Anda di halaman 1dari 118

TSUNAMI

Habis Bencana Terbitlah Terang

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 - 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62-651-636666 Fax. +62-651-637777 www.e-aceh-nias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +62-639-22848 Fax. +62-639-22035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62-21-7254750 Fax. +62-21-7221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Hanief Arie : M Agus Susanto Bambang Bujono Rayagung Hidayat Margaret Agusta (Kepala) Cendrawati Suhartono (Koordinator) : Suhardi Soedjono : (alm.) Budi Syahbudin Cendrawati Suhartono Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Happy Soelistio Ondy A Saputra Rusdi Mathari

Fotografi

: Arif Ariadi Bodi Chandra Yusnirsyah Sirin : Bobby Haryanto (Kepala) Em Samudra Edi Wahyono Jennier Purba Mistono Wasito

Desain Grafis

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Heru Prasetyo Intan Kencana Dewi Maggy Horhoruw Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Harumi Supit : Margaret Agusta : Tjandra Kerton Narottama Notosusanto

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 978-602-8199-31-5

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negara-negara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upaya-upaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Pemandangan salah satu pesisir Meulaboh, Aceh Barat di bulan Januari 2005, memasuki pekan kedua pascatsunami, kehidupan masih terasa lumpuh. Foto: Paulus Tirta

Daftar Isi
Pendahuluan Bagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat Bagian 5. Membangun Tano Niha Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami Bagian 7. Mewujudkan Harapan Bagian 8. Akhirulkalam: Belajar dari Tsunami Catatan Daftar Istilah viii 1 11 29 43 59 71 83 95 100 101

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

viii

Pendahuluan
SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan sarana-prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600-an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000-an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecil-menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangan-tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai-taulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh-Nias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun Aceh-Nias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan Aceh-Nias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porak-poranda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan Aceh-Nias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan alih-alih penanggulangan bencana di seluruh dunia.

Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
635.384 127.720
orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi


Yang tertulis dalam berlembarlembar halaman buku ini merupakan kisah yang berujung pada harapan tumbuhnya hidup yang lebih baik di Tanah Bencana.
tak bisa ditolak, anugerah tak bisa diharap, begitu kata pepatah. Suatu pagi di hari Ahad, 26 Desember 2004, bencana mahadahsyat, gempa yang disusul tsunami, meluluhlantakkan sebagian Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Wilayah itu seluas tiga kali DKI Jakarta, dan sudah barang tentu ini bukan wilayah tak bertuan. Di wilayah seluas itu, selain penduduk, juga banyak prasaranadari jalan sampai pasar, dari jembatan sampai gedung sekolah. Angkaangka yang diperoleh kemudian membuktikan betapa dahsyat bencana itu. Sebelum tsunami, tercatat penduduk Aceh sekitar 4.297.485. Berdasarkan sensus 2005, warga Aceh adalah 4.031.589 orang, atau berkurang sekitar 265.896. Sedangkan jumlah korban total, termasuk yang bukan warga Aceh, mendekati 127.000 orang, ditambah 93.285 yang dinyatakan hilang. Adapun prasarana, seperempat jumlah jembatan di provinsi ini, atau total 150 kilometer (lebih panjang daripada jalan darat JakartaBandung lewat jalan tol Cipularang), rusak berat tak bisa dilewati. Panjang jalan total yang mengalami kerusakan baik ringan hingga berat mencapai 2.618 km. Rumah yang rusak mendekati angka 140.000 rumah (di Aceh dan Nias). Sementara itu, 3.415 gedung sekolah serta lebih dari 200 puskesmas dan rumah sakit tak mungkin digunakan tanpa rehabilitasi dan rekonstruksi.

BENCANA

Sebagian Banda Aceh hancur total, pertokoan menjelma bak sampah raksasa, jenazah terserak di mana mana, akibat tsunami, 26 Desember 2004. Foto: Donang Wahyu

Bagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Singkat kata, bencana gempa dan tsunami di Aceh dan beberapa wilayah di Kepulauan Nias, Sumatera Utara, mengguratkan kenangan tak terperikan. Inilah bencana alam terbesar di dunia dalam jangka 100 tahun terakhir. Sebagian Banda Aceh, ibu kota Aceh, hancur total, pertokoan menjelma bak sampah raksasa, jenazah terserak di manamana. Tsunami itu bergerak dengan kecepatan 600-800 kilometer per jam dari arah laut, yang kemudian masuk ke daratan sampai sejauh 6 kilometer, melemparkan kapalkapal dari pelabuhan ke atap pertokoan, menggulung dan mencabikcabik tubuh manusia, menghantam dan menghanyutkan rumah dan jembatan, menggerus dan membalikkan jalan. Halaman sekitar Masjid Baiturrahman di Banda Aceh, masjid yang menjadi pengenal ibu kota Serambi Mekkah, berubah bak tempat pembuangan sampah raksasa: berserakan dan bertumpuk berbagai sisa rumah, bangunan, pohon, juga jenazah. MDFs tsunami recovery waste management project sempat menghitung bahwa tumpukan sampah tsunami dapat menutupi sekitar 45 lapangan bola dengan dimensi masing-masing 88.000 m2. Jadi total volume sampah tsunami mencapai sekitar 400.000 m3. Bagaimana pemerintah yang baru berusia sekitar dua bulan harus menangani dampak bencana ini? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla merupakan pemimpin Indonesia yang pertama kali terpilih lewat pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Mereka baru dilantik pada 20 Oktober 2004, dan bencana itu menimpa pada 26 Desember 2004. Buku ini berisi rekaman dari berbagai proses yang terjadi sesaat setelah bencana yang diikuti dengan tindakan pemerintah. Itu sebabnya semua tokoh dan posisi yang dijabatnya ditulis sesuai dengan waktu terjadinya peristiwa. Penerbitan buku ini diniatkan menggambarkan bagaimana kerja keras dan kerja sama pemerintah dan segenap warga negara Indonesia serta warga dunia menangani tanggap darurat setelah bencana terjadi hingga korban tak bertambah besar. Dan kemudian pemulihan kehidupan dan lingkungan di Tanah Bencana ini. Buku ini diawali dengan kisah bagaimana kabar bencana itu sampai ke Presiden, Wakil Presiden, dan para pejabat yang lain beserta reaksi mereka hingga terbentuknya tim tanggap darurat sementara di pendapa gubernuran Aceh. Digambarkan dahsyatnya bencana itu melalui laporan dari para pejabat, baik sipil maupun militer, baik pusat maupun daerah. Mayat di manamana, sampah sisa rumah, gedung, mebel, dan potongan pohon menumpuk menutup jalan. Kawasan yang terkena tsunami lumpuh total: listrik dan peralatan komunikasi mati, makanan dan air minum tiada, rumah pun misalkan masih ada tak mungkin lagi ditempati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika itu tengah berkunjung ke Jayapura, Papua, segera mengadakan rapat kabinet terbatas dengan rombongan yang terdiri atas sembilan menteri. Selain memberikan arahan garis kebijakan secara umum, Presiden menyampaikan belasungkawa serta menetapkan gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagai bencana nasional.

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Sementara itu, di Jakarta, Wapres Jusuf Kalla selaku Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi melakukan langkah koordinasi dengan instansi terkait. Wapres memerintahkan dua menteri dan sejumlah pejabat Aceh agar segera berangkat ke daerah bencana. Gambaran betapa dahsyatnya tsunami itu juga diangkat antara lain melalui kesaksian korban bencana yang, alhamdulillah, masih hidup. Mereka menceritakan bagaimana melihat dan kemudian terseret dan terlambungkan oleh air laut yang naik dengan kecepatan 30 kilometer per jam di darat, dengan deru bagaikan pesawat jet, menyapu segalanya. Di daerah yang diempas tsunami, dua kilometer dari garis pantai rata dengan tanah. Di bagian ini disertakan sebuah kisah Membuka Meulaboh. Kota pelabuhan penting di bagian barat Aceh ini sempat putus total hubungan dengan dunia sekitarnya. Lalu, cerita kesibukan dari menyelamatkan korban hingga mendirikan dapur umum, dari mengadakan air bersih sampai mendirikan rumah sakit darurat pun mengikuti. Tujuan utama kegiatan ini adalah menyelamatkan mereka yang masih hidup secepat

Warga desa di sekitar Lhok Nga yang selamat menerima bantuan bahan makanan yang dijatuhkan dari helikopter tentara Amerika Serikat. Foto: AFP/Jewel Samad

Bagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Banda Aceh dari udara sebelum bencana besar itu: luas daratan sekitar 70 km2, dihuni sekitar 300.000 warga. Foto: Koleksi Lapan

mungkin agar tak menambah jumlah korban meninggal. Lalu kerja mengevakuasi jenazah dan membersihkan sampah tsunami agar penyakit tak berjangkit. Keterlibatan relawan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) serta militer asing mendominasi aktivitas tersebut. Inilah bukti sejarah kemanusiaan yang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato mengenang satu tahun tsunami disebutkan sebagai melintasi batasbatas agama, suku, ras, dan kebudayaan. Aceh ketika itu menjadi semacam tempat pertemuan segala bangsa. Yang hitam, cokelat, kuning, dan putih semuanya terlibat dalam kerja sama untuk satu tujuan: menyelamatkan korban, memulihkan lingkungan nan porakporanda itu. Dan itu dimungkinkan karena SBY dan JK (demikian panggilan populer Presiden dan Wapres) menyepakati untuk membuka isolasi Aceh dari dunia luar. Beberapa hari setelah bencana, SBY mengumumkan bahwa angkasa Republik Indonesia terbuka bagi penerbangan asing yang membawa bantuan untuk Aceh dan Nias. Wapres menghubungi sebuah badan Perserikatan BangsaBangsa agar mereka mengoordinasi bantuan internasional. Sedangkan Panglima Tentara Nasional Indonesia langsung menyetujui tawaran bantuan militer dari negaranegara sahabat. Besarnya bencana menyebabkan helikopter, alatalat berat, bahkan peranti pembersih dan penjernih air untuk minum, semua yang mutlak diperlukan setelah bencana gempa dan tsunami terjadi, yang kita miliki tak lagi mencukupi. Namun tantagan dahsyat tidak berhenti di situ. Di penghujung Maret 2008 Nias bergoncang kuat. Kerusakan yang ditimbulkan kembali menyita perhatian serius.

Di Aceh tsunami ternyata menjadi berkah tersembunyi. Gelombang pasang raksasa ini membuat baik pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memikirkan kembali konflik yang telah berjalan hampir 30 tahun, konflik bersenjata yang membawa korban ribuan orang. Tibatiba ada tugas yang jauh lebih utama daripada berbaku hantam: membantu warga yang terkena bencana. Bukankah GAM, misalnya, mengaku mengangkat senjata untuk memperjuangkan rakyat Aceh? Bila mereka tak lalu membuktikan katakatanya itu, ketika rakyat benarbenar menunggu uluran tangan dari siapa pun, tidakkah GAM akan kehilangan dukungan? Yang kita saksikan selanjutnya adalah perundingan demi perundingan di masa tanggap darurat dan sesudahnya, dan akhirnya kesepakatan damai ditandatangani oleh kedua belah pihak, 15 Agustus 2005. Proses itu bisa berlangsung cepat karena seorang fasilitator bernama Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, begitu tegas dan adil dalam menjembatani perundingan ke perundingan. Tentulah tak mungkin Aceh dan Nias terusmenerus dibiarkan dalam kondisi tanggap darurat, terusmenerus para korban dibantu hidupnya. Korban bencana perlu dikembalikan hidupnya seperti semula, bahkan kalau mungkin dengan lebih baik. Maka dibentuklah satu badan untuk menangani pemulihan kembali di Tanah Bencanabukan hanya pemulihan fisik, tapi juga yang nonfisik, misalnya penyembuhan mereka yang

Banda Aceh dua hari setelah tsunami menghantam daratan sampai sejauh 6 km, lebih dari 93.000 warga hilang dan lebih dari 126.000 meninggal. Foto: Koleksi Lapan

Bagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

PETA PUSAT GEMPA BUMI 26 DESEMBER TAHUN 2004


LEGENDA
Pusat Gempa Batas Provinsi Batas Kabupaten Laut

KETERANGAN

Sumber peta: data BPS, Peta Rupabumi Bakosurtanal skala 50.000, geospasial perumahan, pemetaan aset. Datum WGS 1984, proyeksi UTM. Peta dibuat pada bulan Januari 2009 oleh Tim Teknis Buku Peta BRR

Kondisi normal sebelum gempa


Bagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Saat terjadi patahan, getaran gempa terasa sampai daratan

Air laut surut tidak lama setelah gempa terhenti

Gelombang tsunami mulai terbentuk

Tsunami mencapai daratan

Pada 16 April 2005, turunlah Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) tentang Pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias (BRR NADNias), badan yang diberi tugas membangun kembali Aceh dan Nias, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden untuk menghindarkan birokrasi yang sering lamban. Di bagian ini dikisahkan ihwal pembentukan BRR NADNias, termasuk kebijakan off dan on-budget, suatu mekanisme pengelolaan dana yang bersih dan bebas korupsi. Juga strategi membangun kembali Tanah Bencana yang bukan saja melibatkan masyarakat, melainkan sedapat mungkin memenuhi keinginan para korban bencana. Ternyata, dari keporakporandaan yang hampir membuat putus asa, Indonesia bisa membangun kembali semuanya, bahkan lebih daripada sebelum Aceh dan NIas terkena bencana. Dan ini tak hanya berkaitan dengan yang fisik, misalnya permukiman dan prasarana lalu lintas yang membaik. Kondisi keamanan di Aceh juga terpulihkan oleh banyak faktor, tapi awalnya adalah bencana itu. Dan berkat perdamaianlah hasil pemilihan kepala daerah secara langsung di Aceh bisa memunculkan seorang gubernur mantan pemimpin GAM tanpa gejolak. Gubernur baru ini pun ternyata bisa segera bekerja sama dengan semua pihaktermasuk dengan BRR NAD-Nias, yang dikritiknya semasa ia berkampanye untuk pemilihan kepala daerah. Aceh secara nyata memang menuju masa depan yang damai. Kita kutip pidato Presiden SBY pada peringatan setahun gempa dan tsunami: Mulai saat ini dan selanjutnya masa depan Aceh bukan lagi masa depan penuh darah dan air mata, melainkan masa depan yang penuh kerja keras dan harapan. Dan sesungguhnya masa depan penuh kerja keras dan harapan itu bukan hanya untuk Aceh, melainkan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Buku ini semoga menjadi rujukan bahwa tidak ada persoalan betapapun rumit dan kompleksnya yang tak mungkin diatasi di negeri ini.

Beberapa saat setelah tsunami surut, mereka yang selamat berupaya mencari tempat mengungsi. Salah satu keluarga di Banda Aceh yang selamat. Foto: Serambi Indonesia/ Bedu Saini

Bagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi

menderita trauma. Bencana begitu dahsyat, sehingga diperlukan suatu badan yang memiliki kewenangan yang cukup untuk sebuah kerja yang cepat, terhindarkan dari birokrasi.

Bergegas ke Tanah Bencana


Inilah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia. Pemerintah daerah lumpuh, prasarana hancur, listrik padam, bahan bakar tak ada, komunikasi dan transportasi mati.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seluler Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab berbunyi. Masuk pesan singkat (Short Message Service/SMS). Ketua Harian Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi itu, antara percaya dan tak percaya, membaca pesan tersebut: Ada gempa dahsyat di Aceh. Hari itu Ahad, 26 Desember 2004, sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Timur. Alwi Shihab berada dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bandara Nabire, Papua. Mereka baru saja mengunjungi korban gempa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Saat itu rombongan bersiap masuk ke pesawat untuk terbang ke Jayapura. Biarpun meragukan kebenaran SMS itu, Alwi Shihab memperlihatkan juga telepon selulernya kepada rekan di sampingnya, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. Janganjangan SMS ini tidak benar, kata Alwi. Rupanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendengar percakapan kedua menko yang memang berada di dekatnya itu. Ada apa? tanya Presiden. Langsung Menko Widodo A.S., yang sudah memegang telepon seluler Alwi Shihab, membacakan pesan itu. Reaksi Presiden spontan, minta kabar itu dicek ulang, segera.
Fotofoto rekaman di awal bencana yang memperlihatkan orangorang berupaya menyelamatkan diri belakangan menjadi rujukan untuk merencanakan operasi tanggap darurat. Salah satu fotografer yang sempat memotret saatsaat awal bencana adalah Bedu Saini dari harian Serambi Indonesia, Banda Aceh. Ia kehilangan dua anaknya. Salah satu hasil jepretan Bedu: Simpang Lima, Banda Aceh, Minggu pagi, 26 Desember 2004, beberapa menit setelah air laut naik.

TELEPON

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

11

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Pada hari yang sama di Jakarta, sekitar pukul 08.00 Waktu Indonesia Barat, Wapres Jusuf Kalla baru saja duduk di jok mobilnya. Salah seorang anggota stafnya tergopoh gopoh mendekat ke mobil yang siap meluncur ke Istora Senayan. Pagi itu acara Wapres menghadiri halalbihalal keluarga besar Aceh. Anggota staf itu menyampaikan pesan singkat yang masuk ke telepon selulernya: Pak, di Aceh ada gempa, dahsyat sekali. Wapres tertegun. Sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, bencana adalah urusannya. Lalu ia meminta stafnya mengecek tayangan CNNsaluran berita televisi Amerika Serikat yang biasanya meliput peristiwaperistiwa penting dunia dengan cepatkalaukalau ada berita tentang Aceh. Untuk mendapatkan keterangan lebih jauh, Wapres menelepon pejabatpejabat pemerintah daerah di Banda Aceh. Namun tak satu pun telepon bisa dihubungi. Ketua Bakornas ini mulai syak, janganjangan bencana di Aceh memang besar. Segera ia mengirim pesan singkat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengabarkan soal gempa di Aceh. Jawab Presiden: Saya sudah tahu. Tolong koordinasikan. Sementara itu, salah seorang anggota staf Wapres menelepon Budi Atmadi Adiputro, Deputi Bakornas yang selama ini menjadi tangan kanan Jusuf Kalla dalam urusan bencana. Pada masa pemerintahan sebelumnya pun keduanya sudah bekerja sama menangani berbagai bencana nasional. Waktu itu Jusuf Kalla adalah Menko Kesejahteraan Rakyat, exofficio atau yang secara otomatis menjabat pula sebagai Wakil Ketua Bakornas, sedangkan Budi sudah menjabat sebagai Deputi Bakornas. Ternyata Budi, yang sedang berlibur bersama keluarga di Ciwidei, Bandung Selatan, belum mendengar kabar itu. Segera ia menelepon temantemannya di Banda Aceh. Telepon tak kunjung tersambung. Gagal memperoleh keterangan dari Banda Aceh, ia pun menghubungi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta. Keterangan BMG sungguh mengejutkan: benar, ada gempa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan jarum alat pengukur gempa di BMG sampai mentok. Jadi, menurut alat yang disebut seismograf itu, skala gempa tersebut besar sekali. Syahdan, acara halalbihalal masyarakat Aceh di Istora Senayan pagi itu, yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla, yang semula santai dan meriah, mendadak berubah. Wakil Gubernur Aceh Azwar Abubakar, yang mendapat kesempatan pertama memberikan sambutan, mengatakan hatinya tengah terbelah karena di Aceh ada gempa besar. Rupanya, sebelum Azwar berpidato, mereka yang berhalalbihalal itu belum banyak yang tahu, atau masih bertanyatanya, soal gempa di Aceh. Segera orangorang sibuk dengan telepon seluler masingmasing. Pidato sambutan Wapres singkat, lalu acara bubar. Wapres tak segera beranjak, malah mengadakan rapat mendadak di Istora Senayan itu juga, mungkin karena beberapa pejabat hadir dalam halalbihalal tersebut.

12

Dalam rapat mendadak tersebut, Wapres memutuskan, hari itu juga ia akan pergi ke Aceh dengan pesawat pribadi. Wakil Gubernur Aceh serta sejumlah menteri akan ikut. Sebelumnya, Wapres sudah memberi tahu pilot pribadinya soal penerbangannya ke Banda Aceh. Namun, akhirnya, yang berangkat hari itu dengan pesawat pribadi Jusuf Kalla hanya dua menteri (Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dan Menteri Perumahan Yusuf Asyari), Deputi Bakornas Budi Atmadi Adiputro, Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Marie Muhammad, Wakil Gubernur Aceh Azwar Abubakar dan istri, serta sejumlah tokoh Acehtotal kuranglebih 25 orang, sehingga semuanya tertampung dalam Fokker 28 berkapasitas 30an penumpang itu. Wapres Jusuf Kalla tak jadi terbang ke Aceh. Ia akan mengendalikan tim penanggulangan bencana dari Jakarta karena, Presiden sedang berada di Nabire. Pesawat pribadi itu baru lepas landas dari Halim Perdanakusuma, Jakarta, sekitar pukul dua. Di dalam pesawat, Marie Muhammad membagikan peta gempa yang ia peroleh dari salah satu situs di Internet. Wapres sempat berpesan kepada Deputi Bakornas supaya mengambil komando di Aceh, karena dua menteri yang ikut dalam rombongan ini masih terbilang baru dalam mengurusi bencana.

Langsung dari Jayapura, sehari setelah bencana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi pengungsi korban gempa dan tsunami di Lhokseumawe. Foto: Sekretariat Negara/Antara

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

13

Air naik! Air naik! Orangorang berteriak, panik, ketika gelombang pertama tsunami masih hanya menggenangi Simpang Lima, pusat Kota Banda Aceh, setinggi mata kaki. Beberapa menit kemudian, gelombang kedua menghanyutkan segalanya. Foto: Serambi Indonesia/ Bedu Saini

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

15

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Di sudut lain Jakarta, Ahad pagi itu juga. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sedang berbaring di kolong mobil Impala tuanya, di rumah dinasnya di Jalan Denpasar. Tibatiba pengawal menghampirinya. Ada kabar dari Dinas Siaga Markas Besar (Mabes) TNI di Cilangkap tentang gempa besar di Aceh. Dalam organisasi Bakornas, Panglima TNI terdaftar sebagai salah satu anggota. Keanggotaan itu memberinya wewenang untuk segera bertindak kalau terjadi bencana dan tindakan memang diperlukan. Namun pagi itu Panglima tak langsung mengambil suatu keputusan penanggulangan bencana apa pun karena informasi dari Cilangkap yang baru saja disampaikan kepadanya belum cukup jelas. Lalu Panglima TNI mencoba menghubungi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya untuk menanyakan ihwal bencana di Nanggroe Aceh Darussalam itu. Gagal, meski berkalikali upaya dilakukan. Hubungan telepon JakartaBanda Aceh putus. Baru di tengah hari masuk telepon dari Presiden yang telah berada di Jayapura. Presiden menanyakan apakah Panglima sudah tahu tentang gempa di Aceh. Panglima menjawab iya, tapi dia masih mencari informasi lebih jauh. Informasi dari Banda Aceh terhambat oleh putusnya komunikasi. Untunglah militer memiliki radio komunikasi singlesideband (SSB). Dengan SSB itulah Pangdam Mayjen Endang Suwarya mengumpulkan informasi dari semua komando distrik militer (kodim) di kabupaten yang terkena bencana, lalu melaporkannya ke Dinas Siaga Mabes TNI di Cilangkap. Informasi yang terkumpul di Mabes TNI itu oleh Perwira Dinas Siaga Brigjen Darmawi Chaidir dilaporkan ke Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Asisten Operasi Kepala Staf Umum (Kasum) Mayjen Adam Damiri. Saat itu juga Mayjen Adam Damiri meminta Perwira Dinas Siaga menelepon balik Pangdam Mayjen Endang Suwarya, agar Pangdam segera membantu masyarakat dan tetap waspada. Untuk menguatkan perintah lisan itu, Asisten Operasi Kasum pun minta dituliskan telegram yang isinya langkahlangkah yang harus diambil Pangdam Iskandar Muda. Telegram itu kemudian dikirimkan atas nama Panglima TNI, ditembuskan kepada tiga kepala staf dan Kasum, serta kepada Panglima sebagai laporan. Langkah yang harus diambil itu, antara lain, semua satuan TNI yang tak sedang menjalankan tugas operasional keamanan segera mengevakuasi korban, menggelar rumah sakit lapangan, dan menyelenggarakan dapur umum. Setiap perkembangan harus langsung dilaporkan, kapan saja. Tapi proses ini memerlukan waktu sebelum dilaporkan kepada Panglima TNI. Syahdan, begitu mendengar laporan dari Perwira Dinas Siaga Brigjen Darmawi Chaidir, Jenderal Endriartono segera membayangkan jalanjalan darat sulit ditempuh karena air laut naik ke darat dan kemungkinan besar prasarana lalu lintas darat rusak. Tak ada jalan untuk menolong para korban selain dari udara. Langsung Jenderal Endriartono menelepon Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Cheppy Hakim dan Asisten Operasi Kasum TNI Mayjen Adam Damiri. Panglima menanyakan alat angkut udara yang tersedia guna mengirimkan bantuan ke daerah bencana. Jawaban yang diperoleh bikin kecut:

16

Pesawat Hercules yang kita miliki saat ini yang bisa terbang hanya enam. Itu pun jam terbangnya sudah hampir habis. Helikopter TNI jumlahnya juga terbatas. Tak ada jalan lain, pikir Panglima TNI, untuk menyelamatkan korban yang masih hidup, harus minta bantuan militer negara sahabat. Kebetulan, Panglima mengenal baik mereka. Pucuk dicinta ulam tiba. Sebelum Jenderal Endriartono menelepon rekanrekannya, telepon berdering. Di seberang, Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter Cosgrove berbicara. Rupanya, para panglima militer di negara sahabat, begitu mendengar berita bencana di Aceh, segera proaktif menghubungi Panglima TNI. Jenderal Cosgrove menawarkan bantuan obatobatan dan tenaga medis. Sebelum menjawab tawaran itu, Panglima TNI terlebih dahulu menceritakan keadaan Aceh menurut laporan Pangdam Iskandar Muda. Bencana ini luar biasa, sehingga bantuan obatobatan dan tenaga medis, Its not enough, kata Panglima TNI. Ia memerlukan banyak pesawat guna mengangkut bantuan ke daerahdaerah karena diperkirakan banyak jalan darat yang rusak parah dan tak mungkin dilalui kendaraan. Kalau bisa, kata Panglima TNI, Australia juga mengirimkan Herculesnya. Tak berpanjangpanjang, Cosgrove langsung menjanjikan empat Hercules. Melalui telepon itu juga Panglima Tentara Singapura Letjen Ng Yat Chung menjanjikan
Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

Seolah tidak ada berita lain, selama beberapa pekan sebagian besar halaman media massa nasional hanya menyajikan kedahsyatan bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, bencana terbesar dalam 100 tahun terakhir. Foto: Yusnirsyah Sirin

17

Antara Tsunami di Aceh hingga MoU Damai di Helsinki


DESEMBER 2004
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

26

Di Jayapura, Papua, Presiden menetapkan bencana gempa bumi dan tsunami di NAD Sumatera Utara sebagai bencana nasional, dan membatalkan kunjungan ke Ambon. Di Jakarta, Ketua Bakornas PBP Jusuf Kalla mengirim tim pertama pemerintah ke Aceh. Di Jakarta, Panglima TNI menginstruksikan Pangdam Iskandar Muda menggelar operasi kemanusiaan.

27

Saat transit di Makassar dalam perjalanan Jayapura Lhokseumawe, Presiden menyatakan hari berkabung nasional pada 2729 Desember 2004. Di Banda Aceh, malam hari, Tim Penanggulangan Bencana Sementara dibentuk, dan Deputi Bakornas PBP Budi Atmadi Adiputro menjadi ketua tim.

28

Di Banda Aceh, Presiden menyarankan empat prioritas penanganan bencana: perbaikan komunikasi, distribusi bahan logistik dan obatobatan, relokasi pengungsi, serta pencarian orang hilang dan jenazah. Ketua Bakornas mengundang UNOCHA atau badan PBB untuk urusan kemanusiaan agar mengoordinasi bantuan internasional dan para pekerja kemanusiaan. Segera berbagai bantuan asing masuk ke Aceh.

29

Presiden melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah memberikan 12 arahan langkah tanggap darurat. Pemerintah menetapkan penerimaan semua bantuan melalui Menko Kesejahteraan Rakyat.

18

30

Presiden meminta Menko Kesra Alwi Shihab berkantor di Aceh. Ketua Bakornas mengeluarkan SK Nomor 01/2004 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanganan Bencana Aceh.

BANDA ACEH

LHOKSEUMAWE

JAYAPURA MAKASAR JAKARTA

JANUARI 2005
Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

Konferensi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa dan Pascatsunami di Jakarta menghasilkan sebuah deklarasi untuk memperkuat penanganan tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi setelah gempa dan tsunami. Pemerintah menegaskan status Aceh tetap darurat sipil (status darurat sipil dicabut pada 18 Mei 2005).

Presiden menginstruksikan Panglima TNI mengatur keterlibatan unsurunsur militer asing.

Pemerintah mengeluarkan SK Nomor 3/2005 yang menempatkan Menko Kesra sebagai Ketua Satkorlak Khusus. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bank Dunia mengumumkan kerusakan dan kerugian akibat bencana mencapai Rp 41,4 triliun. Pemerintah menargetkan 26 Maret 2005 sebagai batas waktu terakhir pelaksanaan tanggap darurat.

18

Pusat Penanggulangan Bencana (DMC) dibentuk pemerintah dan PBB. Pemerintah menyatakan keberadaan militer asing di Aceh hanya tiga bulan.

10

13

24

19

FEBRUARI 2005

Pemerintah mulai mencatat bantuan yang masuk dan aset yang tersisa pada 40 hari pascabencana.

MARET 2005

Presiden meminta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyusun Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi NADNias.

26

Masa tanggap darurat dinyatakan selesai.

APRIL 2005
Presiden menetapkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005 mengenai Pembentukan BRR NADNias.

16

AGUSTUS 2005
Penandatanganan perjanjian damai Helsinki yang mengatur perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

15

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

tiga Hercules. Tawaran bantuan juga datang dari Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia Jenderal Tan Sri Dato Seri Mohd. Zahidi bin H. Zainuddin. Sementara itu, Komandan Komando Pasifik Amerika Serikat Admiral Fargo dan kapal induknya, USS Abraham Lincoln, yang sedang menuju Hong Kong, langsung berbelok arah menuju Aceh untuk memberikan bantuan. Kapal induk ini antara lain membawa 17 helikopter. Sesungguhnya, sampai hari itu, mereka yang berada di luar daerah bencana baru mendugaduga bahwa gempa di Aceh sangatlah besar. Tentang air laut yang naik ke darat, pada umumnya mereka pun belum sepenuhnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Putusnya hubungan telepon ke Aceh menutup informasi tentang Aceh. Baru di kalangan militerini pun terbatas pada beberapa orang, termasuk Panglima TNIdengan radio komunikasi SSB, informasi tentang bencana terkabarkan. Tapi ini pun belum sepenuhnya menggambarkan dahsyatnya gempa 9,1 skala Richter pada pukul 08.50 itu, yang sekitar 15 menit kemudian disusul tsunami, gelombang setinggi belasan meter yang mengempas ke darat sampai sekitar 6 kilometer, dengan kecepatan 30 kilometer per jam, yang meratakan apa pun yang dilewatinyasebagaimana sudah disebutkan di bagian terdahulu. Baru kemudian, sesuai dengan jalannya jarum jam dan beredarnya hari, gambaran tentang gempa dan tsunami makin lengkap dan menyebar ke seluruh penjuru. Jenderal Endriartono Sutarto pun baru yakin benar besarnya bencana di Aceh setelah Senin esok harinya mendapat laporan langsung dari Pangdam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya. Pangdam melaporkan, ketika gempa terjadi, ia berada di Aceh Tengah, menghadiri acara menanam 800.000 pohon di sekitar Danau Laut Tawar. Ia mengetahui soal gempa itu begitu dahsyat dan disusul naiknya air laut dari anak buahnya, antara lain Komandan Kodim Pidie dan Komandan Kodim Lhokseumawe. Di Lhokseumawe, air laut menghantam ke darat sampai alunalun dengan ketinggian hingga dua meter. Banyak korban meninggal, termasuk anggota TNI. Acara penanaman pohon pun dipercepat. Setelah itu, Pangdam bersama Komandan Resor Militer (Danrem) Liliwangsa dan anggota rombongan yang lain terbang ke Pidie dengan helikopter. Dalam perjalanan ke Pidie, masuk informasi bahwa Banda Aceh tergenang air laut sampai dua meter. Pangdam memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh. Pidie ia serahkan kepada Danrem Liliwangsa. Di Banda Aceh, helikopter yang ditumpangi Pangdam tak mungkin mendarat di Lapangan Blang Padang, lapangan terdekat dengan Kodam. Lapangan itu tergenang air. Sampah dan sisasisa bangunan pun menumpuk. Tak ada tempat mendarat di sekitar Kodam, helikopter lalu menuju Pangkalan Udara Blang Bintang, yangkarena begitu jauh dari pantaitak tersentuh air laut. Dari Blang Bintang, dengan bus pinjaman dari komandan pangkalan udara itu, Pangdam memasuki Banda Aceh. Tiangtiang listrik tumbang, lumpur di manamana, bangkai binatang berserakan. Orangorang berlarian panik. Jalan masuk ke Banda Aceh dipenuhi sampah yang terdiri atas berbagai macam benda, dan mayat terserak di manamana. Dengan susah payah bus yang membawa Pangdam Iskandar Muda itu akhirnya sampai juga di Rumah Sakit Kesdam (Kesehatan Kodam). Meski dalam perjalanan Pangdam sudah membayangkan

20

betapa besar bencana ini, sesampai di rumah sakit tetap saja ia kaget: ratusan mayat bergelimpangan di halaman, puluhan korban luka dirawat di dalam. Waktu itu jam menunjukkan pukul 12.30 WIB. Dari Rumah Sakit Kesdam, Pangdam langsung ke Markas Batalyon 112. Soalnya, ia memperoleh informasi bahwa banyak warga, termasuk istri dan anaknya sendiri, mengungsi ke markas batalyon tersebut. Benar, setiba di Markas Batalyon 112, Pangdam bertemu dengan anak dan istrinya. Ia pun sempat menengok sejumlah korban, termasuk Kepala Staf Kodam yang terluka parah. Sesudah itu, tanpa membuangbuang waktu, Pangdam langsung memberikan komando: keluarkan semua bahan makanan, buat dapur umum untuk warga sipil dan militer. Anggota Kodam dipersilakan mencari anggota keluarganya yang hilang, sedangkan yang mempunyai anak kecil diharap tetap menjaga markas. Selebihnya diperintahkan mengikuti Pangdam ke kota, memberikan pertolongan kepada korban yang masih hidup dan mengevakuasi korban yang meninggal. Inilah pasukan penolong dan pengevakuasi mayat pertama yang terkoordinasi, terdiri atas 500 siswa Sekolah Calon Perwira dan hampir seribu anggota Kodam.

Pengungsi dari Meulaboh berjalan kaki menuju Banda Aceh. Jalan dan jembatan tak mungkin dilalui kendaraan setelah dihantam air bah yang lari dengan kecepatan pesawat jet. Foto: Arie Basuki

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

21

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Meskipun Panglima TNI sudah membayangkan besarnya bencana berdasarkan laporan dari Mabes TNI, laporan Pangdam yang lebih detail memberikan gambaran bahwa bencana di Aceh mahadahsyat dan tak pernah terjadi sebelumnya. Maka siang hari itu juga Panglima terbang ke Lhokseumawe, antara lain untuk memberikan laporan kepada Presiden, yang hari itu terbang dari Jayapura ke Aceh. Penerbangan NabireJayapura ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Presiden dan rombongan mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, sekitar pukul 13.00 Waktu Indonesia Timursekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Barat. Malam harinya, Presiden dijadwalkan menghadiri perayaan Natal bersama masyarakat Papua di Gelora Cenderawasih. Sejak mendarat, di tengah suasana peringatan Natal, Presiden sibuk mencari informasi tentang gempa di Aceh dan Sumatera Utara. Malamnya, sekitar 5.000 orang hadir dalam perayaan Natal yang berjalan sesuai dengan rencana. Dalam sambutannya, meski tidak secara khusus, Presiden menyinggung bencana di Aceh. Damai, kasih, dan sukacita itu hendaknya diamalkan bagi saudarasaudara kita sesama bangsa yang benarbenar membutuhkan, terutama mereka yang mengalami musibah gempa di Alor, Nabire, dan terakhir di Aceh dan Sumatera Utara. Sehabis perayaan Natal, informasi makin jelas: gempa di Aceh adalah gempa besar, jauh lebih besar dibandingkan dengan gempa Nabire yang menewaskan sekitar 130 orang. Malam itu juga diselenggarakan jumpa pers di Gedung Negara Jayapura. Presiden bercerita tentang gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagaimana yang dilaporkan kepadanya. Hingga malam itu, korban meninggal sudah lebih dari 800 orang. Angka ini, kata Presiden, akan terus bergerak naik karena belum semua korban dievakuasi. Jelas, ini sebuah gempa besar. Malam itu juga Presiden menyatakan gempa di Aceh sebagai bencana nasional. Presiden membatalkan rencana kunjungan ke Ambon karena esok harinya dia dan rombongan akan langsung terbang ke Aceh. Pemerintahan YudhoyonoJusuf Kalla pada hari itu baru berusia dua bulan lebih sepekan. Pada usia semuda itu, pemerintah ini harus menanggulangi bencana yang oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell, yang pernah memimpin Operasi Gurun di Irak, dikatakan sebagai bencana yang dahsyatnya belum pernah ia saksikan. Menurut David Nabarro, direktur urusan bantuan kesehatan dalam krisis di Badan Kesehatan Perserikatan BangsaBangsa, skala bencana di Aceh ini sangatlah besar, suatu skala yang belum pernah dihadapinya. Dugaan Powell dan Nabarro tidak berlebihan. Kemudian kita tahu, sepanjang pantai Banda Aceh sejauh enam kilometer ke daratan tersapu tsunami. Total di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam, daratan yang rata dengan tanah ini 28.485 hektare atau hampir 40 persen luas DKI Jakarta. Sebagian besar daerah tersebut adalah kawasan permukiman dan kegiatan ekonomi seperti pasar dan pertokoan. Jadi, meski luas daratan yang porakporanda kurang dari setengah persen, korban meninggal sekitar 7,5 persen dari total penduduk Nanggroe Aceh Darussalam atau 126.741 orang.

22

Sementara itu, Wakil Presiden sebagai Ketua Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi bergerak cepat. Ia mengirimkan tim ke Aceh untuk langsung mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar perencanaan penanganan bencana bisa dilakukan sebaik mungkin. Wapres, selain membekali Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil uang Rp 200 juta, juga meminjaminya telepon satelit. Wapres

Kawasan pusat pertokoan Banda Aceh luluhlantak; Bappenas menghitung, bencana gempa dan tsunami mengakibatkan hilangnya harta benda senilai Rp 41,4 triliun. Foto: Antara/Zarqoni Maksum

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

Angkaangka dalam bencana tersebut baru bisa diketahui beberapa hari setelah bencana. Andai saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera menyatakan bencana di Aceh sebagai bencana nasional, kemungkinan besar angkaangka itu jauh lebih tinggi. Sebab, penetapan bencana di Aceh sebagai bencana nasional dengan sendirinya menggerakkan semua departemen dan kementerian untuk segera memberikan bantuan ke sana. Lantas, esoknya, setelah malamnya Presiden mengumumkan bencana nasional itu, ketika singgah di Makassar dalam perjalanan JayapuraLhokseumawe, dinyatakanlah hari berkabung nasional tiga hari. Pernyataan ini sekaligus sebagai imbauan agar seluruh rakyat Indonesia ikut berdukacita dan memberikan bantuan semampunyakalaulah bukan materiil, ya, moril. Dengan dua pernyataan tersebut, Presiden tak hanya menggerakkan birokrasi, tapi juga seluruh bangsa, untuk ikut menangani bencana di Aceh dan Sumatera Utara itu.

23

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

24

Kapal terdampar di tengah Kota Banda Aceh; saksi mata mengatakan, gelombang air setinggi dua kali pohon kelapa itu tak menyisakan apa pun dan melambungkan kapalkapal yang tengah berlabuh di pantai ke tengah kota. Foto: AFP/Kazuhiro Nogi

minta, begitu sampai di Aceh, Menteri segera melaporkan segera seperti apa sebenarnya bencana ini. Ternyata kemudian, telepon satelit pun tak berfungsi. Menteri bisa menghubungi Wapres lewat komunikasi SSB milik TNI di Banda Aceh, malam hari. Dari tim yang dikirimkan inilah Wapres Jusuf Kalla mendapatkan informasi yang membuat dia langsung meminta Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyediakan uang kontan Rp 10 miliar untuk dibawa ke Aceh esoknya. Wapres tak mau tahu dari mana Menteri mendapat uang sebanyak itu. Pokoknya, esok harinya uang itu sudah harus dibawa untuk dana penanganan bencana. Lalu apa yang disaksikan Menteri Sofyan Djalil di hari Ahad itu? Menteri itu mendarat di Medan sekitar pukul 16.00. Sedianya, di Bandara Polonia itu pesawat hanya akan mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan penerbangan ke Aceh. Namun mereka mendapat kabar bahwa Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh, tak bisa didarati. Pesawat Garuda yang terbang ke Banda Aceh pagi itu kembali ke Medan. Ceritanya, pesawat itu tak berani mendarat karena tak ada pemandu pendaratan di menara pengendali lalu lintas udara di

Di Blang Bintang, anggota Pasukan Khas TNI Angkatan Udara sudah menunggu dengan satu minibus dan satu truk. Rombongan dari Jakarta itu pun dibagi dua: yang naik bus dan naik truk. Waktu itu sekitar pukul 19.00. Di beberapa toko yang masih buka di dekat bandara, rombongan membeli beras dan mi instan. Bus dan truk merangkak pelanpelan menuju gubernuran. Sebentarsebentar rombongan terpaksa berhenti karena jalan harus dibersihkan terlebih dahulu dari jenazah yang bergelimpangan. Suasana mencekam. Menyaksikan mayat bergeletakan, semuanya terdiam, bahkan beberapa orang muntahmuntah. Akhirnya, mereka sampai di pendapa gubernuran sekitar pukul 22.00. Beberapa anggota rombongan yang memang orang Aceh dan tinggal di Banda Aceh langsung pergi menengok rumah masingmasing, termasuk Wakil Gubernur Azwar Abubakar. Sementara itu, Menteri Sofyan Djalil hendak menghubungi Wapres. Ternyata telepon satelitnya tak bisa difungsikan. Karena itu, Sofyan lalu ikut Wakil Gubernur meninjau rumahnya Mereka bertemu lagi di pendapa pada pukul 23.00. Datang bergabung Pangdam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya dan Kepala Kepolisian Daerah Aceh Irjen Bachrumsyah Kasmankeduanya tampak sangat capek. Segera rapat kilat dibuka. Acara pertama membentuk tim penanggulangan bencana sementara. Sebagaimana dipesankan Wapres, Budi Atmadi disepakati bersama untuk memimpin tim itu. Sehabis rapat, Budi Atmadi hendak melaporkan segalanya kepada Wapres. Kebetulan, tak jauh dari pendapa, ada perumahan Angkatan Darat. Di situ ada radio SSB, tapi setrumnya lemah. Budi Atmadi pun minta agar aki dari salah satu truk yang diparkir di situ diturunkan. Radio akhirnya berfungsi. Lewat komunikasi radio inilah akhirnya Menteri Sofyan Djalil menyampaikan laporan pertama kepada Wapres bahwa Aceh porakporanda.

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

Bandara Iskandar Muda. Tanpa pemandu, pendaratan berisiko sangat besar. Langsung Sofyan Djalil mengontak Wapres, melaporkan situasi. Jusuf Kalla kemudian menghubungi pihak TNI, minta bantuan agar pesawat bisa mendarat di Banda Aceh. Sekitar satu setengah jam kemudian, pihak TNI Angkatan Udara di Pangkalan Udara Blang Bintang, Banda Aceh, menghubungi TNI Angkatan Udara di Polonia dengan radio SSB. Pesawat Wapres bisa mendarat di Blang Bintang, katanya, tapi dengan prosedur darurat, karena peralatan elektronik di menara pengendali mati total. Akhirnya, sekitar pukul 18.00, pesawat lepas landas menuju Banda Aceh.

25

Jalan Panjang untuk Sebuah Resolusi


TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

menghindari kejaran air bah. Ada yang selamat, tapi lebih banyak yang tertelan air laut. Kekuatan mereka tak sepadan, memang. Bangunan resor saja banyak yang hancur. Apalagi manusia. Tayangan di televisi itu menjerat mata siapa pun. Pemandangan lain lebih mengenaskan. Masyarakat miskin di Sri Lanka juga tak luput dari terjangan gelombang besar itu. Nun jauh di New York, sepasang mata menangkap pemandangan yang menyedihkan itu. Malam itu, setelah menyaksikan tayangan tersebut, Paryono Atianto, Kuasa Usaha Indonesia di New York, langsung terhuyung. Jantungnya kian berdegup keras saat dia mengetahui episentrum atau pusat gempa itu ternyata tak jauh dari pantai Aceh. Bergegas dia menghidupkan komputer, menunggu kabar dari Internet. Namun dia tetap gundah. Tak banyak informasi yang dia dapatkan. Praktis malam itu Paryono tidak tidur. Frustrasi memenuhi kepalanya. Dia mengontak Deputi Wakil Tetap Republik Indonesia di PBB, Adiyatwidi Adiwoso Asmadyyang biasa dipanggil Wiekeyang malam itu berada di Florida. Wieke, yang juga terenyak menyaksikan tayangan yang sama di televisi Aljazeera, membesarkan hati koleganya itu, Bertahanlah, saya kembali dengan pesawat pertama yang memungkinkan. Mafhum bahwa bencana yang terjadi teramat besar, Wieke segera memutuskan untuk mengakhiri cuti akhir tahunnya. Ia menghubungi atasannya, Rezlan I. Jenie Wakil Tetap RI di PBByang tengah berada di Tokyo, Jepang. Mereka sepakat berbagi tugas. Rezlan ke Jakarta, sedangkan Wieke kembali ke New York, ke kantornya. Langkah cepat memang harus dilakukan. Liburan akhir tahun harus segera diakhiri. Kantor yang hanya dihuni karyawan dengan jumlah sekadarnya

DI Thailand, wisatawan berlarian

kebanyakan tengah menghabiskan libur akhir tahunharus segera dihidupkan. Sesuatu yang mengerikan tengah terjadi di Tanah Air, ribuan kilometer dari New York. Benar saja, di 38th Street, kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di PBB, ledakan kegiatan segera terjadi. Telepon terus berdering sesudah United States Geological Survey (USGS) mengidentifikasi gempa besar dan lokasi episentrumnya terletak di pantai barat Pulau Sumatera. Kabar ini menjadi pembuka badai yang berlangsung dalam beberapa hari kemudian. Kesibukan langsung terjadi. Esok paginya, kantor UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengadakan rapat koordinasi dengan negaranegara yang terkena tsunami dan beberapa negara donor. Rapat yang dipimpin Jan Egeland, Direktur OCHA, dan wakilnya, Margareta Wahlstrom, mengumpulkan data dari negaranegara yang menjadi korban gelombang raksasa ini. Paryono, dengan hatihati, melaporkan bahwa korban di Indonesia yang terdata saat itu berjumlah 300 orang. Sri Lanka masih berada di urutan teratas, diikuti India. Dalam pertemuan itu pula dilaporkan bencana juga mengakibatkan kerusakan dan merenggut korban di beberapa negara lain, seperti Thailand, Maladewa, dan Seychelles. Rapat ini memutuskan untuk memonitor terus perkembangannya. Di Indonesia sendiri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan bahwa Acehyang masih dirundung konflikterbuka untuk para pekerja kemanusiaan, bahkan beberapa pesawat militer negara tetangga, seperti Singapura dan Australia. Hal ini membuat semua orang di New York lega. Egeland seperti mendapat suntikan darah. Saat tampil di CNN, dia menyerukan agar dunia bersatu untuk mengatasi dampak

26

Kesibukan Wieke tak jua surut. Perempuan ini mengikuti pertemuan koordinasi berikutnya dengan Sekretaris Jenderal PBB untuk membahas apa yang harus dikerjakan negaranegara yang menjadi korban tsunami itu. Gambar gambar dari Aceh yang memberitakan kehancuran yang luar biasa membuat Indonesia ditetapkan sebagai koordinator negara korban tsunami. Hampir bersamaan dengan itu, Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia akan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN khusus membahas bencana tsunami. Presiden pun mengundang Sekjen PBB Kofi Annan untuk hadir. Sore itu pula Wieke menemui Sekjen PBB. Syukurlah, Kofi Annan menyatakan akan hadir pada pertemuan itu. Mengantisipasi hasil KTT ASEAN di Jakarta, PTRI menggalang suara di PBB. Kesiapan PBB sangat dibutuhkan dan perlu ada payung hukumnya: Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Tsunami 2004. Namun itu tidaklah mudah. Wieke harus melakukan lobi panjang dan berpacu dengan waktu karena draf resolusi ini harus sudah selesai dalam enam hari. Termasuk mengadopsi hasil KTT ASEAN di Jakarta. Bila tidak, negosiasi dengan negara donor akan sangat alot karena mereka memiliki syaratsyarat yang biasa dipakai dalam memberikan bantuan. Sebaliknya, negara negara korban teramat membutuhkan bantuan dengan segera. Kesibukan lain pun terjadi di Jenewa, Swiss, kantor PBB yang lain. Mereka mempersiapkan Imbauan Kilat (Flash Appeal) PBB untuk menggalang bantuan bagi negaranegara yang terkena tsunami. Indonesia sendiri dipimpin Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Ketua Bappenas Sri Mulyani Indrawati

Kembali ke New York. Kerja keras Wieke berbuah hasil. Draf resolusi pun rampung dan kemudian disahkan dalam Sidang Khusus Majelis Umum PBB, 19 Januari 2005. Resolusi ini menekankan tata cara kerja PBB membantu pemulihan pascabencana tsunami, mengimbau negaranegara untuk memberikan bantuan, mendukung pelaksanaan Konferensi Pengurangan Risiko Bencana di Kobe, menghargai kesepakatan Paris Club untuk memberikan moratorium buat pembayaran utang bagi negara yang terkena bencana, serta mendorong dibentuknya kemitraan atas permintaan dan dipimpin oleh negara tuan rumah dengan negara donor, lembaga keuangan internasional dan regional, serta pihak pihak lain. Untuk menggalang dan menjaga komitmen negara donor, PBB lalu membentuk sebuah konsorsium global (Global Consortium for TsunamiAffected Countries) dan menunjuk seorang utusan khusus. Setelah proses pemilihan yang intensif dan melibatkan caloncalon dari Jepang dan Thailand, posisi ini kemudian diisi mantan Presiden Amerika Serikat, William Jefferson (Bill) Clinton, yang diberi mandat untuk bekerja selama dua tahun. Sebuah landasan hukum dan prinsip kerja sama di tingkat internasional bagi berlanjutnya perhatian dan bantuan dunia telah terbentuk. Hasil yang pantas dari sebuah perjuangan diplomasi antarbenua.

Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana

bencana yang belum pernah dialami ini. Dia juga meminta negara maju segera mengucurkan bantuan.

dalam Pertemuan Tingkat Menteri tentang Dukungan Kemanusiaan kepada Komunitas Terdampak Tsunami (Ministeriallevel Meeting on Humanitarian Assistance to TsunamiAffected Communities) pada 11 Januari 2005, yang menjadi ajang diluncurkannya flash appeal tersebut. Luar biasa, flash appeal kali ini menghasilkan janji bantuan sebesar US$ 6,3 miliar untuk seluruh wilayah yang terdampak tsunami.

27

Episentrum di Serambi Mekkah


Hidup berhenti hanya dalam lima menit. Air datang lalu pergi membawa ribuan nyawa dalam waktu singkat.
Ismail Sarong, empu serunai kale tsunami itu menggulung daratan Aceh, mereka yang selamat sempat berpikir: kiamatkah hari ini? Lalu mereka pun teringat hadis bahwa kiamat terjadi pada Jumat. Hari itu, 26 Desember 2004, adalah hari Ahad, jadi petaka ini bukanlah akhir zaman. Maka orangorang yang dikaruniai panjang umur itu pun menjadi saksi kedahsyatan bencana tersebut. Kesan itulah yang dirasakan Marie Muhammad, Ketua PMI. Marie termasuk dalam rombongan yang pada hari bencana tiba di Banda Aceh, petang hari, dengan pesawat pribadi Wapres Jusuf Kalla. Saya melangkah, ada mayat, melangkah lagi, ada mayat lagi, dengan bentuk yang sudah mengenaskan, tutur mantan Menteri Keuangan itu. Anakanak kecil di jalanan berteriak sambil menangis memanggilmanggil ibunya; orangorang dewasa dengan pandangan kosong, kadang berteriak, stres kehilangan keluarganya; makanan tidak ada, air tidak ada, listrik mati, minyak tidak ada. Ini seperti latihan kiamat, kiamat kecil. Ia sendiri selama seminggu setelah pulang dari Aceh menderita stres berat, kadang spontan berteriak begitu terbayang kiamat kecil itu. Mulamula adalah gempa yang membuat orang pun tak bisa bertahan berdiri. (Kemudian diketahui gempa tersebut berkekuatan 9,1 skala Richterhanya kurang 0.9 skala untuk mencapai angka 10, skala terbesar pada seismograf, alat pengukur gempa.) Suamiistri Usman Ahmady, 55 tahun, dan Dina Astina, 35 tahun, sedang

KETIKA

Selalu ada keajaiban dalam bencana; banyak masjid tetap berdiri meski dihantam tsunami. Pemandangan di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, salah satu tempat pengungsi berlindung; sekitar masjid menjadi tempat sampah raksasa. Foto: Ilham Anas

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

29

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

dalam perjalanan dari Calang, Aceh Jaya, menuju Banda Aceh untuk menghadiri pesta pernikahan kerabatnya. Namun, sesampai di Simpang Lima, Banda Aceh, tibatiba mobil yang mereka tumpangi oleng. Karyawan Pemda Aceh Jaya dan istrinya itu mengira ban mobil pecah. Mereka turun, tapi langsung terjatuh karena bumi bergoyang; mencoba duduk pun susah. Begitu melihat orangorang di sekitar juga terjatuh, sadarlah mereka bahwa ada gempa besar. Setelah gempa berhenti, mereka melanjutkan perjalanan ke Lhong Raya untuk menghadiri acara pernikahan. Inilah cerita suamiistri yang meninggalkan ketiga anaknya di rumah karena berpikir mereka bisa segera pulang ke Calang, 150 kilometer dari Banda Aceh. Ternyata suamiistri ini harus menerima kenyataan bahwa mereka tak lagi bisa bertemu dengan ketiga anaknya, untuk selamanya. Setelah akad nikah di Baiturrahman dibatalkan karena gempa, upacara dilangsungkan di rumah. Sehabis acara, kami mencemaskan anakanak di rumah. Kami pamit pulang. Dari Lhong Raya menuju Calang harus kembali melewati Kota Banda Aceh. Begitu memasuki kota, kami kaget luar biasa. Lumpur hitam di manamana, mobilmobil terjungkal. Dan astagfirullah, mayatmayat masih segar bergelimpangan di Jalan Teuku Umar. Mobil harus berjalan zigzag mencari celah. Saya menjadi histeris, teringat ketiga anak kami. Kecemasan dan keputusasaan Dina sangat beralasan. Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, kota pantai barat, langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Bila air laut sampai ke tengah Kota Banda Aceh, kota di pantai utara yang boleh dikata punya bumper Pulau Sabang, lalu apa yang terjadi dengan Calang? Beberapa hari kemudian, Dina mendengar kabar bahwa Calang rata dengan tanah, dan sekitar 80 persen dari warganya tewas atau hilang. Dina berharap ketiga anaknya termasuk yang 20 persen. Namun, setelah mencari dari kamp pengungsian satu ke yang lain, akhirnya mereka pasrah. Barangkali Usman dan Dina masih bisa bertahan karena mereka tak sendiri. Atasan Usman, Bupati Aceh Jaya, yang ketika tsunami melanda sedang berada di Jakarta, kembali ke Calang dengan stres berat: istri dan ketiga anaknya yang tak ikut ke Jakarta hilang tanpa jejak. Satusatunya anggota keluarga yang selamat adalah seorang anaknya yang kuliah di Banda Aceh. Usman dan Dina tak mengalami sendiri tergulung gelombang dahsyat bernama tsunami itu. Banyak di antara mereka yang bertahan hidup menderita trauma karena merasakan sendiri tergulung ombak, berada di ambang kematian. Salah satunya adalah Ismail Sarong, ketika itu berusia 60 tahun, empu peniup serunai kale, seruling khas Aceh. Di Ahad pagi itu, di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, tengah dilangsungkan lomba maraton 10K Banda Aceh. Sekitar 3.000 orang, peserta dan penonton, memenuhi lapangan dan sekitarnya. Ismail Sarong diundang panitia lomba untuk memeriahkan pesta lari ini. Dan ia menyaksikan orangorang tersapu gelombang laut sebelum ia sendiri tergulung di dalamnya. Hidup berhenti hanya dalam lima menit. Air datang lalu pergi membawa ribuan nyawa dalam waktu singkat, kenang sang peniup serunai.

30

Pagi, sebelum pukul tujuh, Ismail mengawali tugasnya dengan duduk di mobil bak terbuka sembari meniupkan lantunan nadanada dari alat musiknya, diiringi entakan gendang yang ditabuh Rusdiansyah, anak lelakinya. Mobil itu mengikuti para pelari. Baru puluhan meter dari Blang Padang, tibatiba tanah bergoyang. Gempa besar. Orangorang berlarian. Pikiran saya tak enak. Saya segera turun dari mobil, melihat sekeliling. Banyak bangunan rontok. Orangorang menjerit, takut, dan bingung. Lomba lari pun bubar. Karena acara bubar, Ismail bersama Rusdiansyah berboncengan skuter pulang ke rumah di Gampong Pande. Mereka mampir sebentar ke rumah seorang sahabat di dekat lapangan, sekadar menengok apakah sahabat itu ikut terkena musibah gempa atau tidak. Ternyata tidak. Saya sempat duduk sebentar, berbincang tentang gempa yang baru terjadi. Tapi perasaan tak tenang, ingat istri dan anakanak di rumah. Saya lalu pamit, tutur Ismail. Beberapa ruas jalan ternyata ditutup. Banyak puing berserakan dan bertumpuk di jalan itu. Ismail menyusuri jalan tikus bermaksud mengambil jalan di depan Masjid Raya Baiturrahman. Dari depan Masjid Baiturrahmanmasjid ini tak begitu parah terguncang gempaIsmail pun terus melaju ke arah pantai. Gampong Pande, kampungnya, memang

Salah satu sudut Kota Banda Aceh; beberapa kota di NAD menjadi lumpuh total dalam beberapa hari: komunikasi terputus, listrik mati, makanan dan minuman musnah. Foto: Arie Basuki

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

31

Saksi bisu kedahsyatan alam di kawasan wisata pantai Lhok Nga, setelah gelombang laut setinggi belasan meter dengan kecepatan puluhan kilometer per jam menyapu segala yang ada, termasuk memangkas pohonpohon kelapa. Foto: Antara/Maha Eka Swasta

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

33

dekat dengan pantai. Namun, saat mereka baru melintas sekitar 10 meter, terdengar seseorang berteriak dari lantai dua masjid. Pak, Pak, balik Pak, air laut naik, seru orang itu seraya menunjuk ke arah datangnya air, arah yang dituju Ismail dan anaknya.
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

34

Dari 126.000 lebih korban meninggal di Aceh, sekitar 30.000 di antaranya anakanak; dan anakanak yang selamat banyak menderita cacat tubuh. Foto: Yusnirsyah Sirin

Ketika itulah Ismail baru menyadari suara gemuruh bagaikan deru pesawat jet. Lelaki tinggi kurus ini kebingungan. Ia mengerem mendadak skuternya dan berteriak kepada Rusdiansyah, pemuda 24 tahun itu. Cepat kau lari! Gendang taruh di mana saja. Kau lari, jangan menoleh ke belakang! (Jauh hari kemudian, ia baru menyadari keanehan perintahnya itu; bukankah seharusnya dengan membonceng skuter bisa lebih cepat menjauhi gelombang air yang mengejar? Tapi Ismail bersyukur karena justru dengan lari anaknya selamat sampai di pendapa gubernuran yang hanya tergenang, tidak tersapu tsunami.) Ketika Rusdiansyah lari secepatnya, Ismail yang panik membelokkan arah kendaraannya. Rupanya, kepanikan menghambat geraknya dan gelombang itu keburu menyapu dia dan skuternya. Inilah pengalaman yang masih diingat peniup serunai kale itu:

Tibatiba air surut, lebih kencang dibanding ketika menghantam saya sebelumnya. Mendadak serunai kale yang tadi saya sangkutkan di setang Vespa muncul di permukaan, tepat di hadapan saya. Dalam hati saya berkata, serunai ini dalam keadaan macam begini masih mau ikut. Jadi untuk seterusnya saya tidak boleh lepas dari serunai. Segera saya raih serunai dari kayu jati itu, saya selempangkan ke punggung. Saya bisa menggerakkan tangan, tapi rasanya tak ada tenaga untuk menggerakkan kaki. Saya lihat seseorang mendekat dari balik tembok. Orang itu lalu membopong saya. Saya sepenuhnya sadar, ingat semua kejadian, namun saya tak bisa berkata apa pun. Tubuh saya menggigil, mulut terasa terkunci. Saya dibaringkan di lantai. Saya mendengar pembacaan ayatayat AlQuran bercampur tangis dan jeritan. Syahdan, Rusdiansyah yang selamat itu menemukan bapaknya di masjid sekitar pukul sebelas siang, sekitar tiga jam setelah bencana terjadi. Mereka berdua malam itu tidur di masjid, tak bisa pulang. Orangorang bilang, jalan menuju Gampong Pande belum bisa dilewati, masih tergenang air dan tertutup tumpukan puingpuing. Lagi pula kaki Ismail ternyata luka. Ismail kemudian diinapkan di rumah salah seorang keponakannya di Ulee Kareng yang tak terkena tsunami. Lebih dari sebulan Ismail harus tinggal di rumah keponakannya. Selama itu, bila ayahnya berniat menjenguk rumah, Rusdiansyah selalu melarang. Ketika akhirnya pulang kampung, Ismail terenyak seolah napasnya berhenti. Di hadapannya hanya hamparan lahan, kering, dengan beberapa pohon tinggi masih berdiri dan nisannisan di makam bersejarah berserakan. Peniup serunai ini menemukan sisa tembok dan fondasi rumahnya. Rumahnya lenyap beserta seluruh penghuninya ketika itu: ibu, istri, dan kelima anak perempuannya. Gampong Pande seperti tak pernah ada. Sedih betul kala itu. Rasanya ingin mati. Tapi saya coba kuatkan hati. Banyak pula orang yang mengalami nasib seperti kami, bahkan ada yang lebih menderita, katanya. Adalah Basariyah, 45 tahun, yang biasa dipanggil Neneh, warga Lampaseh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Ketika gempa terjadi, seisi rumah janda sembilan anak ini sempat menghambur ke luar rumah. Gempa berhenti, mereka kembali masuk ke rumah, dan Neneh menyuapi si bungsu yang baru berusia satu setengah tahun. Anak sulungnya berniat ke Sabang hendak melihat keadaan setelah gempa. Baru seratus meter melangkah ke arah kota, ia segera balik ke rumah dan berteriak, Air laut naik. Lari! Lari!

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

Gelombang air hitam yang membawa bongkahan kayu menghantam. Saya terseret, timbultenggelam. Saya rasakan badan saya menghantam tembok. Napas terasa sesak. Saya masih duduk di Vespa rupanya. Kaki terjepit Vespa, dan kami teronggok di gunungan sampah dan balok kayu. Saya meronta, melepaskan jepitan itu. Saya tak merasakan sakit waktu itu. Pikiran saya hanya ke rumah. Terbayang anakanak.

35

Saya bingung dan tak tahu harus berbuat apa mendengar teriakan anak lelaki saya itu. Keenam anak dan seorang cucu naik ke lantai dua. Salah seorang anak berteriak, minta saya mengunci pintu rumah. Saya mengunci pintu sambil masih menggendong si bungsu. Belum sempat saya memutar anak kunci, air bah menghantam pintu. Anak dalam gendongan saya terlepas. Saya tak mampu menyelamatkannya. Gelombang kedua lebih kuat. Saya masih sempat melihat semua isi rumah hanyut, termasuk anakanak, tapi saya tak bisa berbuat apaapa. Saya merasa tergulung air. Saya ingat, saya digulunggulung air sampai ke tengah kota. Kaki saya tersangkut di tumpukan reruntuhan rumah. Saya naik ke tumpukan puingpuing itu. Kepala saya terhantam lemari besar. Saya pingsan. Waktu sadar kembali, saya memandang langit; ini kiamat bukan? Ternyata matahari masih bersinar. Saya melihat ke sekeliling. Oh, saya berada dekat sekolah. Baru kemudian saya merasa kaki saya sakit, selembar seng menancap. Kepala saya memar. Saya raih sebatang kayu, saya jadikan tongkat untuk berjalan. Selembar kain yang tersangkut saya ambil untuk membungkus tubuh. Saya tak tahu kenapa seluruh pakaian saya lenyap. Tibatiba saya melihat salah satu anak saya terjepit batang pohon asam yang roboh. Ia tak bergerak. Saya melangkah menuju anak itu. Ketika sadar, Neneh mendapati dirinya terbungkus dari kaki hingga kepalaitulah kantong mayat. Ia pun berteriak sekuat tenaga, Saya masih hidup. Tolong dibuka. Ternyata Neneh ditemukan para pekerja sukarela dan dibawa ke pendapa gubernuran. Ia disangka telah tak bernyawa, maka dimasukkan ke kantong mayat. Malam itu juga Neneh dibawa ke Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda. Usman, Dina, Ismail, dan Neneh hanyalah sekadar contoh. Melihat keluasan wilayah yang dilanda tsunami, bisa dibayangkan betapa banyak yang menjadi korban. Menyadari dahsyatnya air bah itusampai setinggi belasan meter dan dengan kecepatan 30 kilometer per jam di daratanbisa dikatakan tak ada apa pun yang mampu bertahan. Akhirnya, angkaangka memang menggambarkan secara tak langsung luar biasanya gempa yang disusul tsunami yang melanda wilayah barat dan utara Aceh. Wilayah itu lumpuh, terisolasi, tanpa alat komunikasi dan listrik, juga tanpa makanan dan air minum. Gempa, tentu saja, terasa di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tsunami hanya menerjang 11 kabupaten dan dua kota, menewaskan lebih dari 126.000 orang, dan lebih dari 93.000 orang dinyatakan hilang. Gelombang raksasa yang mendera daratan sampai enam kilometer itu meninggalkan kawasan dua kilometer dari pantai ke darat
Bencana tak mengenal korban; sebuah sedan mewah terdampar di sebuah pintu gudang bersama tumpukan sampah. Foto: Yusnirsyah Sirin

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

Kisah Neneh menyadarkan kita betapa pentingnya memasyarakatkan kemungkinan berbagai bencana yang mengancam dan cara menyelamatkan diri. Mereka yang tak menyadari bencana ini, bukannya lari menjauh, justru berlindung di dalam rumah. Padahal gelombang laut tersebut pasti menggulung rumah itu. Inilah kisah ibu yang kehilangan tujuh anaknya dalam bencana Ahad pagi itu.

37

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

38

Warga Calang yang selamat menerima bantuan kemanusiaan dari helikopter Seahawk Angkatan Laut Amerika Serikat, 4 Januari 2005. Kota di pantai barat Aceh ini hancur total. Foto: Jefri Aries

rata dengan tanah; pohonpohon kelapa tinggal pokok setinggi semeter. Panjang pantai barat Aceh yang digulung tsunami mencapai 240 kilometer. Total pantai yang tersapu tsunami 800 kilometer, kirakira sama dengan jarak JakartaSurabaya. Adapun luas daratan yang digerus tsunami, menurut perhitungan Bappenas, mendekati 180.600 hektare atau sama sekitar 28.485 hektare dapat dikatakan rata dengan tanah. Panjang jalan yang rusak tak bisa dilewati mencapai 2.618 kilometer. Akibatnya, banyak sekali daerah yang tak bisa dijangkau lewat darat setelah tsunami, terutama wilayah di pantai barat. Di Lampuuk, kota pantai di ujung barat laut Aceh, boleh dikata lebih dari 80 persen kota hancur. Sebuah masjid yang bertahan menjadi tempat mengungsi sekitar 10 persen warganya yang selamat. Ke sinilah, antara lain, dua mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton dan George W. Bush Sr., berkunjung. Lebih dahsyat adalah Calang, ibu kota Aceh Jaya. Hampir di seluruh kota itu tak ada bangunan yang berdiri lagi. Kota ini pun terisolasi dari daerah lain karena jalan darat mustahil ditempuh, dan pantainya pun dipenuhi sampah. Hanya sekitar 2.500 dari

Tak berlebihan orang menyebut 26 Desember 2004 sebagai kiamat kecil. Di sebagian besar wilayah yang terisolasi, mereka yang selamat harus mengalami kelaparan dan kehausan lebih dari 24 jam sebelum bantuan dikirimkan, tepatnya dijatuhkan, dari udara. Wilayahwilayah yang disapu tsunami menjelma bak daerah tak bertuan. Yang membedakan daerah tak bertuan dengan wilayah yang terkena tsunami hanya satu: di tempat bekas tsunami mengamuk, mayat berserakan. Pemandangan itulah yang membuat para pemimpin yang mengunjungi daerah bencana langsung meningkatkan besarnya bantuan yang dijanjikan. Presiden George W. Bush Sr. semula menjanjikan bantuan US$ 15 juta. Kritik dari Perserikatan Bangsa Bangsa membuat George W. Bush Sr. menambah bantuan dari Amerika Serikat menjadi US$ 20 juta. Setelah ia menyaksikan daerah bencana, ia naikkan lagi bantuan itu menjadi US$ 35 juta. Angka ini ternyata masih diubah lagi setelah Colin Powell menyaksikan sendiri Aceh yang hancur. Powell, Menteri Luar Negeri AS kala itu, setelah berunding dengan Presiden Bush, meningkatkan angka bantuan negaranya sepuluh kali lipat: menjadi US$ 350 juta. Bappenas, bekerja sama dengan Bank Dunia, mendokumentasikan kerusakan ini dalam Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Pada dokumen yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 itu, yang kemudian menjadi kerangka acuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias dalam melaksanakan tugasnya, tergambar kerusakan serta kerugian di Aceh dan Nias mencapai nilai lebih dari Rp 41,4 triliun atau sekitar 2,7 persen dari produk domestik bruto nasional. Inilah bencana terdahsyat kedua dalam waktu satu abad belakangan, yang hanya tertandingi oleh bencana dua hari angin topan di Bangladesh pada 1213 November 1970. Topan di Bangladesh itu juga membuat air laut naik sampai tujuh meter, lebih dari 300.000 jiwa tewas, serta ratusan ribu rumah dan bangunan lain hancur.

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

12.000 penduduk Calang yang selamat. Sedangkan Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, bisa dikata hancur total. Di pusat Kota Meulaboh hanya beberapa bangunan beton dan sebuah menara radio yang masih berdiri setelah tsunami. Meulaboh merupakan kota pelabuhan penting di pantai barat yang berada dalam wilayah kabupaten Aceh Barat, sebelum tsunami terdata berpenduduk sekitar 190.000 jiwa, dan setelah tsunami menjadi 181.939 jiwa.

39

Membuka Meulaboh
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang Pusat Kota Meulaboh hancur. Berita terisolasinya Meulaboh langsung ditanggapi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: menghubungi Komandan Korem Meulaboh, Kolonel Geerhan Lantara. Presiden meminta agar akses laut dan darat ke dan dari Meulaboh diupayakan segera dibuka. Foto: Jefri Aries

MEULABOH terbilang parah akibat tsunami menyapu Aceh, Desember 2004. Kota di sisi pantai barat Aceh yang letaknya berdekatan dengan pusat gempa ini diserang ombak dari tiga sisi yang berbeda secara bertubitubi. Gelombang tsunami menyeret bangunan dan hanya meninggalkan fondasifondasi dan material bangunan yang berserakan di sepanjang radius dua sampai lima kilometer dari pantai. Kerusakan ini juga membuat jalur transportasi dan komunikasibaik dari utara (Banda Aceh) maupun dari selatan (Medan)terputus. Aliran listrik dan jaringan komunikasi telepon, termasuk telepon seluler, mati.

40

Putusnya transportasi dan komunikasi itulah yang membuat keadaan semakin sulit. Jalur transportasi ke Aceh Barat dan Takengon tak bisa digunakan. Ke arah selatan sama saja. Tiga buah jembatan putus. Praktis daerah ini terisolasi. Bantuan teramat sulit datang ke Meulaboh. Lumpuhnya transportasi dan komunikasi membuat Meulaboh seperti daerah yang terlupakan. Tolong sampaikan bahwa Meulaboh juga sama parahnya seperti daerah yang lain, ujar Kolonel Infanteri Geerhan Lantara, Komandan Korem 012 Teuku Umar, kepada wartawan.

Kemudian anggota TNI yang selamat melakukan kerja keras membersihkan kota, mengevakuasi mayat, dan menyelamatkan mereka yang masih hidup. Salah satu posko milik TNI menjadi tempat penampungan pengungsi. Aparat TNI juga membuat jembatan darurat untuk mengatasi terisolasinya Meulaboh. Mengetahui Meulaboh menjadi daerah yang terisolasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat transit di Bandara Polonia, Medan, menuju Banda Aceh, Rabu, 29 Desember 2004, langsung mengeluarkan perintah agar akses angkutan darat dan laut ke Meulaboh segera dibuka. Perintah itu langsung dilaksanakan dengan memberangkatkan kapal TNI Angkatan Laut yang malam sebelumnya merapat ke dermaga Meulaboh, membawa suplai logistik dengan perangkat sekoci. Sekarang ini, dengan personel TNI yang ada, bersihkanlah lapangan, untuk membuka jalur penerbangan di sana. Apabila [lapangan] sudah selesai dibersihkan, percepat [pengiriman] Hercules, kata Presiden saat berdialog dengan Kolonel Geerhan Lantara melalui sambungan radio milik TNI Angkatan Udara di Pangkalan Udara Polonia, Medan. Upaya ini dilakukan sebagai cara untuk menghilangkan penghambat utama penyaluran bantuan. Banyak warga, terutama yang tidak tinggal di tempat pengungsian, terancam kekurangan bahan makanan. Pengiriman bantuan hanya dapat dilakukan lewat jalur udara dan laut. Bantuan yang datang mulamula hanya menjangkau sebagian korban bencana gempa tektonik dan tsunami di wilayah

Lambatlaun, dengan kerja keras, Meulaboh mulai terbuka. Usaha keras yang dilakukan pasukan TNI membuka isolasi Meulaboh dengan memperbaiki jalan dan jembatan menjadi pemberitaan media massa. Pemberitaan tersebut membuat banyak pihak lalu menaruh perhatian pada Meulaboh. Beberapa hari kemudian, Meulaboh mulai didatangi berbagai bantuan berupa makanan atau obatobatan. LSM, tenaga sukarelawan, dan bantuan asing turut serta menangani korban. Kerja keras aparat TNI membuka isolasi Meulaboh mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kata Presiden setelah menyaksikan langsung kerja keras mereka di lokasi bencana, Para prajurit TNI dan Polri tersebut tetap menunjukkan jiwa patriot mereka walaupun telah kehilangan istri dan anakanak mereka. Karena itu, Bapakbapak dan Ibuibu tidak perlu khawatir akan hilangnya patriotisme meskipun bentuknya berbeda dengan masa lalu. Pasukan TNI tetap bekerja keras saat terjadi gempa bumi dan gelombang tsunami di Meulaboh, 26 Desember 2004. Salah seorang anggota staf Korem Teuku Umar, Letkol Catur, juga terus bekerja walaupun istri dan anaknya hilang. Demikian pula tiga kapten di Meulaboh yang kehilangan anak dan istri. Mereka tetap membantu para korban bencana alam ini. Saat peninjauan itu, tibatiba anak Letkol Catur [yang selamat] datang dan kemudian mengatakan kepada saya, Om, ibu saya masuk surga. Saya terharu mendengarnya, kata Presiden.

Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah

Di hari bencana itu, pagi, setelah gempa bumi mengguncang, bersama pasukannya, Kolonel Geerhan Lantara membersihkan reruntuhan akibat gempa. Namun, baru sekitar 15 menit mereka bekerja, terdengar suara gemuruh dan air laut datang menghantam. Mereka kemudian lari ke bukit. Sebagian selamat, tapi lebih banyak yang menjadi korban.

pesisir pantai barat Aceh itu. Sedangkan korban di wilayah terpencil terancam kekurangan bahan pangan dan serangan berbagai penyakit.

41

Liku-liku Operasi Tanggap Darurat


Dua hal dilakukan pemerintah dengan tepat dalam kerja di masa tanggap darurat. Memberdayakan Bakornas dan membuka pintu Serambi Mekkah kepada dunia internasional yang ingin membantu Aceh dan Nias.
pernah terjadi dalam sejarah dunia, penanganan bencana sebesar dan seluas akibat gempa dan tsunami seperti di Aceh ini. Dalam keadaan pemerintah daerah mati suri dan telekomunikasi putus, tim penanggulangan bencana harus bekerja. Ketika itu, mereka semua bekerja bagaikan orang buta: belum ada peta bencana, belum ada sistem kerja. Toh, Budi Atmadi Adiputro, Deputi Bakornas, harus menjalankan tugasnya. Ia pun malam itu juga, setiba di pendapa gubernuran Nanggroe Aceh Darussalam, langsung membagi tugas di antara tenaga yang ada. Ia mencocokcocokkan agar antara orang dan tugasnya sesuai, setidaknya bersinggungan. Ketua Palang Merah Indonesia Marie Muhammad diserahi tugas mengoordinasi evakuasi mayat. Muhammad Syafwan, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial, bertanggung jawab mengatur masalah makanan. Dokter Ferdinand Laihad, salah seorang anggota staf ahli Departemen Kesehatan, ditugasi mengoordinasi masalah kesehatan. Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional yang juga tokoh Aceh, Farhan Hamid, mendapat tugas menyiapkan tenda darurat atau shelter, karena tak ada orang dari Departemen Pekerjaan Umum. Budi Atmadi mengaku memimpin dengan gaya komando: Salah sekalipun saya putuskan, karena saya pikir harus ada keputusan agar ada kemajuan setiap harinya.

BELUM

Siangmalam tanpa henti, secara bergiliran anggota TNI, Polri, PMI, relawan dalam dan luar negeri, serta anggota organisasi massa dan politik mengevakuasi jenazah. Alhamdulillah, daerah bencana terbebas dari berjangkitnya penyakit. Foto: Ali Reza

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

43

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

44

Gajah pun membantu membersihkan sampah tsunami; kerajaan Aceh di masa jayanya pernah memiliki pasukan gajah yang menggentarkan musuh. Foto: AFP/Philippe Desmazes

Apa pun usaha yang dilakukan tim penanggulangan bencana di harihari pertama sesudah bencana, karena minimnya informasi, tim itu hanya bisa menangani kawasan yang mungkin dicapai. Tenaga yang ada di masyarakat belum terkoordinasi. Juga, ketika bantuan dari Angkatan Bersenjata Australia dengan Hercules C130nya mendarat di Bandara Iskandar Muda, 28 Desember siang, tim penanggulangan bencana belum bisa memanfaatkannya dengan baik. Padahal pasukan ini berangkat dari Australia dengan informasi hampir nol. Yang kami tahu, pengungsi dan korban meninggal sangat banyak dan akan terus bertambah dari jam ke jam di harihari pertama, tulis Brigjen Dave Chalmers, Komandan Operation Sumatra Assist, nama satuan tugas yang dikirim ke Aceh ini. Chalmers menuliskan pengalamannya di majalah resmi militer Australia, Defence. Sebenarnya, pasukan Australia ini tidak sama sekali nol dalam pengalaman menangani bencana. Beberapa tahun sebelumnya, militer Australia ikut menolong korban tsunami di Papua Nugini. Jadi, dari pengalaman di Papua Nugini tersebut, mereka mengantisipasi apa saja yang paling diperlukan dalam bencana seperti itu. Menurut Chalmers dalam tulisan itu, yang terpenting untuk menangani bencana adalah tim kesehatan yang menyediakan obatobatan, termasuk air minum, dan tenaga medis untuk merawat korban yang lukaluka. Selain itu, diperlukan alatalat berat untuk membongkar

reruntuhan mencari korban yang meninggal atau masih hidup. (Itulah mengapa Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter Cosgrove menawarkan bantuan obatobatan dan tim medis kepada Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.) Karena belum jelas prioritas kerja penanggulangan bencana, pada hari pertama ini tim Operation Sumatra Assist langsung mengoperasikan alat penyaring air yang mereka bawa. Dan dengan cepat warga Banda Aceh antre panjang untuk mendapatkan air minum. Di kawasan yang terendam air laut, semua sumur tercemar. Empat hari kemudian, 30 Desember, Wapres Jusuf Kalla membentuk Tim Nasional Penanganan Bencana Aceh. Wapres mengetuai tim ini karena dia Ketua Bakornas. Ketua hariannya Menko Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, sedangkan Budi Atmadi ditunjuk sebagai kepala staf operasi. Toh, setelah ada surat keputusan resmi pun, rapat tim setiap malam di pendapa gubernuran yang dijadikan pos komando itu masih seperti semula: belum bisa mengoordinasi semua tenaga yang ada dan belum mencakup seluruh daerah bencana. Di mata Mayjen Bambang Darmono, anggota staf ahli Panglima TNI yang bergabung dalam rapat tim tersebut sejak 28 Desember malam, koordinasi penanganan bencana masih kacau. Pendayagunaan tenaga yang ada belum efektif. Sebagai tentara yang terlatih dalam standar prosedur operasi, ia merasa lebih bisa menjalankan

Tumpukan sampah setinggi dua lantai bangunan di Jalan Sisingamangaraja, Banda Aceh. Pada mulanya adalah kebingungan, bagaimana harus memulai pembersihan sampah tsunami. Pada akhirnya kerja keras, gotongroyong di antara masyarakat Aceh, Indonesia, dan dunia memusnahkan sampah itu. Foto: Serambi Indonesia/Bedu Saini

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

45

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

46

Nasional Relawan Tim Medis Personel Paramedis Alat berat Personel Militer

Jumlah 5.645 orang 124 tim 11.800 orang 493 unit 6.000 personel

Internasional Negara yang Terlibat Personel Tim Medis Kapal Induk Rumah Sakit Apung Kapal Perang Pesawat Helikopter

Jumlah 34 negara 16.000 orang 117 tim 9 unit 1 unit 14 unit 31 unit 82 unit

TIGA hari setelah bencana tsunami menyapu Aceh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengeluarkan 12 arahan penanggulangan bencana. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Laksanakan evakuasi secara intensif. Laksanakan pengelolaan pengungsi. Terus lakukan pencarian orang hilang dan pengumpulan jenazah. Buka jalur logistik serta lakukan resupply dan pendistribusian logistik yang diperlukan. Buka dan pulihkan jaringan komunikasi antardaerah atau kota. Lakukan pembersihan kota yang hancur, yang penuh puing dan lumpur. Lakukan pengelolaan bantuan, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan sebaikbaiknya. Gunakan dana pemerintah untuk penanggulangan bencana, dan gunakan pula dengan tepat sumbangan dana, baik dari dalam maupun luar negeri. Meskipun kegiatan di Aceh berkonsentrasi pada kegiatan penanggulangan bencana alam, jangan tinggalkan upaya untuk memelihara keamanan demi ketertiban masyarakat.

9.

10. Mengingat besarnya jumlah korban, TNI dan Polri melakukan penambahan kekuatan untuk mengemban tugas operasi bakti dan operasi pemeliharaan keamanan. 11. Sambut dengan baik dan libatkan unsur civil society, termasuk TNI, ICRC, dan LSMLSM, dalam kegiatan penanggulangan bencana. 12. Lakukan pengendalian operasi penanggulangan bencana dengan baik dan proporsional, baik di tingkat Jakarta, Medan, Banda Aceh, maupun Meulaboh.

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

Dua Belas Tata Cara Penanggulangan Bencana

47

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

penanganan bencana ini. Tapi ia tak punya wewenang. Seorang wartawan televisi swasta akhirnya berinisiatif menyampaikan hal ini kepada Ketua Harian Tim Nasional Alwi Shihab, dan pada 2 Januari 2005 Bambang resmi masuk menjadi anggota tim sebagai komandan pelaksana penanganan bencana. Banda Aceh memang lumpuh total. Sementara mayat tersebar di semua sudut kota yang tersapu tsunami, evakuasi awal hanya dilaksanakan oleh 300 relawan mahasiswa dengan kemampuan minimal, dikoordinasi oleh Ketua PMI Marie Muhammad. Lalu Iskandar A.S., seorang pedagang setempat, menggerakkan rekanrekannya dengan meminjamkan alatalat berat, antara lain buldoser. Sebagian di antaranya tidak bisa dipakai lantaran tak ada yang mengoperasikannya. Kami kekurangan tenaga, kata seorang petugas PMI, kepayahan. Sedangkan pihak militer dan polisi, dipimpin Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya, sudah bergerak sejak hari pertama. Tapi masingmasing bergerak sendiri, kurang terkoordinasi.

48

Ada yang menghitung, sampah tsunami di Banda Aceh bisa memenuhi 45 lapangan sepak bola dengan tinggi 10 meter. Pembersihan sampah tsunami di Banda Aceh dua minggu setelah bencana. Foto: AFP/Kazuhiro Nogi

Yang menerima perintah pertama kali Bambang Darmono adalah pasukan Pakistan yang terdiri atas 200 personel. Pasukan ini sudah berada di Banda Aceh sejak akhir Desember, dan selama itu mereka sudah membantu mengevakuasi jenazah korban. Pasukan Pakistan ini diminta Bambang membenahi Pelabuhan Malahayati di Banda Aceh agar bisa digunakan mengatur bantuan lewat laut. Selain mengoordinasi militer asing, Bambang mengatur pembagian kerja untuk 1.700 tenaga dari Partai Keadilan Sejahtera, ribuan anggota Front Pembela Islam, dan juga ratusan anggota Muhammadiyah. Hasilnya, menurut Ketua Harian Tim Nasional Alwi Shihab, sangat efektif. Misalnya, sebelum Mayjen Bambang Darmono terlibat langsung, mayat yang terapung atau tersangkut di sungai belum tertangani. Evakuasi mayat di daerah sungai memang tidak mudah, memerlukan keberanian dan keterampilan tersendiri, juga membutuhkan peralatan. Setelah ada koordinasi, segera Bambang memimpin evakuasi wilayah sungai dan sekitarnya. Dalam sehari, ratusan mayat kami evakuasi, tutur Alwi. Lantas, di perairan pantai barat, Bambang menyediakan beberapa gudang terapung. Berikutnya dibangun gudang sementara bekerja sama dengan World Food Programme di kotakota tepi pantai barat, seperti di Lhok Nga, Lamno, Lhong, Teunom, Calang, dan Meulaboh, sehingga daerah sekitar bisa mendapat pasokan bahan makanan secara rutin. Front Pembela Islam, yang mendapat bantuan 50 kapal motor dari Kuwait, diminta Bambang melayani pengangkutan bahan makanan dan lainlain di kawasan pantai barat. Pasukan asing di Aceh sebenarnya melanggar status darurat sipil. Status itu menyatakan, tak sembarang orang asing boleh keluyuran di wilayah ini, apalagi militer asing. Tapi, berdasarkan antisipasi Panglima TNI bahwa kita memerlukan transportasi udara, lantas adanya desakan dari pemerintah dan lembaga nonpemerintah luar negeri agar mereka diizinkan masuk Aceh membawa bantuan, serta kesadaran berbagai pihak akan keterbatasan kita, bantuan asing baik sipil maupun militer sesungguhnya sangat diperlukan. Itu sebabnya Wapres Jusuf Kalla pada 28 Desember petang menghubungi Kepala Deputi United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) di Indonesia, Michael Elmquist. Wapres meminta lembaga Perserikatan BangsaBangsa itu mengoordinasi bantuan dari luar Indonesia untuk Aceh. Wapres pun

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

Segera Mayjen Bambang Darmono, yang menjadi panglima komando operasi tatkala darurat militer diterapkan pertama kali (19 Mei18 November 2003) di Aceh, mengoordinasi tenaga yang ada. Ia membuat rencana kerja untuk tiga bulan. Unsur utama yang digunakan dalam tahap ini adalah tentara, termasuk tentara asing. Karena unsur militer inilah yang paling siap dan terlatih untuk menghadapi situasi seperti di Aceh saat itu, katanya. Mereka bekerja berdasarkan prosedur standar; misalnya, dari mana pun mereka datang, apa pun pangkat dan jabatannya, tetap menganggap tuan rumah sebagai komandan. Untuk lebih melancarkan bantuan asing, Bambang Darmono meminta Departemen Luar Negeri menempatkan staf kepengurusan visa di Bandara Iskandar Muda, agar pengurusan visa masuk buat orang asing cepat dan mudah.

49

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah memberikan lampu hijau: bantuan dipersilakan masuk. Malam itu juga mulai masuk berbagai bantuan. Pintu ke Aceh kemudian benarbenar terbuka setelah di akhir tahun Presiden menyatakan bahwa udara Aceh terbuka untuk penerbangan sipil asing yang membawa bantuan korban bencana. Apa yang kemudian terjadi? Serambi Mekkah, terutama Banda Aceh, seolah menjadi kawasan internasional yang warganya terdiri atas berbagai warna kulit dan berbicara dengan bermacam bahasa. Bandara Iskandar Muda, yang biasanya hanya melayani enam penerbangan dalam sehari, menjelma jadi bandara internasional yang sangat sibuk. Setiap beberapa menit sekali Bandara Iskandar Muda disinggahi helikopter Seahawk milik marinir Amerika Serikat, Chinook dari Singapura, atau pesawat dari Australia. Karena peralatan menara pengendali macet garagara gempa, Singapura meminjamkan alat kendali operasi udara portable. Truktruk pengangkut, alat berat, dan kendaraan medis yang bukan milik Indonesia pun terlihat lalulalang. Kapal induk Amerika Serikat, USS Abraham Lincoln, merapat di perairan dekat Banda Aceh membawa kebutuhan logistik. Angkatan bersenjata asal Meksiko, Norwegia, Pakistan, Jerman, Australia, Malaysia, Prancis, dan beberapa negara lain ikut ambil bagian.

50

Tim medis Singapura dibantu beberapa orang Indonesia mengevakuasi korban ke helikopter chinook milik Singapura pada 31 Maret 2005 di Pulau Nias. Foto: AFP

Lalu lihatlah halaman Rumah Sakit Zainoel Abidin, rumah sakit terbesar di Banda Aceh, yang dijadikan komunitas medis internasional. Di situ didirikan sebuah rumah sakit lapangan oleh pasukan Australia pada 6 Januari 2005, setelah Rumah Sakit Zainoel Abidin yang tergenang air laut ini dibersihkan dari lumpur yang menyelimutinya. Di rumah sakit lapangan yang diberi nama ANZAC (AustraliaNew Zealand Zainoel Abidin Community) ini bekerja 120 anggota tim medis dari Australia dan 30 dari Selandia Baru. Untuk mengangkut korban, dua helikopter milik Inggris diperbantukan. Kepala ANZAC Letkol Georgeina Whelan dari Angkatan Bersenjata Australia menyiapkan timnya lengkap: dari dokter spesialis bedah hingga dokter ibu dan anak. Inilah rumah sakit yang sangat sibuk, dari melakukan pembedahan korban sampai menangani persalinan. Menurut Brigadir Jenderal Chalmers, komandan tertinggi pasukan Australia yang membantu Aceh, 18 bayi Aceh lahir di sini, dan salah satu bayi itu dinamai Anzac. Dalam kegiatan ini, tidak satu pun personel militer dari berbagai negara itu menyandang senjata, apalagi senjata api. Mereka adalah pasukan yang menjalankan misi kemanusiaan, bukan perang. Kata Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Inilah operasi militer bukan perang yang terbesar setelah Perang Dunia II.

Salah satu dampak tsunami yang harus secepatnya diatasi adalah tiadanya air minum karena semua sumber tercemar air laut. Pasukan Australia yang berpengalaman menangani bencana tsunami telah mengantisipasi ketiadaan air minum ini. Setiba di Banda Aceh, pasukan ini secepatnya membagikan air layak minum kepada warga. Foto: Jiwa Foto/Roy Rubianto

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

51

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

52

Bantuan kemanusiaan dari dalam dan luar negeri dikumpulkan di hanggar pesawat di Bandara Blang Bintang, Banda Aceh, sebelum didistribusikan ke berbagai daerah. Foto: AFP/Philippe Desmazes

Menyaksikan semua itusebuah gerakan internasional atas inisiatif semua pihak ada yang berpikir, ini mestinya bisa lebih luas dan efektif bila PBB melibatkan diri dan mengoordinasinya. Sebab, bukan hanya Indonesia, hampir semua negara yang berpantai Lautan Hindia tersapu tsunami. Dan sejak awal, simpati berbagai negara kepada negara yang sedang tertimpa musibah ini besar. Misalnya saja, ucapan belasungkawa serta tawaran bantuan kepada Indonesia sudah sejak di awal bencana mengalir masuk. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada harihari pertama bencana menerima ucapan dukacita dan tawaran bantuan dari kepala negara, kepala pemerintahan, serta pejabat sejumlah negara, baik lewat telepon maupun telegram, antara lain dari Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi, Raja Harald dan Perdana Menteri Kjell Magne Bondevik dari Norwegia, serta Duta Besar Amerika Serikat Lynn Pascoe. Gagasan untuk lebih mengefektifkan bantuan ini dengan cara menyelenggarakan gerakan bersama dunia internasional disampaikan Presiden Yudhoyono kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Kofi Annan. Gagasan pun bergulir. Dari Singapura, datang usul agar diselenggarakan konferensi tingkat tinggi ASEAN pascagempa dan pascatsunami

Semua Bersigap Mengulurkan Bantuan


Di antara sejumlah hal itu adalah memulihkan jalur komunikasi yang terputus, agar bantuan yang tersendat di Bandara Halim Perdanakusuma (Jakarta), Bandara Polonia (Medan), dan Bandara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang (Banda Aceh) segera didistribusikan. Menanggapi perintah dari Presiden itu, Tentara Nasional Indonesia segera bergerak, membentuk satuan tugas kemanusiaan. Selanjutnya, tugas satuan ini, menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, membantu membangun jaringan komunikasi antara Jakarta, Medan, Banda Aceh, dan Lhokseumawe. Itu yang pertama. Tugas kedua, bersama aparat pemerintah daerah, mereka membantu pendistribusian makanan dan obatobatan. Yang ketiga adalah mengangkut jenazah yang masih bergeletakan di jalanjalan sehingga bisa dikumpulkan untuk segera dimakamkan. Bukan hanya kalangan militer, kalangan pelaku ekonomi pun cepat melakukan upaya untuk membantu daerah bencana. Menko Perekonomian Aburizal Bakrie di Jakarta berhasil menggalang dana Rp 25 miliar dari 30 badan usaha milik negara. Bantuan yang sama datang dari kalangan swasta dan negaranegara sahabat. Sedangkan untuk mendorong aliran sumbangan kemanusiaan dari kalangan swasta, melalui Surat Keputusan Nomor 609/PMK.03/2004 tertanggal 27 Desember 2004, Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyatakan pemerintah akan menanggung beban tagihan pajak pengusaha yang memberikan sumbangan kemanusiaan untuk korban gempa di Aceh dan Sumatera Utara. Ini merupakan pengorbanan finansial bagi negara, tapi pengusaha akan mendapatkan keringanan pada jumlah tagihan pajak di akhir tahun nanti, katanya.
Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

BENCANA alam yang mengempaskan tanah Aceh dan Nias sertamerta menimbulkan keprihatinan yang luar biasa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menyatakan sejumlah hal yang harus dijadikan prioritas dalam penanganan bencana ini.

Di pihak lain, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa meminta maskapaimaskapai penerbangan tetap melakukan penerbangan ke berbagai daerah gempa di Nanggroe Aceh Darussalam. Hal itu penting dilakukan karena pelabuhan laut di NAD praktis tidak bisa digunakan untuk berlabuh kapalkapal laut secara normal. Menurut Hatta, beberapa bandar udara yang ada di NAD dalam kondisi fisik yang baik dan bisa digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam usaha memulihkan sarana telekomunikasi, Departemen Perhubungan mengirimkan beberapa unit telepon satelit bertenaga surya untuk membantu komunikasi di daerahdaerah yang tidak mendapatkan aliran listrik. Langkahlangkah itu hanyalah sebagian kecil yang dilakukan dalam upaya menyelamatkan Aceh dari bencana yang lebih parah. Luka di Aceh adalah luka negeri ini. Untuk itu, semua bersigap mengulurkan bantuan.

53

Tak kurang dari 570 dokter asing ikut sibuk di masa tanggap darurat di Aceh dan Nias, belum terhitung perawat dan tim medis yang lain. Salah seorang dokter asing mengobati korban tsunami di Rumah Sakit Fakina, Banda Aceh. Foto: Jiwa Foto/Yusnirsyah Sirin

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

54

Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton (kiri) dan George W. Bush Sr. (kanan) mengunjungi kawasan bencana di Lampuuk, Aceh Besar, salah satu kawasan yang rusak parah. Foto: AFP/Gerald Herbert

oleh Indonesia. Akhirnya, diputuskanlah bahwa konferensi itu diselenggarakan di Jakarta pada 6 Januari 2005, dan disebut Konferensi Tingkat Tinggi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa dan Pascatsunami. Pertemuan khusus sehari itu dihadiri 15 kepala pemerintahan/negara, menteri dari 12 negara, serta pengamat dan wakil organisasi internasional (antara lain Bank Dunia, UNDP, ADB, dan IDB). Pidato Sekjen PBB Kofi Annan menegaskan, secara bersamasama, sesuatu yang mustahil dilakukan menjadi mungkin. Kita tak bisa menghentikan tsunami, tapi secara bersamasama kita bisa menghentikan tsunami berikutnya. Tsunami berikutnya yang dimaksud adalah korbankorban yang masih hidup yang memerlukan bantuan, yang kalau dibiarkan akan benarbenar terpuruk hidupnya. Korbankorban itu memerlukan bantuan dana untuk membangun tempat tinggal dan menjalankan usahanya kembali. Selain itu, diperlukan dana untuk membangun sekolah dan prasarana lain yang tak lagi bisa dipakai. Karena itu, Kofi Annan mengimbau negaranegara yang sudah menjanjikan bantuan agar segera merealisasi janjinya. Sebab, lima juta orang di sejumlah negara yang berpantai Lautan Hindia yang dihantam tsunami sangat memerlukan bantuan tersebut.

Sedangkan tuan rumah, Presiden Yudhoyono, selain menyatakan pentingnya kerja sama antarnegara di dunia untuk saling membantu dalam multisektor, menambahkan, Melalui kerja sama yang dilandasi semangat solidaritas, kita tidak hanya melindungi diri dari bencana alam, tetapi juga dari konflik antarmanusia. Hanya dengan cara inilah umat manusia bisa terus bertahan hidup. Secara tak langsung, pidato itu pun menyinggung konflik antarmanusia di Nanggroe Aceh Darussalam. Sehabis acara itu, Presiden mengimbau Gerakan Aceh Merdeka membantu penyelamatan masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami (Kompas, 7 Januari 2005). Pertemuan khusus itu juga menelurkan sebuah deklarasi, Declaration on Actions to Strengthen Emergency Relief, Rehabilitation and Reconstruction on the Aftermath of Earthquake and Tsunami Disaster of 26 December 2004. Ada dua hal pokok dalam deklarasi itu. Pertama, disepakati untuk mencari upaya mencegah jatuhnya korban yang lebih besar dalam bencana serupa di masa depan. Ini bukan hanya soal pemasangan instrumen peringatan dini, melainkan juga meliputi pendidikan masyarakat untuk mengenal selukbeluk gempa dan tsunami. Yang kedua, disadari bahwa penggalangan dana untuk memenuhi kebutuhan darurat korban dan dana untuk pemulihan kehidupan korban sangatlah penting.

(kiri atas) Perdana Menteri Australia John Howard mengunjungi korban bencana di rumah sakit darurat yang diselenggarakan oleh pasukan Australia. Foto AFP/Pool/Dita Alangkara. (kanan atas) Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi bercanda dengan anakanak korban tsunami di Banda Aceh, 23 April 2005. Foto: AFP/Hiyawata. (kiri bawah) Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menginspeksi pasukan Singapura yang bergabung dengan operasi kemanusiaan di Aceh. Pasukan ini termasuk angkatan pertama yang tiba di Aceh, kemudian membuka jalur ke Meulaboh. Foto: AFP (kanan bawah) Sekjen PBB Kofi Annan (kedua dari kiri) mengimbau agar negaranegara penyumbang dana meningkatkan bantuan. Foto: AFP

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

55

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

56

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menutup Tsunami Summit di Jakarta Convention Center dengan sebuah konferensi pers. Pertemuan para kepala negara dan pemerintahan berbagai negara ini menghasilkan kesepakatan untuk mengerahkan dana buat negara negara yang ditimpa tsunami 26 Desember 2004 secepatnya dan sebaikbaiknya. Foto: AFP/Inoong

Namun tak semua pihak di Indonesia mendukung banjirnya bantuan dan warga asing itu. Mereka antara lain sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan sejumlah jenderal. Mereka mencemaskan pemandangan yang menurut mereka seolaholah Banda Aceh diduduki pihak asing. Memang, sampai pertengahan Januari 2005, sudah 11 negara yang mengirimkan pasukannya ke Aceh. Total, ketika itu, hampir 4.000 personel tersebar di berbagai daerah, dan memang paling banyak berkumpul di ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Mereka yang cemas itu khawatir pasukan asing tersebut punya agenda sendiri, misalnya mengamati lokasi lokasi strategis di Aceh dan sekitarnya, atau siapa tahu tentara asing itu punya rencana memberikan bantuan senjata kepada GAM. Ketika itu, Panglima TNI Jenderal Endriartono di depan DPR menjelaskan, kita memang memerlukan bantuan asing untuk menanggulangi bencana yang sampai saat itu terbesar dalam sejarah Indonesia, dan aktivitas pihak asing tersebut tak ada yang terlepas dari koordinasi. Sejak mereka datang dan melakukan berbagai kegiatan, semuanya tercatat. Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa peralatan yang dibutuhkan dalam situasi darurat bencana. Jadi, kata Panglima, keuntungan yang kita dapat dengan membuka pintu bagi tentara asing jauh lebih besar daripada kerugiannyapaling sedikit sekian ratus ribu nyawa terselamatkan oleh karenanya. Presiden Yudhoyono pun tegastegas menyatakan soal militer asing itu, Tidak perlu ada kekhawatiran itu. Kita yang mengatur mereka.

Di Banda Aceh, Mayjen Bambang Darmono, yang langsung berhubungan dengan pasukan asing, mengaku tak tahumenahu bahwa DPR meributkan soal pasukan asing. Buat dia, mereka datang membantu, masak ditolak. Kita memerlukan peralatan untuk berbagai keperluan di masa tanggap darurat bencana yang mereka miliki, dan peralatan itu belum kita punyai. Misalnya, kata Bambang, pasukan Australia yang pertama kali mendarat di Banda Aceh membawa alat penyaring air yang sangat berguna tidak hanya bagi pengungsi, tapi juga bagi semua orang yang berada di daerah bencana, karena di wilayah yang terkena tsunami airnya tak bisa diminum. Dan benar kata Presiden, kita yang mengatur mereka. Setiap malam Bambang Darmono mengadakan pertemuan dengan perwakilan pasukan asing. Setiap pagi mereka kembali mengadakan rapat untuk menentukan target operasional harian. Bersamasama mereka bertugas mengoperasikan alatalat berat, melakukan operasi kesehatan, serta memastikan tersedianya bahan makanan dan obatobatan. Tak cuma itu, sejumlah perwira TNI ditempatkan sebagai penghubung di masingmasing pasukan asing. Hingga berakhirnya tanggap darurat pada 26 Maret 2005, tercatat tak kurang dari 34 negara yang mengirimkan bantuan berikut personel militernya ke Indonesia. Masing masing kelompok pulang sesuai dengan lama mereka bertugas dan sesuai dengan perbaikan kondisi Aceh. Mereka yang datang lebih awal akan pulang lebih cepat. Pada pertengahan Februari, banyak yang sudah pulang. Tentara dari Meksiko paling lambat pulangnya karena datangnya pun paling akhir. Patut dicatat juga bahwa wabah penyakit yang sempat dikhawatirkan akan muncul tak terbukti. Ini semua tentulah berkat kerja keras semua pihak, baik para relawan, pasukan TNI, Polri, dan militer asing maupun para profesional di bidang kesehatan dan kedokteran dari Indonesia serta dari berbagai negara lain. Kami melakukan penyisiran ke berbagai penampungan untuk mengambil data, juga melakukan diagnosis awal, terapi, vaksinasi, sesuai dengan prosedur WHO, tutur dokter Aryono Djuned Pusponegoro, ketua salah satu tim dokter yang pertama mendarat di Aceh. Kalau diduga atau dicurigai bahwa seorang korban yang dirawat dijangkiti penyakit menular, ia akan langsung dievakuasi ke bangsal khusus penyakit infeksi di RSU Zainoel Abidin. Inilahsoal tak munculnya wabahsalah satu bukti keberhasilan kerja raksasa Bakornas dengan segala bantuan dari dalam dan luar negeri di masa tanggap darurat bencana tsunami, yang kerap luput dari perhatian publik.

Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat

57

Membangun Tano Niha


Nias luput dari tsunami 26 Desember 2004; air naik ini hanya sedikit makan korban. Tapi gempa tiga bulan kemudian, 28 Maret 2005, membuat 80 persen wilayah Nias hancur, 979 orang meninggal, 469 kilometer jalan rusak parah. Nias pun masuk dalam rencana rehabilitasi dan rekonstruksi dari pemerintah.
hanya Aceh yang terkena gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Tsunami yang menerpa wilayah pantai Lautan Hindia di 14 negara itu di Indonesia juga melimbur Pulau Nias, pulau terbesar dari Kepulauan Nias, yang berada di selatan pantai barat Aceh. Namun berita Nias seperti tenggelam oleh berita Aceh. Boleh jadi ini karena jumlah korban di Nias sangatlah sedikit dibandingkan dengan korban di Aceh, hingga perhatian semua pihak lebih ke Aceh. Sehari setelah gempa dan tsunami itu, posko Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sudah mencatat sekitar 4.000 korban meninggal di Aceh. Sedangkan korban di Pulau Nias dan beberapa pulau di sekitarnya beberapa hari setelah bencana baru diketahui berjumlah puluhan orang. Bahkan, sekitar dua pekan kemudian, jumlah korban di kepulauan berpenduduk lebihkurang 712.075 jiwa sebelum tsunami ini jauh dari korban di Aceh. Menurut penghitungan terakhir, korban bencana 26 Desember 2004 di Nias adalah 260 orang atau kurang dari 0,04 persen jumlah penduduknya. Bandingkan dengan korban di Aceh: 126.741 orang meninggal dari 4.297.485 penduduk, atau sekitar 3 persen jumlah penduduk.
Monumen gempa bumi Nias, 28 Maret 2005, ratusan kilometer jalan rusak, lebih dari 800 orang meninggal. Foto: BRR/Bodi CH

BUKAN

Bagian 5. Membangun Tano Niha

59

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

60

Jangankan Aceh, dengan korban sekitar 126.000 orang. Di Nias pun, yang sebelum gempa 28 Maret 2005 ibarat hanya disentuh oleh efek tsunami Aceh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang berkunjung, 13 Januari 2005. Gempa tiga bulan setelah tsunami itulah yang membuat Nias dinyatakan sebagai bencana daerah. Lebih dari 47.000 orang dari 980.000 penduduknya kehilangan tempat tinggal. Foto: AFP/Abror Rizki

Barulah tiga bulan kemudian, ketika masa tanggap darurat dianggap selesai, Tano Niha (demikianlah penduduk asli Nias menyebut pulau ini, yang berarti Tanah Manusia) ramai diberitakan. Tapi ini bukan karena bencana 26 Desember itu. Ini karena bencana baru: pada 28 Maret 2005, sekitar pukul 23.30, Pulau Nias digoyang gempa berkekuatan 8,7 skala Richter. Skala itu menunjukkan gempa tersebut termasuk tinggi. Beberapa hari kemudian, diketahui, 80 persen kawasan Pulau Nias porakporanda. Pusat gempa lebih dekat ke Nias daripada ke Aceh. Tak terbayangkan andai tsunami pun menyusul. Gempa 28 Maret itu tak diikuti tsunami karena terjadi jauh di bawah laut. Menurut para ahli, tsunami membutuhkan empat syarat: gempa bumi tektonik di dasar laut, kekuatan gempa itu lebih dari 6,5 skala Richter, pusat gempa terhitung dangkal (kurang dari 33 kilometer di bawah permukaan dasar laut), dan terjadi patahan vertikal di dasar laut. Pada gempa Nias, dua syarat terakhir tak terpenuhi, sehingga tak terjadi tsunami. Esoknya, 29 Maret, sekitar pukul 07.00, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan rapat mendadak di Istana Negara. Salah satu keputusan rapat: penanggulangan bencana harus secepatnya dilakukan agar yang selamat tetap hidup.

Presiden sendiri, yang baru sekitar lima bulan memimpin pemerintahan, dan sekitar tiga bulan sebelumnya menyatakan gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagai bencana nasional, menunda kunjungan ke Australia, Selandia Baru, dan Timor Leste, yang sedianya akan dilakukan pada akhir Maret itu.
Bagian 5. Membangun Tano Niha

Maka hari itu juga terlihat pesawat Angkatan Udara melayanglayang di langit Pulau Nias. Fokker27 itu ditugasi melihat kondisi Bandara Binaka, yang terletak 18 kilometer di selatan Gunungsitoli, dan jaringan jalan darat di Nias. Ini untuk merencanakan cara terbaik mengirimkan bantuan. Hasil pemantauan itu diumumkan oleh Menteri Perhubungan Hatta Rajasa: Bandara Binaka tak bisa didarati kecuali oleh helikopter, dan jaringan jalan di Nias rusak parah. Informasi ini diperlukan untuk memilih kendaraan yang bisa efektif mengangkut bantuan ke daerah bencana. Setelah jelas bandara tak bisa didarati pesawat, Selasa itu juga pihak TNI mengirimkan dua helikopter jenis Bell dan dua SuperPuma. Tiga di antaranya mendarat di Binaka. Satu helikopter mendarat di Pulau Simeulue, pulau di utara Pulau Nias, termasuk dalam wilayah Aceh, yang juga diguncang gempa. Karena pengiriman bantuan dengan Hercules belum memungkinkan, tiga kapal TNI bantuan pun segera disiapkan. Dua kapal berangkat hari itu juga membawa makanan dan obatobatan. Satu kapal menyusul esok harinya. Ketiga kapal itu berangkat ke Nias dari Tanjung Priok, Jakarta. Yang termasuk cepat adalah pengiriman Batalyon Zeni. Kebetulan Batalyon Zeni Konstruksi 113 yang dikirimkan ke Aceh tak lama setelah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 sudah menyelesaikan tugasnya hari itu. Batalyon ini ketika itu sedang bersiap kembali ke markasnya di Jawa. Segera saja Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto memerintahkan batalyon Zeni ini mengalihkan tujuan ke Pulau Nias dan Simeulue. Barulah pada Rabu, 30 Maret 2005, gelombang bantuan dan regu penyelamat memasuki Nias. Selain kiriman TNI yang sudah disebutkan tadi, datang bantuan dari PMI, Bulan Sabit Merah, Partai Keadilan Sejahtera, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Dari luar negeri, bantuan datang dari Singapura, Malaysia, Hungaria, Prancis, Australia, Jepang, dan Spanyol. Juga ada dari beberapa lembaga di bawah payung PBB, seperti WFP, WHO, dan UNICEF. Tak sebagaimana di Aceh, banjirnya bantuan dan personel lembaga asing ini tak mengundang kecemasan. Agaknya masyarakat sudah memahami bahwa kita memang membutuhkan bantuan itu. Bantuan tersebut tak langsung masuk ke Nias. Sebagaimana di harihari awal tanggap darurat di Nanggroe Aceh Darussalam, bantuan itu dikumpulkan dulu di Bandara Polonia, Medan, bandara internasional terdekat dari Binaka, bandara Gunungsitoli. Untuk Nias, pusat pengumpulan bantuan ditambah satu kota lagi: Sibolga, kota pelabuhan di pantai barat Sumatera Utara, sekitar 80 kilometer dari pelabuhan Gunungsitoli. Sebagian besar bantuandiprioritaskan bahan makanan, obatobatan, air bersih, tenda, dan alatalat beratdiangkut ke Nias dengan kapal laut. Selain lapangan terbang di Nias rusak berat, tak bisa didarati pesawat, di harihari pertama pascabencana itu kabut tebal tampak menutupi angkasa Nias.

61

Seandainya tak ada gempa Nias, ketertinggalan salah satu kabupaten di Sumatera Utara ini tak akan cepat diketahui. Salah satu sudut Gunungsitoli, ibu kota Nias, setelah gempa 8,7 skala Richter. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 5. Membangun Tano Niha

63

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Barulah pada Kamis siang, setelah pukul 13.00, bantuan terdistribusi ke para korban itu pun belum merata. Malah di Teluk Dalam, sekitar 80 kilometer di selatan Gunungsitoli, bantuan baru sampai pada hari Jumat. Meskipun sudah diketahui jalan rusak, jembatan ambruk, dan karena itu dipilihkan kendaraan yang mampu menempuh medan yang sulit, tetap saja waktu tempuh sangat lama. Batalyon Zeni Konstruksi 113yang diharapkan melakukan pembongkaran reruntuhan untuk menolong korban yang masih tertimbun serta memperbaiki jalan dan jembatan agar bisa dilaluibelum tiba. Akibatnya sungguh menyedihkan: banyak korban bencana yang sebagian besar tertindih reruntuhan bangunan akhirnya tak tertolong. Seandainya tim penyelamat bisa datang pada hari pertama atau hari kedua, mungkin lebih banyak korban dapat diselamatkan, ujar Olaf Lingiaerae, seorang anggota tim penyelamat gabungan dari Spanyol dan Norwegia. Karena jumlah korban dan luas kawasan yang terkena bencana jauh lebih kecil dibandingkan dengan korban dan kerusakan yang diderita Aceh, gempa Nias 28 Maret dinyatakan sebagai hanya bencana daerah, sehingga tanggap darurat langsung dipimpin oleh Gubernur Sumatera Utara. Sebagai perbandingan, jumlah pengungsi akibat gempa Nias sekitar 47.055 orang (di Aceh lebih dari 400.000) dan rumah yang

64

Kerusakan pelabuhan Lahewa akibat tsunami, yang juga melanda Kepulauan Nias bagian utara. Foto BRR/Bodi CH

harus dibangun di Nias 17.814 unit (di Aceh 121.381). Dalam hal bencana nasional, seperti gempa dan tsunami yang melanda Aceh, tanggung jawab ada pada Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang dipimpin oleh Wapres. Tapi soalnya bukanlah status bencana daerah atau nasional. Yang diperlukan, seperti dinyatakan oleh anggota tim penyelamat gabungan Spanyol dan Norwegia, adalah kecepatan datangnya pertolongan untuk memperkecil kemungkinan bertambahnya jumlah korban meninggal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rupanya tanggap atas berbagai kritik itu. Pemerintah segera menyiapkan rencana perubahan organisasi Bakornas. Pada badan yang selama ini hanya berfungsi koordinatif itu ditambahkan satu fungsi lagi: operasional. Nantinya, menjelang akhir tahun, persisnya 29 Desember 2005, turun peraturan presiden yang mengubah Bakornas agar lebih efektif. Untunglah keterbukaan bagi masuknya bantuan internasional sebagaimana terjadi di Aceh berulang di Nias. Yang termasuk pertama kali mendarat di Nias adalah sebuah Hercules C130 dan tiga helikopter Chinook dari tetangga terdekat, Singapura. Tiga angkutan udara itu, selain membawa bantuan makanan dan obatobatan, juga

Tenda di antara rumah adat Nias dan rumah penduduk yang rusak akibat gempa. Di sini terlihat bangunan adat Nias ternyata cukup kuat untuk menahan guncangan gempa.

Bagian 5. Membangun Tano Niha

65

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

66

Berbeda dengan tsunami yang basah, gempa adalah bencana kering. Beberapa hari setelah gempa, sejumlah sekolah darurat di tendatenda sudah berjalan di Nias, yang sekitar 588 gedung sekolahnya runtuh. Salah satu sekolah tenda bantuan UNICEF. Foto: BRR/Bodi CH

mengangkut personel militer. Kemudian masuk kapal rumah sakit Angkatan Laut Amerika Serikat. Kapal militer Spanyol yang waktu itu berada di perairan Malaysia, dalam perjalanan pulang setelah memberikan bantuan di Aceh, segera dibelokkan kembali ke Nias. Spanyol kemudian menambah satu kapal, tiga helikopter, dan satu landing craft. Itu semua memperkuat tim militer Indonesia yang mengirimkan lima kapal, dua pesawat Cassa dan satu Nomad TNI Angkatan Laut, satu batalyon Zeni, serta sekitar 1.170 personel yang tergabung dalam empat batalyon. Ditambah lagi dengan gelombang beruntun bantuan lembaga swadaya masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri, penanganan bencana di Nias kembali mencerminkan kerja sama bantumembantu dunia internasional tanpa memedulikan perbedaan etnik, bahasa, agama, dan budaya. Ketika tanggap darurat Nias baru berjalan 18 hari, berdirilah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh DarussalamNias, yang diresmikan pada 16 April 2005. BRR tak menunggu kesibukan tanggap darurat di Nias selesai tuntas. Badan Pelaksana BRR NADNias segera merencanakan semua hal yang sangat diperlukan oleh para

korban bencana: rumah, sekolah, rumah sakit, jalan, dan fasilitas publik lainnya. Karena Badan Pelaksana BRR sebenarnya hanya bertugas sebagai koordinator pembangunan, dilakukanlah kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang wilayahnya meliputi Nias. Janji pemerintah, sebagaimana digariskan oleh Presiden, pembangunan kembali kawasan yang tertimpa bencana haruslah menjadikan daerah tersebut lebih baik daripada sebelum terkena bencana. Karena itulah, menurut William Sabandar, kepala perwakilan BRR Nias, pembangunan kembali Nias bukan lagi sekadar rekonstruksi, melainkan rekonstruksiplus. Rekonstruksi Nias bukan sebatas pembangunan setelah pulau ini terkena bencana. BRR juga harus mengatasi berbagai problem yang terjadi sebelum bencana yang membuat Nias termarginalkan. Rekonstruksiplus itu meliputi pembangunan sumber daya manusia Nias berikut peningkatan ekonominya.

Dampak kerusakan terhadap RSU Gunungsitoli akibat gempa 28 Maret 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 5. Membangun Tano Niha

67

Setelah Tanggap Darurat Selesai


TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

saat tanggap darurat dinyatakan selesai, 26 Maret 2005, dan berdirinya BRR NADNias, 16 April 2005, adalah masa transisi sekitar 20 hari. Bilamana di masa transisi ini tetap saja koordinasi berjalan, itu karena masa tanggap darurat selama tiga bulan tersebut relatif cukup memulihkan kembali pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Bahkan bupati dan wali kota yang wilayahnya terkena tsunami sudah menyusun tata ruang daerah masingmasing berdasarkan rencana induk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Aceh dan Nias. Di Banda Aceh, misalnya, meski rencana tata kota itu belum selesai benar, Jepang sudah menawarkan bantuan membangun setidaknya Pasar Aceh, Pasar Peunayong, dan Tempat Pelelangan Ikan Lampulo. Lantas IOM, International Organization for Migration, sudah menyiapkan dana untuk membangun 11.000 rumah. Sebenarnya, pembangunan kembali itu sudah berjalan di masa tanggap darurat. Setidaknya pembangunan jalan dari Banda Aceh ke Meulaboh sudah dimulai oleh TNI Angkatan Darat, dan ketika tanggap darurat dinyatakan selesai, pembangunan jalan sepanjang 235 kilometer itu sudah sekitar 35 persen selesai. Dari 53 jembatan antara dua kota itu, 17 di antaranya juga sudah bisa dilalui. Sejumlah LSM dalam dan luar negeri juga sudah membangun beberapa permukiman. Segera terlihat, meski semua daerah yang terkena tsunami siap membangun wilayah masingmasing, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah tak mungkin segera mengoordinasi kerja ini. Sebab, derajat kehancuran setiap daerah berbeda, ditambah setiap lembaga yang menawarkan bantuan punya selera masingmasing. Terbuka risiko bahwa pembangunan di satu wilayah mendapat tawaran dari banyak lembaga, sedangkan wilayah lain sepi dari peminat. Lain dari itu, dengan kerusakan yang demikian dahsyat, tampaknya tak mungkin pembangunan kembali ini ditangani hanya oleh pemerintah daerah provinsi. Diperlukan sebuah lembaga yang juga memiliki wewenang besar. Untunglah, jauh hari pemerintah sudah mengantisipasi soal ini. Sebelum masa tanggap darurat dinyatakan selesai, ihwal lembaga yang bakal menangani rehabilitasi dan rekonstruksi sudah diwacanakan. Pada mulanya lembaga itu disebutsebut sebagai sebuah badan otorita khusus Aceh dan Nias. Nama itu muncul setelah pertemuan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI pada pertengahan Januari 2005. Badan otorita khusus ini diperlukan untuk membangun kembali Aceh dan Nias karena kerusakan akibat tsunami di Aceh sangatlah dahsyat. Bappenas mencoba menghitung nilai kerusakan itu dan ditemukanlah angka Rp 41,4 triliun. Kerusakan yang demikian besar memerlukan pula penanganan yang tak tanggung tanggung. Badan otorita akan langsung bertanggung jawab kepada presiden, sehingga tidak bergantung pada departemen dan kementerian. Wewenang badan otorita ini pun penuh dan menyeluruh agar pemulihan dan pembangunan kembali itu bisa cepat, tak terhalang oleh berbagai peraturan dan undangundang yang dalam kondisi normal harus ditaati. Namun 10 hari kemudian dari DPR pula terdengar suara berbeda. Komisi II DPR menyatakan bahwa badan otorita khusus nantinya bisa tumpangtindih dengan pemerintah daerah Aceh. Komisi II DPR mengusulkan agar Departemen Dalam Negeri langsung menangani badan yang akan membangun kembali Aceh. Pendapat Komisi II ini kirakira sejajar dengan pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Ermaya Suradinata. Di Istana Wakil Presiden, Ermaya mengatakan bahwa badan otorita khusus

ANTARA

68

Rupanya, pemerintah mendengar dan mempertimbangkan suarasuara tersebut. Maka, ketika turun Perpu, tertanggal 16 April 2005, tentang pembentukan lembaga yang akan membangun kembali Aceh dan Nias, tak ada nama badan otorita khusus. Yang ada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Badan ini terdiri atas tiga komponen: Dewan Pengarah, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana. Sekitar dua pekan kemudian, persisnya 29 April, diturunkan penetapan presiden tentang struktur organisasi BRR dan keputusan presiden mengenai personalia BRR. Ditunjuk mengepalai Badan Pelaksana BRR ini Kuntoro Mangkusubroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi. Selanjutnya, Badan Pelaksana BRR inilah yang mengoordinasi pembangunan kembali di Aceh dan Nias.

Masa tanggap darurat adalah masa yang menentukan, apakah mereka yang selamat tetap selamat. Salah satu yang diusahakan di masa ini adalah membangun tempat tinggal sementara yang jauh lebih baik daripada sekadar tenda darurat. Kompleks permukiman sementara di Lambaro Siron siap dihuni pada awal Februari 2005, sebulan lebih beberapa hari setelah hari bencana. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 5. Membangun Tano Niha

tidak diperlukan untuk Aceh dan Nias. Status badan otorita khusus yang langsung bertanggung jawab kepada presiden dan mempunyai wewenang penuh akan membuat Pemerintah Provinsi NAD dan Komando Daerah Militer Iskandar Muda terkesan menjadi bagian dari badan tersebut. Menurut Ermaya, untuk membangun kembali Aceh dan Nias, cukup dibentuk sebuah badan pelaksana.

69

Jalan Damai Pascatsunami


Blessing in disguise tsunami merupakan salah satu landasan untuk tercapainya perdamaian.
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto itu datang dari Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto, petang di hari ketika gempa dan tsunami mengguncang Aceh, 26 Desember 2004. Saya perintahkan pasukan untuk tidak ofensif meski harus tetap waspada. Untuk pertama kalinya setelah sekitar 30 tahun konflik di Aceh, terdengar komando yang bukan perintah untuk mengejar Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Rupanya, tsunami tak hanya memorakporandakan segala hal yang tampak. Bencana itu juga mengguncangkan kesadaran, membukakan hati, serta mendatangkan perdamaian antara gerakan separatis tersebut dan pemerintah Indonesia. Guncangan itu mengalir hingga ribuan kilometer dari Aceh. Di Jakarta, hari itu juga, setelah mendapat gambaran tentang kedahsyatan bencana tersebut, Jenderal Endriartono segera mafhum bahwa Aceh memerlukan bala bantuan secepatnya. Korban sudah harus segera ditolong. Sebagai Panglima TNI, yang terpikirkan pertama kali adalah menggerakkan tentara untuk menolong korban. Militer merupakan organisasi yang bisa digerakkan dengan cepat. Militer juga memiliki perlengkapan yang sebenarnya hanya digunakan untuk perang, tapi dalam keadaan darurat peralatan itu bisa sangat berguna. Dengan alasan seperti itulah Panglima TNI segera memerintahkan pasukannya di Aceh segera membantu menyelamatkan mereka

PERINTAH

Penghancuran senjata milik sipil sebagai wujud langkah proses perdamaian di Aceh. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami

71

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

72

Operasi militer diubah menjadi operasi kemanusiaan begitu tsunami memorakporandakan Aceh. Namun kewaspadaan tetap dijaga, TNI tetap melakukan patroli meski terbatas. Foto: Jefri Aries

yang masih hidup, agar jumlah korban meninggal tidak bertambah. Jenderal Endriartono menuturkan ihwal perintah membantu menyelamatkan korban itu dalam peringatan satu tahun gempa dan tsunami Aceh dan Sumatera Utara. Demikianlah, Aceh tibatiba menjadi daerah bencana yang memerlukan pertolongan segera, dan militer memiliki kemampuan yang diperlukan. Keputusan Panglima TNI Jenderal Endriartono itu sesuai dengan memo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diterimanya beberapa saat setelah bencana menimpa Aceh. Syahdan, ketika itu, hampir separuh dari 30.000 personel militer di Aceh mengganti senjata dengan kantong mayat, sekop, buldoser, dan peranti lain untuk menangani masa tanggap darurat, masa ketika pencarian dan penguburan jenazah serta pertolongan pertama untuk korban bencana yang selamat serentak dilakukan. Menurut Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya, tugas tambahan menjalankan misi kemanusiaan pascatsunami ini menyebabkan operasi militer boleh dikatakan hampir berhenti dengan sendirinya. Para prajurit dan polisi dialihtugaskan ke daerahdaerah yang terkena bencana.

Karena itu, Jenderal Endriartono segera mengambil keputusan dengan cepat memerintahkan agar tentara tidak ofensifwalau dia belum mempunyai gambaran yang jelas tentang bencana itu. Yang ia bayangkan, bila ada gempa besar disusul air laut yang menyapu ke daratan sejauh lebih dari lima kilometer, dan kawasan itu merupakan daerah padat penduduk, bukan hanya jumlah korban pasti besar, kawasan itu pun untuk sementara akan lumpuh, tanpa makanan dan minuman, dan tanpa sarana telekomunikasi. Korban yang masih hidup harus cepat dibantu agar tetap hidup. Dan GAM, menurut Panglima, pastilah menghadapi hal yang serupa: memilih tetap berperang atau menyimpan senjata untuk membantu korban bencana. Bila selama ini GAM selalu menyatakan berjuang untuk rakyat Aceh, lantas ketika rakyat yang diperjuangkannya itu mengalami musibah besar tapi GAM tak memedulikannya dan tetap berjuang dengan angkat senjata, Itu sama saja [GAM] bunuh diri, kata Panglima. GAM akan kehilangan legitimasi perjuangannya, akan dikecam dari segala penjuru. Singkat kata, tsunami telah mengubah sikap para pemimpin GAM. Tak ada lagi agenda merdeka di benak mereka. Kami melihat [dampak tsunami], begitu banyak warga Aceh yang mati, begitu juga TNI. Kami berpikir, buat apa lagi berperang, kata Teungku Nur Djuli, juru bicara GAM yang tinggal di Malaysia. Yang dibutuhkan rakyat Aceh adalah bantuan untuk meringankan nasib mereka. Petinggi GAM di Swedia hari itu juga mengambil keputusan: memerintahkan Tentara Neugara Aceh atau TNA meletakkan senjata dan berhenti berperang. Tak ada yang lebih penting daripada rakyat yang menjadi korban, itulah salah satu kalimat dari perintah yang dikirimkan dari Swedia. Benarlah bahwa tsunami, di samping membawa bencana, membawa pula berkah tersembunyi, blessing in disguise. Tanpa bertemu apalagi berunding, masingmasing pihak yang sudah sekitar 30 tahun bermusuhan itu memutuskan untuk mengistirahatkan senjata dan mengubah operasi militer menjadi misi kemanusiaan. Secara tak langsung, gelombang dahsyat yang mengempas jauh ke darat itu menghentikan konflik di Aceh. Sebelumnya, usaha menciptakan perdamaian bukannya tak ada. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, pernah tercapai juga perdamaian, tapi usianya tak panjang. Perdamaian ini tercapai berkat campur tangan pihak ketiga yang menjembatani perundingan antara GAM dan pemerintah Indonesia. Henry Dunant Center, pihak ketiga itu, merupakan organisasi

Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami

Itu sebabnya Presiden pun tak merasa perlu mencabut status Nanggroe Aceh Darussalam, yakni Darurat Sipil Tahap II, status yang baru akan berakhir pada 18 Mei 2005. Tanpa pencabutan status yang ditentukan pada November 2004 itu, karena kondisi Aceh yang porakporanda, kegiatan masyarakat lumpuh, dan prasarana komunikasi mati, dengan sendirinya operasi militer dikesampingkan. Sebab, dalam kondisi yang memerlukan penanganan segera, yang sangat mendadak, yang paling mungkin secepatnya turun tangan adalah pasukan yang sudah siaga di lapangan.

73

Sisi lain bencana: konflik berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dan GAM diakhiri dengan perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Berita ini pun mendominasi media massa Indonesia, termasuk surat kabar Rakyat Aceh. Foto: Jefri Aries

Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami

75

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

76

Sejak semula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak percaya jalan militer bisa mendatangkan perdamaian di Aceh. Diperlukan perundingan untuk saling memberi dan menerima. Presiden berjabat tangan dengan Malik Mahmud, salah seorang pemimpin GAM, menjelang peringatan setahun kesepakatan damai itu. Foto: AFP/Adek Berry

nonpemerintah yang bermarkas di Swiss dan mempunyai reputasi internasional dalam menyelesaikan konflik etnik di sejumlah negara, antara lain di kawasan Balkan, Kolombia, Kongo, Nepal, dan Uganda. Dalam Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani di Jenewa, Swiss, pada Mei 2000 itu, pemerintah Indonesia dan GAM sepakat untuk tidak melakukan penghadangan dan penyerangan, penyisiran dan sweeping, serta sejumlah aksi lain yang bersifat serangan, kecuali kegiatan kepolisian. Namun kemauan politik saja belum bisa mendukung perdamaian yang dijanjikan. Terjadi pelanggaran di sanasini, dan begitu Jeda Kemanusiaan berakhir, Februari 2001, kontak senjata di Aceh pun meledak kembali. Di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, tercapai Perjanjian Penghentian Kekerasan atau Cessation of Hostilities Agreement (COHA), 9 Desember 2002. Sebagaimana yang terjadi dengan Jeda Kemanusiaan, di lapangan, perjanjian itu bukan apaapa. Namun, terlepas dari COHA yang tak berlanjut, kesepakatan itu memberikan harapan: sebenarnya dialog antara GAM dan pemerintah Indonesia bisa dilakukan, dan kesepakatan yang luasbukan hanya soal gencatan senjatabisa diterima.

Toh, upaya informal ini masih sulit. GAM rupanya belum yakin benar bahwa pemerintah Indonesia benarbenar ingin perdamaian. Sikap GAM yang masih ragu itu menjadikan satu syarat untuk berhasilnya suatu perundingan tak terpenuhi: adanya keyakinan pada pihak yang berunding bahwa kesepakatan yang dicapai tidak hanya sebatas di meja perundingan, dan kesepakatan akan dipatuhi kedua belah pihak secara konsekuen. Perkembangan politik yang terjadi kemudian ternyata membuka peluang baru untuk Aceh. Pemilihan presiden langsung pada 2004 memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Naiknya kedua tokoh ituyang selama ini sudah terlibat dalam upaya perundingan dengan GAMke pucuk pimpinan pemerintahan rupanya membuat GAM berpikir kembali soal perundingan damai. Ketika perundingan sedang direncanakan, dalam wawancara dengan Suomen Kuvalehti, majalah berita mingguan Finlandia, Perdana Menteri GAM Malik Mahmud menyatakan, Kami percaya di sana ada orangorang di kalangan pemerintah [Indonesia] yang menginginkan penyelesaian. Sementara itu, kedua pucuk pimpinan tersebut, seraya tetap menyembunyikan upaya damai dengan GAM, makin mengintensifkan upaya perundingan ini. Terungkap nanti bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari mula tak percaya bahwa jalan militer bakal mendatangkan perdamaian di Aceh. Ia pernah mengatakan, Saya sangat yakin bahwa solusi dengan cara militer tidak akan memecahkan masalah secara tetap dan konklusif. Kami mempunyai bukti untuk ini dari pengalaman selama 50 tahun, bukan hanya untuk Aceh.1 Dan kata Jusuf Kalla, Dalam sejarah Indonesia, menyelesaikan masalah harus selalu lewat perundingan.2 Sesungguhnya, sebelum bencana tsunami terjadi, jalan perdamaian itu sudah dirintis. Farid Husain, Deputi Menko Kesejahteraan Rakyat yang ditugasi merintis jalan perundingan dengan GAM, ketika menemui Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang bersedia menjadi penengah antara pemerintah Indonesia dan GAM, mengatakan bahwa kedua belah pihak siap berunding. Apa kata Ahtisaari, pendiri Crisis Management Initiative, lembaga nonpemerintah yang peduli pada perdamaian dunia, itu? Kepada utusan pemerintah Indonesia tersebut, Ahtisaari mengatakan bahwa ia baru bisa menyatakan apakah perundingan akan terlaksana atau tidak setelah bertemu dengan para pemimpin GAM. Ini dikatakannya juga kepada mingguan Finlandia Suomen Kuvalehti. Akhirnya, pertemuan antara mantan

Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami

Itu sebabnya, saat pemerintah menerapkan status darurat militer untuk Aceh, Mei 2003, diamdiam dibuka pula jalur informal buat menjajaki kemungkinan diadakannya perundingan untuk perdamaian. Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla ditugasi melobi tokoh GAM di Eropa untuk mencari jalan perundingan damai itu. Penunjukan ini bukan tanpa alasan. Jusuf Kalla adalah tokoh kunci dalam meredam konflik di Poso dan Ambon.

77

Presiden Finlandia dan pemimpin GAM itu memang terjadi, setelah bencana tsunami. Pertemuan di Helsinki itu meyakinkan Ahtisaari bahwa pihak GAM pun menginginkan perdamaian.
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Tak seorang pun tahu kecuali para pemimpin GAM sendiri, andai pertemuan tersebut terjadi sebelum tsunami, apakah Ahtisaari akan mendapatkan keyakinan seperti itu. Jika mengacu pada pernyataan Farid Husain bahwa pihak GAM selalu mengajukan syarat (antara lain ditariknya tentara nonorganik dari Aceh dan dibebaskannya semua anggota GAM yang dipenjarakan pemerintah Indonesia) untuk berunding, sulit untuk menyimpulkan bahwa GAM bersiap maju ke meja perundingan. Nah, setelah terjadi bencana tsunami, dan pihak GAM ditemui Martti Ahtisaari, terjadi semacam pencerahan. Setidaknya sang bakal juru penengah, Ahtisaari itu, meski baru sekali bertemu dengan pihak GAM, berani menyatakan, Ya, GAM mau berdamai. Bagaimanapun, sebuah perjalanan panjang menuju perdamaian akhirnya sampai juga di tujuan. Di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, sejarah tercatat dengan napas yang lega. Seperti napas mereka yang baru saja meletakkan beban berat yang selama ini terbawa ke mana pun pergi. Dua pihak yang telah bertikai sekitar 30 tahun akhirnya menandatangani memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman untuk berdamai. Dan sebelas bulan setelah ditandatangani, butirbutir dalam nota kesepahaman itu bukan lagi sekadar kesepakatan, melainkan telah menjadi pasalpasal dalam UndangUndang Pemerintahan Aceh yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 11 Juli 2006. Undangundang ini memang salah satu hal yang harus ada menurut nota kesepahaman Helsinki. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 ini menggantikan UndangUndang Otonomi Khusus untuk Aceh. Dalam undangundang itu diatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung atau yang dikenal dengan akronim pilkada. Ini tentu saja menjadi langkah maju karena sebelumnya Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh ditentukan dengan penunjukan langsung dari pusat. Gemuruh pesta demokrasi pun membahana di sekujur wilayah Aceh. Ada yang istimewa dalam pilkada di Aceh dibandingkan dengan pilkada di daerah lain. Di Aceh, dalam pilkada, dimungkinkan munculnya kandidat independen, yakni calon kepala daerah yang tidak berasal dari partai. UndangUndang Pemerintahan Aceh dengan tegas memberikan hak kepada warganya untuk ikut pemilihan tanpa melalui jalur partai. Dalam demokrasi, Aceh sudah melangkah lebih ke depan dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Itu pula yang membuat pemilihan kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam menarik untuk diperhatikan. Awalnya, banyak yang pesimistis dengan jalannya pilkada di Aceh. Itu tidak hanya karena daerah ini baru saja pulih dari trauma besar, bencana tsunami, tapi juga karena Aceh tetap berpotensi memunculkan konflik baru. Maklum, MoU Helsinki belum berlangsung lama. Sedikit kesalahpahaman saja bisa memercikkan sebuah konflik baru.

78

Namun, syukurlah, kekhawatiran itu tidak terjadi. Pemilihan kepala daerah yang serentak dilakukan untuk memilih gubernur, 15 bupati, dan 4 wali kota berlangsung aman dan tertib. Hasilnya, di luar dugaan, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, keduanya termasuk jajaran pemimpin GAM dan Sentral Informasi Referendum Aceh, muncul menjadi pasangan pemimpin Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang baru. Semua pihak menyambut gembira. Bukan hanya pemerintah Indonesiadiwakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyonoyang menyatakan kegembiraan karena pilkada berjalan tertib dan tanpa gangguan berarti. Berbagai pihak dari mancanegara juga melihat pilkada Aceh sebagai tanda bahwa di Tanah Bencana ini perdamaian dan penegakan demokrasi bukan sesuatu yang mustahil. Sekjen Perserikatan BangsaBangsa Kofi Annan menyambut baik berlangsungnya pilkada di Aceh. Sekjen merasa gembira dengan terlaksananya pemilu lokal pada 11 Desember 2006 di Aceh, kata Yves Sokorobi, juru bicara Kofi Annan, di Markas Besar PBB, New York, beberapa saat setelah proses pilkada berlangsung sukses. Lantas pemerintah Amerika Serikat, melalui kedutaan besarnya di Jakarta, mengucapkan selamat atas terlaksananya pilkada dan menilai

Pada mulanya adalah jalur informal, kemudian perundingan damai pun terwujud antara lain berkat Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang menjadi juru penengah. Jabat tangan tiga pihak setelah perjanjian damai disepakati: Ahtisaari (kanan), Wapres Jusuf Kalla (tengah), dan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud (kiri). Foto: Antara/Saptono

Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami

79

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

pemilihan tersebut telah berlangsung secara bebas, adil, dan damai. Pemerintah Amerika Serikat, yang ikut mengirimkan tim pemantau pemilihan kepala daerah ini, juga menyatakan bahwa pilkada bebas dari segala bentuk intimidasi dan manipulasi. Kata Duta Besar AS ketika itu, B. Lynn Pascoe, pilkada di Aceh ini bersejarah dan menunjukkan komitmen kuat rakyat Indonesia terhadap nilai dan prinsip demokrasi. Dan proses menuju demokrasi yang kukuh terus berlanjut. Tak berselang lama setelah pilkada, diberlakukanlah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 pada 14 Maret 2007, yang menyatakan bahwa warga di Aceh bisa mendirikan partai lokal. Tak sampai dua tahun kemudian, enam partai lokal lolos verifikasi untuk Pemilihan Umum 2009. Mereka adalah Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh. Keenam partai lokal ini bisa mengikuti pemilihan umum untuk lingkup Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kehadiran partai lokal ini tak lain merupakan penerapan dari MoU antara RI dan GAM seperti yang terdapat dalam MoU Helsinki dan UndangUndang Pemerintahan Aceh. Partai lokal ini tentulah bakal memperjuangkan berbagai aspirasi masyarakat Aceh. Syarat mendirikan partai lokal ini sungguhlah tidak sulit: hanya dengan dukungan 50 orang warga Aceh yang menetap di Aceh, sebuah partai lokal bisa disahkan.
Salah satu butir perjanjian damai menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memberikan amnesti untuk anggota GAM yang ditahan. Gambar menunjukkan pengecapan tiga jari oleh anggota GAM pada surat amnesti di Penjara Jantho, Aceh Besar, 30 Agustus 2005. Foto: Jefri Aries

80

Benar, dalam waktu tak terlalu lama, berdirilah setidaknya empat partai lokal di Bumi Tanah Rencong itu. Empat partai itu adalah Partai Rakyat Aceh, Partai Gabthat, Partai Aliansi Rakyat Aceh, dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Belakangan muncul Partai Gerakan Aceh Merdeka, yang memicu kontroversi karena benderanya adalah bendera GAM. Sementara deklarasi sudah dilakukan, partai ini bisa dikatakan masih berjalan di tempat karena pemerintah daerah NAD sendiri ingin segala sesuatunya nanti tidak mengganggu perdamaian yang sudah dicapai. Kebijakan berbagai pihak itu akhirnya, alhamdulillah, tak mengganggu proses perdamaian sesuai dengan amanat MoU Helsinki. Semua pihak yang terlibat menyadari betulseperti yang telah disepakati dalam perjanjian damai Helsinkipentingnya menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.

Aceh kini tengah melangkah, tidak hanya membenahi kembali wajah fisiknya setelah diporakporandakan gempa dan tsunami, tapi juga menciptakan sistem pemerintahan dan tata hidup yang lebih demokratis. Hal tersebut hampirhampir tak terbayangkan ketika wilayah ini masih dilanda konflik. Sekali lagi, kita ternyata mampu membangun kembali Aceh dari puingpuing bencana. Dan semua ini berkat kerja keras serta kerja sama semua pihak yang tak hendak menyerah kepada konflik ataupun tsunami. Itulah yang perlu dicatat: kerja keras dan kerja sama. Kalaulah itu baru bisa dilakukan setelah terjadi bencana dahsyat, baiklah dicatat kata Wapres Jusuf Kalla: Ya, setidaknya [tsunami merupakan berkah yang] mempercepat perdamaian.

Panglima GAM Wilayah Linge, Fauzan Azimah (kiri), beserta prajuritnya tengah mengumpulkan senjata untuk diserahkan kepada Aceh Monitoring Mission sebagai salah satu syarat perdamaian pascatsunami. Foto: Antara/Arie

Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami

81

Mewujudkan Harapan
Kita akan bangun kembali Aceh dan Nias, bahkan kita harus bangun Aceh dan Nias lebih baik daripada sebelumnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pidato peringatan setahun gempa dan tsunami itu begitu luas. Sekitar satu setengah kali luas lapangan bola. Sebuah jembatan menghubungkannya dengan daratan. Dilihat dari atas, dermaga dan jembatan itu membentuk huruf T. Jembatan itu sekitar 78 meter, cukup panjang untuk menyodorkan dermaga pada ombak besar Lautan Hindia. Ombak itulah yang ketika menjelma menjadi tsunami, 26 Desember 2004, memorakporandakan dermaga lama dan seluruh kawasan pelabuhan. Tapi tak sampai dua tahun kemudian, dermaga baru yang lebih kukuh, lebih luas, beserta pelabuhannya yang juga baru, kembali berfungsi sepenuhnya. Itulah Pelabuhan Malahayati di Kabupaten Aceh Besar, 30an kilometer ke arah timur laut dari Banda Aceh. Pelabuhan beserta dermaganya ini dibangun kembali oleh pihak Belanda dengan dana sekitar Rp 80 miliar, bukan hanya untuk mengembalikan yang lama, melainkan mewujudkan yang baru, yang lebih berkelas. Dulu, Malahayati hanya digolongkan pelabuhan kelas III, cuma bisa disandari perahuperahu motor atau kapal dengan bobot maksimal 5.000 DWT. Setelah selesai dibangun kembali dan diresmikan oleh Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda Agnes van Ardenne, 9 Oktober 2006, dua kapal berbobot 10.000 DWT pun bisa sekaligus bongkarmuat di dermaganya, dan dijamin aman sesuai dengan standar internasional. Dengan demikian, Pelabuhan Malahayati (dan pelabuhan lain di provinsi ini) membukakan peluang bagi Aceh untuk mengembangkan kembali eksporimpornya.

DERMAGA

Foto Udara permukiman yang dibangun kembali oleh beberapa LSM di kawasan Kajhu, Aceh Besar, 8 Desember 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Mewujudkan Harapan

83

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

84

Salah satu kejayaan Aceh masa lalu adalah perdagangan ke Timur Tengah. Pelabuhan menjadi prasarana penting. Pelabuhan Malahayati setelah dibangun kembali oleh pemerintah Belanda dengan dana 8,5 juta Euro. Foto: BRR/Arif Ariadi

Seperti membangun kembali Pelabuhan Malahayati itulah sesungguhnya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias diniatkan. Membangun kembali apa pun yang diporakporandakan gempa dan tsunami bukan hanya untuk mengembalikan yang lama, melainkan sekaligus membangun yang baru dengan lebih baik agar lebih bermanfaat bagi perikehidupan warganya. Ini sejalan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memberikan sambutan dalam peringatan satu tahun tsunami, 26 Desember 2005, di Banda Aceh: Kita akan bangun kembali Aceh dan Nias, bahkan kita akan bangun kembali Aceh dan Nias lebih baik daripada sebelumnya. Berangkat dari semangat seperti itulah BRR NADNias didirikan. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2005, 16 April 2005, kurang dari sebulan setelah masa tanggap darurat dinyatakan selesai, BRR dibentuk. Tiga belas hari kemudian, 29 April, turun keputusan presiden tentang struktur organisasi BRR: lembaga ini memiliki tiga organ utama, yakni Dewan Pengawas, Dewan Pengarah, dan Badan Pelaksana. Tugas badan ini antara lain merumuskan strategi dan kebijakan operasional, menyiapkan rencana kerja dan anggaran Badan Pelaksana, serta menyusun rencana terperinci rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan rencana induk, dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di wilayah pascabencana. Keputusan

presiden tersebut sekaligus menetapkan personalia BRR NADNias. Yang menjadi Kepala Badan Pelaksana, organ utama BRR yang akan langsung berada di lapangan, adalah Kuntoro Mangkusubroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi. Masa kerja badan yang membangun kembali Tanah Bencana ini ditentukan empat tahun, 20052009. Yang baru dari BRR ini dilihat dari kelembagaan pemerintah adalah kebijakan pengelolaan dananya. Badan Pelaksana BRRyang antara lain mengelola dana bantuan dari negaranegara asing, lembaga donor, dan LSMmenyalurkan danadana tersebut melalui mekanisme offbudget alias tanpa melewati skema anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Mekanisme offbudget menawarkan tiga pilihan kepada pihak donor: sebagai pengelola dana, sebagai pelaksana langsung proyek, atau sebagai pemberi dana LSM lokal yang menjadi mitra pelaksana. Mereka boleh memilih lebih dari satu peran. Tampaknya, mekanisme offbudget ini mendatangkan kepercayaan yang tinggi dari para donor hingga dalam waktu singkat berbagai lembaga internasional menyatakan komitmennya untuk membantu BRR. Mereka antara lain Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (ICRC), yang tercatat menyumbangkan US$ 498 juta; lembaga bantuan dan kerja sama Amerika Serikat (USAID), yang membangun jalan dengan dana sekitar US$ 254 juta; lalu JICA (Jepang); AIPRD (Australia); Bank Pembangunan Asia (ADB); dan Bank Dunia. Kalangan LSM, seperti Oxfam, World Vision, dan Save the Children, umumnya juga meyakini mekanisme offbudget sebagai jalan aman dari penyelewengan dana. Adapun dana bantuan dari moratorium utang luar negeri disalurkan melalui skema onbudget atau APBN. Artinya, penggunaan dana ini mesti melalui persetujuan anggota parlemen di DPR. Total anggaran yang disiapkan dari dana eksmoratorium utang luar negeri mencakup US$ 2,1 miliar. Berbeda dengan offbudget, dalam pengelolaan dana APBN ini BRR bertindak selaku pelaksana kegiatan, dari pelaksanaan prakualifikasi hingga tender untuk pemilihan rekanannya. Menjelang akhir 2006, satu setengah tahun setelah BRR bekerja, gabungan antara dana offbudget dan onbudget mencapai kisaran US$ 6 miliar. Besarnya komitmen ini merupakan cerminan kepercayaan dunia terhadap pemerintah Indonesia dalam hal pengelolaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami di Aceh dan Nias. Angka itu sungguh besar dalam skala internasional sekalipun. Seorang George Soros, pialang saham tingkat internasional dan aktivis masyarakat madani, ketika dana tersebut masih hanya US$ 4 miliar lebih, menyatakan keheranannya: unbelievable, katanya. Demikianlah kerja besar itu diawali dengan berangkatnya 15 anggota staf BRR ke Aceh, dipimpin langsung oleh Kuntoro Mangkusubroto, tiga hari setelah keputusan presiden tentang struktur dan personalia lembaga ini. Setiba mereka di Banda Aceh, yang pertamatama dilakukan adalah mempelajari cetak biru pembangunan Aceh dan Nias pascabencana, yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Lampiran cetak biru ini, tertuang dalam 12 buku, dibuat atas permintaan Presiden. Rombongan pertama BRR ini pun ngebut mengkaji cetak biru tersebut,
Bagian 7. Mewujudkan Harapan

85

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

86
menyesuaikannya dengan kebutuhan di lapangan. Secara umum cetak biru rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang disusun Bappenas berisi pedoman pembangunan masyarakat, pembangunan ekonomi, infrastruktur, sarana dan prasarana, perumahan, serta pemerintahan daerah. Seluruh isinya disesuaikan dengan nilainilai keacehan dan keindonesiaan, nilainilai keagamaan, nilainilai keislaman, dan juga keuniversalan. Langkah BRR untuk melakukan proses validasi atau penajaman cetak biru ini adalah dengan menerapkan pendekatan berbasis partisipasi masyarakat. Ini merupakan kebijakan yang berlawanan dengan kebijakan dari atas ke bawah, yang sering kali tak cocok dengan keadaan di lapangan. Melalui kebijakan ini, warga korban bencana diminta menentukan sendiri apa yang mereka inginkan guna memenuhi kebutuhan mereka. Berundinglah para warga desa korban bencana itu untuk merumuskan segala hal yang mereka perlukan. Para fasilitator, yang dikoordinasi oleh BRR bekerja sama dengan negara donor dan LSM, kemudian memberikan konsultasi kepada para warga tersebut untuk membuat perencanaan pembangunan desa. Perencanaan dari bawah inilah yang mengurangi potensi terjadinya konflik antarwarga. Hal ini menjadi titik perhatian utama BRR mengingat rawannya konflik tanah pascatsunami, yang berkaitan dengan status hukum tanahtanah tersebut, dan adanya kemungkinan tanah warga harus direlakan guna pembangunan prasarana dasar. Melalui dialog ini, BRR memfasilitasi keinginan warga, dan keinginan itu dicocokkan dengan perencanaan yang ada pada kami, tutur Kuntoro. Sedangkan pemberi bantuannya bisa BRR, negara donor, atau LSM lokal atau asing yang berminat membantu pembangunan desa tersebut, kata Kuntoro. Selain melakukan pendekatan berbasis partisipasi masyarakat, BRR mendorong terbentuknya program sertifikasi bersama suamiistri untuk sebidang tanah. Kegiatan yang populer disebut joint land titling ini, selain merupakan bentuk penghargaan

terhadap hak perempuan, sebenarnya juga membantu meredam kemungkinan terjadinya konflik akibat perselisihan ahli waris atau sengketa hukum lebih lanjut dalam satu keluarga. Untuk memudahkan kerja besar ini, BRR membagi jenis pekerjaan menjadi delapan kelompok. Kedelapan bidang itu meliputi: 1. Perencanaan dan Pemrograman; 2. Pengembangan dan Pemberdayaan Kelembagaan; 3. Perumahan, Infrastruktur, Koordinasi Penatagunaan Lahan; 4. Pemberdayaan Ekonomi dan Usaha; 5. Agama, Sosial, Kebudayaan; 6. Pendidikan dan Kesehatan; 7. Keuangan dan Pendanaan; 8. Komunikasi Informasi dan Hubungan Kelembagaan. Berpedoman pada pengelompokan kerja tersebut, Badan Pelaksana kemudian membuat sembilan bidang kedeputian. Kesembilan bidang itu terdiri atas enam kedeputian sektoral (1. Agama, Sosial, dan Budaya; 2. Ekonomi dan Usaha; 3. Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan; 4. Kelembagaan dan Pengembangan SDM; 5. Perumahan dan Permukiman; 6. Pendidikan, Kesehatan, dan Peran Perempuan) ditambah tiga kedeputian lintas sektoral (1. Pengawasan; 2. Keuangan dan Perencanaan; 3. Operasi). Belakangan BRR melakukan reorganisasi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan perkembangan di lapangan. Bidang ketiga (Perumahan, Infrastruktur, Koordinasi Penatagunaan Lahan) dipecah menjadi dua: Perumahan dan Permukiman; dan Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan. Dengan demikian, pembangunan perumahan dan permukiman yang memang sangat mendesak bisa dilakukan dengan lebih intensif. Bidang Perencanaan dan Pemrograman dianggap tak perlu berdiri sendiri karena tiap bidang tentulah sudah memiliki perencanaan dan program masingmasing. Yang baru, Bidang Operasi. Bidang ini diperlukan untuk mengoordinasi kantorkantor regional

Dermaga dan pelabuhan di Meulaboh, April 2006, berfungsi kembali beberapa bulan setelah dihantam tsunami. Pelabuhan Meulaboh dibangun kembali dengan dana dari masyarakat dan pemerintah Singapura sekitar 7 juta dolar Singapura. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Mewujudkan Harapan

87

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

88

Calang, salah satu kota di pantai barat, di utara Meulaboh, yang hancur total. Foto ini dibuat 10 hari setelah bencana. Foto: Dokumentasi BRR

yang dibentuk di berbagai daerah, guna lebih mempercepat kerja. Setahun setelah BRR dibentuk, lembaga ini lantas mengembangkan sayapnya, memperluas organisasinya: ada tambahan lima kantor wilayah dan kemudian 15 kantor perwakilan di tingkat distrik pada tahun 2007. Dua kantor yang sudah berdiri sejak awal adalah kantor perwakilan di Nias dan Jakarta. Pengembangan itulah yang menyebabkan Badan Pelaksana kemudian memiliki lebih dari 1576 anggota staf pada pertengahan th 2007 anggota staf, yang hampir 70 persennya warga Aceh. Ini memang merujuk pada Perpu Pembentukan BRR, yang dalam pasal 18 ayat 2 disebutkan bahwa perekrutan karyawan mengutamakan tenaga kerja setempat. Dan karena perdamaian dengan GAM tercapai pada 15 Agustus 2005, di antara tenaga kerja setempat itu ada juga anggota GAM. Pada akhir Desember 2008, hasil kolaborasi kerja di antara BRR, negara donor, dan LSM berhasil menyediakan lebih dari 139.282 unit rumah terbangun. Memang, dalam semester pertama, BRR hanya berhasil membangun sekitar10.000 unit rumah. Tentu ini ada sebabnya. Pada semester pertama itu BRR, bekerja sama dengan negara donor dan LSM, lebih mengutamakan membangun hunian sementara. Pembangunan hunian sementara ini dimaksudkan agar para pengungsi tak berlamalama tinggal di tenda. Biarpun hunian

tersebut sementara sifatnya, jelas lebih memadai dibanding tenda. Apalagi, saat musim hujan, jelas bermukim di hunian sementara jauh lebih sehat daripada di tenda. Karena itu, ada kesepakatan antara BRR dan pemerintah daerah yang dipimpin oleh Pelaksana Tugas Gubernur NAD Mustafa Abubakar, pemindahan pengungsi seluruhnya dari tenda ke hunian sementara harus sudah selesai sebelum musim hujan tiba. Di luar urusan hunian, kegiatan pembangunan kembali di sektor lain seperti pertanian dan perikanan menunjukkan tandatanda cukup menggembirakan. Laju pembersihan kembali tambak dan sawah ternyata lebih cepat daripada yang diperkirakan. Para ahli semula khawatir akan terjadinya kerusakan unsur tanah akibat gempuran air tsunami dan gempa bumi. Kekhawatiran itu ternyata tak terbukti: kuranglebih 69.979 hektare lahan pertanian bekas tsunami telah ditanami kembali dan berproduksi. Toh, sebagaimana proses rehabilitasi dan rekonstruksi di mana pun, perjalanan kerja BRR tidak semulus seperti yang diharapkan. Muncul hambatan dan tantangan, di antaranya pembangunan rumah yang mengundang kontroversi karena tidak sesuai dengan harapan calon penghuninyarumah tak layak huni, sebut saja begitu. Hal itu pula yang mengundang bertubitubi pertanyaan dan kritik dari banyak pihak, terutama dari lembaga swadaya masyarakat.

Calang, setelah rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan lebih dari dua tahun. Foto dibuat pada 23 Juni 2007. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 7. Mewujudkan Harapan

89

Luas Wilayah
Sebelum Bencana Luas daratan 5.736.557 hektare. Dampak Bencana TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang Luas daratan 5.656.300 hektare, berkurang sekitar 80.000 hektare karena hilang atau tenggelam akibat tsunami.

Infrastruktur
Sebelum Bencana Total jalan 3.484,6 kilometer: 32,7% dalam keadaan baik, 35,8% rusak ringan, dan 31,5% rusak berat. Dampak Bencana Keseluruhan jalan rusak menjadi 2.618 kilometer (35,7% rusak ringan dan 35,9% rusak berat). Sekitar 25% jembatan rusak.

Kesehatan
Sebelum Bencana Ada 1.000 gedung untuk fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, poliklinik desa, kantor dinas kesehatan, dan fasilitas lain). Dampak Bencana Sebanyak 1.114 fasilitas kesehatan dan rumah sakit rusak atau hancur.

90

RUMAH SAKIT

KANTOR AGAM

Perekonomian
Sebelum Bencana Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2003: Rp 38,6 triliun (2,3% PDRB nasional), dari minyak dan gas bumi 43%, nonmigas 57%. Sektor nonmigas: 32% pertanian, 28,8% pertambangan, 15,6% industri yang berkenaan dengan minyak dan gas, sisanya industri serta sektor ekonomi lainnya. Pendapatan per kapita pada 2003 Rp 8,7 juta. Laju inflasi pada 2004 di bawah 7% (Banda Aceh). Dampak Bencana Diperkirakan PDRB Aceh merugi US$ 4,5 miliar (lebih dari Rp 40 triliun), perkiraan penurunan pertumbuhan ekonomi Aceh 5%. Diperkirakan pendapatan per kapita turun 32%. Laju inflasi di Banda Aceh pada April 2005 sekitar 4,45%, Agustus 2005 turun menjadi 3,24% (tetap tertinggi dibandingkan dengan kotakota lain, meski ratarata nasional 4%). Diperkirakan berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi nasional 2005 di kisaran 0,10,4%.

Sumber Daya Manusia


Sebelum Bencana Penduduk miskin sekitar 28.4% populasi (data 2004). Jumlah angkatan kerja lebih dari 2,3 juta, penganggur terbuka 257.600 orang, yang menimbulkan pengangguran sekitar 11,2%. Dampak Bencana Penduduk miskin diperkirakan meningkat menjadi 2,7 juta. Tingkat pengangguran pada tahun 2005 tercatat 12%.

Perikanan
Sebelum Bencana Perikanan menyumbangkan 6,5 persen dari PDRB (Rp 1,59 triliun) pada 2004. Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja. Luas tambak sekitar 36.000 hektare. Sekitar 15.000 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 5.600 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, pangkalan pendaratan ikan 72 unit, dan sejumlah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Dampak Bencana Diperkirakan produksi perikanan anjlok hingga 60%. 15-20% nelayan dalam 18 kabupaten diperkirakan meninggal. Diperkirakan 13.828 unit perahu hancur atau tenggelam,nilai kerugian kapal motor hampir mencapai Rp 190 juta, yaitu sekitar 65% perahu yang ada. Sejumlah 19 unit TPI dan 63 buah pangkalan pendaratan ikan rusak berat. Seluas 27.593 hektare tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Total kerusakan aset diperkirakan sekitar Rp 944 juta, kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 triliun. Bagian 7. Mewujudkan Harapan

91

TRADISIONAL

PASAR

BRR NADNias, terutama Badan Pelaksana yang bertanggung jawab atas semua itu, tak menampik sejumlah kekurangan tersebut. Dan selekas mungkin BRR mengundang kembali kontraktor proyeknyaatau mencari kontraktor baru bilamana yang lama ternyata tak lagi bisa dihubungiuntuk memperbaiki itu semua. Jadi, berhasilkah BRR NADNias, atau sebaliknya? Yang jelas, belum pernah ada satu negara pun yang punya pengalaman menangani pemulihan kerusakan akibat bencana besar seperti di Aceh dan Nias. Rujukan perbandingan untuk mengukur cepat atau lambatnya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh, dengan semua persoalannya yang rumit dan kompleks, karena itu juga belum ada. Program pemulihan Aceh pascatsunami karena itu tidak dapat dijangkau dengan mudah, apalagi dalam waktu singkat. Apalagi pembangunan tak akan pernah selesai karena masyarakat terus berkembang. Itu sebabnya pagipagi BRR sudah mengantisipasi masa depan NAD dan Nias. Katakanlah seluruh tugas BRR NADNias sudah diselesaikan sesuai dengan rencana. Namun, karena masyarakat terus berkembang, yang selesai tersebut belum tentu oleh masyarakat juga dirasakan rampung. Artinya, kerja membangun NAD dan Nias masih harus diteruskan, sedangkan BRR bukan lembaga tetap. Maka BRR pun menyiapkan pengalihan tugas ke pemerintah daerah. Pemdalah nanti yang akan meneruskan pembangunan itu, yang namanya mungkin bukan lagi rehabilitasi dan rekonstruksi, melainkan pembangunan saja. Nanti, ketika BRR menyerahkan segalanya ke pemerintah daerah, bekasbekas bencana itu sudahlah samarsamar, bahkan mungkin tak lagi berbekas. Lain dari itu, yang juga patut diteruskan adalah pembangunan dengan konsep yang bersih dan antikorupsi yang dijalankan oleh BRR. Konsep bersih dan antikorupsi BRR ini sudah teruji di lapangan, dan mendapat pujian dari Menteri Senior Lee Kuan Yew dari Singapura. Seharusnya lembaga pemerintah di Indonesia menerapkan prinsip itu, kata Lee, yang memang layak berbicara seperti itu karena Singapura dikenal sangat kecil korupsinya. Alhasil Indonesia telah melaksanakan suatu kebijakan yang konon dahulu kala ditanamkan oleh para tetua di Nusantara ini: di setiap bencana ada anugerah, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tsunami memang dahsyat, namun dari penanggulangan bencana hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, terbukti anugerah terwujud satu demi satu karena kerja keras semua pihak. Dari bersatunya dunia membantu korban bencana hingga perdamaian yang mengakhiri permusuhan bertahuntahun, dari kerja rehabilitasi dan rekonstruksi yang memulihkan segalanya dengan lebih baik sampai penerusan pembangunan oleh pemdabaik Aceh maupun Niasselanjutnya nanti. Tak berlebihan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pemulihan dari bencana gempa dan tsunami ini bak habis gelap terbitlah terang. Kita patut bersyukur kepada Pencipta Alam Raya ini.
Bagian 7. Mewujudkan Harapan

93

Hidup pun berdenyut kembali setelah tanggap darurat usai, Aceh pun memasuki masa rehabilitasi dan rekonstruksi; suasana hari pekan di pedalaman Blang Kejeren, Gayo Lues. Foto: BRR/Arif Ariadi

Akhirulkalam:

Belajar dari Tsunami


Aceh, tsunami memang suatu blessing in disguise. Berkah tersembunyi itulah yang mengubah provinsi di ujung barat Indonesia tersebut. Perubahan itu bukan hanya fisik. Memang, rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh (dan Nias) menyuguhkan pemandangan baru. Jalanjalan di Banda Aceh, umpamanya, terasa makin lebar karena pemisah jalur dipersempit. Ramburambu pun makin banyak dan jelas. Ini berkaitan dengan makin banyaknya jumlah mobil dan motor. Mudah menengarai meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Selain itu stasiun pompa bensin lama yang rusak karena tsunami sudah diperbaiki, muncul stasiun pompa bensin baru. Juga rumah makan franchise, yang dulu belum tercium, kini meramaikan kota. Ada juga duatiga hotel baru dan toko serbaada. Ini menjadi salah satu pertanda berputarnya roda ekonomi. Pembangunan fisik itu dimungkinkan karena sesuatu yang nonfisik telah ada terlebih dahulu: perdamaian. Tanpa perdamaian, sulit membayangkan pembangunan bakal berlangsung. Berkah tersembunyi tsunami pantas disyukuri. Namun tak lalu berarti hanya karena tsunami otomatis perdamaian tersaji. Sebagaimana telah digambarkan di bagianbagian terdahulu dalam buku ini, kerja keras dan kerja sama semua pihak yang pedulilah yang telah membuka jalan terang ke masa depan Aceh. Tanpa usaha dua hal tersebut, kerja keras dan kerja sama, berkah itu akan tetap tersembunyi.

BAGI

Bantuan yang lebih untuk kepentingan umum pun tak terkecualikan: betonbeton penahan gelombang di pantai Meulaboh sumbangan Caritas Internationalis, organisasi global nonpemerintah. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Akhirulkalam: Belajar dari Tsunami

95

TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

96

Pengambilan sumpah jabatan Irwandi Yusuf dan Mohamad Nazar sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NAD terpilih periode 20072012. Pilkada ini tercatat sebagai pilkada pertama yang dilaksanakan setelah tsunami. Foto: BRR/Arif Ariadi

Dan syukurlah bahwa kerja keras dan kerja sama itu tidaklah siasia. Pilkada 11 Desember 2006 berjalan damai, bahkan pilkada ini mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan pilkada di daerah lain: ada calon independen, calon yang bukan dari partai. Eloknya lagi, calon independen ini memenangi pilkada Gubernur NAD: Irwandi Yusuf, salah seorang pemimpin GAM. Alhasil kita semua kini merasa lega. Kerja keras merehabilitasi dan merekonstruksi Tanah Bencana terjamin kesinambungannya. Irwandi Yusuf, yang selaku gubernur otomatis menjadi Wakil Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias, ternyata tak sebagaimana ketika ia masih berkampanye untuk pilkada. Ia tak lalu berupaya membubarkan BRR, tapi justru menunjukkan kerja sama yang baik antara Pemda NAD dan BRR. Program pertamanya yang merupakan prioritas, membangun perekonomian Aceh, sejalan dengan yang dilakukan BRR. Setelah pilkada, terlihat Pemda NAD dan BRR secara terpadu melangsungkan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Baik di Aceh maupin di Nias, kerja sama itu memungkinkan dibentuknya tim peralihan aset dari BRR kepada Pemda. Tim inidinamai Komite Bersamabertugas menyiapkan agar apa yang telah dilakukan oleh BRR untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab

Berkah tersembunyi yang lain dari tsunami adalah mengingatkan kita pada hal yang selama ini mungkin terlupakan, yakni kita hidup di kawasan yang terancam bencana senantiasa. Secara geografis, Indonesia berada di wilayah pergeseran lempeng bumi dan karena itu sangat rawan gempa. Padahal gempa hingga sekarang masih sulit diramalkan kapan datangnya. Lebih lagi, gempa di kawasan pantai berkemungkinan mendatangkan gelombang laut nan ganas yang disebut tsunami tersebut. Dengan lain kalimat, kita semua mesti selalu siap menerima bencana, bukan dengan sikap menyerah. Perumahan dan permukiman yang dibangun oleh BRR beserta mitra pendananya tak akan banyak berarti bila penghuninya tak disiapkan untuk sewaktu waktu menghadapi gempa. Mereka yang memahami selukbeluk gempa tahu apa yang seharusnya dilakukan bila bencana itu menimpa. Dan tsunami? Sebagai bencana susulan setelah gempa, sebenarnya gelombang raksasa ini bisa dideteksi. Memang, peranti sistem peringatan dini akan datangnya gelombang laut yang disebut tsunami itu mahal. Tapi itulah yang mesti kita adakan di berbagai wilayah di Indonesia untuk memperkecil jatuhnya korban. Memang kita mesti belajar dari gempa dan tsunami di Aceh dan Nias. Kita tak ingin tersandung batu yang sama untuk kedua kalinya.

Bagian 8. Akhirulkalam: Belajar dari Tsunami

Pemda, baik pemeliharaan maupun pengembangannya. Selain itu, Pemda pun, apabila diperlukan, melanjutkan kerja BRR merehabilitasi dan merekonstruksi daerahnya. Harapannya, melalui transisi nanti, pihak Pemda bisa mempelajari kelemahan dan kelebihan BRR, sehingga kelak Pemda bisa segera melanjutkan kerja BRR dengan lebih baik.

97

Aceh dan Nias harus dibangun kembali lebih baik daripada sebelumnya. Habis bencana terbitlah terang. Cahaya matahari pagi menembus awan membawa terang setelah dunia gelap semalaman. Gambar diambil di Peukan Bada, Aceh Besar. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Akhirulkalam: Belajar dari Tsunami

99

Catatan
TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

1. Michael Morfit, Staying on the Road to Helsinki: Why the Aceh Agreement was Possible in August 2005, 2006. 2. Media Indonesia, 29 Juni 2005.

100

Daftar singkatan
Singkatan ADB AIPRD Anzac ASEAN Bakornas Indonesia Bank Pembangunan Asia Kemitraan Australia-Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Inggris Asian Development Bank Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development

Komunitas Australia dan New Zealend Australia New Zealand Zainoel untuk RS Zainoel Abidin Abidin Community Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara Badan Koordinasi Nasional (Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi) Badan Pelaksana BRR Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Perjanjian Penghentian kekerasan Komandan Resor Militer Dewan Perwakilan Rakyat Badan Manajemen Kedaruratan Amerika Serikat Gerakan Aceh Merdeka Dewan Pengarah Palang Merah Internasional Badan Kerjasama Internasional Jepang Kepala Badan Pelaksana BRR Kepala Staf Umum Kesehatan Komando Daerah Militer Komando Daerah Militer Association of Southeast Asian Nations National Coordination Agency (of Disaster Mitigation and Refugees) Executing Agency BRR Regional Development Planning Agency National Development Planning Agency Meteorology and Geophisics Agency Agency for the Rehabilitation and Reconstruction of the Regions and Community of Nanggroe Aceh Darussalam and the Nias Island of the Province of North Sumatra Cessation on Hostility Agreement Military Commander House of Representative Federal Emergency Management Agency Free Aceh Movement International Committee of Red Cross Japan International Cooperation Agency Head of BRR Executing Agency Director of General Staff Regional Military Hospital Regional Military Command

101

Bapel Bappeda Bappenas BMG BRR

COHA Danrem DPR FEMA GAM ICRC JICA Kabapel Kasum Kesdam Kodam

Singkatan Kodim KTT


TSUNAMI: Habis Bencana Terbitlah Terang

Indonesia Komando Distrik Militer Konferensi Tingkat Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat Nota Kesepahaman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Kabupaten Nias Selatan Panglima Komando Daerah Militer Perserikatan Bangsa-Bangsa Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Pemerintah Provinsi Peraturan Presiden Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pinjaman/Hibah Luar Negeri Palang Merah Indonesia Pegawai Negeri Sipil Polisi Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Pangkalan Pendaratan Ikan Pekerjaan Umum Pusat Data dan Informasi BRR Republik Indonesia Rumah Sakit Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden keenam RI) Sekretaris Jenderal Pita Sisi Tunggal Tentara Nasional Indonesia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Program Pembangunan PBB Program Lingkungan PBB Pusat Informasi Kemanusiaan PBB Badan PBB untuk Urusan Anak-Anak

Inggris Military District Command High Level Summit Non- Governmental Organization Memorandum of Understanding Nanggroe Aceh Darussalam Province District of South Nias Chief Commander of Military Region United Nations (UN) Regional Government District Government Provincial Government Presidential Regulation Government Regulation in Lieu of Law Foreign Soft Loans/grant Indonesian Red Cross Civil Servant Indonesian Police Force Government Regulation Fish Unloading Bay Public Works Center of Data and Information BRR Republic of Indonesia Hospital Susilo Bambang Yudhoyono (the 6th President of Indonesia) Secretary General Single Side Band Indonesian National Army United Nations United Nations Development Programme United Nations Environmental Programme United Nations Humanitarian Information Center United Nations Childrens Fund

LSM MoU NAD Nisel Pangdam PBB Pemda Pemkab Pemprov Perpres Perpu PHLN PMI PNS Polri PP PPI PU Pusdatin RI RS SBY Sekjen SSB TNI UN UNDP UNEP UNHIC UNICEF

102

Singkatan UNIMS UNOCHA UNODCCP UNORC Unsyiah USAID UU Wapres WB WHO

Indonesia Sistem Manajemen Informasi PBB Badan PBB untuk Koordinasi UrusanUrusan Kemanusiaan Badan PBB untuk Pengendalian ObatObatan dan Pencegahan Kejahatan Koordinator Pemulihan PBB Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional Undang-Undang Wakil Presiden Bank Dunia Organisasi Kesehatan PBB

Inggris United Nations Information Management Systems United Nations Office of Coordination Humanitarian Affairs United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention United Nations Office of the Recovery Coordinator Syiah Kuala University, Banda Aceh United States Agency for International Development Law Vice President World Bank World Health Organization

103

Anda mungkin juga menyukai