Anda di halaman 1dari 58

REFERAT PARU

INTERNATIONAL STANDART TUBERCULOSIS CARE (ISTC)

Oleh:

Astriyana Kurnia Alidina Nur Afifah Alfa Alfin Nursidiq Dimas Wiryantomo Fendy Suyanto

G 0001060 G 0004037 G 0006036 G 0006070 G 0006081

Harti Kusni W Ibrahim Toha Khusnia Fuadiyah Rina Setyowati Chichi Februwati

G 0006089 G 0006092 G 0006105 G 0060145 G 0006190

Pembimbing: dr. Ana Rima, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2010

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... A. Tuberkulosis 1. Definisi ........................................................................................ 2. Epidemiologi ............................................................................... 3. Patogenesis .................................................................................. 4. Klasifikasi ................................................................................... 5. Diagnosis ..................................................................................... 6. Penatalaksanaan .......................................................................... 7. Komplikasi .................................................................................. 8. MDR............................................................................................
B. DOTS .................................................................................................................

2 3 4

4 4 5 7 10 22 40 41
45

C. ISTC......................................................................................... ............... BAB III. PENUTUP .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

47 55 56

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis

merupakan

penyakit

infeksi

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi1. Tuberkulosis masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama walaupun pengobatan tuberkulosis yang efektif telah tersedia. tuberkulosis dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar dari kasus tuberkulosis ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara- negara yang sedang berkembang2. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru tuberkulosis dan sekitar 140.000 kematian akibat tuberkulosis. Di Indonesia tuberkulosis merupakan pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia3. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi pedoman program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan diperkenalkan pada bulan Februari 2006 dan direvisi 2009 serta dilaksanakan di Indonesia(Martini,2010). Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi, masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang memiliki penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap tuberkulosis. ISTC sendiri memfasilitasi pada masyarakat bagaimana melayani pasien dengan hasil sputum positif maupun negatif tuberkulosis, dan tuberkulosis ekstrapulmoner akibat MDR-TB, tuberkulosis dengan kombinasi infeksi HIV dan faktor komorbid lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit tuberkulosis dan menjaga kesehatan masyarakat15.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERKULOSIS

1. Definisi Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi1. 2. Epidemiologi Tuberkulosis merupakan penyebab terbesar penyakit dan

kematian di dunia khususnya di Asia dan Afrika dan sejak tahun 2005 terdapat peningkatan yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi di India, Cina, Indonesia, Afrika Selatan dan Nigeria. Menurut WHO prevalens kasus tuberkulosis tahun 2006 ada 14,4 juta kasus dan Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR Tuberkulosis) ada 0,5 juta kasus dengan Tuberkulosis kasus baru MDR 23.353 kasus. Jumlah total kasus Tuberkulosis baru MDR yang diobati tahun 2007 dan 2008 sekitar 50.000 kasus. Tuberkulosis kasus baru didapatkan MDR Tuberkulosis 2% dan Tuberkulosis kasus yang telah diobati didapatkan MDR Tuberkulosis 19%. Sebagian besar dari kasus tuberkulosis ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara- negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun2,9. Alasan utama muncul dan meningkatnya beban tuberkulosis ini antara lain disebabkan oleh kemiskinan penduduk, perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi terutama di negara- negara miskin, kurangnya pengetahuan tentang tuberkulosis, kurangnya biaya untuk berobat, sarana diagnostik dan pengawasan kasus tuberkulosis dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat, dan terakhir adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia2. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Prevalensi Tuberkulosis di

Indonesia tahun 2006 adalah 253/100.000 penduduk angka kematian 38/100.000 penduduk.. Di Indonesia tuberkulosis merupakan pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia3,9. 3. Patogenesis a. Tuberkulosis primer Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup

micobacterium tuberkulosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil tuberkulosis akan mencapai alveoli.kuman akan mengalami multiplikasi di paru, disebut focus Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai kelenjar hilus, kemudian menimbulkan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional)2. Focus Ghon dan limfadenitis regional akan membentuk kompleks primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Banyaknya basil tuberkulosis serta kemampuan daya tahan tubuh host akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multipikasi kuman, dan sebagian kecil menjadi kuman dorman4. Kompleks primer akan mengalami nasib sebagai berikut : Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis- garis fibrotik, sarang Ghon dan kalsifikasi di hilus Menyebar dengan cara : Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke sekitarnya Salah satu contohnya adalah epituberkulosis, yaitu suatu penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas yang bersangkutan, dengan akibat atelektasis.

Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelatasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut yang di kenal sebagai epituberkulosis. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan Penyebaran secara hematogen dan limfogen Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang cukup gawat seperti tuberkulosis ini juga milier dapat dan meningitis

tuberkulosis.

Penyebaran

menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misal tulang, ginjal, anak ginjal, genetalia dan sebagainya3. Penyebaran dan komplikasi berakhir dengan : Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis tuberkuloma) Meninggal3 b. Tuberkulosis sekunder Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis post primer2. Biasanya terjadi pada usia 15- 40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam- macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun dan sebagainya3. Tuberkulosis primer terjadi karena imunitas menurun sperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal2. Bentuk tuberkulosis inilah yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya

terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang didni awalnya berbentuk suatu sarang pneumonia kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat Sarang tersebut akan meluas dan segera menjadi proses

penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Seanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi : Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh, tapi bisa juga aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagaikaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped)3. 4. Klasifikasi a. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Tuberkulosis ini dibagi berdasarkan : 1) Hasil pemeriksaan dahak (BTA) a) Tuberkulosis paru BTA (+) : Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b) Tuberkulosis paru BTA (-) : Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif 2) Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b) Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : Infeksi non tuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. Infeksi jamur tuberkulosis paru kambuh Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.

c) Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d) Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan e) Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik f) Kasus pindahan (transfer in) Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah. g) Kasus Bekas tuberkulosis: Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi tuberkulosis yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik. b. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening,

selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan tuberkulosis ekstra paru aktif3.

Skema 1. Klasifikasi Tuberkulosis3

5. Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. a) Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) Gejala respiratorik Batuk selama 2 minggu Batuk darah Sesak napas Nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. b) Pemeriksaan fisik/jasmani Pada pemeriksaan fisik kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Tuberkulosis paru

Kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pleuritis tuberkulosa Kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess. c) Pemeriksaan bakteriologik Bahan pemeriksaan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Pagi ( keesokan harinya )

Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen dalam pot yang yang berbentuk bermulut cairan lebar,

dikumpulkan/ditampung

berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil

Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan. i. Pemeriksaan mikroskopik: Pemeriksaan mikroskopik biasa menggunakan

pewarnaan Ziehl-Nielsen sedangkan pemeriksaan mikroskopik fluoresens menggunakan pewarnaan Auramin-Rodamin

(khususnya untuk screening). lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah: Bila 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif Bila 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif Bila 3 kali negatif BTA negative Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD

(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) Interpretasi hasil dapat juga dengan memakai Skala Bronkhorst (BR) : BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang ii. Pemeriksaan biakan kuman Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional dapat dengan cara Egg base media: LowensteinJensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh atau Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium

tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul d) Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasidapat berupa foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada

pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TUBERKULOSIS aktif : Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TUBERKULOSIS inaktif Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura

Gambar 1. Tuberkulosis menyebabkan terlihat gambaran kavitas di lobus kanan atas (ki). Pada gambar sebelah kanan terlihat beberapa opasitas di lapang paru, pada foto lateral (tengah) terlihat opasitasnya terdapat di paru sebelah atas5,6.

Luluh paru (destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik

luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya

berdasarkan

gambaran

radiologik

tersebut.

Perlu

dilakukan

pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal. e) Pemeriksaan khusus Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. i. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. ii. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar

dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis tuberkulosis, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis tuberkulosis Pada pemeriksaan deteksi M. tuberculosis tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat. iii. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1: o Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibody menetap dalam waktu yang cukup lama. o ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik tuberkulosis yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tuberkulosis 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

o Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah o Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. o Uji serologi yang baru / IgG tuberkulosis Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis. f) Pemeriksaan lain i. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah ii. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Pemeriksaan yang dilakukan ialah

pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

Biopsi Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung

biopsy/tuberkulosis) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/tuberkulosis, biopsy paru terbuka). Otopsi Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. iii. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. iv. Uji tuberculin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi

tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif3.

Skema 2. Alur Pemeriksaan Tuberkulosis3

6. Penatalaksanaan a) Tujuan pengobatan Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis)8. b) Dasar-dasar pengobatan Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni : Aktivitas bakterisid yaitu kemampuan obat membunuh sejumlah besar kuman yang sedang tumbuh/metabolisme aktif7. Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negative (2 bulan dari awal pengobatan). Aktivitas sterilisasi yaitu kemampuan membunuh kuman-kuman yang tumbuh lambat / metabolisme kurang aktif. Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan2. c) Faktor kuman Penelitian Mitchison telah membagi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam beberapa populasi dalam hubungannya antara pertumbuhan dengan aktivitas obat yang membunuhnya yang tercantum pada tabel di bawah ini2,7: Populasi kuman Populasi A : kuman tumbuh dan berkembang dengan cepat, kuman banyak terdapat pada dinding kaviti atau dalam lesi pH netral Populasi B : kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam. Lingkungan asam inilah yang melindungi kuman terhadap OAT tertentu. Populasi C : kuman berada dalam keadaan dormant/tidak ada aktivitas metabolisme hampir sepanjang waktu. Hanya kadangkadang saja kuman bermetabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Kuman Obat yang Bekerja INH, Rifampisin, dan streptomisin. INH bekerja sangat baik Pirazinamida

Rifampisin karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.

jenis ini banyak terdapat pada dinding kavitas. Populasi D : kuman-kuman sepenuhnya Tidak ada bersifat dormant sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh OAT. Jumlah populasi tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri. Tabel 1. Aktivitas obat terhadap kuman d) Dasar teori pengobatan tuberkulosis : Pertama. Bahwa terapi yang berhasil memerlukan minimal dua macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satu diantaranya harus bakterisid dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan2,8. Monoterapi memakai obat bakterisidik yang terkuatpun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil. OAT mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan8. Obat INH (H) dan Rifampisin (R) merupakan obat yang paling efektif, Ethambutol (E) dan Streptomisin (S) dengan kemampuan menengah, sedangkan Pirazinamid (Z) yang efektivitasnya paling kecil2. Kedua. Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan

pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten adalah populasi kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai dapat mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan. Dengan adanya pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien tuberkulosis berhasil disembuhkan secara baik dalam waktu 6 bulan2. Oleh Karena itu, untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO)8.

Berdasarkan prinsip tersebut, program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan). Telah diketahui bahwa obat H merupakan bakterisidal paling poten, sedangkan obat R dan Z merupakan sterilisator yang paling efektif2. Tahapan pemberian obat pada pasien tuberkulosis : 1. Tahap awal/intensif (2-3 bulan) o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. o Sebagian besar pasien tuberkulosis Bakteri Tahan Asam (BTA) positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan8. 2. Tahap Lanjutan (4-7 bulan) o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan8. e) Panduan OAT yang digunakan di indonesia 1) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) o Kategori Anak: 2HRZ/4HR 2) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa Obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan tuberkulosis: Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien 3) Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 2. Jenis, sifat dan dosis OAT

f) Paduan OAT (metode DOTS) dan peruntukannya. i. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru tuberkulosis paru BTA positif. Pasien tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif Pasien tuberkulosis ekstra paru

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

ii. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 6. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

iii. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

g) Pengawasan menelan obat Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO Mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampaiselesai pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberkulosis yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan tuberkulosis untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

Tuberkulosis disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan berobat teratur Cara penularan tuberkulosis, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK. h) Efek samping oat dan penatalaksanaannya Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Tabel 9. Efek samping ringan OAT

Tabel 10. Efek samping berat OAT i) Pengobatan suportif/simptomatis Pada pengobatan pasien tuberkulosis perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinisnya baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat diberikan rawat jalan. Tujuan pengobatan suportif adalah untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan mengatasi gejala. Pasien rawat jalan Makan makanan yang bergizi bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) Bila demam dapat diberikan obat penurun panas Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas, atau keluhan lain. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap : Tuberkulosis paru disertai keadaan/ komplikasi sebagai berikut : Batuk darah massif Keadaan umum buruk Pneumotoraks

Empiema Efusi pleura massif/bilateral Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
Tuberkulosis di luar paru yang mengancam jiwa :

Tuberkulosis paru milier Meningitis tuberculosis3. j) Terapi pembedahan i. Indikasi mutlak Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif Pasien batuk darah yang massif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif ii. Indikasi relatif Bronkoskopi Punksi pleura Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) k) Evaluasi pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat serta evaluasi keteraturan obat 1) Evaluasi klinis Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan3. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat, dll2. Hasil Pengobatan Pasien tuberkulosis BTA positif i. Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
Kriteria sembuh

BTA mikroskopis negative dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat Pada foto toraks, ganbaran radiologis serial tetap sama/perbaikan Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negative Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien tuberkulosis yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan tuberkulosis kambuh). ii. Pengobatan lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. iii. Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. iv. Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register tuberkulosis 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. v. Default (Putus berobat)

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. vi. Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan8. 2) Evaluasi bakteriologis (0-2-6/9 bulan pengobatan) Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan, dahak BTA mulai menjadi negatif2. Pemeriksaan mikroskopis dahak BTA dilakukan sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan3. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2, dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negative, dahak BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Dahak BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktuwaktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat dahak BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberculosis yang relevan pada kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh2.

Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 11. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak 3) Evaluasi Radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan (PDPI, 2006). Evaluasi radiologis diperlukan untuk melihat kemajuan terapi2. 4) Evaluasi efek samping secara klinis Sebaiknya bila mungkin dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap. Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin dan darah lengkap : gula

darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometric (bila ada keluhan). Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat pedoman3. 5) Evaluasi Keteraturan berobat Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan resistensi3. mengenai penyakit dan keteraturan berobat. sesuai

Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah

Tabel 12. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Keterangan : *) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan yaitu lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak8.

l) Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus 1) Wanita hamil Pada prinsipnya, pengobatan tuberkulosis pada wanita pada

hamil tidak berbeda dengan pengobatan tuberkulosis

umumnya. Menurut WHO, hampir semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali streptomisin8 dan etambutol7. Streptomisin tidak dapat dipakai pada wanita hamil karena bersifat ototoksik permanen dan dapat menembus barier plasenta. Keadaan ini dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan8 dan menyebabkan gangguan ginjal pada wanita hamil7. Sedangkan pemberian etambutol dapat menyebabkan buta warna pada bayi yang akan dilahirkan7. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular tuberkulosis8. 2) Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis pada ibu pada

menyusui tidak berbeda dengan pengobatan tuberkulosis

umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita tuberkulosis harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman tuberkulosis kepada bayi. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan sehingga bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya 8. 3) Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien tuberkulosis sebaiknya

menggunakan kontrasepsi non hormonal atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg)8. 4) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Prosedur pengobatan tuberkulosis pada pasien dengan

infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien tuberkulosis lainnya. Obat tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien tuberkulosis yang tidak disertai dengan HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien tuberkulosis-HIV adalah mendahulukan

pengobatan tuberkulosis.

Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Universal streptomisin Precaution harus memperhatikan prinsip-prinsip Universal).

(Kewaspadaan

Keamanan

Pengobatan pasien tuberkulosis-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien tuberkulosis yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV)8. 5) Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien tuberkulosis dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan tuberkulosis sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan (Depkes RI, 2007). 6) Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan melakukan konfirmasi dengan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan tuberkulosis. Jika nilai SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali, OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, OAT harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan Pirazinamid (Z). Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE8. 7) Pasien TB dengan gangguan ginjal Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) dapat diekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawasenyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan

dosis

normal

pada

pasien-pasien

dengan

gangguan

ginjal.

Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal. Oleh karena itu, hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, panduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/4HR8. 8) Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetesnya harus dikontrol. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan8. Panduan OAT untuk diabetes mellitus dengan gula darah terkontrol adalah 2RHZ (E-S)/4RH. Bila perlu fase lanjutan 7 bulan pada gula darah yang tak terkontrol yaitu 2RHZ (E-S)/7RH. Gula darah pada DM harus dikontrol7. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah. Setelah selesei pengobatan tuberkulosis, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika. Oleh karena itu, hati-hati dengan pemberian etambutol karena dapat memperberat kelainan tersebut8. 9) Pasien pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti : Meningitis tuberkulosis Tuberkulosis milier dengan atau tanpa meningitis Rawat Panduan OAT : 2RHZE/4RH Pada keadaan khusus (sakit berat) bergantung pada keadaan klinik, radiologis dan evaluasi pengobatan maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7 bulan

(2RHZE/7RH)

Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan : Tanda/gejala meningitis, sesak napas, tanda/gejala toksis, demam tinggi Pemberian kortikosteroid : prednisone 30-40mg/hari., sigle dosis, obat diberikan pada pagi hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari dan lama pemberian 4-6 minggu Tuberkulosis tuberkulosis) Panduan OAT : 2 RHZE/4RH Pengeluaran (evakuasi) cairan sebanyak mungkin sesuai dengan keadaan penderita. Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan dan diberikan kortikosteroid Dosis steroid : prednisone 30-40 mg/hari, single dosis, obat diberikan pada pagi hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari dan lama pemberian 3-4 minggu Hati-hati pemberian kortikosteroid pada tuberkulosis dengan lesi luas, DM Tuberkulosis ekstra paru Panduan OAT : 2RHZE/4RH Prinsip pengobatan sama dengan tuberkulosis paru. Menurut ATS pengobatan untuk tuberkulosis di luar paru misalnya tuberkulosis tulang, tuberkulosis sendi, dan tuberkulosiS kelenjar, meningitis pada bayi dan anak, lama pengobatan selama 12 bulan. Pada tuberkulosis diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk mendapatkan bahan/specimen untuk pemeriksaan (diagnosis), dan pengobatan perikarditis konstriktiva dan kompresi medulla spinalis pada penyakit Potts. Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis tuberkulosis untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada dengan Pleuritis eksudativa (efusi pleura

meningitis tuberkulosis untuk menurunkan gejala sisa (sekuele) berupa kelainan neurologis. Selama fase akut, prednison diberikan dengan dosis 3040 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap 5-10 mg. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan8.
7. Komplikasi

a. Efusi Pleura Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh tuberkulosis biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. b. Batuk Darah Batuk darah karena terdapatnya pembuluh adrah yang pecah. Batuk darah kebanyakan timbul akibat kavitasi namun dapat pula terjadi pada ulkus dinding bronkus. c. Pneumothoraks Terjadi karena rupture lesi cavitasi atau nekrosis ke ruang pleura. Ketika tekanan alveolar melebihi tekanan interstisil paru, udara yang berasal dari rupture alveolus bergerak ke intertisiil dan belakang paru sepanjang berkas bronkovaskuler searah hillus ipsilateral paru, terjadi pneumomediastinum. Jika terjadi rupture pada hillus dan udara bergerak melalui pleura parietalis mediastinalis ke cavum pleura terjadilah pneumothoraks. d. Gagal napas e. Gagal jantung

8. MULTI DRUG RESISTENT (MDR) a. Mekanisme Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tuberkulosis) adalah Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. tuberculosis) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tuberkulosis yaitu terdapatnya galur M. tuberculosis resisten pada pasien baru didiagnosis Tuberkulosis dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tuberkulosis yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. tuberculosis resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tuberkulosis sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M. tuberculosis yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired). Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tuberkulosis wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tuberkulosis wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M.

Tuberkulosis sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tuberkulosis berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tuberkulosis resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan

mudah diobati. Terapi Tuberkulosis yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tuberkulosis HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tuberkulosis menjadi penyakit dan peningkatan penularan MDR Tuberkulosis. Banyak faktor penyebab MDR Tuberkulosis. Beberapa analisis difokuskan berhubungan pelayanan pada ketidakpatuhan hambatan obat, pasien. Ketidakpatuhan seperti logistik lebih

dengan

pengobatan

kurangnya dan biaya

diagnostik,

transportasi,

pengendalian program Tuberkulosis. Survei global resistensi OAT mendapatkan hubungan antara terjadinya MDR tuberkulosis dengan kegagalan program Tuberkulosis nasional yang sesuai petunjuk program Tuberkulosis WHO. Terdapatnya MDR Tuberkulosis dalam suatu komuniti akan menyebar. Kasus tidak diobati dapat menginfeksi lebih selusin penduduk setiap tahunnya dan akan terjadi epidemic khususnya di dalam suatu institusi tertutup padat seperti penjara, barak militer dan rumah sakit. Penting sekali ditekankan bahwa MDR Tuberkulosis merupakan phenomenon. Pengendalian sistematik dan efektif pengobatan Tuberkulosis yang sensitive melalui DOTS merupakan senjata terbaik untuk melawan berkembangnya resistensi obat. Terdapat 5 sumber utama resisten obat Tuberkulosis menurut kontribusi Spigots, yaitu : Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi M. Tuberkulosis resistensi Lamanya pasien menderita infeksi disebabkan oleh keterlambatan diagnosis MDR Tuberkulosis dan hilangnya efektiviti terapi ancaman baru dan hal ini merupakan manmade

sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap kontak yang masih sensitif. Pasien resisten obat Tuberkulosis dengan kemoterapi jangka pendek memiliki angka kesembuhan kecil dan hilangnya efek terapi epidemiologi penularan. Pasien resisten obat Tuberkulosis dengan kemoterapi jangka pendek akan mendapatkan resistensi lanjut disebabkan ketidak hatihatian pemberian monoterapi (efek penguat). Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi penyakit Tuberkulosis dan penyebab pendeknya masa infeksi. b. Diagnosis Langkah awal mendiagnosis resisten obat Tuberkulosis adalah mengenal pasien dalam risiko dan mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi awal MDR Tuberkulosis dan memulai sejak awal terapi merupakan faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. Tuberkulosis dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat Tuberkulosis secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi awal. Kegagalan terapi dapat dipertimbangkan sebagai kemungkinan resisten obat Tuberkulosis sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa minggu kemudian yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak adekuat. Identifikasi cepat pasien resistensi obat Tuberkulosis dilakukan terutama pasien memiliki risiko tinggi karena program pengendalian Tuberkulosis lebih sering menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi penularan, efek samping OAT, memberikan terapi terbaik dan mencegah resistensi obat lanjut. Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah awal deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi Tuberkulosis sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi Tuberkulosis, berasal dari

daerah insidens tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tuberkulosis. Setelah pasien dicurigai MDR Tuberkulosis harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. Tuberkulosis dan resistensi obat. Laboratorium harus mengikuti protokol jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional. Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium dengan tingkat yang berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan pada laboratorium yang lebih balk. Penting sekali laboratorium menekankan pemeriksaan uji resistensi obat yang cepat, adekuat, valid dan mudah dicapai oleh pasien dan layanan kesehatan. Mewujudkan laboratorium seperti ini disuatu daerah merupakan tantangan untuk program pengendalian Tuberkulosis9.

B.

DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS)

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan kesehatan dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan tuberkulosis di Indonesia, yang kemudian disebut sebagai Strategi DOTS. Sejak saat itu dimulailah era baru pemberantasan tuberkulosis di Indonesia13. DOTS mengandung lima komponen, yaitu10: 1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program tuberkulosis nasional 2. Penemuan kasus tuberkulosis dengan pemeriksaan BTA mikroskopis 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy) 4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standar Saat ini terdapat enam elemen kunci dalam strategi stop tuberkulosis yang direkomendasikan WHO11: 1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang berkualitas tinggi 2. Memberikan perhatian pada kasus tuberkulosis-HIV, MDR-tuberkulosis, dan keadaan-keadaan khusus yang lain 3. Kontribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum 4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta, dan

nonpemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care 5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif 6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik, dan vaksin, serta untuk meningkatkan keberhasilan program

Tujuan strategi DOTS adalah mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul, dan mencegah resistensi. Istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Minum Obat (PMO)13. Pada pasien yang berobat jalan, bila pasien mampu datang teratur maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien tidak mampu datang secara teratur maka sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Bila pasien dirawat di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit. Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, orang lain (kader, tokoh masyarakat, dll.), maupun keluarga atau orang serumah. Seorang PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien tuberkulosis sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS10. Sejak penerapan strategi DOTS pada tahun 1995, Indonesia telah mencapai kemajuan yang cepat. Angka penemuan kasus 71% dan angka keberhasilan pengobatan sebesar 88,44%. Angka tersebut telah memenuhi target global yaitu angka penemuan kasus 70% dan keberhasilan pengobatan 85%12.

C. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi pedoman program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan diperkenalkan pada bulan Februari 2006 dan direvisi 2009 serta dilaksanakan di Indonesia14. Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi, masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang memiliki penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap tuberkulosis. ISTC sendiri memfasilitasi pada masyarakat bagaimana melayani pasien dengan hasil sputum positif maupun negatif tuberkulosis, dan tuberkulosis ekstrapulmoner akibat MDR-tuberkulosis, tuberkulosis dengan kombinasi infeksi HIV dan faktor komorbid lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit tuberkulosis dan menjaga kesehatan masyarakat15. Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis antara lain adalah : 1. Kemiskinan yang banyak terjadi pada negara berkembang 2. Kegagalan program tuberkulosis selama ini. Hal ini diakibatkan oleh : a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan b. Tidak memadainya organisasi pelayanan tuberkulosis (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak

standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, sebagainya). c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis) d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG. e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat. pencatatan dan pelaporan yang standar, dan

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. 4. Dampak pandemi HIV8. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) terdiri dari 21 standar yaitu 6 standard untuk diagnosis, 7 standard untuk pengobatan, 4 standard untuk penanganan tuberkulosis-HIV dan 4 standard yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 21 standar tersebut adalah14: i. Standard Untuk Diagnosis 1. Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis14. 2. Semua pasien yang diduga penderita tuberkulosis paru (dewasa, remaja dan anak-anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis minimal 2 kali di lab yang kualitasnya terjamin. Bila memungkinkan minimal satu kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari14. 3. Semua pasien yang diduga tenderita tuberkulosis ekstraparu ( dewasa, remaja dan anak ) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi14. 4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah tuberkulosis harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi14. 5. Diagnosis tuberkulosis paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3(2) kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan tuberkulosis, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tuberkulosis sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien dengan atau di duga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan

dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah tuberkulosis, pengobatan harus dimulai14. 6. Pada anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (paru, pleura, KGB hilus/mediastinal) sesuai dengan tuberkulosis dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang
14

berasal

dari

batuk,

bilasan

lambung

atau

induksisputum .

ii.

Standard Untuk Pengobatan 7. Setiap petugas yang mengobati pasien tuberkulosis dianggap

menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai14. 8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan panduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitasnya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed Dosed Combination (FDC) yang terdiri dari dua obat yaitu INH dan rifampisin ,yang terdiri dari tiga obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari empat obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan

dengan pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV14. 9. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing-masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO (untuk tuberkulosis dan jika memungkinkan untuk HIV) yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan14. 10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien tuberkulosis paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan kelima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan kelima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilai respons terapi pada pasien tuberkulosis paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis.Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading) 14.

iii.

Standard Untuk Penanganan Tuberkulosis-HIV

11. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien. Uji sensivitas obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimilkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengendalian infeksi yang memadai dilakukan

sesuai tempat pelayanan14. Faktor terkuat yang berhubungan dengan resistensi obat adalah pengobatan anti tuberculosis sebelumnya, Pasien yang mengalami resisitensi obat 4 kali lebih tinggi, dan pasien yang mengalami MDR 10 kali lebih tinggi pada pasien yang telah menjalani perawatan sebelumnya daripada pasien yang belum menjalani perawatan15 . Faktor risiko terjadinya resistensi Kegagalan regimen pengobatan ulang Keterangan Pasien dengan apusan dahak positif setelah mendapatkan pengobatan ulang, memiliki kemungkinan tertinggi untuk terjadi MDR, hingga lebih dari 80% Penelitian menunjukan angka kejadian MDR tuberkulosis yang tinggi terjadi pada orang yang memiliki kontak erat dengan pasien MDR tuberkulosis Pasien yang apusan dahaknya tetap positif setelah pengobatan, kemungkinan mengalami resistensi obat Pasien yang mengalami relaps dicurigai terinfeksi orgainsme yang resisten Pasien yang tinggal di tempat penampungan, penjara, petugas kesehatan di klinik, laboratorium, maupun rumah sakit, memiliki risiko untuk terkena tuberkulosis resisten obat tuberkulosis dengan resistensi obat pada beberapa tempat di dunia, dengan drug suscepbility testing rutin pada kasus baru

Kontak erat dengan pasien tuberkulosis yang mengalami resistensi obat

Kegagalan pengobatan fase inisial

Relaps setelah pengobatan yang sepertinya berhasil Paparan pada tempat dengan kejadian tuberkulosis resisten obat, atau tempat degan prevalensi tuberkulosis resisten obat Tinggal di daerah dengan prevalensi tuberkulosis resisten obat tinggi

Tabel 13. perkiraan risiko untuk terjadinya resistensi obat15 12. Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR)

seharusnya diobati dengan panduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Panduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setalah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR tuberkulosis harus dilakukan14. Tiga strategi untuk mengatasi MDR/XDR tuberkulosis yang saat ini direkomendasikan adalah Regimen terstandar, regimen empiric, dan regimen individual. Regimen terstandar didasarkan pada data survey resistensi atau data penggunaan obat di suatu wilayah. Regimen empiric adalah pengobatan yang biasa digunakan selagi hasil tes sensitivitas belum keluar. Regimen individual, berdasar pada hasil uji sensitivitas, penggunaan obat sebelumnya dan pola penggunaan obat secara local, regimen ini memiliki keuntungan menghindarkan pasien dari toksisitas dan mahalnya obat untuk menanggulangi strain MDR15. 13. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons

bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien14. Pada pasien putus obat kemudian kembali menjalani pengobatan atau pada pasien ang relaps setelah selesai pengobatan, sangat penting untuk melihat catatan medik sebelumnya untuk menilai kemungkinan terjadinya resistensi obat15.

iv.

Standar Untuk Penanganan Infeksi HIV Dan Kondisi Komorbid Lain 14. Uji HIV dan konseling harus dirokemendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam polulasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV, dan

pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi yang tinggi pendekatan yang terintegrasi

direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi14. Infeksi HIV meningkatkan progresi infeksi M. tuberculosis dan mengubah manifestasi klinis dari penyakit15. 15. Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral, seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimana pun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya juga diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya14. Konsultasi dengan ahli HIV diperlukan dalam manajemen tuberkulosis-HIV. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV perlu

mendapatkan pengobatan kotrimoksazol sebagai profilaksis dari infeksi lain. Beberapa penelitian menunjukan manfaat profilaksis kotrioksazol dan ini merupakan bagian dari manajemen tuberkulosis-HIV WHO15. 16. Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif diobati sebagai pasien terinfeksi selama 6-9 bulan14 17. Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes mellitus. Program berhenti merokok, dan layanan pendukung

psikososial lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan14. v. Standar Untuk Kesehatan Masyarakat 18. Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas

penyelidikan kontak didasarkan pada kecendrungan bahwa kontak : menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis; berisiko tinggi menderita tuberkulosis berat jika terinfeksi; berisiko menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang dan berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien. Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah : Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis Anak berusisa <5 tahun Kontak yang menderita atau diduga menderita

imunokompromais, khususnya infeksi HIV Kontak dengan pasien MDR/XDR tuberkulosis. Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah14 19. Anak berusia <5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid14. 20. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien, yang menderita atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai14. 21. Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor Dinas kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku14.

BAB III PENUTUP

Simpulan 1. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi1. 2. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. 3. Pengobatan mencegah tuberkulosis kematian, bertujuan untuk menyembuhkan memutuskan pasien, rantai

mencegah

kekambuhan,

penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) 4. Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tuberkulosis) adalah Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. tuberculosis) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. 5. DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Minum Obat (PMO). 6. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi pedoman program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO terdiri dari 21 standar yaitu 6 standard untuk diagnosis, 7 standard untuk pengobatan, 4 standard untuk penanganan tuberkulosis-HIV dan 4 standard yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, A,.(ed). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. p: 472

2. Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.K., dan Setiati S (eds). 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 988-1000. 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika.
4. Jusuf M, Winariani, Slamet Hariadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. FK Unair 5. Benjamin Taragin, M.D. Tuberculosis, Advanced - Chest X-rays Image. http://healthguide.howstuffworks.com/tuberculosis-advanced-chest-x-rayspicture.html. 30 Desember 2010 6. Anonim. Pulmonary tuberculosis. http://health.allrefer.com/health/pulmonary-tuberculosis-pulmonary-nodulefront-view-chest-x-ray.html. 30 Desember 2010 7. Astowo P. 2007. Kumpulan Makalah Kuliah Ilmu Penyakit Paru.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
9. Daniel Marapatna, dkk. 2007. Tuberkulosis Update-IV. Surabaya

10. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta, 2006. 11. The Stop Tuberkulosis Strategy: Building on and enhancing DOTS to meet the Tuberkulosis-related Millenium Development Goals. WHO, 2006. 12. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/867-selamatkankeluarga-dari-tuberkulosis.html. 29 Desember 2010.

13. Permatasari, A. Pemberantasan Penyakit Paru dan Strategi DOTS. USU

Repository, 2005.
14. Martini, T. 2010. Standar Internasional Untuk Penanggulangan TB. Proseding dalam symposium TB Update 2010. Diakses dari

http://dokteraep.blogspot.com/2010/05/standar-internasional-untuk_28.html. (29 Desember 2010) 15. TBCTA. 2009. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) 2nd Edition. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. The Hauge. 16. International Standards For Tuberculosis Care 2nd Edition. 2009.

www.istcweb.org.

Anda mungkin juga menyukai