kearah sepertiga gingiva dan skor diberikan sesuai dengan kriteria berikut ini.12 Skor indeks debris:12 0: 1: Tidak ada debris / stein Debris lunak menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi atau adanya stein ekstrinsik tanpa debris pada daerah tersebut. 2: Debris lunak menutupi lebih dari sepertiga tapi kurang dari dua pertiga permukaan gigi. 3: Debris lunak menutupi lebih dari dua pertiga permukaan gigi.

Gambar 3: Indeks Plak (Sumber: Daliemunthe SH.Periodonsia. USU Press, 2008:56)

Universitas Sumatera Utara

Skor Indeks Kalkulus menurut Green dan Vermillion : 0 : Tidak ada kalkulus. 1 : Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi. 2 : Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 dan tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva di daerah servikal gigi atau keduanya. 3 : Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi atau kalkulus subgingiva yang melingkari servikal gigi. Skor akhir indeks debris dan kalkulus individu dihitung dengan membagi jumlah skor indeks debris dan kalkulus dari semua gigi yang diperiksa dengan jumlah permukaan gigi yang diperiksa. Skor indeks debris dan kalkulus dijumlahkan untuk mendapatkan Skor Higiene Oral.12 Kemudian skor dimasukkan kedalam tiga kategori untuk menentukan level Higiene Oral, yaitu:12 a. 0,0 1,2 : baik b. 1,3 3,0 : sedang c. 3,1 6,0 : buruk

------000------

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai