Anda di halaman 1dari 2

Subsidilah Daku, Engkau Kutangkap

Ada beberapa alasan yang sering dikemukakan untuk menentang subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pertama, dan mungkin paling sering dikemukakan, adalah subsidi tersebut tidak tepat sasaran. Subsidi BBM lebih banyak, kalau bukan hanya, dinikmati oleh orang yang punya kendaraan bermotor, tidak oleh orang-orang miskin yang paling membutuhkan. Kedua, subsidi BBM dari hari ke hari semakin membebani keuangan negara. Uang yang semestinya dapat digunakan untuk membiayai sektor pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur akan tersedot habis menjadi asap knalpot yang mengotori udara. Ketiga, subsidi BBM tidaklah sehat dipandang dari kaca mata ekonomi: membuat hitung-hitungan untung rugi menjadi kabur. Ia adalah bentuk proteksionisme yang membelenggu invisible hand-nya Adam Smith atau mengebiri inovasi-inovasi a la Schumpeter. Keempat, sebagian sangat-besar BBM merupakan hasil ekstraksi minyak bumi: sumber energi tak terbarukan yang cepat atau sangat cepat akan habis. Oleh karena itu, pemanfaatan BBM harus seefisien dan sehemat mungkin. Subsidi BBM jelas tidak mendukung upaya efisiensi dan penghematan. Alasan kelima, keenam, dan seterusnya boleh Anda tambahkan sendiri. Adapun alasanalasan yang mendukung pemberian subsidi BBM tidak perlu dikemukakan di sini. Anggap saja tulisan ini mengamini berbagai alasan yang melatarbelakangi penentangan subsidi BBM. Subsidi BBM atau Subsidi jenis BBM tertentu per liter menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/ PMK.02/ 2009 adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter Jenis BBM Tertentu setelah dikurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dengan Harga Patokan per liter Jenis BBM Tertentu. Sedangkan Harga Patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan MOPS (Mid Oil Platts Singapore, merupakan penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia yang dibuat oleh Platts, anak perusahaan McGraw Hill ) rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin. Margin adalah upah yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pertamina. Dengan kata lain subsidi adalah selisih kurang harga penjualan dari harga internasional bukan selisih kurang harga penjualan dari biaya produksi. Berdasarkan definisi di atas wajar apabila nilai subsidi membengkak seiring dengan kenaikan harga minyak internasional. Abaikan saja pendapat Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada uang riil yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membayar subsidi. Pak Kwik mungkin lupa bahwa negara kita sekarang adalah net importer minyak sehingga tentu ada duit beneran yang harus digunakan untuk menambal subsidi. Abaikan saja kenyataan bahwa PNBP dan PPh Migas kita terus meningkat tiap tahun dan nilainya lebih besar daripada subsidi BBM. Langkah tradisional pemerintah untuk mengantisipasi pembengkakan nilai subsidi adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun ketika harga BBM naik, harga barang-barang lain pun akan menjadi makmum: ikutan naik. Mungkin ini tidak akan terjadi bila barang-barang lain itu diangkut oleh kuli bersepatu roda. Semua terkena dampak: orang kaya berkendaraan bermotor konsumen BBM bersubsidi yang jumlahnya sedikit maupun orang miskin yang jumlahnya banyak. Tetapi orang miskinlah yang merasakan dampak itu. Orang kaya menilai BBM sebagai barang inelastik: harga tak memengaruhi tingkat konsumsi, berapapun tinggi dibeli juga. Maka secara politis, keputusan menaikkan harga BBM tidaklah bagus. Menaikkan harga BBM karena kenaikan harga minyak di pasar internasional juga merupakan keputusan inkonstitusional menurut Mahkamah Konstitusi (MK). Maka ditempuhlah cara lain: mulai dari membatasi konsumen BBM bersubsidi melalui mekanisme yang rumit dan canggih sampai menggandeng MUI supaya

berfatwa haram bagi orang kaya menggunakan BBM bersubsidi. Sungguh cara yang hasilnya dapat ditebak: tidak ditaati. Kebijakan Alternatif: Sebuah Tawaran Berangkat dari alasan-alasan yang melatarbelakangi penolakan terhadap subsidi BBM, sebenarnya dapat dibuat kebijakan tanpa harus menaikkan harga BBM dan mengutak-atik subsidi BBM. Kebijakan tersebut adalah pengenaan pajak BBM secara tak langsung, proporsional, dan berkeadilan sosial. Disebut tak langsung karena pajak tersebut tidak dipungut bersamaan dengan pembelian BBM sebagaimana pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang berlaku saat ini, tetapi dijadikan satu dengan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang harus dibayar setiap tahun. Pajak ini dikenakan secara proporsional sesuai dengan tingkat konsumsi BBM rata-rata tahunan masing-masing jenis kendaraan bermotor. Para ekonom yang biasanya fasih menghitung dampak kenaikan harga BBM terhadap perekonomian nasional semestinya mampu menghitung tingkat konsumsi BBM tersebut. Pengenaan pajak harus dilakukan secara berkeadilan sosial. Pajak ini tidak boleh dikenakan terhadap moda transportasi massal dan murah seperti bus ekonomi, angkutan kota, angkutan desa, atau angkutan barang kebutuhan pokok. Angkutan orang berduit seperti mobil, mobil mewah, taksi, bus patas, tentu harus dikenakan pajak yang lebih tinggi daripada sepeda motor. Ambilah contoh sepeda motor. Anggap saja tingkat konsumsi BBM rata-ratanya 30 liter per bulan, dikenakan pajak Rp. 1.500 per liter (sesuai rencana kenaikan BBM baru-baru ini yang diurungkan), maka pajak BBM yang harus dibayar per tahun adalah Rp. 1.500 x 30 liter x 12 bulan = Rp.540.000. Kebijakan ini relatif (sekali lagi, relatif) mudah diterapkan, diawasi, dan menjawab keberatan-keberatan terhadap subsidi BBM. Kalau subsidi BBM salah sasaran, hanya dinikmati orang kaya, dan ibarat menggarami laut, maka pengenaan pajak BBM lebih mudah dibuat tepat sasaran, hanya dikenakan kepada orang kaya, dan ibarat mengambil garam dari laut. Pajak BBM akan membuat biaya memiliki alat transportasi pribadi menjadi mahal dan mendorong peralihan ke moda transportasi massal. Tentu dengan demikian harus dibangun sarana dan infrastruktur transportasi massal yang nyaman dan memadai. Subsidi untuk transportasi massal layak dipertimbangkan. Pada akhirnya pemakaian BBM bisa lebih dihemat. Bukankah ide menghemat energi tanpa disertai pengembangan transportasi massal ibarat mencintai dalam hati, tetapi tak berani menikahi, cukup onani di kamar mandi. Pajak BBM tidak berefek domino sebagaimana kenaikan harga BBM yang menyebabkan harga kebutuhan pokok merangkak naik, bahkan walaupun harga BBM tidak jadi naik. Pengenaan pajak BBM mungkin akan berimbas pada industri otomotif akibat biaya memiliki kendaraan pribadi yang semakin tinggi. Industri otomotif raksasa yang gencar berjualan di Indonesia mungkin akan berteriak menentang kebijakan ini. Semoga bukan ide naf. Surabaya, 23 Jumaadil Ula 1433, 15 April 2012.

Anda mungkin juga menyukai