Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadit Allah Subhanallah Wataala, karena dengan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul TEORI LOKASI DAN PERTUMBUHAN KOTA Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah EKONOMI PERKOTAAN Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi kita semua dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan kita semua. Amiin.

Jakarta, 23 maret 2012

penulis

DAFTAR ISI BAB I Pendahuluan BAB II Teori lokasi dan pertumbuhan kota Model Tempat Sentral Analisis Teoritis Struktur Kota Model Kota Dengan Industri Tunggal Model Kota Dengan Rumah Tangga
Proses Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Kota Perkembangan Ekonomi Perkotaan Aktivitas Masyarakat Kota Yang Multi Aspek Berkembangnya Sebuah Kota Masalah Kota di Indonesia Perencanaan Penduduk Kota Pertumbuhan dan Perencanaan Penduduk Kota di Indonesia Beberapa Model Observasi Lokasi Pemukiman Kota

Keterkaitan Wilayah BAB III penutup kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

BAB II TEORI LOKASI DAN PERTUMBUHAN KOTA

Di dalam makalah ini akan dikemukakkan berbagai teori lokasi yang menjadi dasar uraian mengapa di dalam kota terdapat kegiatan tertentu, mengapa kota yang satu tumbuh, yang lain berkurang fungsinya. Pionir konsep adalah CHRISTALLER dan LOSCH. Kemudian konsep ini dikembangkan oleh BRIAN BERRY.konsep ini dikenal dengan nama Model Tempat Sentral (Central Place Model).

2.1. Model Tempat Sentral Hakekat teori CHRISTALLER ialah bahwa tanah yang produktif mendukung pusat kota. Pusat kota tersebut ada karena untuk berbagai jasa penting yang harus disediakan tanah/lingkungan sekitar. Secara ideal maka kota merupakan pusat daerah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut tempat sentral pada hakekatnya adalah pusat kota. Berbagai anggapan dikemukakkan oleh CHRISTALLER dan LOSCH : 1. Hanya ada 2 kegiatan yaitu kegiatan kota dan desa. 2. Kegiatan desa yaitu pemakaian ekstensif tanah untukpertanian, tidak ada ekonomi aglomerasi. 3. Kegiatan kota merupakan pemakaian intensif tanah dan sifatnya ekonomi aglomerasi. 4. Mereka yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut saling membutuhkan hasil kegiatan masing-masing. 5. Kualitas tanah yang sama dan ongkos transfer dan proporsionil dengan jarak. 6. Kegiatan desa dan permintaan terhadap hasil kota berdistribusi yang sama. System yang diciptakan ini pada hakekatnya didasarkan pada 2 faktor lokasi yaitu ongkos transfer dan aglomerasi ekonomi. Seorang penjual yang melayani langganannya akan mempunyai daerah penjualan yang berbentuk lingkaran dan dibatasi oleh ongkos transfer barang yang dijual.

b Gambar II.1

Dengan adanya berbagai penjual yang mempunyai langganan sendiri maka bentuk pasar seperti terlihat seperti pada gambar b diatas, daerah pasar pusat kota saling menyentuh. Selama masih ada keuntungan maka akan timbul pengusaha-pengusaha sehingga tercapai keseimbangan. Ini akan terjadi bila daerah tersebut dibatasi oleh polygon yang sama apakah itu berbentuk segiempat, segitiga atau hexagon. Ternyata hexagon merupakan bentuk yang paling efisien karena rata-rata jarak antara penjual dan pembeli itu minim, (gambar II.1.c) dimana daerahnya pun semua tercakup, tidak ada daerah yang kosong seperti pada gambar II.1.b. Berdasarkan primsip aglomerasi (scale economies atau ekonomi skala menuju efisiensi atau kedekatan terhadap sesuatu), ekonomi kota besar menjadi pusat daerahnya sendiri dan pusat kegiatan kota yang lebih kecil. Artinya, kota kecil tergantung pada tersedianya atau adanya kegiatan yang ada pada kota besar. Oleh karena itu, maka apabila orang yang berada diluar kota besar ingin membeli sesuatu, dia dapat membeli pada took sekitar daerah di mana dia bertempat tinggal (convenience buying). Tetepi bila dia ingin membeli bermacam-macam barang, maka dia akan pergi ke kota (multipurpose trip). Dengan demikian timbul konsep BERRY, yaitu kota sebagai system di dalam system kota (cities as system within systems of cities). 1. Konsep bahwa barang itu tidak dapat dijual pada daerah tertentu atau pada pusat kota karena batasan daya beli ;

2. Konsep threshold, yaitu dimana barang tak dapat dijual diseluruh daerah karena penjual terbatas kemampuannya padahal harus memperoleh keuntungan normal ; dan 3. Berdasarkan bukti 2 dan 3 timbul konsep struktur hierarki sparial (ruang, daerah) di mana barang-barang pusat kota mungkin dapat dijual pada daerah-daerah antara. Di dalam pertumbuhannya kotaa sering kali lagi memerlukan tanah. Von Thunen sudah memberikan konsep pada pemanfaatan tanah yang apabila dilihat adalah seperti tertera pada gambar II.2. disini yang berkepintingan akan memilih tempat pada jarak Do dimana kurva sewa tanah SS menyinggung kurva penawaran sewa yang paling rendah. Hal ini berlaku baik untuk rumah tangga maupun untuk usaha-usaha indutri dan perdagangan. MOSES dan WILLIAMSONmengemukakkan kemungkinan pergeseran dalam lokasi (location shift) dan kemungkinan desentralisasi pola jarak. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan model tertentu. S Sewa Kurva penawaran sewa

Ro Sewa keseimbangan

struktur harga tanah riil

Pusat Kota

Do, lokasi keseimbangan Gambar II.2

Jarak/km

hubungan antara struktur harga tanah riil, kurva penawaran sewa dan lokasi.

MUTH mengemukakkan kemungkinan terjadinya perubahan ekonomi. Dengan meningkatnya sewa orang cenderung untuk bergerak ke daerah di luar kota (suburbanisasi).

2.2. Analisis Teoritis Struktur Kota Diketahui bahwa produksi barang-barang dan jasa-jasa di kota-kota dapat juga dinyatakandengan fungsi produksiyang biasa dikenal, yaitu : Q = f ( Tanah, Tenaga Kerja, Kapital, dan Teknologi). Pemanfaatan intensif sumber daya di kota pada hakekatnya meninggikan ratio antara tenaga kerja, capital dan teknologi dengan tanah. Berbagai model atau teori tentang struktur kota dapat di manfaatkan untuk menerangkan pola perkembangan kota. Model tersebut adalah (1) model kota dengan industry tunggal, (2) model kota dengan rumah tangga, (3) model berbagai sector dalam kota (dua industry dan rumah tangga dengan industry), dan (4) pola realistis.

2.3. Model Kota Dengan Industri Tunggal Disini diasumsikan bahwa suatu daerah mempunyai keuntungan komparatif untuk memproduksi untuk memproduksikan produk tertentu. Selanjutnya produk diekspor dari pusat ekspor tertentu. Daerah tersebut berjari-jari u berkeliling 2 u dan luasnya u2 kilometer persegi. Makin jauh tempat produksi dari tempat ekspor, makin banyak tempat untuk berproduksi. Radius lingkaran 0 tersedia untuk produksi pada setiap jarak dari titik ekspor. Dengan demikian penawaran tanah untuk berproduksi dalam u kilometer dari titik ekspor adalah ( /2) u2 kilometer persegi dimana 0 2 . Selanjutnya factor produksi tenaga kerja dan jasa pemukiman dalam hal ini tidak berperan sama sekali. Hendaknya diingat bahwa hanya satu komoditi saja yang diproduksikan di kota tersebut atau semua komoditi berfungsi produksi yang sama. Komoditi tersebut dapat dijual local maupun di ekspor, tetapi perlu diperhatikan bahwa semua barang harus diangkut terlebih dahuluke titik ekpor di pusat kota. Permintaan komoditi itu diprngaruhi harga pada titik ekspor dan hasil produksi tergantung pada tanah dan capital, sedangkan fungsi produksi berreturn to scale konstan. Akan tetapi substitusi tanah dan capital dimungkinkan. Jadi diperlukan tambahan capital akan tetapi mungkin terjadi diminishing

return dengan factor tanah produksi tetap. Selain itu perlu di asumsikan bahwa pasar factor produksi dan hasil produksi itu berada di dalam pasar persaingan sempurna. Selanjutnya ongkos angkut komoditi ke titik ekspor berdasar garis lurus jarak lokasi produksi ke titik ekspor. Jadi ongkos tiap komoditi tiap kilometer itu konstan, tidak tergantung pada jarak dari titik awala semula. Dengan demikian variable-variabel bebas dalam model ini ialah : jumlah capital yang diperlukan pada berbagai factor produksi tanah, tingkat sewa berbagai jenis tanah, hasil produksi, dan harga komoditi. Oleh karena itu maka tingkat sewa tanah yang tersedia di sekeliling lingkaran dengan jari-jari u yang berpusat titik ekspor (X) itu sama, R(u) + = f(jarak). Berdasarkan hal ini maka produsen akan menggunakkan capital dan tanah bila nilai produk marjinal (value of marginal product, VMP)-nya sama dengan harganya, atau MPk(u) (p tu) = r ,dan MP T(u) (p tu) = R(u) Dimana p adalah harga produk atau komoditi pada titik X dan p tu = harga komoditi yang diproduksikan pada u km dari titik X atau netto ongkos angkut ke titik X. Fungsi sewa R(u) yang memenuhi kedua persamaan diatas mengakibatkan keuntungan sama dengan nol setiap u kam. Bentuknya seperti terlihat dalam gambar II.3.a. bukan seperti gambar II.3.b. R(u) R(u)

Pusat Kota

Pusat Kota

(a) Gambar II.3. hubungan antara sewa dan jarak

(b)

Dapat dikatakan bahwa keadaan yang tertera pada gambar II.3.a itu adalah yang umum terjadi sedang gambar II.3.b itu hal khusus. Umum, karena di sini substitusi factor dimungkinkan, sehingga R(u) harus naik lebih cepat-tidak linier dengan dekatnya u. oleh karena itu dengan naiknya sewa dan makin dekatnya pada pusat kota maka ratio tanah dengan capital meningkat. Hal ini dapat diukur atau dilihat dengan makin menjulangnya gedung-gedung di pusat-pusat tertentu. Hal ini khusus karena satu-satunya penghematan dengan meletakkan tempat produksi dekat daerah X adalah ongkos angkut yang lebih rendah. Dengan u makin dekat, sewa tanah naik, menghapus untung dari ongkos angkut yang lebih rendah.

Kondisi keseimbangan dicapai dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Untuk setiap u kota diperboleh L (u) = u, karena setiap tanah yang ada dalam kota harus digunakkan untukmemproduksikan komoditi. Dalam hal ini tidak akan menguntungkan menggunakkan tanah dengan jarak jauh dari titik X bila ada tanah yang dekat yang tidak digunakkan ; 2. Factor produksi menunjukkan berapa banyakkomoditi yang perlu diproduksikan dengan sejumlah tanah dan capital yang dimanfaatkan setiap u : 3. Permintaan dan penawaran komoditi harus sama untuk kota sebagai keseluruhan pada tingkat harga tertentu. Bila harga turun, ekspor akan naik, dan 4. Kota akan bersaing dalam hal pemakaian tanah dengan daerah pedesaan, misalnya lahan pertanian.

Beberapa kesimpulan dapat ditarik yaitu : 1. Sewa tanah akan cenderung tinggi dan pemanfaatan tanah akan cenderung intensif bila tanah terletak dekat pusat kota ;dan 2. Sewa tanah dan pemanfaatan tanah akan cenderung menurun cepat bila menjauhi kota, akan tetapi bila makin jauh dari kota penurunan tidak akan cepat. Konsep ini diletakkan tanpa memperhatikkan factor penduduk atau rumah tangga. Paragraph memasukkan factor rumah tangga ini.

2.4. Model Kota Dengan Rumah Tangga Berbagai asumsi dikemukakkan pula disini. Rumah tangga memaksimumkan kegunaan atau kepuasan di dalam rangka pemilihan tempat tinggal atau pemukiman mereka. Jadi orang yang di kirim ke kota dan bukan barang. Istilahnya orang yang bepergian ke kota atau COMMUTING. Orangnya adalah COMMUTER. Selanjutnya, jasa rumah tangga adalah fungsi tanah, tenaga kerja dan capital. Disini juga dianggap bahwa struktur pasar jasa adalah saingan sempurna; harga jasa sama pada tempat tertentu. Sedang capital dan tenaga kerja saling dapa tmengganti. Nilai jasa rumah dipengaruhi oleh tanah yang belum diusahakkan dan berada di sekitar rumah. Model ini jelas merupakkan perluasan teori perilaku konsumen. Konsumen memaksimumkan konsumsi rumah, barang-barang dan jasa-jasa lain terbatas oleh

batasan/kendala anggaran yang terdiri dari penghasilan uang dan penghasilan yang hilang karena usaha atau aktivitas commuting tadi yang merupakkan biaya subjektif dan biaya moneter (tariff angkutan dan biaya operasional kendaraan, yaitu bensini, pemeliharaan, dan perbaikan).

Apabila semuanya ini dirumuskan maka keadaan ini dapat dilihat dalam gambar II.4.

X2 (u) barang / jasa rumah Garis anggaran

X2(u)

kurva indifference

X1 (u)

barang konsumsi

X1 (u)

Gambar II.4. hubungan antara garis anggaran dan kurva indifference Keseimbangan diperoleh bila tingkat substitusi batas atau :

Jadi bila rumah itu dekat kota harga rumah tinggi, tetapi ongkos ke kota murah ; bila rumah jauh dari kota, harga rumah murah akan tetapi ongkos ke kota mahal. Model beberapa sector dalam kota. Sector adalah suatu rangkaian lembaga yang berfungsi sewanya sama ; (1) fungsi sewa badan usaha tergantung pada fungsi produksi, harga factor produksi bukan tanah, dan fungsi permintaan produk, sedang (2) fungsi sewa rumah tangga dipengaruhi oleh penghasilan, cita rasa, usaha bepergian ke kota, barang-barang dan jasajasa, serta harga barang konsumsi. Bagaimanapun juga pemilik tanah akan menawarkan pada orang atau lembaga yang mau membayar sewa tertinggi karena ingin diperoleh hasil kembali maksimum. Dalam hal ini perlu dipikirkan keadaan : 1. Model dua indusrtri. Misalkan 2 industri penawaran tanah di kota. Sewa yang diminta adalah fungsi penawaran sewa industry. Lihat gambar II.5. disebelah kiri Uo industri 1 dapat membayar sewa lebih tinggi dibandingkan dengan industry 2. Dalam hal ini

R(u) A

Kurva amplop

C R2(u)

Uo

R1(u)

Gambar II.5. kurva sewa industry yang berlainan

Maka tanah dekat kota akan dipakai oleh industry 1 dan tanah yang jauh dari kota akan dipakai oleh industry 2. ABC disebut kurva amplop (envelope curve) yangt menunjukkan bahwa fungsi sewa merupakkan lingkupan fungsi penawaran sewa (rent offer). Keadaan keseimbangan mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Dimanapun perusahaan (dalam setiap industry) itu berada, keuntungannya sama dengan nol b. Setiap tanah akan jatuh pada penawar tertinggi. c. Penawaran tanah sama dengan permintaan akan tanah, dan d. Penawaran barang akan sama dengan permintaan barang di setiap industry.

2. Model dengan beberapa rumah tangga dan industry. Makin rendah fungsi penawaran sewa, makin tinggi kegunaan karena makin banyak jumlah uang yang tersedia untuk maksud lain dan dapat digunakkan untuk rumah, barang-barang, dan jasa-jasa.

Gambar II.6 menunjukkan fungsi sewa ini dengan beerbagai tingkat kegunaan yang rendah (kurva R1(u) ) dan tingkat kegunaan yang tinggi (kurva R2(u) ). R(u)

R1(u) R2(u)

Gambar II.6. fungsi sewa dengan tingkat kegunaan rendah ((kurva R1(u) ), dan tinggi (kurva R2(u) ).

Bagi rumah tangga keseimbangan yang dicapai mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Dengan cita rasa dan penghasilan tertentu diperoleh tingkat kegunaan yang sama 2. Setiap tanah jatuh pada penawaran tertinggi. 3. Penawaran tanah akan sama dengan permintaan terhadapnya. 4. Penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Implikasi yang diperoleh dari keadaan ini ialah : 1. Petani biasanya berfungsi sewa terendah; 2. Tenaga kerja spesialis tidak akan bertempat tinggal di kota kecil;

3. Rumah tangga yang menghendaki rumah yang baik akan bertempat tinggal di luar kota karena rumah relative murah; 4. Tenaga kerja yang tidak mengeluh tentang kepergian atau perjalanannya ke kota juga akan bertempat tinggal jauh di luar kota; 5. Walaupun rumah tangga sama di dalam hal cita rasa, tetapi mungkin berbeda penghasilan : (a) penghasilan yang tinggi menyebabkan permintaan yang tinggi atas rumah; biasanya mereka bermukim di luar kota dan memilih demikian bila elastisitas permintaan atas rumah lebih besar dari 1, dan (b) penghasilan rendah mendorong orang bermukim di dalam atau dekat kota. Pola lokasi kota yang realiatis. Kota merupakan tempat pemukiman, tempat usaha dan kesempatan kerja. Jelas lokasi ini produksi berada di dalam kota, karena barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di ekspor dari kota dengan pelabuhan, terminal kereta api dan sarana amgkutan lainnya. Demikian pula usaha jasa seperti hokum, financial, pengecer, kesehatan, kebudayaan, pemerintahan, dan lain-lain menggunakan fasilitas kemudahan dan kedekatan kota dan memanfaatkan secara intensif lahan dalam kota. Bagaimanapun juga kapasitas mendukung suatu kota itu terbatas. Akibatnya tanah mahal di pusat kota dan timbul kemacetan. Dengan demikian muncul pula seperti terlihat pada gambar kurva R1 (u) untuk industri tua dan kantor kantor, R2 (u) untuk pemakaian orang orang dengan penghasilan rendah. R3 (u) untuk permukiman di luar kota (suburb) bagi orang yang berpenghasilan tinggi. R4(u) untuk industry dan kantor di suburb juga untuk pengecer.

2.5 Proses Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Kota Ada tiga teori tentang proses tumbuhnya sebuah kota, yaitu: (1) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan tempat-tempat peristirahatan dalam perjalanan. (2) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan lokasi transit (bongkar muat barang atau naik turun penumpang) diantara jenis-jenis angkutan. (3) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan lokasi distribusi atau koleksi barang-barang dan jasa-jasa di suatu wilayah yang subur. Kota yang tumbuh dari perkembangan pusat-pusat peristirahatan dalam perjalanan. Sebagai contoh dikemukakan bagaimana asalmuasal tumbuhnya kota-kota di pesisir timur Amerika Serikat. Menurut sejarahnya kota-kota di wilayah tersebut bermula dari perkembangan lokasi-lokasi peristirahatan orang-orang yang melakukan perjalanan dengan kuda. Adanya orangorang yang melepaskan lelah, kemudian disusul oleh adanya orang-orang yang mencoba menyediakan pelayanan, seperti warung, penginapan, dan sebagainya muncullah tempat-tempat yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Oleh karena itu jarak antara kota yang satu dengan yang lain di wilayah tersebut relatif dekat-dekat, yaitu seukuran dengan lelahnya kuda dan perlu diistirahatkan. Analog dengan kondisi perkembangan sarana transportasi dewasa ini, kota-kota baru bisa tumbuh dan berkembang sepanjang jalan raya, sejauh supir-supir truk/bus perlu beristirahat dan mengistirahatkan kendaraannya. Kota yang tumbuh dari perkembangan lokasi transit. Lokasi transit bisa terjadi antara kapal laut dan angkutan sungai, kapal laut dengan angkutan darat (pelabuhan). Lokasi pelabuhan juga bisa berkembang menjadi sebuah kota. Contoh lain, angkutan-angkutan jalan raya sering berhenti pada persimpangan-pesimpangan jalan masuk ke pedalaman yang dilayani oleh kenderaan-kedaraan kecil, sado/delman, becak, gerobak, ojek, dan sebagainya. Lama-kelamaan persimpangan jalan tersebut berproses menjadi kota, yang mula-mula tumbuh karena adanya kebutuhan penumpang yang melakukan transit akan barang-barang dan jasa-jasa (berbelanja) yang kemudian diikuti oleh munculnya pelayanan dari orang-orang yang ingin mencari keuntungan. Analog dengan lokasi transit ini mungkin persimpangan jalan tersebut berupa sebuah muara sungai dimana angkutan laut dan angkutan sungai saling melakukan kegiatan transit, mungkin juga lokasi pelabuhan laut, lokasi pelabuhan udara, persimpangan jalan arteri dengan jalan kolektor/distributor dan sebagainya.

Kota yang tumbuh dari perkembangan sebuah wilayah yang subur. Wilayah yang subur akan dimanfaatkan oleh penduduk, khususnya di sektor pertanian. Kegiatan produksi di sektor pertanian ini akan terbentuk pusat pelayanannya, yaitu lokasi pusat penyaluran hasil produksi pertanian dan tempat mendapatkan kebutuhan-kebutuhan konsumsi dan input-input produksi pertanian. Dari waktu ke waktu pusat pelayanan itu akan berkembang dan memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai sebuah kota. Dalam perkembangan sekarang ini mungkin saja antara dibangun dan dikembangkannya sebuah kota dengan kebutuhan akan lokasi peristirahatan dalam perjalanan, dengan lokasi transit, dan lokasi pengembangan sebuah wilayah yang subur bisa terjadi secara bersamaan waktu. Sebagai contoh, di Indonesia, kota Palangkaraya dibangun dengan direncanakan terlebih dahulu, artinya dibangun bersamaan waktu dengan pembangunan/pembukaan hinterlandnya, yaitu pembangunan provinsi Kalimantan Tengah. Palangkaraya direncanakan dan dibangun sebagai pusat kegiatan pemerintahan (politik) dan pusat pelayanan ekonomi, pusat pelayanan sosial dan kebudayaan untuk Kalimantan Tengah. Sejarah lahirnya kota Palangka Raya tidak dapat dilepaskan dari peranan Presiden RI pertama, Bung Karno.

2.6 Perkembangan Ekonomi Perkotaan Dewasa ini ekonomi perkotaan sudah menjadi suatu spesialisasi ilmu ekonomi. Bahkan sebagian para ahli berpendapat bahwa ekonomi perkotaan sudah merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri (Sukanto dan Karseno, 1994). Para ahli yang berpendapat demikian itu mendasarkan pandangannya kepada luasnya masalah kajian dalam Ekonomi Perkotaan. Adapun masalahmasalah tersebut: (1) Masalah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan. (2) Masalah penganguran di wilayah perkotaan. (3) Masalah pendapatan di wilayah perkotaan, baik pendapatan kota maupun pendapatan perkapita penduduk kota. (4) Masalah pemanfaatan tanah (Land Use) dan nilai tanah di wilayah perkotaan. (5) Masalah pengangkutan (transportasi) di wilayah perkotaan. (6) Masalah infrastuktur di wilayah perkotaan. (7) Masalah fasilitas pelayanan di wilayah perkotaan. (8) Masalah-masalah wilayah perkotaan lainnya yang khas. Semua masalah ini dapat diangkat aspek ekonominya, sebagai suatu aspek ekonomi yang khas, baik mikro maupun makro. Melalui pemecahan aspek ekonomi dari masalah-masalah tersebut diharapkan semakain berkembang pula Ilmu Ekonomi Perkotaan (Urban Economics).

2.7 Aktivitas Masyarakat Kota Yang Multi Aspek Kota tidak saja merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi tetapi juga konsentrasi kegiatan semua aspek kehidupan manusia. Masalah ini merupakan suatu kerumitan dalam pemecahan permasalahan ekonomi perkotaan. Aspek-aspek tersebut melahirkan sejarah, kelembagaan, pandangan hidup, dan sebagainya yang khas. Sebuah kota dalam hubungan dengan tata ruang meliputi keterkaitan ke dalam kota sendiri, ke dalam wilayah, dan ke luar wilayah (intra regional relationship dan inter regional relationship). Faktor tersebut memberikan dampak terhadap kondisi dan lingkungan suatu kota, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan, misalnya masuknya modal, tenaga kerja terampil dan terdidik, serta teknologi yang lebih maju. Sedangkan yang tidak diharapkan misalnya masuknya penduduk tenaga kerja kasar yang berlebihan (urbanisasi) dan modal (investasi) yang sporadis sehingga menimbulkan kemacetan di segala bidang dan pencemaran. Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi, setelah kota tidak mampu lagi menyediakan lapangan pekerjaan yang layak (lapangan kerja produktif) kepada penduduknya dapat menimbulkan kemiskinan, lingkungan pemukiman menjadi buruk (kumuh), kesehatan buruk, pendidikan buruk, transportasi tidak lancar, lingkungan tercemar, dan sebagainya. Tentang masyarakat kota, menurut Sukanto dan Karseno (1982), terdapat tiga pandangan, yaitu: (1) Pandangan liberal, (2) Pandangan konservatif, dan (3) Pandangan radikal. Pandangan liberal dan pandangan konservatif bertolak dari hipotesis yang sama, yaitu; bahwa masyarakat memiliki lembaga-lembaga tertentu dan hubungan-hubungan tertentu. Hubungan-hubungan tersebut memunculkan perilaku-peilaku tertentu dari satuan-satuan pengambilan keputusan, sepeti rumah tangga pekerja, badan usaha, dan sebagainya. Masing-masing satuan masyarakat dan satuan kerja tersebut menyesuaikan diri. Putusan akhir individu-individu adalah pilihan masing-masing dengan atau tanpa memperdulikan lembaga-lembaga yang ada. Setiap orang bebas mengusahakan kesejahteraannya dalam batas-batas tertentu. Terdapat pula kegiatankegiatan masyarakat yang dikombinasikan, yang menghasilkan keseimbangan sosial yang stabil dan dinamis. Postulasi dasar pandangan-pandangan tersebut meliputi: (1) adanya keseimbangan dalam aspek sosial, (2) keseimbangan masyarakat dalam pengertian bebas dan komplek, dan (3) perubahan dalam masyarakat yang terjadi secara perlahan-lahan (evolusi). Pokok-pokok dari ketiga pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

(a) Pandangan konservatif, dengan pokok-pokok pandangannya: (1) pemerintah harus dibatasi kegiatannya, (2) mekanisme pasar diandalkan untuk mengalokasikan sumberdaya secara efektif, efisien dan memberi hasil yang maksimal, (3) mengutamakan kebebasan individu dan keteraturan masyarakat. (b) Pandangan Liberal, dengan pokok-pokok pandangannya: (1) pemerintah harus membagi kembali pendapatannya, (2) bila mekanisme pasar tidak memuaskan konsumen, pemerintah harus berbuat sesuatu untuk memperbaikinya, dan (3) pemerintah harus menyediakan fasilitasfasilitas yang tidak mampu diadakan melalui meknisme pasar, misalnya fasilitas pertahanan keamanan. (c) Pandangan Radikal, dengan pokok-pokok pandangannya: (1) Struktur dan evolusi masyarkat kota tergantung modus produksi yang dominan (masyarakat kapitalis tidak sama dengan masyarakat feodal dan tidak sama dengan masyarakat sosialis). (2) Modus produksi pada masyarakat kapitalis adalah organisasi buruh melalui kontrak-kontrak kerja. (3) Metoda organisasi produksi meliputi usaha-usaha produksi dan distribusi. (4) Hubungan produksi dan distribusi menentukan dinamika masyarakat (masyarakat selalu menambah kekayaan). (5) Oleh karena hubungan produksi dan distribusi menentukan dinamika, maka orang selalu berusaha dengan menjadi pekerja. Kapitalis akan selalu berusaha menjadi dominan melalui akumulasi kekayaan lewat perusahaan. (6) Dinamika masyarakat menjurus kepada berbagai reaksi: (a) mekanisme dan pembagian kerja atau menghasilkan akibat-akibat yang tidak terkendali, (b) kapitalisme menimbulkan usaha-usaha sosialisasi kerja, mengakibatkan manusia saling

tergantung, kelompok-kelompok saling menghancurkan persaingan merajalela, (c) konflik masyarakat timbul dari hasrat selalu ingin memperbesar kapasitas produksi. (7) Lembaga perlu diubah untuk dapat melayani perubahan-perubahan yang timbul dalam masyarakat. Menurut Sukanto dan Karseno (1982), ketiga aliran tersebut ada di Indonesia. Tetapi berhubung sesuatu hal, tidak terlihat dengan jelas.

2.8 Berkembangnya Sebuah Kota Sebuah kota lahir, kemudian tumbuh membesar dan mati. Apakah factor-faktor yang menyebabkan sebuah kota tumbuh dan membesar? Faktor-faktor tersebut adalah berkembangnya aktivitas penduduk kota dalam semua aspek kehidupan (utamanya kegiatan ekonomi), proses

terkonsentrasinya kegiatan penduduk tersebut ke kota yang bersangkutan (Aglomerasi), yang kemudian diikuti oleh perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan ke kota tersebut (Urbanisasi). Faktor-faktor yang menyebabkan terkonsentrasinya kegiatan ekonomi ke wilayah perkotaan tersebut ada empat. Pertama, adalah faktor Scale Economics. Artinya melakukan kegiatan usaha berproduksi di wilayah perkotaan dapat menerapkan sekala produksi yang besar, dapat memilih sekala produksi yang optimal, yang terkait dengan tujuan efisiensi (Economies of Sale), berdampak setidak-tidaknya dapat memenuhi volume penjualan minimum untuk pabrikpabrik baru (Minimum Threshold). Kedua, adalah faktor Comparative Advantage. Artinya berproduksi di wilayah perkotaan lebih rendah biaya produksinya dibandingkan dengan berlokasi di wilayah pedesaan. Alasannya, karena adanya fasilitas pelayanan, dimana fasilitas pelayanan tersebut dapat dibangun dengan sekala produksi yang optimal dan dapat dipilih teknologi yang efisien. Ketiga faktor Proximity. Artinya kedekatan kota ke berbagai pasar input dan output. Jadi faktor tersebut dapat menekan biaya transpor Inputs (Assembly Cost) dan biaya distribusi Output (Delevery Cost). Faktor kedekatan ini temasuk kedekatan dengan perusahaan-perusahaan lain yang terkait, atau yang disebut faktor Externalities. Keempat, faktor Amenities. Artinya faktor kemudahan-kemudahan yang disediakan pemerintah kota untuk menarik investasi, dan penduduk ke kotanya. Contohnya pemerintah kota penyediaan Infrastruktur yang baik, keringanan pajak, termasuk pelayanan-pelayanan pemerintah yang bersifat Externalities bagi perusahaan. Pemerintah kota selalu memelihara kotanya indah, aman dan nyaman. Industri memerlukan lahan lokasi. Lahan lokasi tersebut dipilih di mana yang paling ekonomis. Lahan lokasi yang paling ekonomis bukan di lokasi yang harga atau sewa lahannya paling rendah, tetapi di lokasi optimum (Optimum Location). Lokasi optimum adalah lokasi dimana titik kombinansi biaya sewa lahan dengan jumlah ouput maksimum yang dapat dicapai perusahaan bersinggungan (Richardson, 1969). Lahan kota relatif terbatas. Pemanfaatan input lain yang masuk ke wilayah kota dari waktu ke waktu semakin meningkat, sehingga nisbah (Ratio) input-input tersebut terhadap lahan semakin meningkat. Harga atau sewa lahan kota menjadi terus meningkat. Salah satu kemungkinan dampaknya yang akan terjadi adalah memperluas aktivitas kota ke pinggiran kota. Kondisi tersebut mempercepat pertumbuhan area kota. Lahan-lahan pertanian di sekitar kota berubah fungsi menjadi lokasi-lokasi industri. Lalu diikuti dengan perubahan lokasi pemukiman kota. Proses tersebut dinamakan proses Penetrasi, yaitu proses desakan suatu sektor kegiatan terhadap sektor kegiatan lain. Proses terdesaknya

sektor yang relatif kurang mampu membayar sewa lahan oleh sektor yang lebih mampu. Lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan lokasi industri, lokasi jasa dan lahan lokasi pemukiman penduduk kota. Perubahan fungsi ini mengakibatkan nilai ekonomis lahan meningkat tajam. Pemilik lahan menyukai dampak tersebut. Tetapi sisi negatifnya area lahan pertanian akan terus berkurang, produksi bahan makanan berkurang, dan pengangguran buruh tani akan meningkat. Oleh karena itu untuk menghindari perkembangan wilayah kota yang tidak diinginkan tersebut diberlakukan kebijakan tata guna lahan (Land Use) dan jalur hijau (Greenbelt) yang ketat. Begitu pula di dalam kota, terjadi penetrasi dari satu sektor/subsektor kegiatan ke sektor/subsektor kegiatan yang lain, yaitu ke subsektor yang mampu membayar sewa lahan lebih tinggi. Subwilayah kota yang semula merupakan area perumahan penduduk berubah menjadi area pertokoan. Subwilayah kota yang semula area perkantoran atau industri berubah menjadi area pertokoan atau perhotelan. Ini terjadi karena kemampuan membayar sewa lahan dari masing-masing aktifitas/peruntukan bersaing. Kemampuan membayar sewa lahan ditentukan oleh kemampuan menciptakan nilai tambah dari jenis kegiatan masing-masing. Kemampuan menciptakan nilai tambah ditentukan oleh intensitas penggunaan lahan dan nilai sewa per m2 dari lahan tersebut. Kemampuan pedagang menyewa toko per m2/tahun atau kemampuan orang-orang yang sedang berpergian menyewa kamar hotel per m 2 rata-rata per tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan penyewa ruangan kantor, penyewa rumah tinggal. Apalagi kalau dibandingkan dengan kemampuan petani yang ingin memanfaatkannya untuk pertanian. Terkait dengan jenis peruntukan wilayah itu sendiri memungkinkan perbedaan intensitas penggunaan, misalnya untuk peruntukan yang dapat menggandakan luas beberapa kali dengan cara menjadikannya lokasi gedung bertingkat, atau gedung pencakar langit. Inilah faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan fungsi lahan dan penetrasi lokasi peruntukan ruang di wilayah perkotaan dan sekelilingnya dan faktor tersebut adalah faktor ekonomis. Biaya transport (Transport Cost) dan kegiatan penduduk akan menentukan besarnya kota (City Size). Besarnya kota dan lokasinya yang seimbang akan menentukan keunggulan lokasi (Comparative Advantage). Jadi, Proximities, Scale Economies, dan Comparative Advantage, merupakan faktor-faktor penawaran (Supply Factors). Disamping itu ada pula faktor lain yang dilihat sebagai faktor permintaan (Demand Faktor) yang juga menentukan perkembangan sebuah kota, yaitu faktor Amenities. Faktor Amenities ini berupa kemudahan-kemudahan yang tersedia

di sebuah kota, yang berfungsi sebagai daya tarik bagi warganya. Misalnya pemerintah kota yang baik, fasilitas umum yang lengkap, lingkungan yang sehat dan baik karena bebas dari pencemaran, adanya rasa aman dan sebagainya.

2.9 Masalah Kota di Indonesia Masalah kota di Indonesia, menurut Sukanto dan Karseno (1982) lebih komplek. Menurut dia ada tiga masalah pokok yang dapat diidentifikasi, yaitu: (a) Masyarakat kota masih menonjol ciri-ciri masyarakat pedesaannya, seperti sikap acuh tak acuh. (b) Masih lemah dalam kesadaran hukum. (c) Juga, masih lemah dalam penegakan hukum. Sebagai contoh, bila ada suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan umum, masyarakat cenderung tidak memperdulikan. Barang-barang kepentingan umum sering dirusak, bahkan dicuri. Aparat hukum cenderung memilih-milih masalah, bertindak jika diperintah, berperilaku ulur tarik, kurang ada kepastian, dan sebagainya.

2.10 Perencanaan Penduduk Kota Jumlah penduduk kota tumbuh relatif cepat dan perlu direncanakan agar pertumbuhannya sebanding dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan dan berbagai pelayanan yang diperlukan. Angka pertumbuhan penduduk kota terdiri atas angka pertumbuhan alamiah dan migrasi. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan penduduk kota umumnya jauh di atas rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk wilayahnya secara keseluruhan. Faktor yang menyebabkan perpindahan penduduk desa ke kota meliputi faktor ekonomis dan non ekonomis. Memang, faktor ekonomis merupakan faktor yang utama (Todaro, 1994). Adapun faktor ekonomis tersebut adalah tingkat upah di kota yang relatif lebih tinggi, atau pendapatan perkapita di kota yang relatif lebih tinggi. Faktor non ekonomis antara lain pelayanan yang lebih baik di kota, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, hiburan, dan sebagainya. Di samping itu juga faktor rasa bangga tinggal di kota, faktor adat-istiadat yang relatif ketat di desa, faktor keamanan yang relatif kurang terjamin di desa, dan sebagainya. Semua faktor tersebut bisa dikelompokkan sebagai faktor-faktor daya tarik (Pole Factors) dan faktor-faktor pendorong (Push Factors). Pada sisi yang lain penduduk memerlukan pekerjaan yang produktif, atau pekerjaan yang layak. Jika tidak, banyak angkatan kerja yang menjadi kurang produktif, bahkan banyak yang mengangur (tidak produktif), selanjutnya kota akan terjebak kepada kondisi kemiskinan. Kondisi

kemiskinan tersebut akan berdampak pada kekumuhan, kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, bahkan kemacetan dalam semua aspek kehidupan (seperti kurangnya pelayanan, suburnya kriminalitas, dan sebagainya). Untuk membangun dan memelihara kondisi kota yang baik perlu perencanaan yang komprehensif, meliputi aspek tata guna lahan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek hukum, dan aspek kependudukan. Untuk negara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia, komposisi relatif penduduk kota terhadap total penduduk wilayah masih perlu ditingkatkan. Karena peningkatan tersebut terkait dengan tujuan perubahan struktur ekonomi dalam jangka panjang. Namun proses perubahannya haruslah terencana dengan baik, sebab jika tidak perkembangan kota bisa terjebak kepada masalah kerusakan yang fatal, masalahnya akan menjadi lebih kompleks, yang akhirnya akan membutuhkan biaya yang jauh lebih besar untuk merehabilitasinya dibandingkan dengan biaya membangun dan memeliharanya secara berencana. Di samping itu ada titik optimal jumlah penduduk sebuah kota dikaitkan dengan tujuan pertumbuhan pendapatan perkapita wilayah (peningkatan standar hidup penduduk suatu wilayah) juga terkait dengan interval-interval pendapatan perkapita tertentu (Henderson, 1994). Di negara-negara maju komposisi relatif penduduk kotanya sekitar 80% dari total penduduk wilayah. Ini tidak berarti negara sedang berkembang lansung bisa menyamainya tanpa perencanaan secara komprenesif dan hati-hati.

2.11 Pertumbuhan dan Perencanaan Penduduk Kota di Indonesia Kondisi penduduk di Indonesia dewasa ini masih perlu mendorong pertumbuhan penduduk dan pembesaran kota-kota. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, walau itu harus dilakukan dengan hati-hati. Artinya, aktifitas ekonomi di wilayah perkotaan perlu didorong dengan penawaran tenaga kerja yang cukup. Sektor-sektor ekonomi perkotaan (sekunder dan tersier) memang memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan sector-sektor ekonomi perdesaan (primer) dan kalau didorong perkembangannya melalu rencana pembangunan akan meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, mempercepat peningkatan standar hidup penduduk. Dengan keterkaitan yang baik antara kegiatan ekonomi perkotaan dan pedesaan di sekitarnya maka akan mendorong pula peningkatan pendapatan rata-rata penduduk pedesaan. Ini merupakan bagian dari rencana pembangunan, dimana dari waktu ke waktu jumlah penduduk yang berdiam di kota-kota akan didorong ke arah yang semakin seimbang dengan kemampuan sektor-sektor ekonomi dalam

memberikan pekerjaan yang produktif di keseluruhan wilayah (pedesaan dan perkotaan sebagai satu kesatuan). Tampaknya apa yang diharapkan itu sedang terjadi juga di Indonesia, walau proses tersebut tidak merata di semua pulau atau wilayah . Sebagai contoh pada tahun 1980 jumlah penduduk di Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan hanya 18% dari jumlah penduduk nasional pada saat itu. Pada tahun 1988 komposisi itu telah berubah, yaitu menjadi 71,5% yang tinggal di wilayah pedesaan dan 28,5% di wilayah perkotaan. Kalau dilihat berdasarkan wilayah-wilayah komposisi penduduk kota tersebut tidak merata. Kalau wilayah-wilayah diidentikkan berdasarkan pulau-pulau besar, maka keadaan tahun 1988 adalah sebagai berikut: (1) Pulau Sumatra dengan jumlah penduduk 35,8 juta jiwa (20,38% penduduk nasional) memiliki komposisi penduduk desa berbanding penduduk kota 76,7 : 23,3; (2) Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 105,8 juta jiwa (60,22% penduduk nasional) memiliki komposisi 66,6 : 33,4; (3) Pulau Kalimantan dengan jumlah penduduk 8,5 juta jiwa (4,84% penduduk nasional) memiliki komposisi 75,0 : 25,0; (4) Pulau Sulawesi dengan jumlah penduduk 12,3juta jiwa (7,00% penduduk nasional) memiliki komposisi 83,0 : 17,0; (5) Pulaupulau Bali dan Nusa Tenggara (termasuk Timor Timur) dengan jumlah penduduk 10 juta jiwa (5,69% penduduk nasional) memiliki komposisi 90 : 10; Pulau-pulau Maluku dan Irian Jaya dengan jumlah penduduk 3 juta jiwa (1,88 % penduduk nasional) memiliki komposisi 82 : 18. Kalau dilihat wilayah berdasarkan wilayah-wilayah pembangunan utama, yaitu berdasarkan konsep enam WPU adalah sebagai berikut: (1) Untuk WPU-A, yang meliputi D.I. Aceh, Sumut, Sumbar, dan Riau dengan pusat pengembangannya Medan memiliki jumlah penduduk 20,02 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 80 : 20; (2) Untuk WPU-B, yang meliputi Jambi, Sumatra Selatan, Begkulu dan Lampung dengan pusat pengembangannya Palembang memiliki jumlah penduduk 15,81 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 79 : 21; (3) Untuk WPU-C yang meliputi DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Kalimantan Barat dengan pusat pengembangannya Jakarta memiliki jumlah penduduk 66,3 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 58 : 42; (4) Untuk WPU-D yang meliputi Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan pusat pengembangannya Surabaya memiliki jumlah penduduk 40,65 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 75 : 25; (5) Untuk WPU-E yang meliputi Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,

Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur dengan pusat pengembangannya Ujung Pandang memiliki jumlah penduduk 19,51 juta jiwa . Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 84 : 16; (6) Untuk WPU-F yang meliputi Maluku dan Irian Jaya memiliki jumlah penduduk 3,28 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan 82 : 18. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi komposisi penduduk wilayah perkotaan tidak homogen diantara pulau-pulau besar dan juga diantara Wilayah-wilayah

Pembangunan Utama di seluruh kepulauan wilayah nasional. Pada tahun 1988, komposisi penduduk kota di Pulau Jawa sudah mencapai 33,3%, sedangkan Pulau Sumatra dan Kalimantan antara 23%-25%. Pulau-pulau Nusa Tenggara dan Pulau Sulawesi antara 15%-17%. Begitu pula untuk pulau-pulau Maluku dan Irian Jaya antara 13%-23%. Kalau dilihat berdasrkan WPUWPU, komposisi penduduk wilayah perkotaan WPU-C sudah sangat menonjol sudah hampir mencapai 42%. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh wilayah urban Jakarta yang berkembang pesat dalam jumlah penduduknya. Barangkali satu hal yang juga menarik diperhatikan adalah bahwa Pulau Kalimantan yang tergolong jarang penduduknya dan memiliki system transportasi yang relatif kurang baik itu memiliki pola permukiman penduduk kota yang menonjol (25,21%). Dan yang paling menonjol adalah Provinsi Kalimantan Timur dimana 42,6% penduduknya telah berdomisili di wilayah perkotaan . Perlu juga diketahui, bahwa sampai dengan berakhirnya Repelita V, masalah struktur perkotaan di dalam kesatuan wilayah nasional tidak memperlihatkan suatu pola

terstruktur/berjenjang sebagaimana kecenderungan berdasarkan teori. Kota-kota tidak tumbuh terstruktur. Diperkirakan hal itu disebabkan oleh sejarah orientasi wilayah atau keterkaitan aktifitas penduduk dalam berbagai aspek kehidupan di masa lalu, antara lain sejarah sistem transportasi nusantara, polarisasi wilayah dalam saling ketergantungannya, sejarah struktur kerajaan-kerajaan di nusantara, dan sejarah kekuasaan kolonial di masa lalu. Demikian pula pola pembangunan wilayah atau daerah selama Repelita, yang berlangsung lebih dari 25 tahun, dimana kota-kota dibangun lebih banyak berorientasi kepada tujuan yang ingin diwujudkan dibandingkan dengan usaha pengembangan potensi keterkaitannya secara alamiah. Disamping itu, masalah kelebihan penduduk (Over Populated) dari beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan Ujung Pandang memerlukan dana subsidi yang besar sekali untuk merehabilitasi kekumuhan dan kesemerautannya. Pengertian

kelebihan penduduk di sini dimaksudkan sebagai suatu kondisi dimana terbatasnya kemampuan kota-kota tersebut untuk mendukung tersedianya lapangan kerja dan pelayanan yang layak bagi penduduk (lapangan kerja, fasilitas sosial, lingkungan yang sehat, dan sebagainya). Pertumbuhan kota-kota tersebut tidak didukung oleh potensi ekonominya yang riil secara mandiri. Hidup dan perkembangannya sangat dipengaruhi anggaran subsidi. Pendapatan kota jauh lebih kecil dibanding pengeluarannya. Perencanaan pengembangannya tidak dikaitkan dengan titik

optimasinya. Anggaran biaya tahunannya lebih besar dari penerimaan tahunan yang asli (Government Expenditure > Local Taxes). Ketahanan ekonomi kota di Indonesia khususnya di masa Repelita sangat ditentukan oleh kemampuan subsidi pemerintah pusat. Hal itu memang dimungkinkan pada periode-periode, dimana negara banyak menerima pajak dan laba dari perusahaan-perusahaan minyak bumi dan gas alam yaitu periode 1974 samapi dengan 1983, dan lain-lain sumber yang tidak dikaitkan dengan potensi ekonomi lokal.

2.12 Beberapa Model Observasi Lokasi Pemukiman Kota Sebagaimana dijelaskan oleh H.W. Richardson (1969), bahwa kebanyakan ahli menganalisis struktur tata ruang kota bertolak dari analisis sosiologis dan analisis ekonomi. Pada umumnya mereka memusatkan perhatian pada teori nilai tanah dan pemukiman. Berikut ini di kemukakan beberapa model (hasil penelitian empiris): Model Hawley Menurut Hawley sebaran lokasi perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor: (a) Nilai tanah (tingkat sewa lahan); (b) Lokasi berbagai kegiatan penduduk; (c) Biaya dan waktu transportasi ke pusat kegiatan. Nilai sewa rumah ditentukan oleh faktor-faktor tersebut. Hawley menemukan sebuah paradoks yang menyangkut lokasi perumahan kota ini, yang disebut Paradok Hawley, yang berbunyi Keluarga-keluarga yang berpendapatan rendah bertempat tinggal di lokasi-lokasi yang memiliki nilai tanah yang tinggi, sebaliknya keluarga-keluarga yang berpendapatan tinggi tinggal di lokasilokasi yang memiliki nilai tanah yang rendah. Kaum buruh yang berpendapatan rendah menginginkan tinggal di sekitar lokasi tempat kerja mereka (di pusat-pusat kegiatan sosial dan ekonomi), mereka menghindari biaya transport yang tinggi. Bagi mereka biaya transport menjadi pertimbangan pokok dalam memilih tempat tinggal, pelayanan transport termasuk kebutuhan pokok, dan merupakan biaya tetap pada anggaran belanja keluarga. Motivasi mereka bertempat tinggal di sekitar lokasi tempat

bekerja/kegiatan pelayanan adalah untuk menghindari pengeluaran biaya transport keluarga yang tinggi. Tanah disekitar pusat-pusat kegiatan cenderung menjadi objek spekulasi. Orang-orang kaya cenderung tidak memilih tinggal di lokasi tersebut. Sewa tanah menjadi pertimbangan pokok orang-orang kaya dalam memilih tempat tinggal. Mereka menginginkan lahan lokasi tempat tinggal yang relatif luas. Sewa tanah di sekitar lokasi aktivitas cenderung tinggi. Kondisi perumahan/lingkungan pada lokasi sekitar pusat kegiatan biasanya menjadi kurang terawat, karena sewa yang mampu dibayar oleh golongan yang berpendapatan rendah relatif rendah pula. Oleh karena itu, kemampuan melakukan perawatan rendah. Rumah tangga orang-orang miskin cenderung padat atau berdesak-desakan. Sebaliknya dari apa yang terjadi di lokasi tempat tinggal orang-orang kaya, alternatif penggunaan lahannya di lokasi yang dipilih lebih terbatas. Oleh karena itu nilai lahan di lokasi tersebut rendah. Fasilitas-fasilitas lingkungan kehidupan orang-orang kaya relatif baik, penggunaan lokasi diatur dengan baik, sewa tempat tinggal dibayar tinggi, kebalikan dari sewa tanah. Tempat tinggal orang-orang kaya cenderung memilih lokasi di pinggiran kota.

Model Alonso

William Alonso tidak mendasarkan analisisnya pada dinamika pertumbuhan kota atau pada kebiasaan-kebiasaan spekulasi. Namun dia merinci beberapa faktor yang mempengaruhi lokasi perumahan kota, yaitu: (a) Kuatnya pengaruh nilai tanah pada pemilihan lokasi; (b) Permintaan lokasi bervariasi sesuai dengan besarnya pendapatan; (c) Lokasi perumahan orangorang kaya relatif tidak dipengaruhi oleh faktor biaya pulang pergi ke kota (Commuter Cost); (d) Aksesibilitas berperan sebagai komoditi inferior. Aksesibilitas merupakan faktor waktu tempuh, faktor biaya transport, dan faktor kepadatan/intensitas penggunaan lahan. Aksesibilitas tinggi adalah waktu tempuh rendah biaya transport rendah intensitas pemakaian yang tinggi. Jadi elastisitas pendapatan (Income Elasticity) untuk tanah tinggi. Sebaliknya elastisitas pendapatan untuk aksessibilitas ke pusat kota negatif.

Model Becman

Becman mendasarkan asumsi pemilihan lokasi tempat tinggal kepada memaksimalkan ruang tinggal, pengeluaran rata-rata keluarga dan biaya commuting. Biaya-biaya tersebut merupakan fungsi pendapatan keluarga yang linier. Ini dipakai sebagai dasar penyebaran rumah (pasar perumahan). Rumah tangga orang-orang kaya cenderung berlokasi di luar kota.

Model Wendt

Model Wendt disebut juga model operasional. Menurut Wendt, lokasi perumahan ditentukan oleh keseluruhan nilai, yang dipandang sebagai selisih nilai secara keseluruhan dari biaya-biaya yang diharapkan bagi amortisasi rate

Fx( P, Y , S , Pu, PI ) (T Cc Im Dim) fx( I , R, Cg )

dimana: V = keseluruhan nilai tanah kota; Fx = ekspektasi; P = penduduk; Y = pendapatan ratarata; S = penawaran tanah yang bersaing; Pu = pusat daya tarik yang bersaing; PI = investasi pemerintah; T = pajak daerah; = sigma atau jumlah keseluruhan; Oc = biaya operasi; Im = bunga modal yang diinvestasikan untuk pembangunannya; Dim = penyusutan pada proyekproyek pembangunan; i gains (hasil-hasil modal) Wendt menentukan nilai-nilai teoritis diantara fakta-fakta yang mempengaruhi keseluruhan nilai tanah dan pengaruh-pengaruh tersebut menentukan lokasi. Unsur penerimaan dan biaya merupakan fungsi dari macam penggunaan. Pada pemakaian di sektor industri pelayanan akan mendasarkan unsur penerimaan pada volume penjualan yang diharapkan di lokasi alternatif yang dipilih dan biaya operasi pendistribusiannya. Industri akan = tingkat bunga; R = resiko investasi; Cg = kemungkinan kapital

membandingkan penjualan produk potensial dengan biaya produksi. Rumah tangga akan

membandingkan nilai biaya dan manfaat, dibandingkan dengan berbagai lokasi alternatif. Membandingkan biaya Commuting, pajak, biaya pembangunan, dan sebagainya.

Model Stevens

Model Harbert Stevens (Linear Programming Model) ini memperlihatkan bagaimana lokasi perumahan disebarkan di suatu wilayah hunian dalam hubungannya dengan usaha memaksimalkan kepuasan dan jumlah sewa yang dikeluarkan rumah tangga. Dasar asumsi yang dibuat di sini adalah, bahwa setiap orang ingin mencoba memenuhi kebutuhannya dan dikaitkan dengan biaya-biaya yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan pada lokasi tersebut, serta anggaran rumah tangga yang tersedia. Diasumsikan orang-orang memiliki pengetahuan yang cukup tentang disain lokasi yang optimal untuk rumah tangga berdasarkan kelompok pendapatan yang berbeda-beda. Diharapkan pula, bahwa disain (rencana) tersebut memperhitungkan daya tampung pada masing-masing lokasi. Harbert Stevens mendasarkan modelnya kepada 4 faktor, yaitu: (1) jenis rumah; (2) derajat kedekatan (Amenity); (3) Preferency aksesibilitas; dan (4) ukuran tempat tinggal. Kesulitan yang kemudian timbul dalam penerapan model ini adalah: (a) bagaimana mengetahui secara sempurna sejumlah preferensi (keuntungan/kemudahan) untuk faktor-faktor lokasi tersebut. Faktor-faktor tersebut harus dihimpun dari berbagai penelitian berdasarkan sampel-sampel dengan memperhitungkan tingkat pendapatan penduduk yang berbeda-beda, kedekatan, sarana-sarana yang berbeda, ukuran tempat tinggal yang berbeda dan sebagainya; (b) bila model ini digunakan untuk tujuan prediksi, diasumsikan pula tidak terjadi perubahan selera.

Model Lowrey

Asumsi pokok model Lowrey adalah bahwa lokasi kegiatan sudah given dan tingkat kegiatan eknomi ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat eksogen. Distribusi perumahan secara relatif ditentukan oleh pusat-pusat pekerjaan. Ukurannya adalah distribusi trayek yang ada (Trip Distribution Indicies), berdasarkan studi transportasi wilayah. Dia mengembangkan 13

zona kompleks perumahan, yang untuk

setiap kelompok perumahan terdiri dari 11 cicin trayek asal ke tempat bekeja (Work Trip

konsentrasi, dengan radius satu mil. Dihitung

Originating) yang tiba di terminal sebelah luarnya (batas/lingkaran tetangga). Di sini diasumsikan adanya keseimbangan kesempatan kerja antar zona yang digambarkan dalam bentuk lingkaran-lingkaran. Penelitian tentang kondisi yang ada untuk berbagai studi bertujuan untuk memperkirakan kesempatan kerja pada masing-masing lokasi kerja dan ini penting sekali. Lowrey juga membuat model kedua yaitu menghitung kamapanan terhadap padagang-padagang eceran sebagai dampak trayek yang ada tersebut. Jadi populasi terhadap pedagang eceran dapat diperkirakan dan juga terhadap jenis-jenis pelayanan lainnya.

Model Artle

Artle memperkenalkan dua model operasional untuk memperkirakan distribusi spasial, yaitu: (1) Model Pendapatan Potensial (Income Potential Model); (2) Model Regresi (Regression Model)

Model Pendapatan Potensial

Model ini bertujuan untuk memperkirakan tingkat kemampuan berbagai jenis pelayanan, misalnya toko-toko eceran di dalam sebuah kota. Mencoba membagi kota ke dalam bagianbagian persegi empat (zona-zona) yang seimbang. Asumsi dasarnya adalah bahwa pendapatan keluarga pada setiap zona memiliki potensi pengaruh pada zona yang lain dan pengaruh tersebut menurun bila jaraknya bertambah.

Rumusnya: iVj

Gij * Yj dij

dimana: Gij = sebuah konstanta ; Yj = pendapatan kelurga-keluarga segi empat i, j; dij = jarak antara segi empat i dan j, yaitu jarak antara pusat zona i dan zona j; n = jumlah segi empat

Artle meneliti kondisi yang ada dengan maksud dapat memperkirakan pengeluaran pada setiap pelayanan berdasarkan data input-output yang dikaitkan dengan potensi pendapatan agregatif (Income Potential Aggregate) masing-masing zona. Hasil perhitungan tersebut diunakan untuk memperkirakan penawaran pelayanan yang dipilih/ diberikan masing-masing zona, sehingga ada keterpaduan antara zona yang satu dengan zona yang lain. Biaya variabel rata-rata (AVC) pelayanan tertentu sama di setiap zona. Lokasi perumahan dapat dipakai sebagai basis perhitungan potensi pendapatan. Perbedaan sewa yang tinggi di antara zona dapat diabaikan. Model ini memerlukan data yang banyak. Jika sulit memperoleh data, maka Artle mengusulkan model regresi sederhana.

Model Regresi Sederhana

Model Regresi Sederhana Artle bertolak dari ukuran rumah tangga, ukuran tempat tinggal, dan pekerjaan penduduk sebagai variabel bebas yang mempengaruhi jumlah bentukan pelayanan di setiap zona. Rumusnya: N = a + bPr + cPw + Z Dimana: N = jumlah pelayanan yang didirikan setiap zona; Pr = ukuran tempat tinggal penduduk setiap zona; Pw = ukuran pekerjaan penduduk tiap zona; a, b, c = konstanta-konstanta; z = besaran sisa Model ini masih dapat dikembangkan lagi dengan memperhitungkan tingkat sewa pada masing-masing zona dan biaya transpornya. Implikasi kedua model tersebut sangat berbeda. Model pendapatan potensial mengasumsikan bahwa tidak ada batas antar zona. Sedangkan pada model regresi trayek antar zona dapat diabaikan. 2.13 Keterkaitan Wilayah Keterkaitan wilayah dalam ajaran teori ekonomi regional merupakan faktor penting. Sebagai contoh, dalam kasus pembangunan Appalachia di Amerika Serikat, dimana 77% dari anggaran biaya pembangunan yang disediakan oleh pemerintah untuk wilayah tersebut digunakan untuk membangun jaringan jalan raya. Dalam hal keterkaitan wilayah ini berkaitan dengan keterkaitan wilayah tersebut ke luar (Interregional Connections) dan keterkaitan antar sub-subwilayah yang bersangkutan (Intraregional Connections). Melalui peningkatan

keterkaitan tersebut diharapkan permasalahan surplus dan defisit produksi diantara wilayahwilayah atau subwilayah menjadi terpecahkan. Di dalam sejarah perkembangan ekonomi makro keterkaitan wilayah ini telah menjadi dasar bagi berkembangnya perdagangan yang saling menguntungkan baik antar wilayah maupun diantara sub-sub wilayah sendiri, baik yang disebabkan oleh adanya faktor perbedaan yang bersifat mutlak ataupun perbedaan yang bersifat relatif, seperti perbedaan sumberdaya, biaya dan keuntungan (Absolute Advantage maupun Comparative Advantage). Perdagangan menumbuhsuburkan unit-unit usaha mencapai puncak-puncak spesialisasi, efisiensi dan manfaat ekonominya, dimana sumber daya serta teknologi yang digunakan diasumsikan tidak berubah. Semua pihak akan dapat mengambil manfaat, dapat

mengkonsumsikan barang-barang dan jasa yang lebih meningkat. Dari aspek spasial, pada tahap pengembangan perdagangan, melahirkan kota-kota yang efisien. Melalui seleksi tumbuhnya industri barang dan jasa, wilayah perkotaan mendorong peningkatan efisien penggunaan sumber daya dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Sebagai contoh dapat dikemukan apa yang terjadi di Amerika Serikat pada awal abad ke20. Menurut Samuelson (1980), pada awal abad ke-20 kota-kota di Amerika Serikat tumbuh dengan pesat dan urbanisasi dipandang sebagai suatu proses yang saling menguntungkan. Namun pada sekitar pertengahan abad ke-20 arus urbanisasi sudah dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya, terutama sekali dalam pandangan pemerintah-pemerintah kota. Tingkat penghidupan di wilayah perkotaan tidak lagi dapat mempertahankan lingkungan yang indah dan sehat. Biaya pengadaan perumahan-perumahan umum membengkak dan subsidinya menjadi membengkak pula. Pemerintah kemudian mencoba memecahkan masalah ini pada akar penyebabnya yaitu kurangnya perhatian pada kehidupan pedesaan di masa lalu. Pemerintah membuat

kebijaksanaan untuk membangun sektor pertanian melalui Landreform dan Research pertanian oleh universitas-universitas. Kebijaksanaan itu berhasil meningkatkan produksi sektor pertanian tetapi belum berhasil memperbaiki taraf hidup di wilayah pedesaan. Oleh karena produksi yang melimpah, elastisitas permintaan produk yang inelastis, kesejahteraan petani justru merosot. Langkah lebih lanjut pemerintah mengembangkan sistem pemasaran produk-produk pertanian. Beban subsidi kepada kota-kota yang menjebak angaran pemerintah kemudian berhasil dikendalikan. Dalam pada itu pada sisi yang lain muncul pula gagasan untuk mengurangi arus urbanisasi ke kota-kota besar yang tidak efisien lagi, yang ditulis oleh Dennis A Rondenelly.

Rondenelly menganjurkan agar di kota-kota sedang (sekunder) dibangun fasilitas-fasilitas yang lebih baik dan lokasi industri didorong ke kota-kota sekunder tersebut. Dengan demikian diperkirakan arus urbanisasi akan terbelokkan ke kota-kota yang berpenduduk antara 100.000 sampai 300.000 jiwa. Hasil stusi di banyak negara berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan pusat-pusat metropolitan yang besar selalu menghasilkan Backwash Effect kepada wilayah sekelilingnya. Tricklingdown Effect yang diharapkan tidak terbukti, dan modernisasi kota gagal meningkatkan kesejahteraan golongan miskin, khususnya mereka yang berada di pedesaan. Keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi telah menyedot pendapatan wilayah pedesaan (Capital flight from rurals to urbans) terbukti sebagai suatu kenyataan. Dikatakan pula bahwa rencana-rencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang, yang dimulai sekitar tahun 1970-an telah melupakan kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangi kemiskinan melalui perencanaan tingkat pertumbuhan regional yang wajar dan tidak berusaha menghindari tumbuhnya wilayah-wilayah konsentrasi penduduk yang besar tersebut. Padahal sejak tahun 1950-an keseimbangan penduduk antara wilayah perkotaan dan pedesaan telah berada pada kondisi yang tidak menguntungkan bagi negara-negara yang sedang berkembang itu sendiri, dimana rata-rata pertumbuhan penduduk kota mereka mencapai 4% pertahun. Pada tahun 1978 lembaga Demografi Amerika Serikat pernah mengadakan penelitian terhadap 116 negara yang kesimpulannya terbukti bahwa pada umumnya pemerintah negaranegara berkembang tidak puas dengan tata ruang penyebaran penduduknya (yaitu 68% menyatakan sangat tidak puas dan 42 % menyatakan setengah tidak puas). Didorong oleh pernyataan tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia dan Amerika Serikat berusaha mendorong usaha-usaha peningkatan peranan kota-kota sekunder, karena diperkirakan bahwa negara-negara sedang berkembang akan memiliki lebih banyak kotakota metropolitan dengan penduduknya jauh lebih besar dibandingkan penduduk kota metropolitan di negara-negara maju sendiri. Diperkirakan 61 kota metropolitan akan tumbuh di negara-negara sedang berkembang pada tahun 1990-an. Padahal di lain pihak negara-negara yang sedang berkembang sangat terbatas dalam kemapuannya untuk memelihara kondisi kota yang layak.

Untuk membantu memecahkan masalah tersebut ditawarkan empat gagasan kepada para perencana di negara-negara sedang berkembang, yaitu: (1) Mengurangi kesenjangan antar wilayah melalui rencana pengembangan kota sekunder, melalui penyebaran manfaat urbanisasi yang lebih kecil dan tersebar. (2) Mendorong perkembangan ekonomi pedesaan melalui rencana pengembangan kota sekunder dalam bentuk usaha memberikan pelayanan dan pemasaran barang-barang pertanian untuk mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak di sektor pertanian. (3) Mengusahakan peningkatan kapasitas administrasi untuk kota-kota sekunder. Dalam rangka mengorganisir pelayanan pertumbuhan produksi yang lebih efisien, dan menangani proses desentralisasi bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah. (4) Berbarengan dengan usaha-usaha tersebut dilakukan pula pengurangan tingkat kemiskinan di kota yang telah terlanjur membesar dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui pengorganisasian masyarakat perkotaan.
Pada akhir uraian tersebut diakui pula bahwa perkembangan pembangunan regional di negara-negara yang sedang berkembang masih belum baik.

BAB III Penutup kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA -ghalib rusli (2005), ekonomi regional, pustaka ramadhan, bandung. -karseno A.R reksohadiprodjo sukanto, ekonomi perkotaan, BPFE Yogyakarta, jogja.

Anda mungkin juga menyukai