Anda di halaman 1dari 28

TONSILITIS KRONIK DENGAN PENYULIT RINITIS ALERGI DAN ASMA Norman I R, Denny Satria Utama, Eddy Mart Salim

Abstrak Penatalaksanaan rinitis alergi meliputi menghindari penyebab/faktor pemicu, menggunakan medikamentosa dan imunoterapi yang membutuhkan waktu lama, biaya besar dan kepatuhan dari penderita. Kebanyakan rinitis alergi disertai dengan asma bronkhial yang juga membutuhkan pelaksanaan yang sama pada penderita rinitis alergi. Salah satu penyebab faktor terjadinya rinitis alergi yang disertai asma bronkhiale adalah alergi makanan dan obat. Dilaporkan 1 kasus pasien wanita, 26 tahun, didiagnosa tonsilitis kronis yang mempunyai riwayat rinitis alegi dengan asma yang sudah dilakukan skin prick test, hasil adalah udang, kerang dan debu Kata kunci : rinitis alergi, asma, skin prick test Abstrac Management of allergic rhinitis includes avoiding the cause / trigger factors, use of prolong medication and immunotherapy, cost and compliance of patients. Most allergic rhinitis accompanied with bronchial asthma also requires the same implementation as patients with allergic rhinitis. One of the factor causes allergic rhinitis accompanied with bronchial asthma is food allergy. A 26 years old, female with chronic tonsil. She has allergic rhinitis and astma. The result of skin prick test are lobster, kerang, and dust.

PENDAHULUAN
1

Tonsilitis Kronis merupakan radang kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.1-5 Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan operatif.2,4 Alergi adalah suatu potensi terjadinya reaksi imun yang tidak diinginkan, terdapat pada lingkungan alam sekitar. Respon tersebut merupakan hipersensitivitas terhadap pajanan ulangan alergen yang menimbulkan pelepasan mediator inflamasi dan kelainan fungsi organ. Reaksi alergi merupakan hipersensitivitas Tipe 1 klasik dari Coombs dan Gell. Reaksi alergi membuat reaksi atau gejala seperti gatal, batuk,mengi, bersin, mata berair serta anafilaksis yang dapat mengancam nyawa. Penyakit alergi dapat menurunkan produktivitas kerja, belajar dan kualitas hidup. Gejala gejala ini biasanya dapat dikontrol, dicegah atau diminimalkan, contoh penyakit alergi adalah rinitis alergi, asma Bronkhial, dermatitis dan urtikaria. Berbagai penyakit dapat berhubungan dengan alergi seperti rinosinusitis dan otitis media kronis. Berbagai penyakit seperti konjungtivitis,urtikaria, angioedema, dermatitis kontak, reaksi obat, reaksi makanan ,reaksi sengatan serangga, lateks, kontras, reaksi ana filaksis dan anafilaktoid yang menunjukkan komponen alergi.1-5 Prevalensi penyakit alergi seperti rinitis alergi dan asma bronkhial pada dekade ini semakin meningkat. Dalam penelitian populasi, puncak alergi bervariasi dengan usia. Alergi makan dan ekzema domina pada usia dini, asma menunjukkan puncak bifasik dan rinitis mulai berdampak pada usia dekade dua sampai tiga. Prevalensi dan morbiditas penyakit alergi sangat bervariatif, rinitis alergi ditemukan sekitar 20 % populasi, dermatitis merupakan manifestasi klinis pertama pada anak atopi dan 80 % dermatitis mulai timbula pada usia < 3 tahun, prevalensi kumulatif ditaksir antara 9% sampai dengan 21 % pada anak, sedang pada dewasa ditaksir sekitar 2 sampai 10 %. Asma bronkhial biasanya mulai terjadi pada anak-anak dan
2

kebanyakan episode terjadi sebelum usia 3 tahun. Prevalensi ditemukan sekitar 2 % - 15 % yang berbeda diantara berbagai negara, etnik dan usia. Alergi mempunyai faktor-faktor resiko, diantaranya: Riwayat keluarga ; 2). Kehidupan intrauteri; 3). Faktor perinatal; 4). Faktor lingkungan; 5). Diet; 6). Higiene. Faktor-faktor resiko yang lain dapat mempengaruhi penyakit alergi seperti asma, dikarenakan peningkatan konsumsi lemak omega-3 yang sering ditemukan dalam ikan, tempat penitipan anak dan hidup lingkungan pertanian. Hipotesis higiene menunjang bahwa jumlah anggota keluarga besar, binatang piaraan dalam rumah menunjukkan proteksi terhadap perkembangan penyakit atopi.6-7 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin(Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous discharge. Rinitis diklasifikasikan sebagai intermitten (gejala muncul < 4 hari dalam 1 minggu atau < 4 minggu dalam setahun) dan persisten (gejala muncul > 4 hari dalam seminggu dan > 4 minggu dalam setahun). Klasifikasi ARIA juga membagi tingkat keparahan menjadi ringan, sedang/berat.6-7 Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran Asma napas yang adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1-5 Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma mempunyai riwayat rinitis tetapi hanya sedikit pasien rinitis menderita asma meskipun kebanyakan mempunyai riwayat hiperreaktivitas bronkus. Interleukin (IL)-5 dan vascular endothelial growth factor merupakan sitokin penting dalam terjadinya hiperreaktivitas bronkus pada pasien rinitis alergi. Jumlah IL-4 dan IL-13 yang rendah berhubungan dengan ketiadaan gejala asma dengan hiperreaktivitas bronkus. Hidung sampai alveoli mempunyai kesamaan sel epitel dan sel inflamasi sehingga diperkirakan merupakan satu kesatuan penyakit. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam hal pajanan alergen dan zat berbahaya, hidung lebih banyak terpajan daripada saluran napas bawah. Beberapa pasien dengan rinitis alergi mempunyai hiperreaktivitas bronkus terhadap metakolin atau histamin, terutama selama dan beberapa saat setelah musim serbuk sari (pollen season).1-5
3

TONSILITIS KRONIK Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya. Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan keluar detritus.1-5 Etiologi dan Faktor Predisposisi Organisme penyebab tonsillitis kronis sama dengan tonsillitis akut yaitu beta hemolitikus streptokokus. Infeksi yang berulang-ulang bias menyebabkan terjadinya pembesaran tonsil melalui parenchyma atau degenerasi fibroid. Tetapi kadang-kadang kuman dapat berubah menjadi kuman golongan gram negative. Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1-5 Terjadinya proses peradangan yang berulang sehingga selain epitel mukosa juga jaringan limfoid mengalami pengikisan maka pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kriptus menjadi lebar. Secara klinis, kriptus ini tampak diisi oleh detritus. Jika proses berjalan terus yang dapat menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.1-5 Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : TO T1 T2 T3 T4 : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
4

Aspek Imunologi Tonsilitis Kronis Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50% : 50%, sedangkan di darah 55-75% :15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M ( sel membrane)., makrofag, sel dendrite dan APCs ( antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limposit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yg diperlukan untuk diferensiasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama, yaitu : Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan Sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil tidak mempunyai limfatik aferen, tetapi 10 sampai 30 kripta berivaginasi ke dalam parenkim tonsil. Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1, TNF-, IL-6, IL-8, IL-2, INF-, IL-10, dan IL-4. Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu : 1). respon imun tahap I ; 2). respon imun tahap II, dan 3). migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respons imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid.8 Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melaui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte. RINITIS ALERGI

Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade terakhir ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan lebih dari 500 juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu penyebab terbanyak seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok-bedah kepala leher.6-10 Rinitis alergi muncul ketika membran mukosa terpapar oleh alergen sehingga memberikan respon yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE), respon ini memacu pelepasan mediator inflamasi. Rinitis alergi ditandai dengan gejala karakteristik seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore, rasa gatal, mata merah dan berair. Rinitis alergi ini banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga, antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi lainnya.6-10

Klasifikasi Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1.
2.

Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.6-9 Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas6-9

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi 1.


2.

ASMA Asma bronkial adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi yang mengakibatkan terjadinya hipereaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi saluran nafas pada penyakit asma bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.11-15
6

PATOFISIOLOGI

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang yang melibatkan beberapa sel, yang mengakibatkan terlepasnya bermacam-macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan menyebabkan spasme akibat meningkatnya tonus otot polos bronkus sehingga terjadi suatu bronkokonstriksi. Keadaan ini akan disusul dengan timbulnya edema/sembab mukosa dan kebocoran mikrovaskuler, keluarnya sekret atau hipersekresi mukus ke dalam lumen bronkus dan stimulasi refleks-refleks saraf.11-15 Semua keadaan yang terjadi pada bronkus yang disebutkan di atas, yaitu berupa konstriksi, edema, dan hipersekresi akan menyebabkan suatu keadaan yang dikenal dengan obstruksi saluran nafas pada penderita asma. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan terjadinya respons inflamasi, tetapi pada asma khas ditandai dengan infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T yang disertai dengan pengelupasan sel epitel bronkus. Keadaan inilah yang mendasari fenomena hiperresponsif/hipereaktivitas bronkus (HBR). Terjadinya obstruksi bronkus dapat dimulai dari aktivitas biologik pada mediator sel mast dapat dibagi dalam tiga fase utama, yaitu : 1. Fase dini dan spasmogenik (early phase) Jika ada pencetus, terjadi peningkatan tahanan saluran nafas dalam waktu 10-15 menit. Reaksi tersebut dapat hilang dengan penggunaan bronkodilator, seperti simpatomimetik (2-agonis). Sejalan dengan peningkatan tahanan saluran nafas terjadi pula peningkatan faktor kemotaksis neutrofil. Fase cepat ini kemunkinan besar melalui kerja histamin terhadap otot polos secara langsung atau melalui kerja histamin terhadap otot polos secara langsung atau melalui refleks vagal dan dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis histamin H1 dan H2. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. 2. Fase lanjut atau lama (late phase) Rangsangan bronkus oleh alergen spesifik menyebabkan peninggian tahanan saluran nafas yang hebat setelah 6-8 jam. Patogenesis reaksi tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan neutrofil 4-8 jam setelah rangsangan. Reaksi lambat mungkin juga berhubungan dengan reaksi sel mast. Leukotrien, prostaglandin, dan tromboksin mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena meditor ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromoglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
7

3. Fase inflamasi subakut atau kronik (very late phase) Asma yang berlanjut yang tidak diobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan di sekitar bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat faktor kemotaksis dari sel mast, seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF (Platelet Activating Factor) yang dihasilkan oleh sel mast, basofil, dan makrofag dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus. PAF juga menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik, dan ketotifen diduga dapat mencegah fase ketiga ini.14-19 Faktor Risiko Asma Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1.

Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan

apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2.

Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi

asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
3.

Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh

pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).14 Berdasarkan Global Strategy for Asthma Management and Prevention 2008, faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan, yaitu:
1.

Faktor genetik : a). Hipereaktivitas ; b). Atopi/alergi bronkus ; c). Faktor yang memodifikasi penyakit genetik ; d). Jenis kelamin ; e). Ras/etnik Faktor lingkungan ; a). Alergen di dalam ruangan ; b). Alergen diluar ruangan ; c). Makanan ; d). Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll) ; e). Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain) ; f). Ekpresi emosi berlebih ; g). Asap rokok dari perokok aktif dan pasif ; h). Polusi udara di luar dan di dalam ruangan ; i). Exercise induced asthma ; J). Perubahan cuaca.14-16

2.

KLASIFKASI
8

Menurut Global Initiative for Asthma 2008, seperti terlihat pada tabel 2, beratnya asma sebelum pengobatan dapat diklasifikasikan menjadi asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Penilaian beratnya asma berdasarkan gejala asma, frekuensi bangun malam, pemeriksaan fungsi paru. Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya berguna untuk menentukan penatalaksanaan pada saat penilaian awal. Batas yang jelas dari masing-masing tingkat kadang-kadang tumpang tindih dan gambaran yang bervariasi dari tiap individu yang bisa berubah dari bulan ke bulan.13 Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Berat Asma berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)13 Intermiten Gejala kurang dari satu kali per minggu Eksaserbasi singkat Gejala malam hari tidak lebih dari dua kali sebulan Fungsi paru

FEV1 atau PEF 80% nilai prediksi

Variabiliti PEF atau FEV1 <20% Persisten Ringan Gejala lebih dari satu kali per minggu tetapi kurang dari satu kali per hari Eksaserbasi bisa mempengaruhi aktivitas dan tidur Gejala malam hari lebih dari dua kali sebulan Fungsi paru

FEV1 atau PEF 80% nilai prediksi

Variabiliti PEF atau FEV1 <20-30% Persisten Sedang Gejala setiap hari Eksaserbasi bisa mempengaruhi aktivitas dan tidur Gejala malam hari lebih dari satu kali seminggu Penggunaan harian short acting 2-agonist per inhalasi Fungsi paru

FEV1 atau PEF 60-80% nilai prediksi

Variabiliti PEF atau FEV1 >30% Persisten Berat Gejala setiap hari Eksaserbasi sering Gejala malam hari sering
9

Terdapat keterbatasan aktivitas fisik Fungsi paru


FEV1 atau PEF 60% nilai prediksi Variabiliti PEF atau FEV1 >30%

Keterangan:

FEV1 (Forced Expiratory Volume) = volume ekspirasi paksa detik pertama PEF (Peak Expiratory Flow) = arus puncak ekspirasi Selain itu, GINA juga membuat klasifikasi asma berdasarkan beratnya serangan asma

yang dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel Klasifikasi Asma menurut Derajat Serangan13 Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium Sesak (breathless) Berjalan Bayi : Menangis keras Berbicara Bayi : -Tangis pendek dan lemah -Kesulitan Posisi Bisa berbaring Bicara Kesadaran Sianosis Wheezing Kalimat Mungkin iritabel Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi Penggunaan otot bantu Biasanya menetek/makan Lebih suka duduk Penggal kalimat Biasanya iritabel Tidak ada Nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi Biasanya ya
10

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti napas

Istirahat Bayi : Tidakmau makan/minum

Duduk bertopang lengan Kata-kata Biasanya iritabel Ada Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop Ya Gerakan Kebingungan Nyata Sulit/tidak terdengar

respiratorik

tidak

paradok torakoabdominal Dangkal / hilang

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi

Dalam, ditambah napas cuping

Frekuensi napas

suprasternal hidung Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia < 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun Frekuensi napas normal per menit <60 < 50 < 40 Dradikardi

Frekuensi nadi

6-8 tahun < 30 Normal Takikardi Takikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia 2-12 bulan 1-2 tahun 6-8 tahun Tidak ada (< 10 mmHg) < 160 < 120 < 110 Ada (10-20 mmHg) Ada (>20mmHg)

Frekuensi nadi normal per menit

Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis) PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator

Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

>60% >80%

40-60% 60-80% 91-95% >60 mmHg

<40% <60%, respon<2 jam 90% <60 mmHg

SaO2 % PaO2

>95% Normal (biasanya tidak perlu diperiksa)

11

MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya. 15-21 Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid. Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru. Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid
12

yang sangat berperan pada obstruksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung. 15-21 Rhinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi. Gejalanya adalah blockade atau sumbatan hidug, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah. Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet. Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paruparu. Hal ini bias terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas. Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah. 15-21 Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen. Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung. Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rhinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol. Di antara penderita rhinitis alergi musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus
13

pada penderita rhinitis alergi musiman sebelum dan selama musim tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rhinitis alergi perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rhinitis alergi musiman. 15-21 MEKANISME IMUNITAS Secara garis besar tubuh mempunyai dua sistem kekebalan spesifik yaitu kekebalan seluler yang berperan ialah sel limfosit T (sel T) dan kekebalan humoral, yang berperan ialah sel limfosit B (sel B). Sel T dan sel B berasal dari sel pokok (stem cell) yang sama pada sumsum tulang, tetapi berbeda dalam proses maturasinya. Sel T di pengaruhi oleh kelanjar timus, sedangakan sel B oleh GALT (gut associated lympoid tissue) yang identik dengan bursa fabrisius pada golongan burung.16 Kedua jenis sel (sel B dan sel T ) setelah keluar dari jaringan limfoid primer, maka sel-sel itu akan beredar ke sirkulasi darah atau menetap di jaringan limfoid sekunder. Bila suatu benda asing masuk ke dalam tubuh, sel-sel limfosit tersebut akan segera mengalami diferensiasi lebih lanjut menjadi sel limfosit yang sanggup menunjukkan aktivitas imunologik.16,22 Sel B akan berkembang menjadi sel limfosit matang yang sanggup menghasilkan suatu antibodi, sedangkan sel T akan berkembang menjadi sel limfosit yang sensitive yang sanggup melepaskan mediator limfokin dengan segala manifestasinya. Antara kedua jenis sel ini kadang-kadang terjadi suatu efek potensiasi dan meningkatan sifat keantigenan suatu antigen serta menetukan pula reaksi imunitas yang akan memegang peranan sebagai daya pertahanan tubuh.32 Jenis reaksi kekebalan humoral merupakan dasar dari reaksi hipersensitivitas jenis cepat, sedangkan jenis reaksi kekebalan seluler merupakan dasar dari reaksi hipersensitivitas jenis lambat. Reaksi hipersensitivitas Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi itu dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi dalam klinik, dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi bersamaan. Empat tipe reaksi hipersensivitas terdiri dari : Reaksi tipe I (reaksi anafiklasis / immediate hypersensitivity), dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah reaksi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai reaksi panjamu yang berubah bila terpapar dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Alergen yang masuk tubuh akan menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE yang kemudian diikat oleh reseptor Fc pada permukaaan sel mastosit, basofil.
14

Bila tubuh yang sudah tersensitisasi ini terpapar oleh alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat IgE spesifik dan akan menimbulkan degranulasi sel mastosit atau basofil. Degranulasi akan mengeluarkan mediator, anatara lain histamin, slow reacting substance of anaphylactic (SRS-A) atau leukotrin, prostaglandin, serotonin, bradikinin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), arginin esterase dan heparin yang terdapat dalam granul-granul sel. Mediator- mediator ini akan menimbulkan gejala reaksi hipersensivititas tipe I. Yang dapat berupa penyakit -penyakit rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria dan dermatisis atopik.22-24 Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik/sitolitik), terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Anti bodi tersebut dapat mensentisasikan sel K sebagai efektor anti body dependent cel citotoxycity (ADCC) atau mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat reaksi tranfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid serta kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis.22-24 Reaksi tipe III (reaksi kompleks imun), terjadi karena penimbunan kompleks anti gen anti bodi dalam jaringan atau sirkulasi / dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Anti bodi yang berperan disini biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahkan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan tetapi tidak disertai dengan respons antibodi yang efektif.22-24 Reaksi tipe IV (reaksi tuberculin/delayed hypersensitivity), yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar oleh antigen tertentu. Dalam hal ini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T melepaskan limfokin, antara lain macrophage inhibition factor (MIF) dan macrophage activation factor (MAF). Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat beruapa jaringan asing (reaksi alograft), mikroorganisme intraseluler (virus mycobactery), protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Bila ada antigen menetap untuk jangka waktu yang lama, maka makrofag yang diaktifkan terus menerus dapat membentuk jaringan granulomata. Ada 4 jenis reaksi hipersensifitas tipe IV, yaitu rekasi Jones Mote, kontak, tipe tuberkulin dan
15

reaksigranulomata. Manifestasi klinis keruasakan jaringan yang banyak di jumpai di bidang THT adalah reaksi tipe I, yaitu rinitis alergi.22-24 ALERGI MAKANAN Secara umum, istilah alergi dipakai dalam konteks reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh reaksi imun yang berakibat buruk terhadap jaringan atau mengganggu proses fisiologik manusia. Reaksi imun tersebut dicetuskan oleh adanya kompleks biokimiawi atau respons inflamasi yang menghasilkan gejala klinis. Respons tersebut bergantung pada tingkat reaktivitas reseptor jaringan yang terlibat dan sel efektor.22-26 Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food hypersensitivity) perlu dibedakan dengan intoleransi makanan ( food 4 intolerance atau food sensitivity). Alergi makanan adalah reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi imunologik abnormal. Di lain pihak, pada intoleransi makanan, terdapat faktor makanan itu sendiri, seperti kontaminasi toksin bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin yang terdapat pada keju yang telah lama), atau kelainan 3 metabolik (seperti defisiensi enzim laktase). Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori ini ialah reaksi idiosinkratik (misal intoleransi laktosa), keracunan makanan, dan reaksi farmakologik (mis., terhadap kafein, tiramin). Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, tidak mengenakkan, bukan psikologis, dengan latar belakang non imunologik, seperti defisiensiN enzim (mis., defisiensi laktase), farmakologis (mis., reaksi terhadap kafein), pelepasan histamin non-imunologis (mis., sehabis makan sejenis kerang), dan iritasi langsung (oleh isi lambung pada esofagus sehingga terjadi esofagitis). 22-26 Patogenesis Sebagian besar alergi makanan dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe III yang diperankan oleh kompleks antigen-antibodi. Reaksi alergi makanan dapat timbul tanpa keterlibatan IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi terhadap susu sapi yang diperankan oleh reaksi antibodydependent cell-mediated cytotoxicity (reaksi hipersensitivitas tipe II), dan reaksi kompleks antigen-antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi imunologik lain, seperti antibodi anti-IgA gliadin pada celiac disease.22-26 Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV), gejalanya timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan gejala
16

pada saluran cerna. Sampai saat ini, masih sulit membuktikan patogenesis alergi makanan yang didasari reaksi hipersensitivitas tipe II dan IV. Diperkirakan sebagian besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I (yang diperankan oleh IgE) , reaksi hipersensitivitas tipe III, atau kombinasi keduanya.24-26 Alergi makanan dibagi menjadi dua jenis, dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE. Pada reaksi ini, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh dan merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul padapajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Gell & Coomb mengklasifikasikan reaksi alergi/hipersensitivitas ke dalam 4 kelas.22-26 Reaksi alergi tipe I Pada keadaan anafilaksis terhadap makanan, telah lama diketahui bahwa alergen makanan, yang berikatan dengan IgE spesifik untuk kedua kalinya, akan memicu degranulasi sel mast, mengakibatkan dilepaskannya mediatormediator kimia. Reaksi tipe 1 ini terdiri dari 2 fase, yaitu fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase cepat timbul saat kontak dengan antigen sampai dengan 1 jam sesudahnya. Pada fase cepat ini, akan dilepaskan mediator-mediator kimia karena degranulasi sel mast atau basofil. Mediator tersebut ada yang telah terbentuk, seperti histamin dan beberapa enzim, ada pula yang baru dibentuk, seperti prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, dan platelet 9 activating factor. Mediator-mediator ini selanjutnya menimbulkan efek lokal, seperti diare dan kolik pada saluran cerna, serta meningkatkan absorpsi antigen makanan sejenis atau antigen lain. Keadaan ini juga akan menimbulkan efek sistemik, seperti bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan keluhan urtikaria. Fase kedua adalah reaksi alergi fase lambat. Reaksi ini mulai berlangsung 2-4 jam pasca-pajanan, dengan puncak setelah 6-8 jam, dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Reaksi alergi fase lambat akan melibatkan pelepasan mediator kimia, terutama eosinofil (seperti eosinophilic cationic protein [ECP], eosinophilic-derived protein, major basic 9 protein, dan eosinophilic peroxidase).22-26 Reaksi alergi tipe II Disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi ini terjadi akibat terbentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigen antibodi dapat pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan fagisitosis atau menimbulkan lisis.22-26 Reaksi alergi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Reaksi ini terjadi apabila ditemukan ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi darah atau jaringan, yang mengaktifkan komplemen. Dalam keadaan normal, ikatan antigen-antibodi.ini secara cepat dimusnahkan oleh
17

sistem retikuloendotelial tanpa menimbulkan kondisi patologis. Namun, bila terdapat kompleks imun dalam konsentrasi tinggi disertai ukuran kompleks imun yang kecil, kompleks tersebut akan sulit dimusnahkan. Selanjutnya, kompleks imun ini akan mengendap pada kapiler atau jaringan dan akan mengaktifkan komplemen untuk kemudian merangsang sel mast dan basofil. Zat vasoaktif yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan reaksi inflamasi.22-26 Kompleks imun ini akan memberikan gejala sesuai dengan lokasi pengendapannya. Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik abdominal atau diare. Apabila kompleks ini mengendap di hidung, akan timbul gejala kongesti atau rinorea. Reaksi tipe III ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada kasus alergi makanan. 22-26 Reaksi alergi tipe IV Reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi imun seluler, karena tidak terdapat peran antibodi. Pada reaksi ini, antigen yang datang dari luar akan dipresentasikan oleh sel APC ke sel Th1 yang bergantung MHC II. Sel Th1 yang diaktifkan akan melepas berbagai sitokin, antara lain macrophage inhibitory factor (MIF), macrophage activating factor (MAF), dan interferon (IFN), yang akan mengaktifkan makrofag dan merupakan sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan. Respons yang timbul pada reaksi tipe IV ini berkisar antara 24-48 jam setelah pajanan. 22-26 . ALERGI OBAT Alergi obat seringkali sulit dibedakan dengan reaksi jenis lain terhadap obat seperti, efek samping, toksisitas, intoleransi, dan idiosinkrasi. Efek samping obat yg timbul karena sifat farmakologik obat. Reaksi idiosinkrasi tidak berhubungan dengan sifat farmakologik obat, dan terdapat variasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat melalui reaksi imunologi yang kita kenala reaksi hipersensitivitas, yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat tersebut.27-31 Reaksi alergi obat yang harus diperhatikan adalah pasien yang mengalami erupsi kutaneus simetris mendadak setelah mengkonsumsi obat tertentu. Reaksi obat dapat diklasifikasi menjadi etiologi imunologi dan nonimunologi. Sebagian besar reaksi obat (75-80 %) disebabkan oleh efk nonimunologi yang dapat diprediksi, sedangkan 20-25% disebabkan efek yang tidak dapat diprediksi. Reaksi imun terjadi sebanyak 5-10 % reaksi obat dan merupakan hipersensitivitas obat yang sebenarnya, dengan diperantai oleh IgE. Patogenesis
18

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitasyang dapat di golongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Combs. Bila antibodi spesifik yang spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi, maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen yang terjadi adalah reaksi hipesensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tesentisasi adalah respon imun seluler maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II dan IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE.27-31 Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yamg ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring, kolaps kardiorespiratorius dan wheezing. Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.27-31 Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM dan IgG, reaksi ini sebagai respon terhadapa obat yang mengubah membran permukaan sel, misalnya anemia hemolitik yang disebabkan metildopa dan penisilin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalos porin, sulfanamida, dan rimfapisin.27-31 Reaksi III terdapat periode laten beberapa hati sebelum gejala timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen, terkadang baru timbul bila obat dihentikan. Reaksi tersebut berupa reaksi setempat yang disebut reaksi Arthus. Adanya pembengkakan dan kemerahan setempat dikarenakan penderita mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama adalah demam, ruam, urtikaria, limdenopati dan artralgia. Contoh obat misalnya penisilin, salisilat, sulfanomida, tiourasil dan fenitoin.27-31 Pada reaksi IV, limfosit bereaksi langsung dengan antigen. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karirer dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi, sehingga akan mengaktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat neomisin, antibiotik topikal, krim topikal dan lain lain. 27-31 Diagnosis Alergi Obat Ciri-Ciri Klinis Penyakit Alergi Obat
19

Reaksi alergi obat menunjukkan ciri-ciri seperti penyakit alergi pada umumnya, yaitu terjadi pada sebagian kecil penderita yang mendapat obat, manifestasi klinis tidak menyerupai efek farmakologik obat, gejala berhubungan dengan mekanisme imun; reaksi dapat menyerupai reaksi alergi lainnya seperti anafilaksis, urtikaria, asma dan penyakit serum. Berbagai jenis ruam kulit (terutama eksantema), panas, infiltrasi paru oleh eosinofil, hepatitis, nefritis interstitial akut dan sindroma lupus dapat terjadi pada hipersensitivitas obat. Obat yang menimbulkan reaksi memiliki struktur kimia yang dapat memacu reaksi imun; reaksi dapat ditimbulkan obat dosis kecil atau bahan lain yang memiliki struktur kimia yang sama atau menunjukkan reaksi silang. Oleh karena imunias itu spesifik, reaksinya tidak universal, tidak berhubungan dengan dosis dan efek farmakologi obat. Reaksi pada umumnya tidak terjadi pada pajanan pertama; reaksi imun memerlukan memori (sensitasi) dan terjadi pada pajanan ulang; reaksi akibat pajanan selanjutnya terjadi lebih cepat. Tanpa adanya pajanan terdahulu, gejala alergi jarang nampak dalam satu minggu pada pemberian yang terus menerus. Setelah sensitasi meskipun terjadi pada beberapa tahun sebelumnya, reaksi dapat timbul cepat pada pajanan ulang dengan obat. Pada umumnya, obat yang sudah diberikan bebas untuk beberapa bulan atau lebih lama, jarang menimbulkan reaksi. Eosinofil, bila ditemukan menunjang adanya alergi obat. Antibodi atau sel T yang spesifik untuk obat telah diidentifikasi dan dapat bereaksi dengan obat yang dicurigai atau metabolit obat relevan. Namun hal itu jarang memiliki arti diagnostic dalam praktek, kecuali untuk protein dengan berat molekul tinggi. Reaksi sering menghilang dalam beberapa hari setelah obat dihentikan. Namun dalam beberapa hal, reaksi menetap karena dibentuknya metaolit obat sebagai hapten yang dibawa protein. Dalam beberapa hal seperti pada penyakit serum, dibentuk kompleks imun dan bila tidak diobati, gejala menetap unutk beberapa minggu. Tes Alergi Kulit Untuk menunjang diagnosis alergi obat, berbagai tes perlu dilakukan. 1. Tes Kulit Tes kulit dapat dilakukan dalam diagnosis alergi terhadap beberapa obat, namun hanya tes intradermal untuk IgE menunjukkan nilai predileksi kuat. Tes kulit terbatas pada sejumlah obat seperti penisilin, insulin, serum heterologus, kimopapain. Penisiloil polilisin adalah reagens yang digunakan untuk menemukan IgE terhadap alergen determinan mayor penisilin (penisiloil) dan ditemukan positif pada 80% penderita dengan sensitivitas terhadap penisilin. Mengingat IgE menurun dalam waktu 3 tahun, bila tes kulit sudah menjadi negatif dan tidak ada pilihan antibiotik lain, beta laktam dapat diberikan. Reaksi
20

silang terhadap famili sefalosporin terjadi pada beberapa penderita yang menunjukkan riwayat dan tes kulit positif terhadap penisilin. Tes kulit dibaca setelah 15-20 menit dalam evaluasi reaksi cepat dan setelah 24-72 jam dalam evaluasi lambat. a. Tes tusuk Tes tusuk pada umumnya dapat dilakukan pada semua usia. Ukuran positif histamin digunakan untuk interpretasi hasil. Tes tusuk tidak dianjurkan untuk dilakukan di kulit dengan inflamasi dermatitis akut. Tes tusuk tidak tepat untuk kebanyakan obat dengan berat molekul rendah. Metabolit dan konjugat hapten protein dapat menimbulkan RSO. Tes tusuk juga memberikan positif palsu karena banyak obat bersifat iritan. Tes kulit tidak mempunyai nilai predileksi untuk reaksi non IgE seperti drug fever, eritema makulopapular, dermatitis eksfoliatif, nefritis interstitial atau anemia hemolitik. Tes tusuk kurang sensitif dibandingkan tes intradermal, tetapi lebih spesifik. Tes kulit positif tidak selalu diagnostik dan mempunyai arti klinis. b. Tes intradermal Tes ID sering positif tanpa adanya alergi yang klinis bermakna dan hanya dipertimbangkan untuk dilakukan bila TT negative setelah 20 menit terhadap alergen yang diduga kuat merupakan penyebab (menurut riwayat penderita) dengan menyuntikan 0,02-0,05 ml allergen ID. Tes ID tidaklah tanpa resiko dan harus dilakukan dengan hati-hati. Reaksi anafilaksis fatal dapat terjadi terutama bila kadar awal terlalu tinggi. Tes kulit positif dapat disebabkan oleh penglepasan histamine yang nonspesifik, tidak tergantung dari IgE (misalnya propofol dan atrakurium). c. Tes Tempel Tes tempel dilakukan bila ada dugaan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IVc) terhadap obat yang diberikan topikal, pengawet atau bahan industri. Tes tempel bermanfaat pada reaksi tipe IV seperti eritema multiform, eksantema dan eczema, tetapi tidak untuk reaksi nonlimfositik. Antigen ditaruh dalam bahan absorben yang ditutup dengan plester. Tes dibaca setelah 12 jam-48-72 jam untuk adanya eritema dan vesikulasi. Pada beberapa hal dibaca setelah 96 jam. Bila terjadi reaksi berat diberikan steroid untuk menekan reaksi. Obat yang akan digunakan untuk tes tempel perlu diencerkan yaitu 10% dalam petrolatum. Tablet dapat dihaluskan dan dibuat larutan homogeny dalam petrolatum, air atau alcohol dengan kadar tertinggi 30%. Hasil tes dibaca tidak lebih dari 48 jam.

21

Penanganan Alergi Obat


A. Menghindari factor yang menimbulkan gejala yang meliputi; (1) Pertimbangan obat,

yaitu berikan obat yang hanya diperlukan secara klinis dan bila mungkin hindari obat yang sudah diketahui menimbulkan reaksi alergi. (2) Pertimbangan penderita, yaitu sewajarnya kepada semua penderita atau yang bertanggung jawab atas penderita ditanyakan mengenai adanya riwayat reaksi terhadap jenis obat yang akan diberikan. Bila mungkin hindari obat yang sudah diketahui dapat menimbulkan alergi. (3) Skrining penderita sebelum pengobatan, yaitu uji tusuk kuit wajib dilakukan pada semua penderita yang akan mendapat pegobatan anti serum asing seperti globulin anti-timosit. (4) Cara pemberian obat, yaitu rute pemberian obat berpengaruh terhadap kekerapan dan beratnya reaksi. Reaksi tersering dan berat terjadi melalui rute intravena. Bila terapi sebelumnya terhenti dan terdapat jarak antara pemberian obat, risiko terjadinya reaksi akan meningkat. Antibiotik merupakan obat yang tersering menimbulkan anafilaksis dan penisilin merupakan sebab dari 75 kejadian fatal setiap tahunnya di Amerika Serikat. (5) Pengamatan lanjutan pasca reaksi, yaitu penderita atau orang yang bertanggung jaawab atas penderita harus harus diinformasikan mengenai reaksi. B. Pengobatan reaksi cepat, berat dan lambat Pengobatan reaksi cepat dan berat dapat berupa; (1) Pemberian efineprin (2) Menghentikan obat yang diberikan. (3) Antihistamin untuk urtikaria, angiodema dan pruritus. (4) Pertimbangkan pemberian kortikosteroid oral. Pengobatan reaksi lambat berupa; (1) Hentikan semua obat nonesensal yang diduga penyebab. (2) Ruam makulopapular ringan, cukup diberikan antihistamin. (3) Pada reaksi lebih berat misalnya ruam yang progressif atau disertai gejala lain dapat diberikan kortikosteroid oral jangka pendek. (4) Kortikosteroid oral jangka pendek dapat dikombinasi dengan antihistamin untuk reaksi serupa serum sickness serperti demam, artralgia, nefropati, dan neuropati. Selain itu kortikosteroid oral jangka pendek juga diberikan untuk dermatitis eksfoliatif dan ruam makulopapular yang lebih berat. C. Cara-Cara Khusus Beberapa cara khusus dapat dilakukan terhadap obat-obat tertentu; (1) Treating through, yaitu meneruskan terapi dengan obat yang sudah diberikan meskipun diduga menimbulkan reaksi. Hal ini dilakukan dalam keadaan ekstrim dimana obat kausal sangat diperlukan. Antihistamin dan kortikosteroid diberikan untuk menekan alergi. Tindakan
22

tersebut berisiko potensial karena ruam kulit dapat berlanjut menjadi ruam eksfoliatif atau SSJ. (2) Tes Dosing, tes ini dilakukan jika tes kulit atau RAST terhadap obat (antibiotik) tidak dapat dilakukan, kemungkinan alergi sejati rendah, gejalanya minor dan tidak disertai reaksi berat dan mengancam nyawa. Pada mereka yang pernah mengalami anafilaksis berat, SSJ dan TEN, tes dosing merupakan kontraindikasi. Tes dosing ini dibagi menjadi 2 yaitu; (a) Tes dosing cepat dan tes dosing lambat. Pada tes dosing cepat, obat diberikan dengan dosis awal yag kecil, kemudian ditingkatkan serial sampai dicapai dosis penuh. Interval waktu antara peningkatan dosis tergantung dari sifat dan reaksi yang diduga dapat terjadi, biasanya 20-30 menit adalah cukup bila dipikirkan reaksi IgE, sedang 24-48 jam bila dipikirkan reaksi hipersensitivitas lambat. Pada tes dosing lambat, bila reaksi yang diduga adalah reaksi lambat seperti dermatitis, jarak antara pembelian obat dijadikan 24-48 jam, sehingga prosedur mungkin baru selesai dalam 2 minggu. Test dosing lambat, tidak dianjurkan pada penderita dengan resiko tinggi seperti alergi sulfa yang diduga dapat menimbulkan SSJ. (3) Desensitisasi. Tes ini diindikasikan bla riwaya alergi obat dapat dipastikan, namun tidak ada pilihan obat lain. Tes ini terdiri atas; (a) Desensitisasi pada reaksi IgE. Tindakan ini merupakan cara induksi toleransi pada penderita yang mengalami reaksi alergi (melalui IgE), cepat, sistemik terhadap obat yang dipastikan dengan tes kulit misalnya penisilin. Tujuannya adalah untuk memperoleh reaksi yang ringan dengan eliminasi IgE. Tindakan ini hanya dilakukan bila situasi klinis mengharuskan penggunaan obat tersebut dan tidak ada penggantinya. (b) Desensitisasi pada reaksi yang tidak terjadi melalui IgE. Desensitisasi yang diperpanjang sampai satu bulan menunjukkan hasil baik pada beberapa penderita terhadap aspirin, AINS, alopurinol, preparat emas, sulfametoksazol dan sulfasalazin yang dapat memerlukan waktu sampai satu bulan. Selama desensitisasi dapat terjadi reaksi yang mengancam nyawa meskipun jarang. Kebanyakan penderita berhasil melalui semua tahapan desensitisasi. (c) Desensitisasi cepat pada anafilaksis. Mekanisme anafilaksis terjadi melalui sel mast yang disensitisasi oleh IgE. Obat yang dapat menimbulkan reaksi melalui IgE biasanya berupa protein utuh seperti protein serum heterolog atau insulin. Dengan kekecualian penisilin dan derivatnya, IgE sangat jarang dibentuk terhadap bahan kimia sederhana. Desensititasi cepat dengan bahan yang menimbulkan reaksi IgE dilakukan dengan pemberian dosis bertahap selama beberapa (misalnya penisilin) atau beberapa hari (insulin) biasanya dimulai dengan jumlah 1/1.000.000 sampai 1/100.000 dosis terapeutik. Piliha rute oral atau parenteral, tergantung dari kondisi klinis, obat yang diberikan dan pengalaman atau pilihan dokter. Dosis yang diberikan IV dilipatgandakan setiap 15 menit dengan pemantauan secara hati-hati. Reaksi
23

sistemik ringan seperti urtikaria atau pruritus dapat terjadi pada sekitar 1/3 penderita selama desensitisasi. (d) Desensitisasi lambat. Desensitisasi ini dilakukan terhadap obat esensial bila reaksi diduga akan terjadi lambat seperti dermatitis morbiliform. Peningkatan dosis atau pemberian obat dilakukan dengan jarak 24-48 jam, kecuali bila pengobatan diperlukan lebih cepat. Bila terjadi reaksi, obat dihentikan dan bila perlu penderita diobati dengan kortikosteroid. Prosedur ini memerlukan 2 minggu atau lebih. LAPORAN KASUS Seorang perempuan berumur 26 tahun datang ke poliklinik THT-KL di RSMH pada tanggal 6 Agustus 2012 berasal luar kota palembang dengan dengan keluhan adanya sakit menelan yang disertai riwayat hidung terasa tersumbat hilang timbul selama 5 hari, sekret berwarna putih, tidak berbau dan adanya sakit kepala.Pasien juga mempunyai riwayat rinitis alergi dan asma sejak umur 18 tahun. Pasien juga mengakui adanya riwayat alergi makanan terutama makanan laut dan alergi obat paracetamol dan amoxicillin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, status gizi cukup. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan: tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi denyut nadi : 84x/menit, frekuensi pernafasan: 24x/menit, dan suhu badan afebris. Pada pemeriksaan Nasoendoskopi dipoliklinik didapatkan, kavum nasi dekstra dan sinistra mempunyai konka inferior, sekret berwarna putih, pus tidak ditemukan dan septum deviasi tidak ditemukan. Pada pemeriksaan tenngorok ditemukan arkus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T3-T3 terdapat detritus dan kripta, dinding faring tidak ada kelainan. Hasil laboratorium tanggal 2 agustus 2011 didapatkan Hb : 13,6 g%, Leukosit : 7200/mm, Hematokrit 41%, Trombosit 352.000/mm, waktu perdarahan 11 dan waktu pembekuan 40, hitung jenis : 3/9/0/70/26/4, Gula darah sewaktu 101 mg/dl, ureum : 28 mg/dl, kreatinin 1,0 mg/dl, natrium 136 m/dl, kalium 4,9 mg/dl, SGOT 22 u/l, SGPT 22 u/l. Pasien dilakukan foto rontgen sinus paranasal dan rontgen toraks hasilnya tidak ada kelainan. Pasien direncanakan tonsilektomi, dan dikonsulkan penyakit dalam bagian alergi dan imunologi karena pasien menderita asma. Dibagian alergi dan imunologi penyakit dalam dilakukan spirometry, dan hasilnya adalah normal spirometry. Hasil dari konsul tersebut adalah cor dan pulmo tidak ada kelainan serta asma terkontrol. Dilanjutkan untuk konsul anestesi di dapatkan setuju untuk dilakukan tindakan dalam narkose umum dengan ASA 1. Setelah dilakukan tonsilektomi, Pasien dirawat di bangsal dengan terapi Ceftriaxone 2x1 gr (iv), asam traneksamat 3 x 500 mg (iv), Ranitidin 2 x 1 amp (iv), dan keterolak 2 x 30 mg (iv),asam mefenamat 3x500 mg dan diet bubur saring dingin. Kemudian lebih kurang ! jam
24

setelah pemberian terapi tersebut diatas, pasien mengalami pembengkakan muka yang disertai kemerahn secara tiba-tiba. Pasien kemudian diberikan dexametason 3 x 30 mg, tiamfenikol sirup 3 x 2 sendok makan, dan asam mefenamat sirup 3 x 2 sendok makan. Tanggal 11 Febuari 2012 pasien mengalami pebaikan, pembengkakan di daerah muka tidak tampak lagi, terdapat fibrin pada fossa tonsi, dan darah atau pembekuan darah tidak ditemukan. Pasien diperbolehkan pulang Pasien kontrol ke poliklinik tanggal 14 Febuari 2012. Dilakukan skin prick test pada pasien tersebut dan hasilnya adalah pasien positif mengalami alergi udang, kerang dan debu. Pasien juga disarankan kontrol bagian imunologi alergi penyakit dalam RSMH palembang, dan menghindari pencetus penyebab alergi Diskusi Dilaporkan Seorang perempuan berumur 26 tahun datang ke poliklinik THT-KL di RSMH pada tanggal 6 Agustus 2012 berasal luar kota palembang dengan dengan keluhan adanya sakit menelan yang disertai riwayat hidung terasa tersumbat hilang timbul selama 5 hari, sekret berwarna putih, tidak berbau dan adanya sakit kepala.Pasien juga mempunyai riwayat rinitis alergi dan asma sejak umur 18 tahun. Pasien juga mengakui adanya riwayat alergi makanan terutama makanan laut dan alergi obat paracetamo dan amoxicillin.Indikasi pasien dilakukan tonsilektomi adalah seringnya infeksi pada tonsil tersebut dan sudah mengganggu aktifitas, tetepi dikarenakan adanya penyulit, yaitu alergi makanan dan obat pada rinitis alergi dengan asma. Keluhan pasien asma dan rinitis alergi ini sudah dirasakan sejak umur 18 tahun. Menurut literatur, pada pemeriksaan fisik pasien kedapatan kavum nasi dekstra dan sinistra mempunyai konka inferior, sekret berwarna putih, pus tidak ditemukan dan septum deviasi. Dalam klasifikasi ARIA pasien rinitis alergi persisten berat, sedangkan asma menurut GINA, saat ini asma persisten ringan. Dalam alergi makanan, menurut reaksi hipersensitivitas diperkirakan sebagian besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I (yang diperankan oleh IgE) , reaksi hipersensitivitas tipe III, atau kombinasi keduanya. Dalam kasus ini pasien dilakukan skin prick test, dan spirometri, dan hasilnya adalah alergi makanan ( udang dan kerang) dan debu, serta hasil spirometri adalah normal. Dalam alergi obat, menurut reaksi hipersensitivitas diperkirakan sebagian besar alergi obat didasari rekasi hipersensitivitas tipe II dikarenakan obat yang alergi obat golongan
25

sefalosporin dan penicillin. Pada kedua reaksi ini pada penatalaksaan yang adalah menghindari pencetus, pengobatan yang simptomatis dan uji diagnostik untuk pencegahan. Dalam kasus ini, tonsilitis tidak berhubungan dengan alergi, tetapi alergi merupakan penyulit dalam melakukan tindakan medis. Oleh karena itu pasien membutuh kan suatu biaya yang tidak sedikit, kesabaran dan kepatuhan. Alergi tidak bisa disembuhkan, tetapi bisa dikurangi bilamana pencetusnya bisa dicegah dan dihindari

DAFTAR PUSTAKA
1. Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan tonsillitis kronik dengan prestasi belajar pada

siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia Kedokteran 2007;155:87-92. 2. Sankar V, Zapanta PE, Truelson JM. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Physiologic Approach. Emergency Medicine Textbook, 2007.
3. Nez-Fernndez D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep Apnea,

Upper Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008.


4. Hermani B, fachrudin D, Syahrial, et al. Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. HTA

Indonesia, 2004. hal 1-25.


5. Adams GL. Penyakit Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adam GL, Boies

LR, Higler PA. Ed. Buku Ajar penyakit THT. Jakarta : EGC, 199 :320 -55
6. Rusmarjono, Soepardi EA. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Dalam : Soepardi

EA, Iskandar N. Ed. Buku Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1997 : 176 83
7. Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, All Ed.

EMedicine.com.inc.2002 : 1 10
26

8. Renner B. Definition of food allergy and intolerance. Terminology. The International Symposium on Food Allergy in Infancy; 1991 Dec 3-4; Palma de Mallorca, Spain. 9. Anderson JA. The establishment of common langguage concerning adverse reaction to food and food additivies. J Allergy Clin Immunol. 1986; 78:140-4. 10. Mabry RL. Allergic rhinosinusitis In: Bailey BJ, ed. Head and Neck SurgeryOtolaryngology, 3rd ed Philadelphia: Lippincott-Raven; 2001; p. 281-91. 11. Suprihati. Pengaruh vaksinasi BCG sebagai indikator imunologi pada imunoterapi spesifik penderita rinitis alergi. (Desertasi). Universitas Diponegoro. Semarang. 2006. 12. Bousquet and the ARIA Workshop Group. Allergic rhinitis and its impact on asthma. J Allergy Clin Immunol. 2001; 108: S151-52. 13. Arlian GL , and Thomas A.E. The biology of dust mites and the remediation of mite allergens in allergic disease. [on line]. 2009. [cited on November 7, 2009]. Available from:URL:http// www.testsymptomsathome.com/sal01_dust_mites_allergens.asp 14. Brunet C, Bedard P, Lavoie A, Jobin M dan Hebert J. Allergic rhinitis to ragweed pollen. Modulation of histamine-releasing factor production by specific immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1992; 89:87-94. 15. Celikel S, Isik Sr, Demir AU, Karakaya G, Kalyoncu AF. Risk factors for asthma and other allergic disease in seasonal rhinitis. J Asthma. 2008; 45(8):710-4. 16. KG Bratawijaya, imunologi dasar, fakultas kedokteran universitas Indonesia, Jakarta, 1991: 1-79 17. Bambang SR, Barmawi H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm. 978-987.

18. H Mangunegoro, dkk. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,

Edisi I. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.

19. Sullivan S, Elixhauser A, Buist AS, Luce BR, Eisenberg J, Weiss KB. National Asthma

Education and Prevention Program working group report on the cost effectiveness of asthma care. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154:S84-95.

20. Beasley R. The burden of asthma with specific reference to the United States. J Allergy

Clinical Immunology. 2002; 109(5 Suppl):S482-9.

27

21. Downie SR, Andersson M, Rimmer J, Leuppi JD, Xuan W, Akerlund A, et al. Association betwen nasal and bronchial symptomp in subject with Persisten allergic rhinitis. Allergy 2008; 63: 251-254.

22. Heru Sundaru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Asma Bronkial, Jilid II, Edisi Ketiga.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2001.

23. Kulczycki A. Adverse reactions to food and food allergy. In: Korenblat PE, ed. Allergy theory and practice. 2nd ed. 1992; p. 515-26. 24. Martinez GA, Castilo PD, Garcia FG, Luna PC, Garcia SJA, Nogales EC. Prevalence of food allergy/intolerance in children: result from a population survey. J Allerg Clin Immunol. 2000; 105(1):S130. 25. Mygind N, Dahln R, Pedersen S, Thestrup PK. Essential allergy. 2nd ed. Oxford: Blackwell Science Ltd, 199; p.131-49. 26. Robert GC, Golder NDB, Lack G. Food as aeroallergen in childhood asthma. J Allergy Clin Imunol. 1999; 103(1):S99. 27. Crespo JF, James JM, Rodrigues J. Diagnosis and therapy of food allergy. Mol Nutr Food Res. 2004; 48:347-55. 28. Sampson HA. Food allergy: immunopathogenesis and clinical disorders. J Allerg Clin Immunol. 1999; 103 (5):717-28. 29. Sampson HA. Food allergy: diagnosis and management. J Allerg Clin Immunol. 1999; 103(6):981-9.
30. Weiss ME. Drug allergy. Clin allergi 1992 ; 76: 857-82 31. Stiehm ER, Ohcs HD,Winkelstein JA. Drug allergi. Immunologic Disorder in Infant

and Children, 5 th, Elseiver Saunders, 1992 ; 983 985. 32. Sullivan TJ, Drug allergy. Allergy : Principle and Practice. St. Lois : Mosby, 1993 ; 1726-46.

28

Anda mungkin juga menyukai