Anda di halaman 1dari 2

Apa yang disebut pidana bersyarat ataupun apa yang oleh para praktisi lama di tanah air juga

sering disebut sebagai hukuman percobaan itu berasal dari perkataan voorwaardelijke veroordeling, yang sebenarnya adalah lebih baik apabila perkataan tersebut diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat. Akan tetapi perkataan pemidanaan bersyarat itu sendiri sebenarnya adalah juga kurang tepat, karena dapat memberikan kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaanya atau penjatuhan dari pidananya, padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Hanya untuk mudahnya sajalah, perkataan pidana bersyarat itu akan dipergunakan di dalam tulisan ini, dengan perngertian bahwa perkataan tersebut harus diartikan sebagai suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan di dalam putusannya. Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah pidana bersyarat di dalam pasal-pasal 14a 14f KUHP itu telah ditambahkan ke dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dengan Staatsblad tahun 1926 Nomor 251 jo. Nomor 486 dan mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1927. Pidana bersyarat itu telah dua belas tahun lebih dahulu dimasukkan ke dalam Wetboek van Strafrecht di negeri Belanda, yakni dengan Staatsblad tahun 1915 nomor 247. Di dalam rencana undang-undang, yang kemudian telah menjadi Undang-Undang tanggal 12 Juni 1915, Staatsblad tahun 1915 nomor 247 termaksud di atas, para perencananya telah menggunakan perkataan voorwaardelijke strafopschorting yang artinya penangguhan pidana bersyarat, yang menurut hemat penulis adalah lebih tepat dari perkataan voorwaardelijke veroordeling yang kemudian telah dipakai di dalam undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen.

Di dalam putusan hakim yang telah menjatuhkan suatu pidana bersyarat bagi seseorang terpidana itu, harus dicantumkan alasan-alasan yang dipakai oleh hakim untuk mempertimbangkan bahwa bagi seorang terpidana itu oleh hakim telah dipandang cukup untuk dijatuhkan suatu pidana bersyaratkarena tindak pidana yang telah ia lakukan. Sistem penjatuhan pidana bersyarat di negeri Belanda itu mengingatkan kita pada system penjatuhan pidana bersyarat di Perancis sesuai dengan undang-undang tahun 1891 yang berlaku di sana, di mana hakim itu tidak perlu menentukan kesalahan dari terpidana akan

tetapi secara langsung menjatuhkan suatu pidana dengan perintah untuk menangguhkan eksekusi dari pidana tersebut secara bersyarat. Walaupun tidak sepenuhnya sama, system penjatuhan pidana bersyarat yang kita anut di Indonesia ini adalah mirip dengan system penjatuhan pidana bersyarat yang dianut orang di Inggris sesuai dengan undang-undang tahun 1850 yang berlaku di sana, bahwa di dalam conviction atau di dalam penjatuhan pidana itu hakim di samping menentukan syarat-syarat umum yang mengharuskan terpidana untuk tidak melakukan sesuatu tindak pidana selama masa percobaan, juga menentukan syarat-syarat khusus antara lain yang mengenai siapa yang harus bertindak sebagai leider atau sebagai penunjuk jalan agar terpidana itu dapat memperbaiki kelakuannya selama berlakunya masa percobaan yang telah ditentukan oleh hakim. Pada penjatuhan pidana bersyarat itu, hakim selalu harus menetapkan sebagai suatu syarat umum, yaitu bahwa selama berlakunya masa percobaan yang telah ditentukan oleh hakim, terpidana sama sekali tidak boleh melakukan sesuatu tindakan yang menurut sifatnya adalah terlarang. Di samping menetapkan suatu syarat umum seperti itu, hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh terpidana. Undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasannya tentang syarat-syarat khusus yang bagaiman yang dapat ditetapkan oleh hakim, kecuali hanya mengatakan bahwa syaratsyarat seperti itu tidak boleh membatasi kebebasan terpidana untuk melakukan kegiatankegiatan yang sah menurut ketatanegaraan (Pasal 14c ayat (3) KUHP).

Anda mungkin juga menyukai