BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009
Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor Editor Bahasa Penulis
Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035
Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570
: Kuntoro Mangkusubroto : Iqbal Faraby Saifullah Abdulgani : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) : Suhardi Soedjono : Saifullah Abdulgani
: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Priscilla Astrini
Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Linda Hollands : Margaret Agusta : T. Sima Gunawan Narottama Notosusanto
Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project
ISBN 9786028199438
Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.
Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009
Bertempat di halaman Kantor Gubernur Provinsi NAD di Banda Aceh, pada 4 Desember 2006, Pejabat Gubernur saat itu, Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M. Si., menerima secara simbolis bantuan operasional pemerintahan untuk tingkat provinsi hingga desa. Bantuan dari Satker BRR Peningkatan Penataan Kapasitas Kelembagaan NADNias itu antara lain mencakup pula kendaraan roda dua. Foto: Oni Imelva
Daftar Isi
Pendahuluan Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan Bencana
Tsunami Datang, Wali Kota Hilang Corengmoreng Wajah Aceh
viii 1
1 5
11
12 17 19 20
Penguatan Kelembagaan Pemerintah Daerah Penguatan Kelembagaan Hukum Penguatan Kapasitas Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat (K3M) Waspada Terlambat, SPADA Terhambat Suplemen Birokrasi Bermerek Asistensi Satuan Kerja Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Program Legislasi Aceh Membangun Daulat Lembaga Adat Hukum Acara di Negeri Syariah Menjaring Pejabat Gaya Calang Sentuhan Teknologi Informasi di Gedung Dewan Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Melatih Lidah Menuju Inggris Wawasan Luas untuk Para Jurnalis
23
24 28 32 36 46 49 52 53 56 56 59 60 61 62
45
65 70 71
viii
Pendahuluan
SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.
Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada
Pendahuluan
ix
partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku Meletakkan Fondasi Penata Kelola ini mengetengahkan upayaupaya yang ditempuh untuk membangun dan memperkokoh fundamen pelayanan masyarakat, yaitu aparatur pemerintah daerah (Pemda), yang pada awal bencana sempat lumpuh total. Sejumlah dukungan pengimplementasiannya, tak terkecuali dari pihak donor, dicurahkan segera. Belakangan, sehubungan dengan pemantauan proses transisi serta pengelolaan aset Pemulihan pascaBRR, kemampuan aparatur berserta kelembagaannya yang kuat, mutlak dibutuhkan. Pada sisi lain, dengan kapasitas fiskal daerah yang semakin menguat, marak tuntutan dari masyarakat agar Pemda, kapasitasnya semakin siap, mandiri, dan berintegritas tinggi. Oleh karena itu, sudah barang tentu, penguatan kelembagaan dan aparatur Pemda menjadi sebuah fundamen pokok bagi, dan di sepanjang, laju kesinambungan pembangunan di Aceh dan Nias.
Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
635.384 127.720
orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh
rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur
rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun
1.927 39.663
13.828 7.109
1.089 3.781
2.618 3.696
3.415 1.759
sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak
517 1.115
669 996
119 363 22 23
8 13
BUMI terguncang keras pada 26 Desember 2004. Namun gempa tak membuat
Penjabat (Pj.) Wali Kota Banda Aceh Syarifuddin Latief beranjak dari Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Ia masih setia menunggu acara penyerahan piala bagi pemenang Lomba Lari Maraton 10 Kilometer yang digelar Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sedianya dialah yang akan menyerahkan langsung piala itu kepada para pemenang. Syarifuddin tak ambil pusing ketika beberapa atlet berbalik arah dan mengabaikan rute yang ditentukan. Satu hal yang belum diaseperti juga yang lainsadari, gempa itu adalah awal dari sebuah tragedi besar yang menguras air mata dunia. Syarifuddin baru terkesiap setelah melihat ribuan orang berlarian tak terkendali dari arah Pantai Ulee Lheue. Mereka berteriak, Air laut naik, air laut naik, air laut naik! sambil menunjuk ke langit bagian barat Kota Banda Aceh. Syarifuddin menoleh dan melihat ombak setinggi pohon kelapa bergulunggulung ke arahnya. Dia berlari sekuat tenaga. Tetapi, nahas, gelombang yang kecepatannya mencapai 300 kilometer per jam itu lebih sigap menyergap dan memintal tubuhnya. Kisah selanjutnya, orang nomor satu di jajaran pemerintahan Kota Banda Aceh ini hilang terbenam lumpur dan puing tsunami.
Puingpuing sisa bangunan Gedung Keuangan Negara di Banda Aceh sedang dibersihkan, 17 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi
Pada hari ke10 setelah bencana, Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur NAD Azwar Abubakar menggelar apel perdana di halaman Kantor Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi NAD. Apel terpusat yang semestinya menjadi apel akbar itu hanya dihadiri 20 persen pegawai negeri sipil (PNS). Padahal di Setda NAD saja tercatat ada 7.110 PNS. Semua yang hadir terenyak. Apalagi tidak ada berita tentang nasib para pegawai yang tidak muncul di apel perdana pascabencana. Semua kepala menyimpan tanya: apakah mereka tewas, hilang, atau mengalami trauma berat sehingga tak menampakkan diri? Lebih miris lagi, menurut Detiknews, 4 Januari 2005, sebanyak 21 bupati/wali kota juga tidak diketahui kabar beritanya. Belakangan tersiar kabar, ternyata korban gelombang dahsyat itu bukan hanya Wali Kota Banda Aceh. Nasib serupa juga menimpa Bupati Nagan Raya, Bupati Aceh Barat, serta sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NAD dan anggota DPRD kabupaten/kota di NAD. Di lingkungan Setda Provinsi NAD, ada tiga pejabat eselon II yang meninggal, 31 orang eselon III, dan 125 pejabat eselon IV. Jumlah aparatur pemerintah yang tewas pada Minggu kelabu itu mencapai 2.992 orang, sementara 2.274 orang dilaporkan hilang. Di kabupaten/kota, korban aparatur negara terbanyak berada di daerahdaerah yang terkena hantaman langsung gelombang tsunami, seperti Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Kota Banda Aceh. Selain pegawai Pemerintah Daerah (Pemda), aparatur pemerintah di sejumlah instansi vertikal seperti Badan Pertanahan Nasional, Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tak luput dari serbuan tsunami.
Tabel 1.1. Korban Aparatur Pemerintah Daerah dan Instansi Vertikal di NAD yang Hilang atau Meninggal
Instansi/Daerah Polri TNI Kejaksaan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Jaya Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Aceh Besar
Kota Banda Aceh
Meninggal 170 63
Hilangnya jajaran pemimpin daerah dan ribuan aparatur Pemda menyebabkan koordinasi penanganan pascabencana di masa awal sangat sulit. Aparatur pemerintah yang selamat tentu saja masih banyak, tetapi mereka berada dalam kondisi tak berdaya sama sekali. Banyak PNS bersama keluarganya terpaksa hidup di tendatenda darurat dan mengalami trauma berat akibat kehilangan sanak keluarga, tempat tinggal, dan seluruh harta benda. Akibatnya, boleh dikatakan, tak ada yang menangani pelayanan publik. Aceh mendadak jadi negeri antahberantah bersimbah lumpur dengan banyak bangunan hancur dan jasad berserakan di antara isak tangis para korban yang selamat. Kondisi mengenaskan itu dengan sangat cepat disikapi Pemerintah Pusat. Harus ada yang mengatur pemerintahan agar Aceh tidak menjadi wilayah tak bertuan, kata Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Siti Nurbaya, selaku Ketua Tim Pengendali Pusat Depdagri untuk Bencana Aceh, seperti dikutip Detiknews, 4 Januari 2005. Pemerintah Pusat lantas mengerahkan 74 pejabat eselon IIV Depdagri, 307 pegawai, dan 352 nindya praja ke Aceh untuk memutar kembali roda birokrasi. Mereka ditugasi di kantor gubernur, DPRD, kabupaten/kota, kecamatan, dan desadesa, agar masyarakat dapat terlayani.
Kesibukan seharihari di kantor sementara Pemda Kabupaten Aceh Jaya di Calang, 5 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi
Tabel 1.2. Sarana dan Prasarana Pemerintahan yang Rusak Akibat Tsunami 26 Desember 2004
No.
Jenis
A. Bidang Pemerintahan 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Rumah Dinas Kepala Daerah Kantor Dinas/Badan Kantor Camat Kantor Desa/Lurah Kantor Jaksa Rumah Dinas Jaksa Kendaraan Jaksa Kendaraan Jaksa Kantor Depkum Rutan/Lapas Rumah Dinas Depkum Barak Depkum Kendaraan Depkum Kendaraan Depkum Kantor Pengadilan PN/PTUN Mahkamah Syariah Kendaraan Mahkamah Syariah Kendaraan Mahkamah Syariah Rumah Dinas Pengadilan Kendaraan Pengadilan Kendaraan Pengadilan Roda 2 Roda 4 Roda 2 Roda 4 Roda 2 Roda 4 Roda 2 Roda 4
B . Bidang Hukum
38 15 3 8 59 19 8 10 18 12 6 33 18 178 25 33
Penyebaran aparatur tersebut sangat tepat, karena 50 persen kecamatan lumpuh dan batasbatas administrasi pedesaan sudah tak tampak lagi. Mereka terpaksa bekerja di tempat darurat, seperti rumah penduduk dan sekolah, atau dengan cara menggelar tendatenda darurat, agar masyarakat yang membutuhkan bantuan dapat segera terlayani meski dalam kondisi minimal.
Dalam tiga bulan pertama masa tanggap darurat, pelayanan publik dari Pemda praktis lumpuh. Ketika Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (BRR) resmi berdiri pada 16 April 2005, kondisi stagnasi pelayanan pemerintahan masih sangat terasa. Pemerintahan daerah dikendalikan sepenuhnya oleh Plt. Gubernur NAD Azwar Abubakar. Sedangkan Gubernur NAD Abdullah Puteh sedang mendekam di hotel prodeo Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, karena kasus korupsi. BRR lantas mengambil alih koordinasi dan mulai membenahi kembali semua lini pemerintahan. BRR berkoordinasi dengan Plt. Gubernur NAD untuk menata kembali pemerintahan berdasarkan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Upaya pemulihan pun dilakukan dengan mengangkat pegawai baru di lingkungan Pemda untuk mengisi kekosongan aparatur yang meninggal atau hilang; mengganti peralatan kantor, sarana, dan prasarana yang lenyap; membenahi administrasi kependudukan warga masyarakat; serta mulai menyusun rencana untuk membangun kembali lembagalembaga pemerintahan daerah dan kantorkantor instansi vertikal yang hancur.
Tsunami tidak hanya menjemput ajal ribuan pegawai, tetapi juga menghancurkan semua bangunan di sepanjang 800 kilometer garis pantai Aceh. Kondisi paling parah dialami Kabupaten Aceh Jaya, dengan tingkat kerusakan mencapai 85 persen, kemudian disusul Kabupaten Aceh Besar (80%), Banda Aceh (75%), dan Kabupaten Aceh Barat (60%). Tak kurang dari 940 unit bangunan kantor dan 238 unit kendaraan berbagai dinas atau lembaga vertikal bidang kelembagaan, hukum, serta keamanan, ketertiban, dan ketahanan masyarakat musnah tersapu tsunami.
Tingkat kemiskinan di Aceh sebelum dilanda tsunami mencapai 28,4 persen dari total jumlah penduduk sebanyak 4 juta orang. Angka kemiskinan ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan angka kemiskinan ratarata nasional, yang mencapai angka 16,69 persen menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2008. Sementara itu, Bappenas menggolongkan 16 kabupaten di Aceh sebagai daerah tertinggalkecuali Kota Madya Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, dan Kota Madya Langsa. Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh, sebesar 69, berada di bawah IPM nasional, yang mencapai 69,6. IPM terendah tercatat di pesisir barat dan bagian tengah, yaitu Kabupaten Simeulue (65,2), Gayo Lues (66,1), Nagan Raya (66,3), Aceh Singkil (66,5), Aceh Jaya (66,8), Aceh Barat Daya (66,9), dan Bener Meriah (67,4). Wilayah Aceh bagian tengah menjadi kurang makmur dibandingkan dengan daerah pesisir utara karena keterisolasian kawasan itu dari berbagai jaringan akses dengan dunia luar.
Prov. Sultengg.
Prov. Gorontalo
Prov. Bengkulu
Prov. Sulsel
Prov. Jambi
Prov. Riau
Prov. NTT
Prov. Sumsel
Prov. Sumbar
Prov. maluku
Prov. Lampung
Prov. Sulteng
Prov. Kalteng
Prov. Jakarta
Prov. Papua
Rata-Rata
Prov. Banten
Prov. Kalbar
Prov. Sumut
Prov. Kaltim
Prov. Kalsel
Prov. BALI
Prov. NAD
Prov. NTB
DIY
Peta kemiskinan di Aceh berubah menjadi lebih buruk pascatsunami. Sebelumnya, Aceh tercatat sebagai daerah dengan penduduk miskin terbanyak di Indonesia setelah Provinsi Gorontalo, Maluku, dan Papua. Tsunami mendongkrak jumlah penduduk miskin sekitar tujuh persen dan menjadikan Aceh hanya unggul satu tingkat di atas Provinsi Papua. Grafik 1.1 memperlihatkan, tanpa bencana pun, tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh jauh di bawah ratarata nasional. Kondisi masyarakat Aceh sebelum ditimpa bencana kontradiktif dengan penerimaan daerah NAD yang jauh di atas ratarata nasional. Pada 2004, Aceh memiliki sumber dana penerimaan daerah yang relatif melimpah dibandingkan dengan daerahdaerah lain di Indonesia. Grafik 1.2 menggambarkan penerimaan daerah Aceh berada pada urutan ketiga terbesar, setelah Kalimantan Timur dan Provinsi Papua. Tampak ketimpangan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Di satu sisi Aceh memiliki sumber penerimaan daerah nomor tiga terbesar di Indonesia, tetapi di sisi lain Aceh berada di urutan keempat daerah termiskin di negeri ini. Situasi konflik menjadi alasan paling relevan dan masuk akal sebagai kambing hitam ketimpangan itu. Tetapi fakta lain menunjukkan, ada yang salah dalam praktik pengelolaan pemerintahan di Aceh.
Gedung Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, 5 Maret 2008, tampak berdiri megah dan siap dioperasikan. Foto: BRR/Arif Ariadi
Kaltim
Kalsel
Bengkulu
Sumut
Jambi
Gorontalo
Lampung
Kalteng
Sulsel
NAD
Sumsel
Jateng
Papua
Sumbar
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Maluku
Sulteng
Anggaran daerah yang melimpah lebih banyak dipakai buat belanja operasional aparatur pemerintah daripada untuk pembiayaan pembangunan bagi kepentingan pelayanan publik. Bila dilihat kecenderungan pada grafik 1.3, pembiayaan operasional aparatur pemerintah terus meningkat sejak 2001, sementara belanja pembangunan infrastruktur menurun sejak tahun sebelumnya. Bahkan biaya pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial tak pernah mencapai 20 persen dari anggaran yang dimiliki setelah dipangkas pada tahun 2000. Pembiayaan sektor pendidikan sempat naik pada 2001, tetapi melorot lagi dan menjadi landai pada tahuntahun selanjutnya. Tata kelola pemerintahan dengan pola besar pasak daripada tiang itulah yang tampaknya juga membuat tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh sangat rendah. Analisis makro seperti ini kemudian memicu kesadaran bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi bidang kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan BRR tidak hanya sekadar membangun kembali bangunan yang hancur, memperbaiki kantor yang rusak, dan melengkapinya dengan peralatan kerja. Penguatan kapasitas kelembagaan harus dilaksanakan secara menyeluruh. Yang sangat penting adalah merekonstruksi paradigma dan kemampuan aparatur Pemda dengan berbagai program pemberdayaan (capacity building). Programprogram pemberdayaan harus diberikan ke berbagai unsur yang terkait dengan pembangunan daerah, yaitu anggota DPRDsekarang dikenal sebagai Dewan
Banten
Sulut
Jabar
BALI
NTT
Jatim
Riau
NTB
60
50
40
30
20
10
1999
2000
Aparat Pemerintah Infrastruktur
2001
2002
Lain-lain
2003
2004
2005
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)pejabat daerah, dan aparatur pemerintah di tingkat operasional pembangunan. Tak ketinggalan pula, kapasitas aparat penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, sangat penting ditingkatkan. BRR berangan, saat tugas empat tahunnya selesai, proses perencanaan pembangunan daerah bisa menjadi lebih baik, sidangsidang persetujuan di dewan lebih lancar, pelaksanaan pembangunan tepat sasaran, dan pertanggungjawaban anggaran pembangunan memenuhi standar akuntabilitas keuangan negara. Tujuan idealnya: membangun sistem kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah yang profesional, transparan, dan akuntabel, serta memenuhi standar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dan tanggung jawab yang tidak mudah ini diemban Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM.
Grafik 1.3. Tren Pembiayaan Pembangunan Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Nanggroe Aceh Darussalam
11
Gambar 2.1. Irisan Mandat Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM di Antara Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha, dan Kedeputian Bidang Agama, Ssosial, dan, Budaya, dan Kedeputian Pendidikan, Kesehatan, dan Peran Perempuan
Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha Deputi Bidang Kelembagaan dan pengembangan SDM
DUNIA USAHA
MASYARAKAT
Deputi Bidang Agama, Sosial dan Kebudayaan Deputi Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Peran Perempuan
PEMERINTAHAN
Perpres Nomor 76 Tahun 2006 Pasal 10 Deputi Bidang Kelembagaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia mempunyai tugas membantu Kepala Badan Pelaksana dalam kegiatan Rehabiliotasi dan Rekonstruksi di Bidang Kelebagaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
12
REHABILITASI
Gap Filling Memfungsikan kembali
Pengelolaan Kesinambungan
2005
2006
2009
Sumber: Renaksi Kelembagaan 20052008
Selain itu, dinamika organisasi di lingkungan internal BRR sangat progresif, sesuai dengan tuntutan medan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi. Penguatan kapasitas kelembagaan dan pengembangan SDM tidak saja dilaksanakan oleh Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM, tetapi juga oleh kedeputian bidang lain. Alhasil, diperlukan irisanirisan kegiatan yang tegas untuk saling melengkapi dan menghindari terjadinya tumpangtindih. Gambar 2.1 menunjukkan irisan kegiatan kelembagaan di antara ketiga kedeputian lain. Ditambah lagi, peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan pengembangan SDM di NAD tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus secara komprehensif, yang meliputi penguatan kelembagaan, penguatan organisasi, dan penguatan SDM yang mencakup pengetahuan, praktik, sikap, dan budaya. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, mandat Rencana Induk di bidang kelembagaan diurai kembali dengan penekanan pada tiga pilar utama, yaitu penguatan kelembagaan daerah, penguatan kelembagaan hukum, serta penguatan kapasitas keamanan, ketertiban, dan ketahanan masyarakat. Setiap pilar memiliki sasaran pemulihan masingmasing seperti tampak pada Gambar 2.2.
1. Memperkuat pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik 2. Mengembangkan ruang publik yang dinamis dengan melibatkan semua stakeholder dalam proses pembangunan 3. Membangun dan memulikhkan kembali infrastruktur pemerintahan
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Undangundang ini mengubah banyak hal tentang struktur pemerintahan lokal dan memunculkan pemimpinpemimpin baru di Aceh dari jalur nonpartisan.
Gambar 2.2. Tiga Pilar Sasaran Pemulihan Kelembagaan dan Pengembangan SDM
13
14
Kantor Desa Baitussalam, Aceh Besar, 10 Oktober 2006, segera setelah dibangun, langsung dimanfaatkan sebagai ruang pelatihan peningkatan kapasitas warga nelayan setempat. Foto: Ira Damayanti
batasbatas tertentu, perangkat dan simbolsimbol adat, hakhak pemilikan dan penguasaan atas suatu sumber daya dan prasarana, serta tatanan sosial khusus lokal. Kebijakan di tingkat meukim kian penting dilaksanakan setelah UUPA digulirkan. Aturan hukum ini memberikan ruang kekuasaan satu tingkat di bawah kecamatan kepada seorang kepala meukim yang membawahkan beberapa gampongkonsep desa yang digunakan di Aceh. Pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan di tingkat meukim dan gampong mengharuskan BRR memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana kelembagaan sesuai dengan kebutuhan pelayanan publik di tingkat tersebut. Selain itu, perlu ditingkatkan kerja sama antardaerah, penataan legislasi tentang desentralisasi dan otonomi daerah, penataan administrasi kependudukan, pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, penyempurnaan dan penguatan kelembagaan demokratis, pengelolaan pertanahan, serta pengelolaan SDM aparatur pemerintah.
Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana
15
16
Gerbang berarsitektur khas Aceh melatardepani Markas Kepolisian Daerah NAD, Banda Aceh, 9 Juli 2008, yang kini telah beroperasi penuh. Foto: BRR/Arif Ariadi
17
18
Konferensi Penguatan Kelembagaan Pemerintah Daerah Aceh digelar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 13 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi
Memang, BRR bukanlah lembaga super yang mampu melaksanakan semuanya sendiri secara sempurna. Apalagi kalau sudah menyangkut dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Kemampuan Pemerintah Indonesia untuk mendanai pemulihan AcehNias pascabencana sangat terbatas. Diperkirakan kebutuhan anggaran mencapai US$ 7,1 miliar, sementara Pemerintah hanya punya sekitar Rp 21 triliun. Defisit anggaran itu ditutup dengan berbagai upaya menggalang bantuan para donor, mitra dari LSM, dan komunitas internasional. Hasilnya mencengangkan! Dari komitmen bantuan semua pelaku rekonstruksi sebesar US$ 7,2 miliar, 93 persen telah direalisasi dan digunakan untuk membangun kembali AcehNias menjadi lebih baik. Tercatat setidaknya 291 lembaga donor dari dalam dan luar negeri menyalurkan bantuan melalui 215 lembaga mitra pemulihan di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan SDM. Total komitmen bantuan sekitar US$ 310.089.049. Hingga akhir Desember 2008, komitmen yang telah cair mencapai US$ 262.357.598. Sisanya akan dilanjutkan realisasinya hingga 2012 dalam jalinan kerja sama dengan Pemda dan kementerian/lembaga (K/L). Selain dengan para mitra internasional dan LSM, BRR menjalin koordinasi intensif dengan berbagai instansi pemerintah terkait. Untuk penguatan kelembagaan pemerintah daerah, BRR bekerja sama dengan Pemda, Depdagri, Departemen Pekerjaan Umum, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Negara, Bappenas, Lembaga Administrasi Negara, dan Badan Pertanahan Nasional.
Sedangkan untuk penguatan kelembagaan hukum, BRR didukung Pemda, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Syariah NAD, Pengadilan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Lalu, untuk penguatan kapasitas K3M, BRR ditunjang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Departemen Komunikasi dan Informatika.
19
20
Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menyimak aspirasi seorang camat di tengah acara musyawarah perdana dengan sejumlah kepala desa atau geuchik di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh, 20 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi
Kondisi tersebut tak layak dipertahankan, apalagi BRR mulai menuai kritik tajam karena dipandang lamban dalam merespons kebutuhan para korban bencana. Kritik itu mulai mengemuka dalam diskusi publik yang digelar di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh, pada 1 Oktober 2005. Disarankan agar Satker menjadi bagian Badan Pelaksana BRR. Maka BRR pun menyelami peran eksekusi terhadap programprogram pemulihan, tak terkecuali di bidang kelembagaan dan pengembangan SDM.
BRR, yang sedang bergiat membangun kembali di tengah pusaran politik yang sangat dinamis tersebut, tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari kemeriahan pesta demokrasi itu. Keterlibatan BRR bersifat apolitis, hanya sebatas mendukung terlaksananya pilkada damai, yang antara lain diwujudkan melalui percepatan proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) agar masyarakat dapat menggunakan hak pilih mereka. Kegiatankegiatan BRR seputar pilkada ini tak terpisahkan dari tugasnya menguatkan kapasitas Pemda. Pilkada yang berlangsung damai ini melahirkan duet pemimpin NAD, yakni Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Setelah Gubernur NAD yang baru dilantik, proses pemilihan bupati/wali kota berlangsung maraton, hampir sepanjang 2006. Proses ini sangat melelahkan, menguras energi dan pemikiran semua komponen yang terlibat, termasuk aparatur Pemda. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Setelah pesta demokrasi usai, BRR menghadapi masalah baru menyangkut koordinasi. Mekanisme koordinasi antara BRR dan Pemda menjadi penuh warna. Pasalnya, pergantian kepala daerah selalu diikuti rotasi pejabat daerah dengan alasan penyegaran. Komitmenkomitmen yang telah disepakati dalam koordinasi dengan pejabatpejabat sebelumnya di berbagai instansi daerah sering mentah kembali. Koordinasi harus dimulai lagi dari awal dengan pejabat baru. Tak jarang pejabat daerah sama sekali tidak mengakui komitmen yang telah dibuat pejabat sebelumnya, sehingga timbul sejumlah persoalan teknis. Contohnya pemilihan lokasi sejumlah kantor camat dan kantor meukim. Beberapa Satker Kelembagaan BRR setuju pembangunan kantor camat atau meukim di lokasi yang belum punya jalan akses yang layak, karena ada komitmen jalan tembus akan dianggarkan dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kenyataannya, pejabat yang melanjutkan kepemimpinan daerah tersebut mengabaikan komitmen itu. Alhasil, ada kantor camat atau kantor meukim di tengah rawa sehingga tidak bisa difungsikan. Konsekuensinya, BRR harus membangun jalan masuk supaya kantor yang ada dapat berfungsi optimal. Koordinasi ternyata mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Namun, melalui berbagai strategi pendekatan dan komunikasi, BRR mampu mengembalikan kondisi sejumlah kelembagaan daerah ke kondisi seperti sebelum bencana. Bahkan beberapa instansi tertentu dibangun kembali dengan kondisi lebih baik, seperti gedung Markas Kepolisian Daerah di Lingke, Banda Aceh, dan Gedung Keuangan Negara di Jalan Tgk Chik Di Tiro, Banda Aceh.
15 Agustus 2005, dan lahirnya UUPA, pesta demokrasi pascatsunami tak bisa dihindari. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak digelar di seluruh NAD dan para kandidat dipilih langsung oleh masyarakat. Tongkat kekuasaan di Provinsi NAD beralih ke Pj. Gubernur NAD Mustafa Abubakar, yang diutus Pemerintah Pusat untuk memimpin Aceh.
21
PENGUATAN
Pelatihan dan sosialisasi manajemen antikorupsi dibekalkan bagi para pegawai di lingkungan Pemda Aceh, Banda Aceh, 28 Juni 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi
23
internal. Untuk itu, BRR menjalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti institusi Pemerintah Pusat, para donor, dan LSM yang antusias melakukan kegiatan kemanusiaan. Programprogram pemulihan dan penguatan kapasitas kelembagaan serta pengembangan SDM bersifat komprehensif dan terpadu, dilakukan pada semua tingkat kelembagaan. Meski tidak semua terkena dampak langsung bencana, perlu penataan ulang kelembagaan sesuai dengan semangat membangun kembali menjadi lebih baik dan menjawab kebutuhan masyarakat. Tiga fokus strategi yang ditetapkan BRR dalam bidang kelembagaan dan pengembangan SDM sepanjang 20052006 adalah penguatan kelembagaan pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan, penguatan institusi hukum dalam rangka penegakan hukum yang lebih baik, serta peningkatan partisipasi publik dan peran masyarakat dalam menciptakan keamanan, ketertiban, dan ketahanan. Pada 2007, ketiga fokus strategi itu masih dilanjutkan dengan titik berat pada penguatan institusi Pemda, pembangunan fisik gedung, penyediaan perangkat kerja, dukungan penyusunan sistem dan prosedur organisasi Pemda, serta penambahan kualitas dan kuantitas program peningkatan kapasitas aparatur Pemda dan kelompok masyarakat. Secara umum, programprogram kelembagaan dan pengembangan SDM mengacu pada sasaran dan tujuan Rencana Induk. Tujuan utamanya adalah memulihkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah, serta menciptakan kondisi kondusif bagi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi secara keseluruhan. Semua program didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kecuali program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), atau dikenal sebagai program Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA), yang diterapkan pada 17 kabupaten/kota dan menggunakan dana hibah. Total realisasi dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang kelembagaan dan pengembangan SDM per Desember 2008 Rp 1,2 triliun atau 64 persen dari perkiraan kebutuhan dana yang tercantum dalam Rencana Induk tahun 2005. Minimnya dana yang terserap itu disebabkan oleh efisiensi ketat pada pospos anggaran yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sedangkan untuk program SPADA sampai tahun 2008, telah dilaksanakan 302 paket kegiatan dengan dana sekitar Rp 61,9 miliar.
24
Tabel 3.1. Program dan Kegiatan Kelembagaan Menurut Rencana Induk BRR Bidang Kelembagaan
Program
Kegiatan
Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana
Melakukan penataan dan penyediaan aparatur Pemda, legislatif, pemimpin, dan aparatur Pusat Meningkatkan kemampuan aparatur Pemda dan anggota legislatif dalam proses penyusunan rencana daerah dan pengelolaan keuangan daerah Meningkatkan kemampuan aparatur dalam menghadapi bencana alam dan bencana buatan, melalui pelatihanpelatihan teknis manajerial dan pengembangan sistem deteksi dini Memperbaiki sistem administrasi pemerintahan daerah yang responsif terhadap perubahanperubahan yang tidak terduga (bencana alam dan bencana buatan) Memperbaiki dan menata struktur kelembagaan yang proporsional dan prosedur kerja sesuai dengan tugas pokok, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab, untuk memenuhi standar pelayanan minimum Menciptakan dan meningkatkan koordinasi serta kerja sama antartingkat pemerintahan Merehabilitasi prasarana Pemda yang permanen berdasarkan master plan dan rencana teknis (detail engineering design) Penyediaan sarana dan prasarana lembaga pemerintahan secara permanen Menyediakan sarana kerja Pemda dan perangkat mitigasi bencana untuk mendukung pelayanan publik Memfasilitasi dan mendukung ketersediaan sarana dan prasarana trauma center, sistem kehumasan Pemda, dan forum komunikasi
25
Harus diakui, kegiatan pembangunan kembali sarana dan prasarana lembaga pemerintah dapat langsung dirasakan dan digunakan hasilnya. Sebaliknya, program penguatan kapasitas dan profesionalitas SDM dan aparatur pemerintah yang bersifat
26
Tampak depan Gedung Keuangan Negara di Banda Aceh setelah usai dibangun kembali, Banda Aceh, 26 Juni 2008. Foto: BRR/Chaedeer MSA
dengan anggaran 2008 sebesar Rp 6,2 miliar. Bangunan berlantai tiga senilai Rp 40,7 miliar itu akhirnya diresmikan pengoperasiannya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 24 April 2008. Kini Gedung Keuangan Negara menopang kelancaran seluruh transaksi keuangan berbagai proyek pemerintahan di Aceh.
rencana penyusunan sistem informasi kepegawaian, dan dokumen perencanaan media center Pemda. Program penguatan kelembagaan pemerintah daerah yang lain adalah peningkatan kapasitas SDM aparatur pemerintah. Peningkatan kapasitas ini penting mengingat banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) hilang atau meninggal ketika bencana melanda. Salah satu efek yang paling terasa adalah trauma dan kehilangan kepercayaan diri yang menghinggapi ribuan PNS di Aceh. Serangkaian pelatihan dan bimbingan teknis, termasuk pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), diselenggarakan. Hingga akhir 2008, tercatat sebanyak 26 paket SDM aparatur pemerintahan daerah telah mendapat pelatihan dan bimbingan teknis, dari pelatihan mitigasi bencana, pelatihan perlindungan masyarakat, pengembangan kapasitas aparatur gampong dan kecamatan, bimbingan dokumentasi arsip, hingga pembekalan pelatihan ESQ.
384 dokumen penataan organisasi pemerintah 73 dokumen batas administratif wilayah kabupaten/ kota 900 modul bimbingan teknis 5.000 lebih dokumen dan modul penting lain untuk penataan organisasi dan administrasi organisasi
27
Penyediaan perangkat dan perlengkapan kerja juga menjadi program penting. Sebanyak 256 unit radio komunikasi yang didukung 26 sarana utama telah disediakan untuk pemerintah provinsi dan tujuh pemerintah kabupaten/kota. Adanya jaringan radio komunikasi ini, selain digunakan untuk operasional seharihari, mendukung peningkatan kemampuan pemerintah dalam usaha mitigasi bencana. Di masa depan diharapkan Pemda dan masyarakat Aceh dapat lebih siaga terhadap bencana. Perangkat kerja lain yang cukup penting dan telah disediakan BRR adalah perangkat komputer dan mesin cetak dokumen administrasi warga seperti Kartu tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga. Perangkat ini langsung dipakai untuk menyediakan 1,18 juta lembar KTP dan 970 ribu kartu keluarga untuk warga di 21 kabupaten/ Tsunami telah membawa korban jiwa di kalangan aparatur kota di Aceh. Penyediaan dokumen administrasi kependudukan ini sangat berguna bagi masyarakat Aceh yang kehilangan dokumen identitas dan administrasi akibat bencana atau untuk mengganti KTP Merah Putih yang disahkan sebagai identitas warga selama masa darurat militer akibat konflik internal di Aceh. KTP dan kartu keluarga ini bisa dipakai warga Aceh untuk berbagai keperluan, antara lain menggunakan hak pilih pada pelaksanaan pilkada provinsi dan kabupaten/kota. Proses pembuatan dokumen administrasi kependudukan dilanjutkan oleh dinas Pemda yang terkait.
28
pemerintah. Berkurangnya jumlah dan kualitas sumber daya aparatur pemerintah mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Mau tak mau, Pemda harus merekrut sejumlah PNS baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (Diklat Prajab) bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) merupakan prasyarat pengangkatannya menjadi PNS. Diklat Prajab harus diikuti dan CPNS dinyatakan lulus selambatlambatnya dua tahun setelah diangkat. Merujuk pada peraturan tersebut, Badan Diklat Provinsi NAD harus menyelenggarakan Diklat Prajab kepada 1.584 orang CPNS. Sedangkan anggaran yang tersedia di Badan Diklat Provinsi NAD dari APBD Tahun Anggaran 2006 hanya untuk 134 orang CPNS. Kondisi ini mendorong BRR memberikan bantuan untuk penyelenggaraan Diklat Prajab bagi 7 angkatan CPNS Golongan III dan 11 angkatan CPNS Golongan I dan II. Mereka akan menggantikan para kolega yang meninggal saat tsunami. Bukan tanpa alasan BRR mendukung Diklat Prajab. Badan Diklat Provinsi NAD dan para peserta Diklat Prajab merupakan lembaga dan SDM Pemda Aceh yang perlu diberdayakan. Selain itu, BRR ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memasyarakatkan program good governance serta membuka wawasan dan paradigma baru aparatur Pemda Aceh sesuai dengan UUPA. Program Diklat Prajab membekali CPNS dengan pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasi, serta kemampuan melaksanakan tugas dan peran sebagai abdi masyarakat. Diklat Prajab yang dilaksanakan BRR bekerja sama dengan Badan Diklat Provinsi NAD ini diikuti 1.434 orang CPNS. Mereka berasal dari jajaran pemerintahan Provinsi NAD formasi tahun 2006 yang belum memperoleh alokasi anggaran Diklat Prajab Badan Diklat NAD pada Tahun Anggaran 2006.
mendatangi kantor kelurahan untuk mengganti KTP Merah Putih dengan KTP biasa sejak 8 Maret 2006. Pemandangan ini terlihat di kantor Desa Sukadamai, Kecamatan Lueng Bata. Di sini, sejak pagi tadi, seribuan warga antre untuk mengganti KTP hasil produk penguasa militer dulu dengan KTP biasa.
Siti Habsah, 38 tahun, warga Desa Sukadamai, mengaku sangat senang dengan adanya penggantian KTP ini. Sebab, dengan KTP biasa, warga Aceh bisa lebih bebas dan tidak dibedabedakan lagi dengan warga lain. Lebih enak KTP biasa, seperti sebelum perang. Kalau KTP Merah Putih, kita seolah warga yang berbeda, dan jika ke luar daerah juga ditanyai macammacam. KTP Merah Putih seolah membedakan warga Aceh dengan warga lain di Indonesia, kata Siti Habsah kepada wartawan, Selasa (21/3). Siti Habsah mengatakan, tidak ada pungutan biaya saat membuat kartu identitas ini. Kami hanya disuruh membawa KTP yang lama dan kartu keluarga serta difoto. Tak ada bayar, kata dia. Kepala Subdinas Mobilitas dan Kependudukan Dinas Mobilitas Penduduk dan Transmigrasi Kota Banda Aceh, Cut Husna, 50 tahun, mengatakan, penggantian KTP di Banda Aceh sudah dimulai pada 8 Maret lalu dan dijadwalkan akan selesai pada 31 Maret nanti. Jumlah warga Banda Aceh yang akan mendapat KTP baru mencapai 143.000 jiwa. Jumlah tersebut bisa bertambah karena perpindahan penduduk terus terjadi. Ada kecenderungan terjadi pertambahan penduduk di Banda Aceh dari berbagai kawasan lain yang terkena tsunami, kata dia.
Pembuatan KTP juga dimaksudkan bagi anggota GAM yang belum mempunyai KTP dan korban tsunami yang kehilangan kartu identitas. Mereka hanya diminta membawa kartu keluarga. Kalau tidak punya, bisa lapor ke kepala desa setempat, ujarnya. Kebijakan KTP Merah Putih dikeluarkan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh Mayjen Endang Suwarya pada awal pemberlakuan status darurat militer, Mei 2003. KTP Merah Putih itu, menurut PDMD, untuk memisahkan warga dengan anggota GAM. Kebijakan ini direncanakan hanya berlalu selama status darurat militer. Kendati menuai kritik dari aktivis pemerhati hak asasi manusia, pemerintah sipil tidak kunjung mencabut kebijakan KTP Merah Putih ini, hingga sekarang. Kebijakan ini juga dinilai melanggar hak asasi manusia karena mendiskriminasi masyarakat Aceh. Saat Aceh masih dalam status darurat (militer dan sipil), banyak warga Aceh yang tidak memiliki KTP Merah Putih harus berurusan dengan aparat TNI/Polri. Tak sedikit di antara mereka yang dituduh sebagai anggota GAM. Penggantian KTP baru dilakukan setelah Pemerintah Indonesia dan GAM meneken kesepakatan damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Namun prosesnya baru dilaksanakan awal Maret ini. Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia harus memberikan kartu identitas baru untuk menggantikan KTP Merah Putih kepada penduduk Aceh sebelum pelaksanaan pilkada atau paling lambat pertengahan April.
Sumber: Aceh.com, 21 Maret 2006
29
30
Warga Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, tampak antusias menyambut pembuatan KTP Nasional, 19 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi
penegak hukum dan dokumentasi hukum. Fasilitasfasilitas fisik ini harus dibangun kembali, agar pelayanan masyarakat bisa segera diberlakukan demi menjaga ketertiban umum. Struktur kelembagaan masyarakat Aceh berbeda dengan daerahdaerah lain di Indonesia, terutama pada tingkat akar rumput. Di Aceh, terdapat kelembagaan meukim yang berperan penting dan strategis. Meukim memiliki akar sejarah panjang, sama panjangnya dengan sejarah pertumbuhan peradaban Aceh. Mengabaikan penguatan kelembagaan meukim akan memunculkan ketimpangan, lantaran lembaga ini merupakan ujung tombak pelayanan pemerintahan daerah paling bawah. Penguatan meukim sebagai lembaga masyarakat dapat dikembangkan secara bertahap menjadi lebih terorganisasi dan lebih mandiri. Upaya ini dilakukan dengan memberdayakan imeum meukim atau kepala meukim dalam meningkatkan fungsi meukim sebagai kesatuan masyarakat, menata lembagalembaga kelengkapan meukim serta mengefektifkan peran dan fungsi Majelis Musyawarah Meukim dan Rapat Adat Meukim, serta mengelola harta kekayaan dan pendapatan untuk kepentingan masyarakat. Tak disangkal, sepanjang 20052008, penguatan kelembagaan hukum lebih menitikberatkan pada pembangunan kembali gedung perkantoran dan fasilitas
Tabel 3.2. Program dan Kegiatan Pemulihan Kelembagaan Menurut Rencana Induk BRR Bidang Hukum
Program
Kegiatan
Memulihkan dan memberikan hakhak keperdataan serta penerbitan kembali alat bukti haknya Memulihkan hakhak yang berkaitan dengan hukum publik Memberikan kembali dokumen identitas Memberikan status hukum Baitul Maal sebagai subyek hukum Provinsi NAD Memberdayakan lembaga adat sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar pengadilan Merehabilitasi dan membangun kembali sarana dan prasarana pengadilan dan kejaksaan serta sarana pendukung lain Memobilisasi tenaga hakim dan tenaga peradilan lain serta jaksa dari daerah lain
Jaminan kepastian, perlindungan, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia
Pertanahan dan tata ruang yang sangat rumit serta memiliki komponenkomponen kelembagaan dan substansi yang berbeda.
31
hukum yang rusak, seperti gedung Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Syariah, dan lembaga pemasyarakatan. Ketiadaan sarana dan prasarana hukum pascabencana di Aceh membuat banyak kasus hukum tidak bisa dilanjutkan dan diputuskan. Kondisi ini dapat mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan. Padahal kepercayaan masyarakat merupakan salah satu syarat mendasar bagi keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. BRR memberikan dukungan pula terhadap Mahkamah Syariah, yang merupakan lembaga istimewa di Aceh, sebagai bagian dari penerapan legal formal syariat Islam secara menyeluruh. Mahkamah Syariah memegang peran cukup dominan dalam penegakan ketertiban masyarakat di Aceh. Bentuk dukungan BRR antara lain menyediakan 20 unit bangunan Mahkamah Syariah, 23 unit rumah dinas untuk para hakim Mahkamah Syariah, serta 70 unit kendaraan roda dua dan roda empat.
32
Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas kerja dan pelayanan hukum Mahkamah Syariah, BRR juga telah mendukung dirancangnya jaringan teknologi informasi di mahkamah tersebut. Jaringan teknologi informasi ini terbukti mendorong terciptanya transparansi peradilan dan kemudahan akses informasi bagi masyarakat pencari keadilansesuatu yang sebelumnya langka di segala lingkup bidang pemerintahan di Aceh. Hal penting lain yang dilakukan dalam pembangunan kualitas layanan bidang hukum adalah inisiasi lahirnya Pusat Klinik Hukum. Pusat Klinik Hukum ini diharapkan menjadi pusat pembinaan dan pelatihan untuk aparatur penegak hukum serta ajang konsultasi bagi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di Aceh.
kerangka menjaga perdamaian dengan cara bermartabat, bukan sekadar pembangunan infrastruktur fisik yang hancur. Maka, meski banyak penderitaan dipikul akibat bencana alam 2004, momentum ini dapat dipandang sebagai peluang membangun kebersamaan dan kepercayaan seluruh masyarakat Aceh untuk menata kembali kehidupan mereka dalam suasana damai. BRR mendukung penguatan kapasitas K3M dengan melakukan beberapa kegiatan, di antaranya rehabilitasi gedung sarana dan prasarana lembaga keamanan dan ketertiban seperti Kepolisian, TNI, dan Departemen Pertahanan, melaksanakan pengamanan terpadu di daerah penampungan sementara para penyintas, serta meningkatkan ketahanan masyarakat melalui serangkaian program pemberdayaan dan pembukaan ruang partisipasi dan komunikasi lintas pemangku kepentingan. Di masa awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, salah satu langkah penting yang dilakukan adalah memastikan tingkat keamanan yang kondusif. Penciptaan rasa aman ini perlu untuk menjamin kelancaran dan stabilitas pelaksanaan pemulihan kembali Aceh. Kondisi keamanan di Aceh yang masih sangat rawan di bulanbulan awal setelah terjadi bencana alam sempat membuat banyak donor internasional dan LSM ragu dan waswas untuk melakukan misi kemanusiaan di sana. Gencatan senjata memegang peran
Beginilah pemandangan seharihari kala sore tiba di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Nagan Raya, 6 Maret 2008, yang telah dilengkapi sarana penunjang seperti lapangan olah raga. Foto: BRR/Arif Ariadi
33
sangat mendasar. Selain itu, Pemerintah Pusat membuat kebijakan memobilisasi aparat Kepolisian dan TNI dalam jumlah besar untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Aceh dari berbagai tindak kriminal. Ketika terjadi kesepakatan damai antara RI dan GAM melalui MoU Helsinki, program mobilisasi aparat Kepolisian dan TNI dipertimbangkan kembali. Secara berangsur, jumlah aparat Kepolisian dan TNI di Aceh dikurangi. Kondisi keamanan di Aceh pascaperjanjian damai ternyata cukup kondusif, sehingga para pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi bisa melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik dan lancar.
34
Program
Kegiatan
Memfasilitasi peran masyarakat sipil dalam membantu peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan Melakukan restrukturisasi dan reorientasi lembaga masyarakat, ekonomi, dan pemerintahan, serta memantapkan sistem komunikasi massa dan informasi Melakukan pengelolaan dampak bencana berupa kegiatan kemanusiaan, peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, refungsionalisasi pemerintahan, termasuk lembaga keamanan, dukungan rehabilitasi, dan dukungan rekonstruksi dengan pendekatan sosiokultural
Membangun karakter dan kebangsaan (nation and character building) yang mandiri dan berkualitas, agar masyarakat memiliki kesadaran dan saling percaya dalam membangun kembali Aceh dan membela bangsa Melaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan pemberdayaan masyarakat dalam segala bidang pembangunan di Aceh Memantapkan otonomi khusus Provinsi NAD sehingga masyarakat Aceh mampu melakukan pembangunan berkelanjutan, melanjutkan pemantapan rasa cinta tanah air Mengembangkan incentive framework yang menyeluruh untuk para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai perdamaian yang abadi dan tuntas Melaksanakan refungsionalisasi lembagalembaga keamanan dan ketertiban Melaksanakan pengamanan terpadu terhadap daerahdaerah pengungsian
Memantapkan keamanan dengan pengamanan terpadu terhadap daerahdaerah yang kondisi keamanan dan ketertibannya relatif kondusif Meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat di daerahdaerah yang rawan
Tabel 3.3. Program dan Kegiatan Pemulihan Kelembagaan Menurut Rencana Induk BRR Bidang K3M
35
36
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menyampaikan arahan pada pembukaan acara Sosialisasi Pengembangan Program P2DTK/ SPADA Provinsi NAD di Banda Aceh, 14 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
antara Pemerintah dan masyarakat. Berbagai rencana dan sasaran pembangunan bisa disampaikan Pemerintah kepada masyarakat, termasuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang bergulir. Penciptaan kematangan dan kedewasaan sosial politik masyarakat Aceh diupayakan dengan menghidupkan berbagai ruang diskusi dan komunikasi publik. Ruang tersebut menjadi media antara pengambil kebijakan (Pemerintah) dan komponen masyarakat. Sebanyak 180 paket dialog melalui program interaktif di TVRI Aceh dan di RRI Aceh telah ditayangkan; begitu juga 34.528 brosur, leaflet, spanduk, poster, dan baliho telah disebar dalam upaya memasyarakatkan berbagai program pemerintah menyangkut pembangunan dan perdamaian. Caracara seperti itu diharapkan bisa menjadi sarana untuk lebih memberdayakan masyarakat, sehingga masyarakat cukup kuat untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai proses pembangunan.
Pembangunan di Aceh dan Kepulauan Nias yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerahdaerah lain di Indonesia telah mendorong MDF mengubah dana loan SPADA menjadi dana grant. BRR juga berkontribusi menyediakan dana pendamping, sehingga program ini dapat dijalankan di 17 kabupaten di Aceh dan 2 kabupaten di Kepulauan Nias. Bagi BRR, SPADA menjadi salah satu paket kegiatan yang didanai bersama (cofinancing) dengan MDF melalui Bank Dunia. Program SPADA BRR diklasifikasikan dalam Program Peningkatan Kapasitas SDM Aparatur Pemerintah Daerah dan ditempatkan di Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM, agar serumpun dengan programprogram lain di kedeputian ini. Pada dasarnya, roh program SPADA adalah pembelajaran dan pemberdayaan aparatur pemerintahan dan masyarakat daerah tertinggal (kabupaten). Meskipun ada kegiatan
Gambar 3.1. Struktur Organisasi SPADA
Tim Koordinasi Nasional Sekretariat Nasional PMU BAPPENAS PIU BRR PIU KPDT SATKER KPDT KM NAS
PUSAT
Prov.
SATKER BRR
KM PROV
Kab.
Sekretariat Kabupaten
KM KAB
Program SPADA Nasional dikelola sepenuhnya oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), seperti di Provinsi Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Program ini dibiayai dengan dana pinjaman (loan) Multi Donor Fund (MDF) melalui Bank Dunia. Program serupa di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara, dijalankan KPDT bersama BRR NADNias, sesuai dengan komitmen Pemerintah RI bahwa BRR satusatunya badan koordinasi program rehabilitasi dan rekonstruksi AcehNias pascagempa dan tsunami.
37
38
Gedung Mahkamah Syariah yang baru di Takengon, Aceh Tengah, 23 Desember 2008, kini siap difungsikan. Foto: BRR/Arif Ariadi
pembangunan fisik di dalamnya, hal itu masih dalam koridor peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan dalam merencanakan dan menjalankan program pembangunan berbasis komunitas. Dalam prosedur pelaksanaan SPADA NAD dan Kepulauan Nias, wewenang setiap partisipan yang terlibat di dalamnya sudah diatur rinci. Project Implementing Unit (PIU) KPDT bertanggung jawab terhadap kualitas program dalam proses perencanaan dan penyediaan instrumen lapangan, seperti technical assistant, procurement specialist, dan management finance specialist. Sedangkan PIU BRR bertanggung jawab terhadap pengendalian pelaksanaan subproyek serta mengangkat Kepala Satuan Kerja (Satker) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di kabupaten. PPK bertugas meneruskan usul pendanaan kegiatan ke Satker provinsi untuk pencairan anggaran melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus (KPPNK). Struktur organisasi yang ditampilkan di sini memperjelas rentang kendali dan garis koordinasi SPADA BRR.
SPADA diawali dengan sosialisasi formal dan informal tentang program. Sosialisasi formal di tingkat pusat dilakukan Tim Koordinasi Nasional, di tingkat provinsi oleh Tim Koordinasi Provinsi (Bappeda NAD), dan di kabupaten oleh Bappeda kabupaten. Sosialisasi di setiap tingkatan harus melibatkan DPR/DPRA, wartawan, LSM, akademisi, dan pelaku program, termasuk instansi pemerintah terkait. Setelah sosialisasi, proses perencanaan pun digelar. Perencanaan diawali dengan identifikasi potensi, masalah, dan gagasan, dilanjutkan dengan kajian teknis kabupaten. Bila langkah ini dianggap memadai, dilanjutkan dengan desain kegiatan, rekomendasi pelaksana, dan verifikasi desain oleh Konsultan Manajemen Kabupaten (KMKab) sebelum diusulkan untuk didanai. Setiap tahap perencanaan selalu dilakukan dengan musyawarah, mulai di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Proses ini dilakukan unsur Pemda dan masyarakat di bawah koordinasi Bappeda kabupaten dengan bimbingan teknis KMKab. Forum musyawarah itulah yang berhak membuat keputusan terhadap kegiatan SPADA. Ada kalanya suatu keputusan baru diperoleh setelah berkalikali musyawarah digelar. Dalam beberapa kasus, musyawarah berlangsung hangat di awal tetapi kehilangan gairah seiring dengan perjalanan waktu. Warga mengaku, kegiatan seharihariannya terganggu dan terpaksa mengikuti musyawarah sekadar untuk memenuhi undangan kepala desa atau camat setempat. Kekecewaan mereka biasanya memuncak jika mengetahui kegiatankegiatan di desa mereka ternyata tidak menjadi prioritas. Memasuki tahap pelaksanaan program, Satker SPADA BRR memproses pencairan dana bantuan melalui KPPNK untuk disalurkan ke rekening Unit Pelaksana Kegiatan Dinas (UPKD), yang terdiri atas unsur dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan dinas pekerjaan umum. Secara umum ada dua bentuk kegiatan yang dilaksanakan, yaitu kegiatan swakelola dan kegiatan kontraktual. Anggaran SPADA dialokasikan sebagai Dana Operasional Kegiatan (DOK) untuk proses musyawarah perencanaan dan musyawarah pendanaan. Sedangkan Dana Alokasi Kabupaten (DAK) disalurkan UPKDUPKD untuk membiayai pelaksanaan kegiatan swakelola serta kegiatan pihak ketiga atau kontraktual hasil musyawarah perencanaan dan musyawarah pendanaan. Sumber dana program SPADA berasal dari MDF yang dialokasikan melalui APBN, juga dari APBD provinsi dan APBD kabupaten. Anggaran daerah ini disebut dana Pendamping Administrasi Program (PAP). PAP digunakan untuk operasional Tim Koordinasi (sekretariat) pada tahap sosialisasi, peningkatan kapasitas, proses perencanaan, monitoring, dan supervisi.
pembangunan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel sesuai dengan kebutuhan mereka bersama dengan Pemda. Dengan segala kerumitan pelaksanaannya, keterlibatan masyarakat menjadi keharusan pada program ini.
39
M-Kab ( Pertanggungjawaban)
Kab
(Sosialisasi)
MD
(Pendanaan Kecamatan)
MAD
(Pertanggungjawaban)
MD/MAD
40
Kec
(Pemeringkatan)
MAD
Musyawarah Pemuda
Pembentukan TPK
(Sosialisasi)
MD
(Penetapan Kebutuhan)
MD
Desa
Alokasi dana PAP, yang disyaratkan minimal 0,5 persen dari alokasi dana program ini, tidak sama jumlahnya di setiap kabupaten, tergantung populasi penduduknya. Penggunaan masingmasing anggaran ini sesuai dengan peraturan dan mekanisme pemakaiannya. Dari skema pengelolaan program SPADA, terlihat mekanisme yang begitu rumit (Gambar 3.2). Selama SPADA BRR berjalan sejak 2005, banyak lontaran kekecewaan terdengar dari masyarakat. Mereka menipu saja. Untuk proyek kecil SPADA diajak rapat berulang kali, sementara proyek bernilai miliaran rupiah dilaksanakan diamdiam, begitu sindiran pedas seorang peserta musyawarah kabupaten di Pidie, pertengahan 2008. Mereka juga kecewa terhadap kelambatan kemajuan pelaksanaan pembangunan di lapangan. Gambar 3.3 menunjukkan pergerakan realisasi SPADA 2007 (Siklus I) yang dimulai dari sosialisasi sampai pencairan DAK tahap pertama dan sudah melampaui dua periode tahun anggaran serta diluncurkan menjadi DIPA 2008. Realisasi anggaran perencanaan (DOK) mencapai 96 persen dari pagu DIPA 2007 yang bernilai Rp 2 miliar, sementara pencairan DAK Siklus I hingga akhir Desember 2008 baru Rp 41 miliar dari pagu Rp 48 miliar. Realisasi Tahun Anggaran 2008 (Siklus II) hanya Rp 20,7 miliar dari pagu Rp 95 miliar. Anggaran Siklus II mulai ditahan pencairannya sejak turun kebijakan soft closing dan cut off program SPADA pada 22 Oktober 2008. Kebijakan itu segera diambil BRR setelah mencermati analisis situasi dari berbagai sisi.
Pengadaan Konsultan 1 Juli-12 Sept 2006 Tahun Anggaran 2006 Setting Kelembagaan
Regulasi
Pelaksanaan Kegiatan April 2008-Desember 2008 Tahun Anggaran 2008 Soft Closed Program Okt 2008
2009
Kesinambungan oleh KPDT
Ketika itu, delapan KMKab di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur serta seorang Konsultan Manajemen Provinsi (KMProv) mengundurkan diri. Fenomena ini menimbulkan kekosongan konsultan di sejumlah kabupaten. Hengkangnya para konsultan ini disebabkan oleh tidak adanya ikatan kontrak kerja yang legal dari KPDT. Perusahaan yang digandeng KPDT untuk membiayai operasional para konsultan tidak mampu menyalurkan dana dengan lancar dan tepat waktu. Alhasil, gaji para konsultan tersendat, kantor habis masa kontraknya, dan perangkat kerja terpaksa diboyong ke rumah. Biaya telepon, faksimile, dan Internet menunggak. Kondisi ini membuat KMKab lumpuh dan berdampak negatif pada penyelesaian kegiatan di lapangan. Penyelesaian 85 paket swakelola dan 77 paket kontraktual masih di bawah 50 persen dari 302 paket yang menyebar di 17 kabupaten. Padahal sisa waktu hingga tahun anggaran berakhir hanya tinggal kurang dari dua bulan lagi kala itu. Bila kegiatan Siklus II diteruskan, para pelaku, yaitu Satker, PPK, UPKD, dan konsultan, tidak berfokus menuntaskan proyekproyek yang sedang dikerjakan, dan semua terancam terbengkalai. Risiko ini akan minimal bila Siklus II ditahan pelaksanaannya untuk diteruskan KPDT pada Tahun Anggaran 2009. Selain itu, Satker SPADA harus mempertanggungjawabkan realisasi anggaran DOKyang sempat disorot Bank Duniadan DAK secara transparan dan akuntabel. BRR lantas memotivasi Satker dan PPK di semua kabupaten supaya berfokus menuntaskan proyekproyek SPADA Siklus I. Kebijakan ini menjadi katalisator akselerasi penyelesaian proyek yang nyaris terbengkalai. Akhirnya, semua proyek SPADA Siklus I, sebanyak 302 paket, dapat selesai hanya dalam tempo NovemberDesember 2008.
41
program SPADA. Rehabilitasi dan rekonstruksi AcehNias pascabencana berlandaskan kedaruratan dan percepatan; sementara para pelaku SPADA tetap teguh pada standar operasi normal, dengan seluruh perangkat prosedur dan regulasi yang hanya cocok untuk situasi pembangunan biasatidak memiliki keterdesakan terhadap pencapaian dampak positif proyek. Proyekproyek kontraktual yang seharusnya sudah dapat dikerjakan sejak Juni 2008 terpaksa ditunda karena kesulitan mendapat procurement specialist untuk mengawal proses tender. Bank Dunia menetapkan procurement specialist dan financial management specialist harus diselenggarakan melalui firma konsultasi dan bukan dari kalangan pegawai pemerintah. KPDT tampaknya mengalami kesulitan memenuhi persyaratan ini. Program SPADA terpaksa digulirkan tanpa dilengkapi instrumen yang cukup dan aturan yang berpihak pada percepatan di lapangan. Proses musyawarah kerap terjadi berlarutlarut, hingga melampaui siklus anggaran tahunan. Masa kerja 2005 hingga 2006 habis untuk menyiapkan kelembagaan program SPADA saja. Realisasi anggaran tahun 2006 hanya empat persen dari total pagu anggaran yang mencapai Rp 60 miliar. Anggaran SPADA 2006 yang tidak terserap itu berdampak buruk ke pihakpihak yang terlibat. Kinerja BRR tercoreng, Pemda babakbelur mempertahankan alokasi anggaran PAP tahun 2007 di DPRD karena dana PAP tahun 2006 tidak optimal direalisasi, dan masyarakat merasa dipermainkanmengikuti banyak musyawarah, tetapi tak satu unit pun bangunan mulai dikerjakan. BRR telah menyiapkan anggaran sisa pelaksanaan SPADA BRR sebesar Rp 214 miliar dalam Rencana Kerja Pemerintah 2009 untuk diteruskan KPDT Tahun Anggaran 2008. Dinamika dan problematika pelaksanaan program SPADA BRR 20052008 menyentak kesadaran. Agaknya, perlu waspada dan pertimbangan ekstra kala menerima uluran bantuan donor. Sebelum grant agreement ditandatangani, berbagai prasyarat yang dapat dipenuhi sesuai dengan kondisi di Indonesia harus betulbetul dicermati. Misalnya, SPADA BRR yang menjumpai kendala soal firma konsultasi berdampak pada akselerasi program di lapangan. Untunglah tidak dikenakan commitment fee, karena sifat bantuannya hibah. Selain itu, Pemerintah harus selektif memilih lembaga yang akan mengusung komitmen bantuan tersebut. Lembaga yang ditunjuk harus memiliki kualitas SDM memadai untuk melengkapi instrumen program dan mampu melaksanakannya secara profesional di lapangan dengan targettarget capaian yang terukur. Hasilhasil program harus diukur secara sahih, sehingga bantuan hibah, apalagi kalau pinjaman, benarbenar menguntungkan bangsa Indonesia. Bila tidak menguntungkan, hal itu harus segera dievaluasi untuk disikapi dengan hatihati dan disesuaikan kembali.
42
BIDANG
No. 1 2 3 4
NAMA PAKET / KEGIATAN Peningkatan Kapasitas Guru Pengadaan Buku Paket Pelajaran Pengadaan Moubiler Beasiswa MCK Sekolah Rehab Bangunan Sekolah Pengadaan Alat Peraga Siswa Pengadaan Seragam Sekolah Pembangunan Tanggul Penahan Banjir di SD Alat Kesehatan Revitalisasi Posyandu Pendidikan Kesehatan Masyarakat Pelatihan Tenaga Kesehatan Pembangunan Sarana Kesehatan Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan Masyarakat Pengadaan Buku KIA Tenaga Bidan Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Penyebarluasan Informasi Kesehatan via Radio MCK Pembangunan Jalan Sekolah Pembanguna Jalan di Sentra Ekonomi Masyarakat Jembatan Sarana Air Bersih (Water Intake / Sumur Bor) Salauran Pembuang/Drainase Masyarakat Pembangunan dan Rehab Gedung Sekolah Pembangunan Bronjong Saluran Irigasi Pagar Sekolah Pembangunan Poskesdes
VOLUME 9.055 Org 31.345 eks 820 set 489 org 42 unit 10 unit 141 unit 412 set 500 m 70 set 60 unit 5.835 org 2.249 org 63 unit 21.173 org 4.500 eks 54 kec 5 kali 58 unit 2.229 m 21.840 m 27 unit 25 unit 9.140 m 19ruang 175 m 3.610 m 120 m 8 unit
Pendidikan
5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kesehatan
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Infrastruktur
24 25 26 27 28 29
Tabel 3.4. Capaian Program SPADA BRR NADNias Tahun Anggaran 20052008
43
BENCANA
45
Perubahan situasi politik dan keamanan ini membawa Aceh pada proses transisi demokrasi yang harus dikawal dan diisi dengan kebijakan dan kegiatan yang menunjang, sekaligus memperkuat proses itu. Setelah UndangUndang tentang Pemerintahan Aceh lahir, Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM BRR sertamerta harus mengacukan seluruh programnya pada dokumen hukum tersebut, agar ada harmonisasi antara kebijakan kedeputian ini dan substansi undangundang itu. Kondisi ini terkadang menimbulkan lompatanlompatan kegiatan yang secara eksplisit tidak tertuang dalam Rencana Induk. Beberapa terobosan dan inovasi yang dilakukan di bidang kelembagaan dan pengembangan SDM sempat mendapat sorotan tajam. Namun terobosanterobosan itu diperlukan karena tuntutan kebutuhan masyarakat. Atau sebaliknya, hal yang semula diperkirakan perlu dilakukan saat rehabilitasi dan rekonstruksi, ternyata, belakangan tidak dibutuhkan setelah menyimak kondisi di lapangan. Kesepakatan damai yang mengakhiri konflik puluhan tahun antara RI dan GAM, misalnya, menyebabkan orientasi pembangunan berubah dari pendekatan keamananketertiban menjadi pendekatan pemulihan dan pembangunan kapasitas. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tidak lagi dilakukan sekadar untuk pemulihan dari bencana, tetapi juga untuk pemulihan dari dampak konflik. Kenyataan ini membuka peluang bagi BRR untuk bekerja sama dalam kerangka pembangunan kembali kelembagaan yang lumpuh. Ketika menjalankan programprogram penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas SDM, BRR banyak menuai kritik dan hujatan. DPRA dalam sebuah pertemuan menuding Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM mengambil alih pekerjaan Pemda NAD. Padahal kedeputian ini justru bertujuan memulihkan dan memperkokoh pemerintahan daerah serta meningkatkan kapasitas SDMnya selepas Aceh dari konflik dan bencana alam.
46
lain, mereka tidak memiliki aliansi politik secara langsung dengan unsur legislatif yang dikuasai politisi partisan. Perbedaan kepentingan dalam pengelolaan pemerintahan tersebut berpeluang memunculkan letupanletupan politik yang tidak produktif. Bupati Aceh Timur, Muslim Hasballah, menyadari posisinya yang sangat dilematis ini. Perlu sejumlah orang yang memahami kebijakan pembangunan yang digulirkan bupati serta mampu mengomunikasikannya dengan elegan kepada unsur legislatif dan birokrat, agar tercipta hubungan harmonis antarpihak, sehingga kebijakan bupati tidak kandas di tangan legislatif atau tidak diabaikan para birokrat daerah. BRR menyambut baik keinginan Bupati Muslim Hasballah untuk turut mendukung Tim Asistensi yang akan dibentuk. BRR memandang penting pendampingan bagi kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan, mengingat akan berakhirnya masa tugas lembaga ad hoc ini pada April 2009. Selain itu, dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi pascaperjanjian damai di Helsinki, lahirnya UUPA, dan pilkada membuka peluang bagi BRR untuk meletakkan fondasi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan meningkatkan kualitas SDM aparatur pemerintahan di kabupaten/kota. Apalagi, berdasarkan riset ilmiah dan hasil assessment tentang tata kelola pemerintahan di Aceh yang pernah dilakukan BRR bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala dan Bank Dunia, pengelolaan keuangan publik di Aceh masih belum efisien.
Pasangan Irwandi Yusuf dan Mohammad Nazar mendapat ucapan selamat dari Menteri Dalam Negeri, Muhammad Maruf, usai pelantikan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Aceh, 8 Februari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
47
Kondisi tersebut memang tidak sepenuhnya disebabkan oleh tata kelola anggaran pembangunan yang kurang efisien, tetapi juga akibat terbatasnya anggaran pembangunan yang dimiliki kabupaten/kota. Salah satu upaya menyiasati keuangan daerah yang terbatas itu dapat dilakukan dengan cara Pemda harus lebih kreatif menggali potensi daerah yang dimiliki dan lebih selektif dalam menetapkan prioritas pembangunan. Bagi para kepala daerah yang baru terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung, program pendampingan ini sangat bermanfaat, dikaitkan dengan besarnya komitmen mereka untuk melakukan reformasi tata kelola pemerintahan di daerah masingmasing. Mereka menunjukkan komitmen untuk memperbaiki sistem tata kelola anggaran, rasionalisasi personel, dan organisasi birokrasi, serta memfokuskan pembangunan pada peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat dengan menempatkan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagai sektor prioritas pembangunan daerah. Komitmen tersebut diapresiasi BRR dengan mendukung biaya operasional Tim Asistensi. Tim ini menjadi semacam suplemen bagi birokrasi untuk menyokong bupati/ wali kota yang membutuhkan dukungan SDM di luar struktur organisasi pemerintahan yang ada. Tim Asistensi terdiri atas para personel bersemangat relawan sebagai pembawa perubahan di berbagai kabupaten/kota. Mereka progresif, konseptual, dan profesional di bidang masingmasing.
48
Namun keberadaan Tim Asistensi di lima kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Jaya, Kota Banda Aceh, dan Aceh Barat Daya, bukan tanpa kendala. Hujan kritik tajam dialamatkan ke BRR. Media massa pun gencar membentuk opini publik bahwa program BRR ini mubazir dan menghamburhamburkan uang. Kapasitas intelektual para personel Tim Asistensi dalam mengasisteni Pemda pun diragukan. Dewan Pengawas BRR pun mempertanyakan realisasi program Tim Asistensi, yang dianggap bukan jalan yang tepat dalam memperkuat pemerintah daerah.1 Selain itu, pembentukan tim ini tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan anggotanya bergaji besar.2 Berpijak pada pengalaman, proses, dan dampak positif keberadaan Tim Asistensi, Gubernur Irwandi Yusuf dan wakilnya, Muhammad Nazar, ikut melakukan hal serupa. Tim Asistensi gubernur menjadi penasihat pemerintahan dalam berbagai bidang, termasuk memberikan pertimbangan kepada gubernur terkait dengan pengalihan tugas dan tanggung jawab rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dari BRR ke Pemda.
Keberadaan Tim Asistensi gubernur tidak banyak menuai kritik jika dibandingkan dengan derasnya aliran kritik Tim Asistensi bupati/wali kota yang dibentuk BRR. Padahal, jika dilihat dari sumber pendanaan, dana yang dipakai juga berasal dari dana rehabilitasi dan rekonstruksi MDF. Bahkan gaji yang diberikan jauh melebihi gaji Tim Asistensi kabupaten/kota.3 Namun yang dilihat tentu bukan persoalan itu. Sebab, selama keberadaannya bisa memberikan manfaat bagi perbaikan sistem pemerintahan Aceh, besaran finansial itu tidaklah menjadi kendala berarti.
49
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menerima penjelasan tentang pembangunan kompleks kantor pemerintahan Kabupaten Aceh Jaya dari Bupati Azhar Abdurrahman di Calang, Aceh Jaya, 23 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi
51
program). Dalam realisasi program, Satker ini tidak menempel dengan dinas, badan, atau instansi pemerintah lain, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Konsekuensi otonom Satker ini adalah sosialisasi program dan assessment kebutuhan DPR Aceh dan Nias dilakukan proaktif oleh para anggota Satker. Penerima manfaat (beneficiaries) program kerja Satker PKK adalah para anggota dewan, staf dan sekretaris dewan, bagian hukum dan keuangan, Satker Perangkat Daerah kabupaten/kota seAceh dan Nias, serta organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang kebijakan publik, tata kelola pemerintahan yang baik, penciptaan perdamaian (peace building), hukum, dan pendidikan. Dari sisi kemanfaatan, hasil program Satker ini baru bisa dirasakan satu atau beberapa tahun ke depan dalam bentuk produk kebijakan dewan di parlemen atau partisipasi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi kebijakan publik.
52
Melalui Satker PKK juga dilakukan pemantauan terhadap realisasi program legislasi Aceh yang telah disusun DPRA pada 17 Juli 2007. Prolega ini didokumentasikan dalam bentuk Keputusan DPRA Nomor 6 Tahun 2007 tentang Persetujuan Penetapan Prolega Tahun 2007. Di samping daftar 17 qanun prioritas 2007, terdapat juga daftar urutan qanun sampai 2012, yang keseluruhannya berjumlah 59 rancangan qanun. Pemantauan ini diperlukan mengingat durasi pembahasan 17 qanun prioritas itu hanya enam bulan. Maka perlu komitmen tinggi dari anggota dewan dalam menuntaskan qanunqanun tersebut, terutama menyangkut substansi, ketepatan waktu, dan partisipasi. Program ini berlangsung selama SeptemberDesember 2007. Diharapkan, proses penyusunan qanun dan pembahasannya berjalan dengan melibatkan partisipasi publik secara luas, sehingga qanun yang disahkan tidak saja sesuai secara kuantitatif, tetapi juga berkualitas serta mengakomodasi aspirasi masyarakat Aceh.
Rapat koordinasi eselon1 dan eselon2 Pemda Aceh yang terlibat langsung dalam proses Pemulihan Aceh di Banda Aceh, 13 Februari 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi
53
Rp 25 juta seperti yang dikenakan bagi bandar togel alias agen judi buntut. Sebagian dari mereka ditangkap pada 28 Februari 2005 dan menjalani persidangan pada 28 April hingga terakhir 12 Mei silam. Namun, hingga tujuh hari setelah divonis, tidak ada terdakwa yang mengajukan banding. Mereka ditangkap oleh Polisi Syariah Islam dan Polisi Negara di tempat berbeda. Sesuai dengan lokasi penangkapan, mereka dicambuk pada tiga lokasi berbeda pada hari yang sama. Tujuh di antaranya dieksekusi di serambi Masjid Jamik Bireuen.
54
Janji Soekarno
Penjabat Gubernur Aceh Azwar Abubakar menandaskan penerapan hukum cambuk pertama di Bireuen tidak muncul begitu saja. Menurutnya, sejak pemerintah menerbitkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus, Aceh memiliki hak untuk menjalankan syariat Islam bagi muslim di wilayah yang digelari Serambi Mekkah ini. Sebenarnya janji penerapan syariat Islam dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Juni 1948 kepada Gubernur Militer AcehLangkat, Teungku Daud Beureueh, di Kutaraja (kini Banda Aceh). Namun janji itu dikhianati hingga ini diyakini menjadi salah satu pemicu meletusnya perlawanan Darul Islam tahun 1953 yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Sebagaimana gelar Daerah Istimewa Aceh diberikan usai peristiwa Darul Islam, status Daerah Otonomi Khusus disodorkan untuk menghibur rakyat Aceh setelah Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut pada tahun 1998. Dalam literatur sejarah Aceh, hukum cambuk atau rajam dipelopori oleh Raja Iskandar Muda, yang merajam anaknya sendiri hingga tewas karena dituduh berzina dengan istri perwira istana. Tragedi
serupa terulang pada tahun 1999, yakni seorang pemuda di Aceh Selatan dirajam karena mengakui telah berzina dengan pacarnya, namun tidak sampai tewas. Pencambukan ini terjadi karena perangkat hukum Indonesia tidak berfungsi dan GAM pun sedang populer. Kasus pencambukan ketiga bakal terulang pada 24 Juni 2005. Kepastian pelaksanaan hukum cambuk diperoleh Bupati Bireuen Mustafa A. Glanggang pada Minggu (12/6) setelah Azwar Abubakar menyerahkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 Tahun 2005 pada 11 Juni tentang petunjuk teknis dan tata cara pelaksanaan hukuman cambuk. Azwar tidak mainmain. Penandatanganan Pergub ini dilakukan di Rumah Allah seusai salat Jumat (10/6), di Masjid Bustanul Arifin, kompleks pesantren Serambi Mekkah, Meulaboh, yang disaksikan ulama dan jamaah masjid. Peraturan yang terdiri atas 17 pasal ini menerangkan, cambuk yang digunakan terbuat dari rotan berdiameter 0,751 sentimeter, panjang 1 meter, tidak mempunyai ujung ganda, dengan pencambuk dari anggota Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat Islam). Ada yang menarik bagi terhukum, yaitu Pasal 11, yang menandaskan bahwa pencambukan dihentikan sementara bila terhukum luka akibat pencambukan, diperintahkan oleh dokter yang bertugas berdasarkan pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri dari tempat pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai dilaksanakan. Terhukum pun tetap diharuskan memakai baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan, serta berada pada posisi berdiri tanpa penyangga bagi terhukum pria dan dalam posisi duduk bagi terhukum perempuan. Hukum cambuk hanya bagi orang Islam. Yang nonmuslim menggunakan
KUHP. Demikian juga TNI menggunakan peradilan militer, ujar Al Yasa, menjawab pertanyaan apakah nonmuslim dan TNI yang berjudi, minum khamar, dan berbuat mesum di Aceh juga bisa dicambuk. Mustafa mengakui, penerapan syariat Islam lebih baik dibandingkan dengan hukum positif. Buktinya, dengan dilaksanakannya hukuman cambuk, pelanggaran syariat Islam di Bireuen berkurang jauh hingga 50 persen. Menurutnya, pelaksanaan hukum cambuk merupakan implementasi dari pelaksanaan UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001, yang dimulai dari Bireuen dan diikuti pemerintahan kabupaten/kota seNAD lainnya. Sejak turunnya UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001, DPRD NAD sudah mengesahkan Qanun No. 12/2003 tentang minuman khamar (miras) dan sejenisnya, Qanun No. 13/2003 tentang perjudian (maisir), Qanun No. 14/2003 tentang mesum berduadua yang bukan muhrim (khalwat), Qanun No. 7/2004 tentang pengelolaan zakat, dan Qanun No. 11/2004 tentang fungsional Kepolisian Aceh. Sebanyak 27 warga sipil di kota juang Bireuen ini menjadi korban pertama dari penerapan syariat Islam. Galibnya, mereka menjalani hukuman pidana ganda, yakni telah menjalani hukuman kurungan badan selama sebulan hingga dua bulan di sel polres dan kini dilanjutkan dengan hukuman fisik. Ada kesan, hukum cambuk ini sebagai alat politik. Kami tak terima, ungkap terhukum cambuk lain lagi di Bireuen.
Sumber: Sinar Harapan, 21 Juni 2005/Murizal Hamzah
55
Pemulihan kelembagaan hukum juga disentuh BRR sebagai upaya membangun kesadaran hukum di NAD. Hal ini menjadi bagian reformasi hukum, baik melalui perangkat keras berupa pengadaan fasilitas fisik maupun melalui perangkat lunak berupa peningkatan kualitas aparat hukum, hakim, dan jaksa. Tidak terkecuali hakim yang ada di lembaga Mahkamah Syariah.
56
Selain itu, dilakukan pemulihan tatanan hukum dan perangkat hukum di Aceh melalui manajemen pengembangan hukum, pembentukan manajemen teknologi informasi, pengembangan para pengacara NAD, pembentukan Pusat Informasi Hukum Provinsi, dan pembangunan kapasitas bagi praktisi hukum.
Bertindak obyektif berdasarkan bukti atau data dan fakta yang otentik
Melaksanakan tugas secara profesional, penuh rasa tanggung jawab, dengan hasil optimal
AGUS MO
PNS
Menjauhkan diri dari perbuatan tercela serta selalu menjaga nama baik dan wibawa sebagai penilai
Menjaga hubungan harmonis dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan obyek penilaian
Menjaga kerahasiaan data yang ada terhadap pihak-pihak yang tidak berkepentingan
Ramburambu Batasan Tim Penilai Ketika Melakukan Fit and Proper Test
57
terbaik yang ada, agar mereka bisa memahami, memaknai, serta bertindak cepat dan tepat dalam menjalankan setiap kebijakan pembangunan daerah. Janjijanji politik sang Bupati akan bisa terlaksana apabila didukung para operator lapangan yang andal, cakap, dan berdedikasi tinggi. Kepala dinas/badan/kantor menjadi lokomotif bagi aparatur lain dalam menjalankan kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjadi ujung tombak keberhasilan pembangunan daerah. Dalam upaya mendapatkan para operator lapangan yang andal, mekanisme yang ditempuh daerah lain, seperti Kabupaten Jembrana di Bali, patut dicontoh. Perekrutan terbuka lewat fit and proper test dilakukan oleh tim independen dengan menjadikan kompetensi sebagai basis penilaian. Namun melaksanakan perekrutan seperti yang dilakukan Kabupaten Jembrana agak sulit, bahkan hampir mustahil. Aceh Jaya, sebagai daerah yang terparah dilanda bencana, memiliki banyak kekurangan dari sisi SDM dan dana. Melihat kebutuhan dan peluang meletakkan pilarpilar tata kelola pemerintahan yang baik, BRR memfasilitasi perekrutan gaya Calang yang memunculkan inovasi. Perekrutan dan penyeleksian kepala dinas/badan/kantor ini tentu tidak dilakukan sendiri oleh BRR, tetapi oleh sebuah tim independen. Fit and proper test yang berlangsung selama tiga bulan diharapkan menghasilkan caloncalon kepala dinas/badan/kantor yang kompeten dalam menjalankan tugastugas pemerintahan di Kabupaten Aceh Jaya. Meskipun proses seleksi di Aceh Jaya tidak luput dari sorotan karena dinilai tidak obyektif, Gubernur Irwandi Yusuf mengambil pola dan model ini ketika akan menyusun kabinet baru pemerintahannya. Banyak yang meragukan cara ini bakal berhasil. Suara miring yakin, tetap ada paket titipan lewat tim seleksi, juga tekanan dari luar, yang bisa memengaruhi obyektivitas hasil. Sebaliknya, bagi Irwandi, melalui mekanisme ini, celah terjadinya perselingkuhan antara yang memilih dan yang dipilih akan tertutup, atau setidaknya hal ini akan menutup mata pencarian dadakan para calo jabatan.4 Bahkan seorang calon peserta yang ikut tes kemampuan, Drs. Zaini Azis, yakin model ini menutup peluang adanya pejabat yang kasakkusuk mendekati gubernur atau orang dekat gubernur agar bisa terpilih menjadi kepala dinas tertentu.5 Para pejabat eselon IIa di lingkungan Sekretariat Daerah NAD diuji kelayakannya melalui fit and proper test yang dilakukan tim independen yang dibentuk BRR untuk pemilihan aparatur di Aceh Jaya. Gubernur Irwandi mengklaim terobosan yang dilakukannya itu merupakan yang pertama di Indonesia. Dan ini merupakan hal yang membanggakan, apalagi usia kepemimpinannya bersama Muhammad Nazar baru berjalan dua tahun.
58
Tampilan situs www.dpra.nad.go.id, media interaksi online antara rakyat Aceh dan para wakilnya.
59
Pengoperasian website dan proses melengkapi koleksi Perpustakaan digital legislatif ini memerlukan 18 pekerja. Mereka membuat dan memutakhirkan website serta melakukan proses penelusuran terhadap berbagai dokumen dan produk hukum, data, serta produk lain yang pernah dilahirkan lembaga legislatif sejak beberapa tahun lalu, terutama yang berkaitan dengan legislasi berupa qanun. Program ini berlangsung selama MaretDesember 2007 dan bisa berlanjut seterusnya dengan dukungan dana sekretariat legislatif. Adanya Perpustakaan digital ini menghasilkan manfaat besar seperti kemudahan dalam pencarian informasi dan perawatan naskah. Semua anggota legislatif dan masyarakat luas pun dapat mencari materi yang ada di dalam koleksi. Perpustakaan digital menyediakan antarmuka (interface) yang sangat mudah digunakan.
60
Billions
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000
RP RP
2,191
RP
590 1,579
Infrastructure
3,472
TOTAL
Sejumlah pegawai dilibatkan dalam Program Analisis Kebutuhan Kediklatan. Namun, yang terjadi kemudian, mereka yang sangat antusias justru dimutasi ke instansi lain sebagai anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Fenomena di atas memaksa BRR menerima takdirnya bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi selama empat tahun telah menghidupkan kembali Pemda yang sempat mati suri pascatsunami. Sedangkan mimpi mulia membangun kembali menjadi lebih baik sebagian tercapai, sebagian lagi masih perlu diturunkan dari angkasa citacita agar bisa menjejak bumi.
Awalnya, BRR ingin menjadikan BKPP sebagai pusat pendidikan dan pelatihan yang representatif bagi aparatur pemerintahan di Aceh. Pemprov NAD mendukung rencana ini, tetapi lokasi yang memadai tak kunjung ditetapkan. Akhirnya, tidak ada pilihan selain membangun gedung baru di lokasi bekas gedung lama dengan segala keterbatasannya.
61
membuat universitas itu tak putus asa. Mereka lalu mengirim salah satu guru besarnya, Hywel Coleman, yang aktif membantu Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, untuk menjajaki kemungkinan kursus bahasa Inggris bagi dosendosen Unsyiah dan IAIN ArRaniry yang akan mengikuti tes beasiswa. Coleman lalu terbang ke Surabaya. IndonesiaAustralia Language Foundation (IALF) Surabaya bersedia memberikan pelatihan insentif kepada calon peserta, tetapi harus ada pihak yang menanggung pendanaannya. Pemerintah Inggris tidak bisa membiayai pendidikan persiapan ini. Coleman tak kehilangan akal. Dia lantas menghubungi Kepala Badan Pelaksana BRR untuk mencari bala bantuan. Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM BRR lalu menindaklanjutinya dengan menanggung biaya kursus bahasa Inggris putraputri Aceh yang berminat memanfaatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di luar negeri. Hasilnya, tujuh orang dinyatakan memenuhi kualifikasi bahasa Inggris yang diperlukan dan berangkat sebagai peserta angkatan II pada tahun akademik 2006/2007. Mereka yang belum siap diberangkatkan ke Inggris melanjutkan kursus bersama angkatan berikutnya. Semua peserta kursus tersebut akhirnya mendapat beasiswa, bahkan tidak hanya dari Pemerintah Inggris. Sebanyak 52 orang ke Inggris, dua orang ke Thailand, dan sisanya mendapat beasiswa dari berbagai negara. Bagi BRR, keterlibatan dalam program pengiriman putraputri terbaik Aceh untuk belajar ke luar negeri bukan suatu kebetulan. BRR, khususnya Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM, bertekad meningkatkan kapasitas intelektual 1.000 orang Aceh hingga 2009.
62
memberikan dampak negatif seperti munculnya rasa saling tidak percaya di antara berbagai komponen masyarakat, terutama pelaku dan penerima manfaat, dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Bagi masyarakat Aceh, baik di pedesaan maupun di perkotaan, membaca koran sudah menjadi kegiatan rutin setiap pagi. Tajuk utama pemberitaan pagi lantas diuji melalui perdebatan di antara mereka, terutama di warungwarung kopi. Reaksi masyarakat Aceh yang sering spontan terhadap berbagai kebijakan pemerintah pusat tak lepas dari kebiasaan unik ini. Menyadari peran penting para jurnalis dalam mengawal proses pembangunan kembali Aceh dengan semangat tata kelola pemerintahan yang baik, serta menjembatani berbagai persoalan antara BRR dan masyarakat Aceh, BRR memandang perlu meningkatkan kapasitas para insan pers yang bertugas di Aceh melalui program pendidikan khusus di bidang liputan investigasi (investigative reporting). Selain itu, dilakukan peningkatan kemampuan jurnalistik sastrawi, agar kekayaan khazanah budaya Acehyang selama ini hanya lestari karena budaya tuturbisa tertulis dalam lembarlembar sejarah Aceh.
Pelatihan tingkat lanjutan bagi sejumlah wartawan Aceh di Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, 27 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi
63
65
Lebih jauh, Gubernur NAD Irwandi Yusuf menggulirkan perubahan pola pengangkatan anggota kepala dinas. Lazimnya, gubernur menggunakan hak prerogatifnya dalam menunjuk pejabat tingkat eselon II. Namun Gubernur Irwandi memberlakukan mekanisme fit and proper test. Para pejabat eselon II yang mengendalikan 40 dinas teknis, badan, dan birosekarang dikenal sebagai Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)di lingkungan Pemprov NAD saat ini merupakan para pejabat hasil fit and proper test. Kualitas mereka, menurut perspektif metodologis, diharapkan lebih baik karena telah melewati serangkaian tes. Namun perubahanperubahan dalam birokrasi pemerintahan daerah itu agaknya masih perlu dibarengi kecepatan mengesahkan APBD dan kemampuan merealisasinya pada akhir tahun, agar roda pembangunan dapat berputar sesuai dengan langkah yang telah direncanakan. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan pengembangan SDM perlu dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Meskipun BRR bersama para mitra pemulihannya menangani bidang kelembagaan dan pengembangan SDM ini secara parsial, berbagai kegiatan penguatan pemerintahan daerah, hukum, dan K3M yang telah dirintis BRR diharapkan dapat memicu peningkatan kapasitas para aparatur pemerintahan dan masyarakat dalam kerangka tata kelola pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik (good governance). Pada 2008, BRR telah dan tengah mengakhiri proyekproyeknya, menyiapkan pelimpahan dekonsentrasi dan penyerahan tugas pembantuan, serta memulai pengalihan dokumen. Muara semua ini untuk memuluskan berpindahnya tongkat estafet tugastugas ke Pemda dan kementerian/lembaga (K/L) pada 2009. Secara khusus juga telah dipastikan sedini mungkin bahwa transisi dari fase rekonstruksi ke fase pembangunan normal melibatkan Pemda. Pelibatan itu mencakup tahap perencanaan, evaluasi, dan pengalihan kegiatan. BRR terus berupaya memastikan Pemda dan para pemangku kepentingan terkait telah memiliki kewenangan dan kapasitas cukup untuk menjalankan serta memelihara sarana dan prasarana yang telah dibangun selama pemulihan dan penguatan kapasitas Pemda. Caranya ditempuh melalui pelatihan, magang kerja, dan alih pengetahuan dari BRR kepada Pemda. Pemda Aceh berupaya meningkatkan kecakapannya melalui penyelenggaraan programprogram strategis, seperti Program Transformasi Pemerintahan Aceh (Aceh Government Transformation Programme, AGTP). Program yang dirancang atas prakarsa Gubernur Irwandi Yusuf ini difasilitasi Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme, UNDP) dengan dukungan dana MDF. AGTP langsung bekerja membantu Gubernur dalam menyiapkan jajarannya untuk mengoordinasi proses transisi dari BRR.
66
anggaran. Jika kita melihat tahun 2008 sebagai contoh, menurut Biro Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah, realisasi anggaran Pemprov NAD adalah 67,53 persen. Kondisi yang tak jauh berbeda dengan tahun 2007 tersebut terjadi, menurut kalangan eksekutif, karena DPRD NAD terlambat mengetuk palu pengesahan APBD 2007 (Serambi Indonesia, 26/10/2007). Sebaliknya, DPRD menyatakan keterlambatan tersebut akibat usul dari eksekutif yang selalu datang tidak tepat waktu (Serambi Indonesia, 27/10/2007). Saling tuding antara eksekutif dan legislatif juga terjadi dalam proses pengesahan APBD 2008. Bila terus terjadi kelambatan setiap tahun, itu berarti salah satu atau keduanya belum efektif meningkatkan kinerja dalam proses perencanaan, pengesahan anggaran, dan pelaksanaan pembangunan, yang tecermin dari daya serap anggaran yang dialokasikan. Fenomena ini sangat memprihatinkan. Sebab, berbagai program penguatan kapasitas kelembagaan eksekutif dan eksekutif telah diberikan terusmenerus sejak 2005 hingga 2008. Meskipun penguatan kelembagaan dan pengembangan SDM yang dilaksanakan BRR bersama para donor mulai menampakkan hasil, perlu upaya lebih lanjut dalam membangun SDM Pemda, agar semboyan membangun kembali menjadi lebih baik dapat sepenuhnya menjadi kenyataan.
Penolakan ini juga membuat Gubernur NAD Irwandi Yusuf bereaksi keras. Ia minta agar Sekda NAD selaku Ketua TAPA memanggil semua kepala dinas dan perangkatnya dan membahas kembali APBD itu di suatu tempat. Kalau perlu, kurung mereka hingga pembahasan selesai, ujar Irwandi Yusuf sebagaimana dilansir sejumlah media massa di Aceh (Serambi Indonesia, 12/5/2008). Strategi menyandera dan gertakan kurung Irwandi ini ternyata efektif mendongkrak kinerja dan membantu mempercepat penyelesaian pembahasan APBD 2008. Palu pemimpin sidang DPRD akhirnya diketuk pada 30 Mei 2008. Pengesahan APBD 2008 yang telat lima bulan ini menunjukkan pola kerja DPRD dan Pemprov NAD belum membaik dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Menurut catatan yang ada, APBD 2003, 2005, dan 2006 baru disahkan pada bulan April. APBD 2007 bahkan baru mendapat pengesahan pada Juni. APBD 2008 disahkan DPRA pada akhir Mei dan diajukan ke Menteri Dalam Negeri pada awal Juni 2008. Artinya, pembangunan hanya berlangsung selama setengah tahun anggaran dan mesin birokrasi Pemprov NAD harus berpacu dengan waktu. Sebab, secara klasik, kekuatan mesin pembangunan biasanya diukur dari kemampuan merealisasi anggaran pembangunan pada akhir tahun
67
Kalau ada badan yang sama di bagian belahan dunia lain yang menyelesaikan hampir 100 persen, bisa dianggap BRR gagal. Tapi yang ada hanya BRR, jadi tidak ada pembanding, katanya. Tanpa kehadiran BRR di Aceh, Irwandi tidak yakin uang puluhan triliun rupiah yang dikucurkan pemerintah dan donor dapat dihabiskan dalam kurun waktu empat tahun. Selain itu, seandainya tanpa BRR, Irwandi juga tidak yakin Aceh bisa dibangun kembali seperti saat ini yang sudah mulai menunjukkan perbaikan. Jadi BRR sejauh yang mereka lakukan ini sudah baik. Kalaupun ada yang tersisa, menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, ujar Irwandi. Untuk melanjutkan tugas BRR, Pemerintah Pusat sudah membentuk Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA), yang bertugas mengoordinasi rehabrekon di Aceh sampai akhir 2009 dengan dana sebesar Rp 1,3 triliun yang dikelola oleh Pemerintah Aceh.
Sumber: Inilah.com, 16 April 2009
68
Kondisi yang terjadi pada kurun 20052009 sangat kondusif bagi Aceh untuk menggapai perubahan nasib. Modal untuk berubah pun melimpah. Hal itu dimulai dengan MoU perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM, berlanjut ke pemilihan gubernur oleh rakyat yang berlangsung damai. Di saat bersamaan, para donor menggelontorkan bantuan dan SDM berdatangan dari segala penjuru untuk membantu Aceh. Melalui segenap upaya keras dan sumbangsih BRR beserta semua mitra pemulihannya, kini wajah Aceh telah menjadi lebih baik dari sebelumnya, meski belum mencakup segala lini kehidupan. Ke depan, para pemimpin perubahan di Aceh tentu akan terus menghadapi tantangan demi tantangan. Dengan arah yang jelas dan langkahlangkah konkret yang dinyatakan dalam setiap sendi pembangunan kelembagaan dan SDM, jajaran Pemda NAD tentu akan mampu menjadi lokomotif yang membawa masyarakat Aceh menuju kesejahteraan madani dalam kehidupan bermasyarakat yang damai.
Di saat hampir bersamaan, BRR tengah dan terus memacu serahterima aset hasil pemulihan kepada Pemda, K/L terkait, atau masyarakat penerima manfaat. Asetaset tersebut dicatat dalam Sistem Manajemen Aset (SIMAS). Data rinci dan akurat dari setiap aset tentu akan menjadi modal bagi Pemda dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan dan pemanfaatan lebih lanjut.
69
Catatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. Medan Bisnis, 24 Januari 2008 Medan Bisnis, 24 Januari 2008 Medan Bisnis Online, 28 Desember 2007 Serambi Indonesia, 10 Oktober 2007 Modus Aceh, Edisi III Februari 2008 Membangun Tanah Harapan, Laporan Akhir Tahun BRR, April 2006
70
Daftar Singkatan
Singkatan AGTP APBD Bappeda Bappenas BKRA BPKP BPS BRR Indonesia Program Transformasi Pemerintahan Aceh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Biro Pusat Statistik Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Calon Pegawai Negeri Sipil Dana Alokasi Khusus Departemen Dalam Negeri RI Departemen Hukum pendidikan dan latihan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional Kegiatan Darurat Operasi Militer Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kecerdasan Emosional dan Spiritual Gerakan Aceh Merdeka Inggris Aceh Government Transformation Programme Provincial Annual Budget Regional Development Planning Agency National Development Planning Agency Agency for Reconstruction Sustainability in Aceh Financial and Development Supervisory Agency Central Bureau of Statistics Agency for the Rehabilitation and Reconstruction of the Regions and Community of Nanggroe Aceh Darussalam and the Nias Island of the Province of North Sumatra Candidat for Civil Servant Special Allocation Fund Department for Home Affairs of the Republic of Indonesia Department of Law education and training Issuance of Spending Authority Operational Activity Funding Emergency Military Operation House of Representative Aceh's Regional House of Representative Regional House of Representative Emotional and Spiritual Quation Free Aceh Movement
71
CPNS DAK Depdagri Depkum Diklat DIPA DOK DOM DPR DPRA DPRD ESQ GAM
Singkatan
KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola
Indonesia Institut Agama Islam Negeri Yayasan Bahasa IndonesiaAustralia Indeks Pembangunan Manusia Jaksa Penuntut Umum Kementerian Negara/Lembaga Keamanan dan Ketahanan Masyarakat Konsultan Manajemen Kabupaten Konsultan Manajemen Provinsi Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal Kartu Tanda Penduduk Lembaga Swadaya Masyarakat Nota Kesepahaman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus Pendamping Administrasi Program Penguasa Darurat Militer Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi Peraturan Gubernur Peraturan Pengganti UndangUndang Pemilihan Kepala Daerah Unit Pelaksana Proyek Penjabat Pelaksana Tugas Pengadilan Negeri Pegawai Negeri Sipil Polisi Republik Indonesia
Inggris State Islamic Institute IndonesianAustralia Language Foundation Human Development Index General Prosecutor Ministry/Institution Community Safety and Resilience District Management Consultant Province Management Consultant State Ministry for Disadvantaged Areas Identity Card NonGovernmental Organization (NGO) Memorandum of Understanding Nanggroe Aceh Darussalam Province Program to Accelerate Development in Disadvantaged and Special Areas Program Administration Assistant Regional Military Emergency Authority Regional Government Provincial Government Governor's Regulation Government Regulation in Lieu of Legislation Local Election for Governmental Officer Project Implementation Unit Acting Officer Officer in charge District Court Civil Servant Indonesian Police Force
IAIN IALF IPM JPU K/L K3M KMKab KMProv KPDT KTP LSM MoU NAD P2DTK PAP PDMD Pemda Pemprov Pergub Perppu Pilkada PIU Pj. Plt. PN PNS Polri
72
Singkatan PPK Prajab Prolega PTUN Rp RRI Satker Satpol SDM Setda Simas SIRA SKPD SPADA TAPA TNI TVRI UNDP Unsyiah UPKD US$ UU UUPA Prajabatan
Indonesia Pejabat Pembuat Komitmen Program Legislasi Aceh Pengadilan Tata Usaha Negara Rupiah Radio Republik Indonesia Satuan Kerja Satuan Polisi Sumber Daya Manusia sekretariat daerah Sistem Informasi Manajemen Aset Sentra Informasi Referendum Aceh Satuan Kerja Perangkat Daerah Dukungan untuk Kawasan Miskin dan Tertinggal Tim Anggaran Pemerintah Aceh Tentara Nasional Indonesia Televisi Republik Indonesia Program Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Unit Pengelola Keuangan Desa Dollar Amerika Serikat UndangUndang UndangUndang Pemerintahan Aceh
Inggris Contract Preparation Officer PreService Training Aceh Legislation Program State Administrative Court Rupiah (Indonesian currency) Radio of Republic Indonesia Project Implementing Unit Police Unit Human Resources provincial/distric secretariat Asset Management Information System Aceh Referendum Information Centre Regional Working Unit Support for Poor and Disadvantage Areas Aceh Government Budget Team Indonesian National Army Television of Republic of Indonesia United Nations Development Programme Syiah Kuala University, Banda Aceh Village Financial Management Unit American Dollars Law Law on Governing of Aceh
73