Anda di halaman 1dari 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Selain kelainan primer di paru, tuberkulosis (TB) ditemukan juga di kelenjar limf, tulang, sendi, perut, sistem urogenital dan sistem lain.1 Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5% dari TB paru akan menyebar dan berakhir sebagai TB tulang dan sendi.2 Seiring dengan masih tingginya kasus TB paru, kasus TB tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi. Infeksi pada tulang yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis ini tergolong dalam osteomielitis nonpiogenik. Osteomielitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan tuberkulosa di tempat lain. Seperti pada osteomielitis hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen. Perbedaannya, osteomielitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara osteomielitis tuberkulosa paling sering mengenai daerah tulang belakang (spondilitis tuberkulosa).2

II.1 Definisi Spondilitis tuberkulosa atau disebut juga penyakit Pott merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik dan destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa.2 Percivall Pott (1793), ahli bedah Inggris, pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang.2

II. 2 Insidens Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan 2 juta orang menderita tuberkulosis tulang belakang yang aktif. Penyakit ini terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun dengan rasio yang hampir sama antara wanita dan pria.2,3

II. 3 Etiologi Spondilitis tuberkulosa 90-95% disebabkan oleh mikobakterium

tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin). Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis dan bila diminum akan menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human berada dalam bercak ludah (droplet) orang yang terinfeksi tuberkulosis. Umumnya merupakan infeksi sekunder yang penyebarannya melalui darah. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang pada vertebra C1C2, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis traktus urinarius yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.2

II.4 Patogenesis Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Spondilitis tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra, dibagi menjadi tiga bentuk:1,2 Bentuk sentral Destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Sering ditemukan pada anak. Bentuk paradiskus Destruksi terletak pada korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral. Sering ditemukan pada orang dewasa. Bentuk anterior Lokus awal di korpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

Proses radang spesifik di tulang ini berlangsung seperti pada tuberkulosis. Reaksi peradangan yang terjadi merupakan proses

peradangan kronik yang didominasi oleh eksudat. Karakterikstik inflamasi kronik yaitu adanya reaksi sel-sel histiosit dan sel-sel epiteloid pada jaringan setempat yang membentuk lesi granuler.1,2 Pada daerah awal infeksi terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Infeksi menjalar pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Ketika bagian depan corpus vertebra runtuh satu sama lain, suatu sudut yang tajam (kifos) akan terbentuk.1,2,3 Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi kompresi vertebra. Pada bentuk paradiskus yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus. Bila proses terus berlanjut, terjadi osteoporosis dan penyebarannya ke seluruh korpus vertebra sehingga timbul kompresi vertebra. Bila terjadi kompresi, pada pemeriksaan klinis didapati gibus.1,2,3 Selanjutnya, akan terbentuk nekrosis yang lebih banyak berupa abses dan debris. Eksudat akan menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior, menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. 1,2,3 Pada daerah servikal, eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkel) terkumpul di belakang fascia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Abses dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses di daerah torakal juga

10

dapat menembus rongga pleura sampai terjadi abses pleura, atau bahkan ke paru bila parunya melengket ke pleura. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. 1,2,3 Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :2 1. Stadium implantasi. Bila daya tahan tubuh menurun, bakteri yang berada di dalam tulang akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Umumnya terjadi di daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral. 2. Stadium destruksi awal. Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebrae serta penyempitan ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin, terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus. 4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Kanalis spinalis vertebra torakalis lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:

11

Derajat I : Kelemahan anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas. Belum terjadi gangguan sensoris. Derajat II : Kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. Derajat III: Kelemahan anggota gerak bawah yang membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia. Derajat IV:Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan saraf vegetatif berupa gangguan defekasi dan miksi. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis. Derajat IV disebut sebagai paraplegia. Tuberkulosis paraplegia atau paraplegia Pott dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia mulainya dini adalah akibat tekanan ekstradural abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia yang mulainya lambat terjadi pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh, oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskular vertebra. 5. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

II.5 Klasifikasi Dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, spondilitis TB tergolong dalam TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura selaput otak, selaput jantung ( pericardium ) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit ,usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin

12

dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :4 a. TBC Ekstra Paru Ringan Misalnya TB kelenjar Limphe, Pleuritis eksudativa unilateral tulang ( kecuali tulang belakang ), sendi , dan kelenjar adrenal b. TBC Ekstra Paru Berat Misal : meningitis , millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang , TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.4

II.6 Manifestasi Klinis Gambaran klinisnya hampir sama dengan gejala tuberkulosis secara umum, yaitu: badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari, berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan. Gejala yang mendukung diagnosis spondilitis TB adalah nyeri punggung yang meningkat pada malam hari makin lama makin berat terutama pada pergerakan. Pada anak kecil sering disertai menangis pada malam hari (night cries). Keadaan ini terjadi karena otot erektor trunkus mengendur sehingga terdapat pergerakan kecil antara vertebra yang sangat nyeri.1,2,3 Pada beberapa kasus, deformitas merupakan tanda yang dominan. Suatu tanda khas pada vertebra torakal adalah kifos yang menyudut, pada kasus lanjut pasien bungkuk (kifosis). Pada vertebra lumbal, kifos hampir tidak kelihatan tapi mungkin terlihat jelas abses di pinggang atau lipat paha. Kalau vertebra servikal yang terpengaruh, dapat ditemukan nyeri daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. 1,2,3 Kadangkala penderita datang dengan gejala paraparesis, paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibbus.1,2,3

13

Penderita juga datang sudah dengan defisit neurologis, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan neurologis Motorik Lesi transversal yang memotong medula spinalis mengakibatkan kelumpuhan LMN pada tingkat lesi dan kelumpuhan UMN di bawah tingkat lesi.6 Tanda-tanda kelumpuhan UMN:6 1. Hipertonia Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medula spinalis. Cara pemeriksaan : anggota gerak difleksikan dan diekstensikan secara pasif, kemudian rasakan resistensinya. Hipertonia melibatkan otot-otot fleksor seluruh lengan serta otot aduktor bahu dan pada tungkai segenap otot-oto ekstensornya serta otot-otot plantarfleksi kaki. Apabila paraplegia disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut-serabut penghantar impuls piramidal saja, maka paraplegianya menunjukkan hipertonia dalam posisi ekstensi (paraplegia dalam ekstensi). Apabila jumlah serabut penghantar impuls ekstrapiramidal (serabut retikulospinal dan vestibulospinal) ikut terlibat dalam lesi, maka paraplegia menunjukkan hipertonia dalam posisi fleksi (paraplegia dalam fleksi) 2. Hiperefleksia Hiperefleksia merupakan suatu keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan piramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan kepada motorneuron. Keadaan abnormal ini berupa refleks tendon yang lebih peka dibandingkan keadaan biasanya. Misalnya, refleks tendon lutut : kontraksi otot kuadriseps femoris yang bangkit sebagai jawaban atas diketuknya tendon lutut. 3. Klonus

14

Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara berulangulang selama perangasangan masih berlangsung. Cara pemeriksaan: Klonus kaki : tungkai diletakkan dalam posisi fleksi di lutut dan di pergelangan kaki, kemudian kaki di dorsofleksikan secara maksimal dan tetap dipertahankan dalam posisi itu sementara waktu. Akibat penarikan tendon achilles yang berkepanjangan itu, kaki bergerak berselingan dorsofleksi dan plantarfleksi secara reflektorik. Klonus lutut : penarikan pada tendon otot kuadriseps femoris melalui pendorongan tulang patella ke arah distal akan kontraksi otot kuadriseps femoris secara berulang-ulang selama masih dilakukannya pendorongan patella itu

4. Refleks patologik Refleks Trommer Hoffmann : fleksi jari-jari tangan atas perangsangan (goresan) terhadap kuku jari tengah. Refleks Babinsky : dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jari-jari kaki lainnya atas penggoresan terhadap bagian lateral telapak kaki. Refleks Chaddock : dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jari-jari kaki lainnya atas penggoresan terhadap kulit dorsum pedis bagian lateral. Refleks Oppenheim : dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jari-jari kaki lainnya dengan jalan pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os tibia. Refleks Gordon : dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jarijari kaki lainnya dengan jalan memencet betis dengan keras. Refleks Schaeffer : dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jari-jari kaki lainnya dengan jalan memencet tendon Achilles dengan keras. 5. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh, kecuali disuse atrofi.
15

6. Refleks automatisme spinal Adalah gerakan yang bangkit akibat perangsangan yang datang dari bagian susunan saraf pusat di bawah tingkat lesi. Pada penderita paraplegik akibat lesi transversal di medula spinalis bagian atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak apabila penderita terkejut. Tanda-tanda kelumpuhan LMN :6 1. Hilangnya refleks tendon (arefleksia) 2. Tak ada refleks patologik 3. Tonus otot menghilang. 4. Atrofi cepat terjadi Kekuatan otot diklasifikasikan menurut Medical Research Council (MRC) :7

5 - Normal 4+ - Pergerakan submaksimal melawan tahanan 4 Pergerakan moderat melawan tahanan 4- - Sedikit pergerakan melawan tahanan 3 Pergerakan melawan gravitasi, tapi bukan tahanan 2 Pergerakan tidak bisa melawan gravitasi 1 Pergerakan flicker 0 Tidak ada pergerakan

Berikut ini adalah otot-otot kunci yang berkorespondensi dengan level cedera pada pasien cedera medula spinalis : 7

C5 - Elbow flexors (biceps, brachialis) C6 - Wrist extensors (extensor carpi radialis longus and brevis) C7 - Elbow extensors (triceps) C8 - Finger flexors (flexor digitorum profundus) to the middle finger T1 - Small finger abductors (abductor digiti minimi) L2 - Hip flexors (iliopsoas) L3 - Knee extensors (quadriceps)

16

L4 - Ankle dorsiflexors (tibialis anterior) L5 - Long toe extensors (extensors hallucis longus) S1 - Ankle plantar flexors (gastrocnemius, soleus)

Sensorik Pemeriksaan sensorik dilakukan setingkat level : 7


C2 - Occipital protuberance C3 - Supraclavicular fossa C4 - Top of the acromioclavicular joint C5 - Lateral side of antecubital fossa C6 - Thumb C7 - Middle finger C8 - Little finger T1 - Medial side of antecubital fossa T2 - Apex of axilla T3 - Third intercostal space (IS) T4 - Fourth IS at nipple line T5 - Fifth IS (midway between T4 and T6) T6 - Sixth IS at the level of the xiphisternum T7 - Seventh IS (midway between T6 and T8) T8 - Eighth IS (midway between T6 and T10) T9 - Ninth IS (midway between T8 and T10) T10 - 10th IS or umbilicus T11 - 11th IS (midway between T10 and T12) T12 - Midpoint of inguinal ligament L1 - Half the distance between T12 and L2 L2 - Midanterior thigh L3 - Medial femoral condyle L4 - Medial malleolus L5 - Dorsum of the foot at third metatarsophalangeal joint S1 - Lateral heel

17

S2 - Popliteal fossa in the midline S3 - Ischial tuberosity S4-5 - Perianal area (taken as 1 level)

Penilaian sensorik berdasarkan sentuhan tumpul dan tajam, meliputi :


0 Absent : tidak bisa membedakan tumpul dan tajam. 1 - Impaired or hyperesthesia 2 - Intact

Klasifikasi Frankel : 7 A fungsi sensorik dan motorik tidak ada di bawah lesi. B fungsi sensorik ada, fungsi motorik tidak ada di bawah lesi. C fungsi sensorik ada, terdapat kelemahan motorik dengan nilai < 3. D fungsi sensorik ada, terdapat kelemahan motorik dengan nilai 3<x<5. E fungsi sensorik dan motorik normal.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan: 1,2,3 Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis. Uji Mantoux positif. Pada pemeriksaan biakan, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat melalui pembedahan, mungkin ditemukan mikobakterium. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan: 1,2,3 Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Foto polos vertebra. Tanda-tanda awal infeksi adalah osteoporosis lokal dari dua vertebra yang berdekatan dan penyempitan ruang diskus intervertebralis, kadangkadang dengan kekaburan dari ujung lempeng. Belakangan tampak tanda-tanda destruksi tulang, dan keruntuhan corpus vertebra yang

18

berdekatan ke yang lainnya, mengakibatkan deformitas tulang belakang yang menyudut. Adanya bayangan jaringan lunak paraspinal mungkin akibat edema dan pembengkakan atau abses paravertebra. Pada penyembuhan, kepadatan tulang meningkat dan gambaran bergerigi menghilang, abses paravertebra mungkin mengalami kalsifikasi. Pada foto vertebra AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (birds net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis. Pemeriksaan foto dengan zat kontras. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi. Pemeriksaan MRI Pemeriksaan CT dan MRI penting untuk menyelidiki kompresi korda.

II.7 Diagnosis Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu:2 Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral. Foto polos toraks posisi PA. Uji Mantoux. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa. Berdasarkan International Standards for Tuberculosis Care (ISTC), dari 6 standard yang digunakan untuk diagnosis, TB ekstra paru termasuk dalam standard 3, yaitu: pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi. Dengan
19

addendum, sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin pada anak.5

II.8 Diagnosis Banding Tuberkulosis tulang belakang harus dibedakan dari penyebab lain perusakan vertebra dan kifosis, yaitu: fraktur kompresi traumatik, infeksi piogenik, dan keganasan yang paling sering di vertebra adalah metastasis dan granuloma eosinofilik. Metastasis dan fraktur kompresi traumatik dapat menyebabkan corpus vertebra runtuh tetapi berbeda dengan spondilitis TB, ruang diskus biasanya tetap. Apabila pasien menderita paraplegia, penyebab lain kompresi korda harus disingkirkan seperti fraktur vertebra, dislokasi, poliomielitis, abses epidural, meningioma, tabes dorsalis, dll. 1,2

II.9 Penatalaksanaan Tujuan terapi yang diberikan antara lain:3 Membasmi atau minimal menahan perkembangan penyakit. Mencegah atau memperbaiki deformitas. Mencegah atau mengobati komplikasi utama yaitu paraplegia.

Pada prinsipnya pengobatan spondilitis TB harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pengobatan terdiri atas:1,2,3,4 1. Terapi konservatif berupa: a. Tirah baring. b. Memperbaiki keadaan umum penderita. c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi. d. Pemberian obat antituberkulosis (OAT) Obat-obatan yang diberikan terdiri atas: 1) Isoniasid ( H )

20

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB dengan dosis maksimal 300 mg, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kgBB. 2) Rifampisin ( R ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant ( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. 3) Pirasinamid ( Z ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. 4) Streptomisin ( S ) Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. 5) Etambutol ( E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB.

Prinsip pengobatan : OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong.

21

Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO ). Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap Intensif Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan Ketet dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

WHO dan IUATLD ( International Union Against Tuberculosis and Lung Disease ) merekomendasikan paduan OAT Standar. Penderita TB ekstra paru termasuk dalam pengobatan kategori 1, yaitu : 2HRZE / 4 H3R3 2HRZE / 4 HR 2HRZE / 6 HE

Di Indonesia, Program Nasional Penanggulangan TBC menggunakan paduan OAT untuk kategori 1 yaitu: 2 HRZE / 4H3R3. Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

22

Obat ini diberikan untuk : Penderita baru TBC Paru BTA Positif Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat Penderita TBC Ekstra Paru berat.

2. Terapi operatif Percobaan klinik yang dilakukan oleh Dewan Riset Medis Inggris (1978) telah menunjukkan bahwa kemoterapi antituberkulosis sama efektifnya dengan metode lain dalam membendung penyakit. Tetapi selama 10 tahun periode tindak lanjut, pada kelompok yang diterapi secara konservatif kifosis meningkat rata-rata di atas 17 derajat. Kelompok radikal, di lain pihak menyatakan bahwa reseksi anterior terhadap jaringan yang sakit dan fusi tulang belakang anterior dengan cangkokan penopang menawarkan keuntungan ganda berupa eradikasi dini dan menyeluruh terhadap infeksi
3

serta

pencegahan

deformitas

tulang

belakang

(Leong,1990).

Indikasi operasi yaitu: Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan

pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis. Abses Dingin (Cold Abses)

23

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu: a. Debrideman fokal b. Kosto-transveresektomi c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan. Paraplegia Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu: a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata b. Laminektomi c. Kosto-transveresektomi d. Operasi radikal : Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

Bedah kostotransversektomi yang dilakukan berupa debridement dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani vertebra yang sehat, di atas dan di bawah vertebra yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia, terapi ini dilakukan untuk dekompresi medula spinalis.

II.10 Komplikasi Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Potts paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh

24

terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. 1,2,3 Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf. 1,2,3 Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess. 1,2,3

II.11 Prognosis Prognosis spondilitis tuberkulosis tergantung pada cepatnya dilakukan terapi, sensitivitas kuman tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya kurang baik. 1,2,3 Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan. 1,2,3

25

Anda mungkin juga menyukai