Anda di halaman 1dari 6

Motivasi beasiswa:

Sumber: www.motivasibeasiswa.org

Silvia Carolina: Ibu, akhirnya aku Sampai di Belanda juga


masih ingat seperti apa aku menangis, berminggu-minggu, mengurung diri di dalam kamar, beberapa tahun yang lalu, tepatnya sebelum aku lulus SMA. Sebelum air mata itu benar-benar meluap, aku telah menggenggam asaku di kepalan tangan, begitu erat. Aku akan terbang bersamanya beberapa waktu lagi, pikirku. Tak ada yang bisa mengambilnya dari tanganku. Aku salah, dan aku sempat terpuruk. Yang dalam Genggaman, Belum Tentu untuk Kita Semua bermula dari keikutsertaanku dalam seleksi penerima beasiswa S1 ke Belanda yang diberikan oleh pemerintah Belanda melalui NIS (Netherlands International Studies). Salah seorang Bu Lek-ku yang mendaftarkan namaku pada proses seleksi itu. Ia adalah seorang guru BK di SMA Barunawati Surabaya, aku memanggilnya Bu Lek Tini. Tak pernah terlintas di benakku sebelumnya keinginan untuk merasakan hawa kehidupan Belanda. Dulu, di benakku hanya Jepang dan Jepang. Tapi, aku tak mengelak bahwa aku juga ingin merasakan rona kehidupan tanah Eropa. Mungkin ini saatnya, dan aku benar-benar akan berusaha. Tahap demi tahap kulalui di kantor NIS Surabaya. Ada puluhan siswa yang berjejalan di ruang tunggu, kami sama-sama menunggu ujian pertama dimulai. Biarpun aku sudah terbiasa bertemu tanpa bertegur sapa dengan para sebaya berseragam dan penuh prestasi itu di beberapa lomba, entah itu lomba bahasa Inggris, olimpiade Matematika, Fisika, dan sebagainya (yang tidak pernah kumenangkan ), namun suasana saat itu berbeda. Wajah-wajah itu seperti wajah-wajah yang memang terpilih. Rasa-rasanya tidak seorang pun dari mereka mewakili sekolah-sekolah yang tak punya nama di Jawa Timur maupun Indonesia. Petra Surabaya dan SMAN 5 Surabaya seperti mendominasi kala itu. Aku tidak bisa menutupi bahwa hatiku sempat menciut. Siapalah aku dibanding mereka. Aku hanyalah siswa biasa, yang tak memiliki segudang prestasi akademis layaknya mereka, yang mungkin pernah memenangkan kompetisi-kompetisi akademis se-Jawa Timur atau bahkan tingkat nasional. Tempatku saat itu hanya di kota kecil bernama Bangkalan, di pulau Madura. Namun ujian pertama itu mengusir segala kegelisahan dan rasa inferior yang sempat hinggap. Aku sumringah. Sebab, ujian pertama saat itu adalah TOEFL. Kepercayaan diriku kembali ke tempatnya. Aku bersyukur ketika aku sekolah di SMA Negeri 1 Bangkalan, Bapak Januarib, salah seorang guru bahasa Inggrisku, pernah memberikan bimbingan TOEFL di sekolahku. Saat kelas 2 SMA, nilai TOEFL-ku meningkat dari 507 menjadi 560. Kami juga diminta untuk menuliskan karangan dengan tema yang sudah ditentukan, minimal 500 kata terpenuhi. Setelah menunggu beberapa minggu, aku mendapatkan surat resmi itu, surat panggilan untuk tahap interview. Tertulis di situ pula bahwa aku harus sudah siap dengan keputusan tentang jurusan yang aku pilih. Keputusanku adalah Information and Graphic Design.

Namun ada hal lain yang harus aku persiapkan dengan matang dan aku bawa untuk sesi interview: sebuah motivation letter, yang dibatasi sebanyak 2 halaman. Itulah kesempatanku, itulah mungkin salah satu kunci keberhasilan proses yang kulalui. Menulis. Hingga sekarang aku tetap menyimpan motivation letter-ku yang telah kurampungkan dengan cukup baik, setidaknya menurutku. Dulu hampir setiap menit kuperhatikan dan kubaca lagi, kubaca lagi, hingga aku tidak menemukan setitik pun yang tidak sesuai dengan kemauanku. On the interview day, sebelum mendapatkan giliran interview, aku menemui salah seorang staff dan menanyakan skor TOEFL yang aku dapatkan. Angka yang tertera adalah 570, peringkat kedua di bawah rival yang mendapat skor 590. Alhamdulillah. Aku tidak ingat seberapa nervous diriku saat akan memasuki giliranku untuk interview. Mungkin tidak separah yang kalian bayangkan. Aku orang yang cukup tenang, bisa dibilang begitu. Tapi bukan berarti tidak gugup sama sekali. Hanya saja, aku bisa mengontrol rasa gugup itu. Orang yang mewawancaraiku adalah laki-laki Belanda tulen paruh baya. Dia ramah dan murah senyum, tidak memberikan kesan menakutkan pada sesi wawancara itu. Sama sekali tidak, sehingga degub jantungku yang semula mungkin berirama hentak, perlahan temponya menurun dan menurun hingga tempo yang cukup wajar. Sehingga, aku bisa menjawab pertanyaannya dengan cukup terkendali. Hanya saja, yang menjadi sedikit masalah adalah aksen bahasa Inggris si pewawancara yang masih diwarnai dengan aksen Belanda-nya membuatku sesekali waktu harus meminta maaf dan mengatakan, Pardon me, Sir. Could you repeat that, please? Tapi syukurlah semua berjalan lancar hari itu. Surat itu, aku masih bisa merasakannya hingga sekarang, tertanggal 11 Februari 2005. Dear Silvia, We are pleasant to inform you that you have passed the last written and interview test for Information and Graphic Design for Saxion Universities. Ditandatangani oleh seorang representative yang masih kuingat betul wajahnya, Ibu Afifah Audah. Benar-benar tidak bisa kupilah satu-per-satu dan kujabarkan perasaanku saat itu. Yang pasti bukan hanya bahagia yang hinggap, tapi cemas, gugup, dan bangga. Mulailah bermunculan bayangan-bayangan tentang beberapa bulan ke depan ketika diriku mungkin tengah beradaptasi dengan wajah-wajah baru dan suasana asing negeri kincir angin. Ayahku dengan bangga mengatakan, Nanti kita beli kamera untuk PC ini biar kita bisa tetap bertatap muka ketika kamu di Belanda. Semua orang bergembira. Ibuku tidak. Bukan karena dia tidak bangga akan prestasi yang aku capai, tapi dia terlalu mengkhawatirkanku. Aku tidak pernah bepergian jauh sendiri sebelumnya. Aku anak yang sangat pendiam di rumah. Tidak pernah ada yang menyangka bahwa hal seperti ini bisa aku raih.Aku bilang padanya bahwa kami masih bisa berbicara melalui internet dan bertatap muka pula berkat kemajuan teknologi yang ada. Itu tidak cukup menenangkannya. Ibuku. Aku tahu, dia cemas.

Pertemuan NIS dan siswa-siswa terpilih beserta orang tua berlangsung di Hall Hotel Garden Palace Surabaya. Itu pertama kali orang sepertiku bisa masuk ke hotel mewah semacam itu. Harusnya pertemuan itu menjadi cerita yang aku bawa pulang dengan air mata bahagia. Tapi Allah berkata lain. Inilah titik balik di mana semua bayangan-bayangan yang telah berseliweran dan semua rancangan komunikasi jarak jauh yang pernah menjadi pembahasan sehari-hari di rumah kami, menjadi kabur, layaknya matahari jingga yang melebur di lazuardi petang itu. Mulai tahun ajaran 2005/2006 itu, kebijakan beasiswa Saxion Universities Belanda telah berubah beasiswa 100% menjadi 70% saja. Itulah inti dari penjelasan petang itu. Sejujurnya ayahku belum mengatakan apapun, tapi aku cukup paham perasaannya. Dia tidak ingin aku kecewa dengan mengungkapkan apa yang ada dibenaknya, tapi dia juga tidak bisa lari dari kenyataan bahwa angka 30% bagi kami tetaplah biaya yang selangit. Bayangkan saja, biaya untuk tahun pertama, tuition fee dan buku totalnya 3900, belum lagi biaya hidup yang kalau dijumlahkan 5350, then they were 9250 all together. Saat itu kurs rupiah terhadap euro adalah Rp.11.940. Jadi semuanya Rp. 110.445.000. Dan 30% yang harus ditanggung sendiri berarti Rp. 33.133.500 untuk tahun pertama saja. Apapun yang aku pikirkan, aku harus rela melepas genggamanku dan membiarkan asa itu terbang sendiri tanpa diriku. Hari-hari setelah itu diisi tanpa kata-kata yang keluar dari mulutku. Hanya pintu yang menutup ruang di mana aku terlalu meratapi kegagalan pertama. Ternyata bukan hanya kemenangan yang menimbulkan perasaan histeris, tapi kegagalan rasanya memang sadis! Bayangan tentang studi di Belanda, mengirim kabar bahwa kuliahnya menyenangkan, nilai-nilaiku yang membanggakan. Semua bayangan yang tercipta, musim semi, musim gugur, dan salju pertama yang ingin kusaksikan, berjalan-jalan walau tak tentu arah di setiap kota-kota yang bisa aku kunjungi, mengabadikannya dalam foto-foto yang akan kukirimkan kepada ibu dan keluargaku sebagai pelepas rindu dan memamerkan diri pada mereka bahwa aku baik-baik saja dan cukup gembira, semua bayangan itu tiba-tiba harus kuhapus satu per satu. Satu-satu! Yang tersisa hanya air mata yang sewenang-wenang mendobrak pertahanan. Yang tersisa, hanya surat-surat bukti penerimaan dari Belanda, yang masih rapi tersimpan. Apakah kegagalan memang terasa sesadis itu, ataukah saat itu aku masih terlalu muda untuk merasakan sakitnya kehilangan impian yang sudah di tangan? Perjalanan Menyadari Hikmah Memang Cukup Panjang Aku melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang. Tapi tidak pernah menyimpan impianku dalam peti yang terkunci rapat, setelah apa yang terjadi tahuntahun sebelumnya. Ketika tanah Eropa tidak lagi tercium wanginya di genggamanku. Bersama sahabatku, Meda Rosaline, kami saling berbagi impian, dan kelak akan berbagi cerita tentang bahwa impian-impian kami telah menjadi kenyataan. Tahun-tahun pertama kuliahku aku mulai mengerti kenapa Allah tidak mengizinkan aku berangkat ke Belanda kala itu. Aku tidak pernah membayangkan ada perasaan sedih lain yang bisa melebihi perasaan kehilangan impian itu. Dan ternyata memang ada. Akhir tahun 2005, ibuku didiagnosis mengidap kanker. Tahun berikutnya keadaannya lebih parah, sebab kanker mulai menggerogoti tulang pahanya hingga patah. Bulan Ramadhan tahun 2006 aku sangat mengingatnya. Ramadhan tahun berikutnya, di semester kelima kuliahku, ibuku tiada.

Saat-saat itu yang menyadarkanku bahwa Allah lebih mengetahui segala-segalanya. Bahkan hal yang teramat kita benci, Dia Maha Tahu bahwa itulah sebaik-baiknya hal buat kita. Aku mensyukuri ketidakberangkatanku ke Belanda untuk sekolah Graphic Design, sebab aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku jika aku berada jauh di seberang samudra, di tanah asing yang memisahkanku dengan ibuku, sementara ia terbaring sakit di sini, mengingatku, dan menginginkan pelukanku serta kebersamaan denganku di tiap-tiap hari penuh cobaan yang dilewatinya. Aku bersyukur. Itu membuatku belajar, bahwa Allah mengetahui dan menentukan waktu-waktu yang lebih tepat untuk kita, untuk setiap keinginan kita. Menghirup Udara Pagi Amsterdam sebelum Terbang ke Oregon, Amerika Serikat. Mungkin sub-judul di atas terdengar terlalu wah untuk yang akan aku ceritakan sebagai akhir tulisan ini. Aku ingin memberikan satu spoiler dengan cuma-cuma sebelum aku bercerita lebih jauh. Jangan mengira bahwa aku benar-benar melanjutkan studi di Belanda. Tapi ini jawaban Allah tentang pertanyaanku, Benarkah aku tidak diizinkan ke Belanda, ya Allah? Tahun 2010, bulan Juli, tanggal 18. Madura masih seperti biasanya, begitu akrab, begitu nyaman, yang akan kutinggalkan dulu sejenak untuk merasakan tanah lain, dengan hawa yang mungkin mengabarkan jati diri-jati diri yang berbeda. Aku melihat mereka terakhir kali di pintu bandara Internasional Juanda Surabaya sebelum aku masuk untuk penerbangan pertamaku: ayahku, saudara perempuanku, dan keponakankeponakan kecilku. Aku masih bisa merasakan betapa lucunya suasana itu. Dan di lain sisi, betapa sedihnya. Entah kenapa aku begitu yakin, bahwa dalam benak mereka yang melepasku dengan kekhawatiran yang dipenuhi rasa bangga itu adalah: Akhirnya kami mengantarkannya untuk pergi terbang jauh menjemput impian, seperti pembicaraan-pembicaraan yang dulu akrab di telinga, 5 tahun yang lalu. Akhirnya yang seperti ini terjadi juga. Perlu waktu lima tahun, untuk kami menyelami rahasiaNya. Atau sesungguhnya Ia tak pernah bermain rahasia dengan kita, tapi manusia tidak mampu untuk menyibaknya. Aku diberiNya waktu untuk bersama ibuku, menemaninya tidur, memandikannya tiap pagi dan sore, menyuapinya makan, hingga aku melihatnya dikekalkan bersama tanah, kerikil, dan hujan. Lalu rasa sedih itu hinggap. Seandainya ibuku berada bersama berjejalan orang-orang yang melambaikan tangan itu, menyaksikan keberangkatanku, setelah dulu dibuat bingung olehku yang mengurung diri dalam kamar dan menangis saja. Aku berbisik padanya, Ibu, aku benarbenar berangkat sekarang. Tuhan ingin aku tersenyum dan merenung atas semua kegagalan dan air mata yang pernah tumpah, dan tidak seharusnya aku terlalu larut bersedih. Kupikir Tuhan sangat jenaka, itu yang ada dalam benakku ketika pertama kali aku membaca e-ticket penerbanganku yang dikirim via email oleh pihak AMIDEAST, organisasi Internasional nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan, yang menjembatani program beasiswaku ini dengan INTO Oregon State University. Sisi jenaka itu adalah Allah membiarkan aku mencicipi udara pagi Amsterdam, biarpun selama 3 jam saja, selama masa menunggu connecting flight-ku ke Oregon.

Mungkin bagi orang lain itu adalah hal yang sangat sederhana, bukan apa-apa. Tapi bagiku, dan hidupku, itu adalah pembuktian Allah kepadaku, bahwa tidak pernah sekali pun Ia bermaksud jahat pada hambaNya. Ia sangat jenaka, pikirku. Perasaanku seolah digelitik olehNya, memori 5 tahun silam Ia biarkan terbuka kembali. Bukan hanya aku yang tertawa, seluruh keluarga besarku menganggap transit itu adalah hadiah dariNya, setelah tangisanku berminggu-minggu lima tahun yang lalu. Ia membiarkanku menghirup udara Amsterdam, memandang biru langitnya, merasakan keMahaKuasaanNya. Portland, Oregon adalah pemberhentian terakhir. Semua perasaan hanya tergambar seperti mimpi, beberapa waktu lalu aku hanyalah orang yang lebih suka berdiam diri di kamar dan menulis. Kini, udara musim panas Portland di sore hari menyapaku, dan kami berkenalan. Seorang panitia dari Oregon State University menjemput kami, namanya Sean, yang di kemudian hari banyak membantu kami melewati masa adaptasi hari-hari pertama dan selanjutnya, bahkan dia membantuku membeli laptop pertamaku di sana, alhamdulillah dari hasil menghemat biaya beasiswa yang aku dapat. Itulah perjalanan darat pertamaku di tanah yang asing ini, perjalanan dari Portland menuju sebuah kota yang cantik bernama, Corvallis. Di Oregon State University (OSU) itulah dua minggu di musim panas akan kulalui dengan mengikuti Access Teacher Summer Workshop, sebelum akhirnya kami diterbangkan ke Washington D.C. untuk kegiatan bersama selama satu minggu untuk merasakan rona kehidupan kota besar ala Amerika. Aku salah satu dari dua perwakilan dari Indonesia dalam Workshop tersebut, yang kedua adalah Taufiq Effendi, an extraordinary man yang baru kukenal di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta sebelum penerbangan panjang kami menuju ke Amerika, yang mengajarkanku banyak hal tentang hidup, yang kini telah kuanggap sebagai seorang kakak dan motivator bagiku. I feel really blessed and honoured to know him and his family in my life. Harus kuakui, tidak pernah terpikirkan bahwa aku akan pergi ke negara itu, negara yang segala hal tentangnya hanya aku baca dan tonton di media, negara besar yang tidak pernah aku memimpikan akan menginjakkan kaki di sana. Tidak ada yang luput dari rencana Allah pada tiap diri kita. Setelah lulus S1 bulan Oktober 2009, aku diterima bekerja di CCEI (Center for Civic Education Indonesia) untuk menjadi pengajar program bantuan khusus di bidang pendidikan, English Access Microscholarship Program, yang diadakan hanya untuk siswasiswa SMA yang berasal dari keluarga tidak mampu, yang hanya diadakan di dua kota di Indonesia: Jakarta dan kota tempatku tinggal, Bangkalan-Madura. Baru mengajar selama dua bulan, CCEI mengabari kami tentang program Teacher Workhop yang akan diadakan di OSU di musim panas tahun tersebut. Lagi-lagi melalui sebuah motivation letter, mereka memilihku untuk berangkat dan belajar. Sebuah nikmat yang tidak terkira, bisa belajar bersama orang-orang yang jauh lebih berpengalaman dariku, dari berbagai negara. Tajkistan, China, India, Uruguay, Ukraina, Mesir, Yaman, Aljazair, bahkan Timor Leste, dan lain-lain. Aku adalah peserta yang termuda, dan paling tidak berpengalaman di antara yang lain, I felt really blessed. Alhamdulillah. Banyak sekali pelajaran dan pengalaman selama di Corvallis dan Washington D.C., mulai dari perjuangan memasak nasi sendiri di flat asrama, kehabisan bumbu pecel yang kubawa, kuliahkuliah yang konstruktif di kelas-kelas OSU, hampir tertangkap polisi patroli Corvallis garagara malam-malam masih berkeliaran di jalan, petualangan menemukan KBRI di jeratan kota besar nan asing Washington D.C., dan terlalu banyak lagi yang lain dan tidak cukup di sini.

Pengalaman ini mengajarkanku bahwa semua terjadi pada waktu yang tepat menurutNya, dan dengan jalan yang tak pernah kita duga. Ketika kita mendapatkannya, semua seolah terasa begitu mudah. Namun ketika kita menoleh lagi ke belakang, perjalanan menuju impian itu begitu panjang, penuh peluh dan air mata karena ujian-ujian dariNya. Tapi pertolongan Allah selalu dekat. Beberapa hari yang lalu, Pak Taufiq Effendi yang juga berbagi tulisan motivasinya di sini, mengingatkanku, dia mengatakan: Musuh terbesar kita, pesaing terbesar kita adalah diri kita sendiri, yang selalu menurunkan target-target kita, yang selalu mengecilkan kita, yang selalu merendahkan cita-cita kita, maka akhirnya kita benar-benar hanya mengejar target-target yang lebih rendah. Jangan berhenti bermimpi!!! Ibu, sekarang aku sudah sampai kembali ke rumah kita, tempat di mana kau selalu bermuara. Dalam mimpiku, kau berbaring di sampingku, memelukku, di flat asrama yang kutinggali selama aku mengikuti perkuliahan di Oregon State University musim panas dua tahun lalu itu. Rupanya kau selalu menemani. Silvia Carolina. (Seorang wanita muda biasa yang selalu belajar untuk lebih dewasa, di tanah kelahirannya, Bangkalan-Madura, namun memiliki impian besar bisa berkeliling dunia dan bertemu orangorang yang luar biasa.)

Anda mungkin juga menyukai