Anda di halaman 1dari 5

PENERAPAN GIS DAN PREDIKSI RESIKO DEMAM BERDARAH (DENGUE FEVER) BERDASARKAN WILAYAH SOSIAL BUDAYA DAN LINGKUNGAN

Henny Realita Riani H1E108001 Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat ABSTRAK Penyakit merupakan masalah yang sering kali dihadapi dalam masyarakat. Demam berdarah merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosialmaupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Demam berdarah dengue memiliki vektor (pembawa) yaitu nyamuk Aedes Aegypti. Sangat diperlukan pertimbangan yang tepat untuk mengambil tindakan dalam mengatasi masalah dalam suatu daerah. Pengaruh lingkungan sosial budaya terhadap penyebaran dan pengatasian demam berdarah. Kata Kunci Aedes Aegypti, Demam Berdarah, Sistem Informasi Geografi (GIS), PENDAHULUAN Setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah melanda berbagai negara, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah (dengue fever). Demam berdarah dengue adalah salah satu contoh dari berbagai macam penyakit menular yang akhir-akhir ini mewabah hampir disetiap negara khususnya kawasan Asia. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah utama di negara tropis yang datang bersamaan dengan musim hujan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menganalisa mekanisme timbulnya penyakit, pola penyebarannya dan penerangannya (Marzuki S. Verhoef J.Snippe H. 2003 dalam Bowo Prasetyo, dkk). Pemantauan penyebaran penyakit, terutama yang tingkat

penyebarannya sangat tinggi, sangat dibutuhkan oleh peneliti, praktisi, dan pengambil kebijakan dibidang kesehatan, agar dapat membuat keputusan akurat secepat mungkin. Hasil studi epidemiologi lingkungan memperlihatkan tingkat kesehatan masyarakat atau kejadian suatu penyakit dalam suatu kelompok masyarakat merupakan resultance dan hubungan timbal balik antara masyarakat itu sendiri dengan lingkungan. Pada gilirannya, sebagai unsur yang terlibat langsung dalam hubungan timbal balik tersebut, apapun yang terjadi sebagai dampak dari proses interaksi berupa perubahan lingkungan akan menimpa dan dirasakan masyarakat. PEMBAHASAN Pada dasarnya penerapan aplikasi GIS pada wabah demam berdarah terdapat empat komponen, yaitu tiga tahap pengumpulan data dan sebuah CDC (Pusat Untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit). Pada tahap pertama pengumpulan, diadakan penyelidikan sepintas untuk mengumpulkan wilayah wabah geografis dan epidemiologis data serta memperhatikan komponen sosiologis wabah. Tahap kedua, melibatkan surevei seroepidemiological secara acak dan survei dari rumah ke rumah unuk membandingkan antara daerah pedesaan dan versus semi perkotaan. Dan tahap ketiga, penyelesaian data Gis menggunakan GPS (Global Positioning System), titik Dataset, dan empat wheel drive jalan. Dan tahap terakhir dilakukan penelitian dari sampel yang diambil ke CDC (Pusat Untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit). Berikut variabel-variabel yang signifikan positif maupun signifikan negatif untuk wabah demam berdarah: 1. Housing / Pola Kepadatan Di daerah yang ramai, banyak orang tinggal dalam kisaran penyebaran pendek vektor demam berdarah dari sumber perkembang biakannya. Oleh karena itu, kepadatan penduduk lebih tinggi dan interkoneksi rumah bisa mengakibatkan lebih efisien transmisi virus demam berdarah. 2. Frekuensi Hari Pembersihan Wadah Penyimpanan Air Nyamuk Aedes Aegypti dapat berkembangbiak dalam wadah penyimpanan air, yang tidak dikosongkan dan dibersihkan dalam jangka waktu yang lama. Karena air sangat penting selama 8 hari pertama dalam kehidupan nyamuk Oleh karena itu, jika frekuensi

pembersihan penyimpanan air lebih dari 8 hari maka dapat meningkatkan pertumbuhan nyamuk. 3. Pembersihan dan Pemeliharaan Drainase / Sampah Keberadaan limbah dan sampah yang berada disekitar rumah tangga seperti, kaleng, botol, dan lain sebagainya dapat mendukung perkembangbiakan nyamuk apabila frekuensi pembersihan dan pemeliharaan drainase / sampah lebih dari 15 20 hari. 4. Wadah Penyimpanan Air Tanpa Penutup Genangan air merupakan tempat yang paling ideal untuk perkembang biakan nyamuk. Menyimpan air di dalam rumah merupakan hal / tindakan yang umum dilakukan oleh masyarakat. Kebanyakan wadah penyimpanan air rumah tangga banyak tidak ditutup, seperti bak penampungan air mandi. 5. Perlindungan Tindakan Terhadap Nyamuk Penggunaan jarring, penyemprotan pestisida, menutup pintu dan jendela, adalah tindakan yang umum dilakukan terhadap nyamuk. 6. Frekuensi Pasokan Air Pasokan air di sebagian besar rumah-rumah, khususnya selama musom kemarau sudah tidak memadai dan tidak dapat diandalkan. Kelangkaan air, menghasilkan peningkatan dan lama penyimpanan air, yang kemudian dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes Aegypti. Sosial dan budaya dapat dijadikan parameter penting dalam dalam menentukan munculnya penyakit dan transmisi penyebarannya. Aplikasi GIS memungkinkan dapat menciptakan hubungan antara data spasial yang diperoleh dan informasi deskriptif yang terkait, yang bisa termasuk parameter sosial-ekonomi dan parameter sosial-budaya. Hal yang paling mudah dan tidak perlu mengeluarkan biaya banyak dalam mencegah demam berdarah adalah melaksanakan 3M plus, yaitu menguras dan membersihkan bak mandi, mengubur serta membuang kaleng bekas, membersihkan air ditempat penampungan misalnya di kulkas, mengontrol air di pot bunga dan tempat air di kandang burung, pemberian bubuk abate di bak mandi, juga melakukan penyemprotan /fogging. Walaupun 3M plus adalah cara yang mudah dan biasa kita lakukan karena memerlukan biaya yang sedikit , pada kenyataannya cara ini tidak terlaksana dengan baik. Ini sangat erat hubungannya dengan kebiasaan hidup bersih dan pemahaman serta

perlakuan masyarakat terhadap bahayanya demam berdarah dengue. Akan tetapi, perilaku dari warga masyarakat terhadap pelaksanaan 3M Plus relative masih kurang. Masalah sosial budaya masyarakat sangat mempengaruhi pelaksanaan 3M Plus karena kesibukan bekerja maka masyarakat tidak melaksanakan 3M Plus walaupun masyarakat mengetahui tentang pelaksanaan 3M Plus. Pengetahuan dasar tentang nyamuk Aedes aegepty sebenarnya sudah menjadi "milik publik", yang tanpa dikomunikasikan lagi pun kita yakini semua sudah tahu sebagai penyebab DBD. Potensi nyamuk tersebut dalam penyebaran DB juga sudah sering disosialisasikan, yakni genangan air yang tidak terjaga. Tindakantindakan dan sikap terhadap genangan itu sering menjadi salah ketika kita menganggap enteng dengan merasa sudah bersih. Padahal "menjaga" dalam konteks kebersihan air itu harus terkawal dengan suatu pola tertentu. Pola itu adalah hidup bersih dan konsisten menghindarkan pengembangbiakan nyamuk. Pengasapan di sejumlah tempat merupakan tindakan represif, sementara kita tetap mendorong agar langkah preventif dijadikan pola tanpa harus menunggu sampai tiba "musim DBD". Sepanjang tahun pola preventif itu dilakukan dengan secara konsisten menjaga jangan sampai terjadi pengembangbiakan nyamuk. Pilihan sikap tersebut jelas bermakna pembudayaan hidup bersih, dan itulah jawaban utuh yang sebenarnya dibutuhkan untuk melawan Aedes aegepty. Menanamkan budaya hidup bersih memang lebih sulit dibandingkan dengan memilih langkah represif, tetapi itulah pijakan yang terbaik. Persoalannya, kampung-kampung sempit, lingkungan kumuh, serta kebiasaan membuang sampah sesuka hati justru lebih menonjol ketimbang melaksanakan gerakan hidup bersih. Setidak-tidaknya, pola hidup yang harus dikembangkan di lingkungan terkecil keluarga itu masih belum terhayati sebagai pilihan dibandingkan dengan risiko rentan terhadapancaman penyakit. Dan, memang, semua tidak mungkin tidak dimulai dari tingkat keluarga, baru kemudian dikembangkan ke unit-unit kemasyarakatan pada semua level. KESIMPULAN Prediksi risiko demam berdarah dengue berdasarkan faktor-faktor sosial budaya menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial-budaya, seperti housing / pola kepadatan, frekuensi hari pembersihan wadah penyimpanan air, pembersihan dan pemeliharaan

drainase / sampah, wadah penyimpanan air tanpa penutup, perlindungan tindakan terhadap nyamuk dan frekuensi pasokan air dapat meningkatkan perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti. Kepentingan geografi dalam ikut mengambil kebijakan dalam mengatasi penyakit endemis, ternyata tak hanya berkait dengan kemampuannya mengurai secara purna kondisi fisik daerah semacam musim, kualitas lingkungan air, udara dan lainnya serta sosial budaya, melainkan juga terhadap esensi penggunaan peta dalam menjelaskan persebaran itu dalam hal ini adalah penggunaan aplikasi GIS (Geografi Information System). REFERENSI Alpana Bohra, Dr Haja Andrianasolo, Application of GIS in Modelling of Dengue Risk prone area based on Socio-Cultural http://www.isprs.org/congresses/beijing2008/proceedings/8_pdf/2_WG-VIII-2/03.pdf Diakses tanggal 10 Oktober 2009 Basco, world Pengaruh budaya terhadap kesehatan http://bascommetro.blogspot.com/2009/04/pengaruh-budaya-terhadap-kesehatan.html Diakses tanggal 24 Oktober 2009 Cut irsanya nilam sari, Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan penyakit malaria dan demam berdarah dengue http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/cut_irsanya_ns.pdf Diakses tanggal 24 Oktober 2009 Unsri, Desain Sistem Analisa Spatio_Temporal Penyebaran Penyakit Trapis Memakai Webmining http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/msgeografi/GIS_KESEHATAN_i novasi_Vol.3_XVII_Maret_2005_page_35.pdf Diakses tanggal 24 Oktober 2009 Krishna Prasad Bhandari, PLN Raju, BS Sokhi, Application of GIS in Modelling of Dengue Risk based on Socio-Cultural http://www.crisp.nus.edu.sg/~acrs2001/pdf/096bohra.pdf Diakses tanggal 10 Oktober 2009 Litbang, DEMAM BERDARAH http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/DEMAMBERDARAH1.pdf Diakses tanggal 24 Oktober 2009 M. Napier, Application of GIS in Modelling of Dengue Risk areas http://www.pdc.org/PDCNewsWebArticles/2003ISRSE/ISRSE_Napier_TS49.3.pdf Diakses tanggal 10 Oktober 2009

Anda mungkin juga menyukai