Anda di halaman 1dari 9

Definisi Ushul Fiqh

A. Sebagai Susunan Idlafiyah Untuk menjelaskan ini, lafadz ushul al fiqh harus dipisah, yakni menjadi ushul dan al fiqh. Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl. Secara etimologi berarti: asal-muasal dari sesuatu, baik secara inderawi maupun rasio. Ulama ushul biasa menggunakan kata ashl untuk beberapa makna di bawah ini: 1. Dalil Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: asal masalah ini adalah ijma adalah berarti dalil masalah ini adalah ijma. Jadi, ushul fiqh dengan makna ini berarti: dalil-dalil fiqh, sebab fiqh dibangun berdasarkan dalil-dalil rasional. 2. Rujukan Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: asal dari ucapan itu adalah hakikatnya adalah berarti rujukan ucapan itu adalah kembali pada hakikat, bukan majas. Pernyataan asal qiyas adalah al Quran adalah berarti rujukan qiyas adalah al Quran 3. Kaidah Pernyataan kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari asal adalah berarti kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari kaidah umum. Pernyataan hukum asal dari fail adalah rofa adalah berarti (kaidah umum yang berlaku adalah fail dibaca rofa) atau (fail harus dibaca rofa merupakan kaidah ilmu Nahwu). 4. Hukum Asal Pernyataan hukum asal adalah bebas dari tanggungan berarti yang dijadikan hukum asal adalah bebasnya seseorang dari sebuah tanggungan, selama tidak ada hal yang menetapkan tanggungan itu padanya. Secara etimologi, fiqh berarti: mengerti atau paham. Yang dimaksud mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata fiqh dalam al Quran, di antaranya surat Hud: 91, Mereka (penduduk Madyan) berkata: hai Syuaib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan. Dan surat An Nisa: 78, Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?. Menurut terminologi ulama, fiqh adalah: diskursus tentang hukum-hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Atau fiqh adalah hukum itu sendiri. Penjelasan: Ahkam yang merupakan bentuk plural dari hukm mempunyai arti menetapkan sesuatu, baik dalam bentuk kalimat negatif maupun positif. Contoh: matahari terbit atau matahari tidak terbit dan air itu panas atau air itu tidak panas. Akan tetapi yang dimaksud dengan ahkam dalam ilmu ushul fiqh adalah: ketetapan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni wujub (wajib), nadb (sunnah), hurumah (haram), karahah (makruh), ibahah (mubah), shihhah (sah), fasad (rusak) atau buthlan (batal). Tidak harus mencakup semua hukum syariah untuk bisa disebut fiqh, tetapi cukup sebagiannya saja. Orang yang mengetahui fiqh disebut dengan faqih, selama dia memiliki kemampuan untuk melakukan istinbath. Syariah: hukum-hukum itu harus bernuansa syariah, yakni diambil dari dalil syariah (al Quran dan hadits) baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian, hukum yang tidak bernuansa syariah tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqh seperti (1) hukum akal. Misalnya: keseluruhan itu lebih banyak dari sebagian, satu adalah separuh dari dua, alam adalah baru. (2) hukum inderawi, yakni hukum rasa. Misalnya: api panas. (3) trial (eksperimen). Misalnya: racun yang dapat membunuh. (4) hukum asas/dasar. Misalnya : kaana dan yang berlaku seperti kaana berfungsi me-rafa-kan mubtada dan me-nashab-kan khabar. Amaliyah: yakni berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yakni shalat, jual-beli, tindak pidana dan hal-hal lain terkait ibadah dan muamalah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan perbuatan tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqh seperti (1) akidah atau kepercayaan. Misalnya: iman kepada Allah dan hari kiamat. (2) akhlak atau etika. Misalnya: keharusan jujur dan larangan dusta. Hal-hal di atas tidak dibahas dalam ilmu ushul fiqh, tetapi dibahas dalam ilmu tauhid/kalam dan ilmu akhlak/tashawuf. Penetapan (muktasabah): yakni ditetapkan berdasarkan dalil spesifik dengan jalan penelitian (an-nadhr) dan

pengambilan dalil (istidlal). Berdasarkan penjelasan di atas, maka ilmu Allah terhadap hukum, ilmu Rasulullah dan para penganutnya tidak dapat disebut dengan fiqh dan orangnya tidak dapat dipanggil faqih. Alasannya, ilmu Allah terhadap hukum dan dalil adalah sifat yang melekat pada dzat-Nya, ilmu Rasulullah didapat dari wahyu, bukan hasil penetapan, dan ilmu para penganut (mukallid) Rasul didapat dari taklid (ikut), bukan hasil penelitian atau ijtihad. Dalil spesifik (tafsil): suatu dalil partikular (juzi) yang membahas masalah khusus dan telah memiliki nash tersendiri. Contoh: a) Firman Allah: diharamkan bagimu ibu-ibumu (An-Nisa: 23). Ayat ini adalah dalil spesifik atau dalil partikular yang membahas masalah khusus, yakni menikahi ibu. Dan telah menunjukkan hukum yang spesifik pula, yakni haram menikahi ibu. b) Firman Allah: janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan (Al-Isra: 32). Ayat ini adalah dalil particular (juzi) dengan mengangkat masalah khusus, yakni zina. Hukumnya juga khusus, yakni haramnya zina. c) Firman Allah: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka semua kekuatan yang kamu mampu dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (Al-Anfal: 60). Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan. Hukumnya juga khusus, yakni wajibnya menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan untuk menumpas musuh. d) Sabda Nabi SAW: Membunuh dengan sengaja harus diqishash. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni membunuh dengan sengaja. Hukumnya juga khusus, yakni qishash. e) Ijma (konsensus) ulama tentang bagian 1/6 yang diperoleh nenek dari harta waris. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni bagian waris nenek. Hukumnya khusus yakni wajib memberi nenek bagian 1/6 dari harta waris. Contoh-contoh di atas itulah yang dimaksud dengan dalil spesifik (tafsili), dalil yang menunjukkan hukum suatu masalah. Dalil spesifik inilah yang menjadi objek pembahasan ulama fiqh sebagai sarana untuk mencari tahu hukum yang akan timbul darinya dengan menggunakan kaidah-kaidah pencetusan hukum dan metode pengambilan dalil yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh. Ulama ushul fiqh (ushuliyyun) tidak membahas dalil spesifik ini, tetapi membahas dalil umum (ijmal) atau dalil universal untuk menemukan hukum-hukum universal pula yang pada akhirnya untuk meletakkan suatu kaidah yang dapat digunakan oleh ulama fiqh untuk menerapkan dalil-dalil spesifik/partikular yang bertujuan untuk mengetahui hukum syariah. B. Definisi Ushul Fiqh Secara Terminologis Sebagai sebutan dari sebuah ilmu, ushul fiqh adalah: sebuah ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk mencetuskan hukum fiqh sesuai cakupan kaidah dan dalil itu. Kaidah adalah: diskursus umum yang mencakup hukum partikular (juzi), dengan kaidah inilah hukum juzI dapat diketahui . Kaidah Al-Amru yufid al-wujub illa idza sharafathu qarinatuh an dzalik (Amar (perintah) menunjukkan wajib, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari wajib). Kaidah ini mencakup semua nash partikular. Seperti firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu (Al Maidah: 1) dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah pada Rasul (An Nur: 59) semua kata yang menunjukkan amar (perintah) masuk dalam kategori kaidah di atas. Dengan kata amar itulah hukum wajib dalam ayat-ayat itu dapat diketahui. Seperti wajibnya menepati janji, wajibnya shalat, menunaikan zakat dan taat pada Rasul. Contoh kaidah: Nahi (larangan) menunjukkan haram, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari haram. Kaidah ini mencakup semua nash yang nenujukkan kata nahi (larangan), dengan kata nahi itulah hukum haram dalam nash-nash itu dapat diketahui. Seperti firman Allah SWT, dan janganlah kamu mendekati zina (Al Isra: 32) dan firman Allah, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara batil. (An-Nisa: 29), dengan kaidah itu, maka diketahui bahwa hukum melakukan zina adalah haram, begitu pula makan harta dengan cara batil. Dengan contoh kaidah di atas, seorang mujtahid dapat mencetuskan hukum fiqh, yakni mencetuskan hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Jika misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukumnya shalat, maka ia membaca firman Allah, Aqiimu ash-shalah (dirikanlah shalat). Karena kata (Aqiimu)

adalah bentuk amar (perintah), maka kaidah amar menunjukkan wajib, kecuali ada indikasi lain diterapkan, dari penerapan itu kemudian diketahui bahwa hukum melaksanakan shalat adalah wajib. Yang dimaksud dengan dalil ijmal (umum) adalah sumber-sumber hukum syariah, seperti Al Quran, Sunnah, Ijma (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi). Mengetahui dalil ijmal berarti mengetahui argumentasi dan kedudukannya dalam proses pengambilan dalil, mengetahui apa yang ditunjukkan oleh nash, makna dan syarat ijma, macam-macam Qiyas dan illat-nya (indikasi), metode menemukan illat dan sebagainya. Ulama ushul membahas dalil ijmal yang menunjukkan (memiliki dalalah) hukum syariah. Ulama fiqh membahas dalil juzi untuk mencetuskan hukum juzi dengan bantuan kaidah ushul dan mengaitkannya dengan dalil ijmal.

Sejarah Munculnya Ilmu Ushul Fiqh


Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibedabedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Masud mengatakan bahwa, masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari. Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Masud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya, sekalipun beliau tidak menjelaskannya. Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafakan fail dan me-nashab-kan maful dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan. Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum. Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah. Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian

lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat. Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabiin, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabiin tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat. Setelah lewat masa tabiin, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan. Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul. Ilmu ushul fiqh muncul dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan. Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafii (w. 204 H). Imam Syafii menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafii berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain. Syafii menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan. Setelah Syafii, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.

Pentingnya Ilmu Ushul Fiqh


Abu zahrah dalam pengantar kitabnya Ushul Fiqh (terjemahan) Menerangkan bagaimana aspek penting dari Ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ushul Fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil 'illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar'i, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh al-Qur'an maupun sunnah Nabi. Dalam hal ini, Ilmu Ushul Fiqh berati suatu kumpulan kaidah metodologis yang menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara'. Kaidah itu bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, car mengkompromikan lafazh yang secara

lahir bertentangan atau berbeda konteksnya; dan bisa bersifat maknawiyah, seperti mengambil dan menggeneralisasian suatu 'illat dari nas serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Begitulah kandungan Ilmu Ushul Fiqh yang menguraikan dasar-dasar serta metode penetapan hukum taklif yang bersifat praktis yang menjadi pedoman bagi para faqih dan mujtahid, sehingga dia akan menempuh jalan yang tepat dalam beristinbath (mengambil hukum). Karena itulah ilmu ushul fiqh merupakan aspek penting yang mempunyai pengaruh paling besar dalam pembentukan pemikiran fiqh. Dengan mengkaji ilmu ini seseorang akan mengetahui metode-metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam mengambil hukum yang kita warisi selama ini. Terutama, dari segi yang lebih produktif bila ingin mengembangkan hukum-hukum yang telah diwarisi itu, meski tidak sepadan, maka ilmu ushul fiqh itu akan menerangi jalan untuk berijtihad. Dengan begitu seseorang akan tahu tanda-tanda dalam menetapkan hukum syara' dan tidak menyimpang dari jalan yang benar, disamping ia juga akan selalu mampu mengembangkan hukum syar'i dalam memberi jawaban terhadap segala persoalan yang muncul dalam setiap masa. Artinya ilmu ushul fiqih nerupakan hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin mengenali fiqh hasil para ulama terdahulu,juga bagi orang yang ingin mencari jawaban hukum syar'i terhadap persoalan yang muncul pada setiap saat. Sebagai kesimpulan bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan pedoman yang tepat untuk memahami teks-teks perundangundangan. Di satu pihak, ilmu itu sendiri sangat dalam dan rumit yang bisa menjadi metode dan acuan bagi seorang ahli hukum, dan di pihak lain akan dapat melatih dan mengembangkan kemampuannya dalam menerapkan dan menegakan hukum. (Prof. Muhmmad Abu zahrah)

Al Qur'an
Al Quran merupakan sumber fiqh yang pertama. Al Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dengan lafazd bahasa arab, yang sampai pada kita secara mutawatir dan menbacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas. Hukum yang terkandung dalam Al Quran 1. Hukum-hukum itiqodiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, Kepada kitab-kitabNya, kepada para Rasul-rasulNya, Kepada hari akhir. 2. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan Akhlak. 3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia Kedudukan al Quran sebagai dalil dan kehujjahanya 1. Kedudukanya Para ulama tidak berbeda pendapat tentang kedudukan Al Quran sebagi sumber pertama dari segala dalil, al Quran merupakan dasar dari segala dalil yang ada karena semua dalil yang ada pada intinya kembali lagi ke Al Quran. 2. Kehujjahanya. Al Quran sebagai sumber dan dasar islam (dalil). Merupakan hujjah yang paling kuat, al Quran sebagai landasan hukum tidak memerlukan bukti, karena Al Quran menpunyai ijaz, yakni suatu kekutan yang dapat menunjukan menetapkan kelemahan pihak lawan, bukti ijaz a; Quran antara lain a. Adanya penawaran untuk mengadakan kopetisi. b. Adanya ayat-ayat al Quran mengandung tantangan bagi orang-orang yang menentang kerasulan Muhammad dan wahyu yang dibawanya. c. Tidark adanya kesangupan kaum musyrikin untuk menbuat susunan seperti Al Quran Adapun unsur-unsur ijaz yang ada di dalam Al Quran antara lain : 1. Ketingian kesussantraan dan mendalami isi al Quran. 2. Mengabarkan tentang umat dahulu kala, seperti kaum Ad kaum Samud kaum Ibrahim. Dan tentang Firun dan kisah yang lainnya

3. Menberi kabar tentang hal-hal yang gaib, misdalnya peristiwa-peristiwa yang belum diketahui oleh manusia 4. Keilmiahan . al Quran manpu menyikap rahasi ilmu pengatahuan secara berangsur-angsur

As Sunnah
As-Sunah atau Hadist

A. Pengertian
Sunnah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa dilakukan, adat kebiasaan, sebagai lawan dari kata bidah. Sedangkan Sunnah menurut istilah menurut para Fuqaha adalah sesuatu yang dituntut oleh perbuatan syara untuk dikerjakan dengan ketentuan yang pasti, sedangkan menurut ahli hadist adalah perkataan, perbuatan-perbuatan atau keadaan Nabi Muhammad, sedangkan menurut ahli ushul Fiqh berarti perkataanperkataan, perbuatan-perbuatan atau ketetapanketetapan Nabi yang berhubungan dengan pembentukan hukum.

B. Pembagian As Sunah
1. 2. 3. 4. 5. Sunah Qauliyah, yaitu berupa perkataan Nabi. Sunnah Filiyah, yaitu dari perbuatan Nabi. Sunnah Taqririyah, yaitu berupa ketetapan. Sunnah Hammiyah, yaitu berupa keingian atau kehendak Nabi yang kuat yang belum dilaksanakan Sunnah Tarkiyah, yaitu berupa hal yang ditingalkan Nabi.

C. Kedudukan Sunnah dan Kehujjahanya


1. Kedudukannya As-Sunnah sebagai dasar hukam menempati urutan yang kedua setelah Al Quran, karena dalil yang menunjukkan antara lain; Ayat-ayat al Quran, Sunnah dan dasar para sahabat menunjukkan demikian. Al Quran dinukilkan dengan jalan mutawatir, sehingga jika dilihat segi wurudnya ia temasuk segi dalil Qoti, sedangkan as Sunnah kebanyakan Dzani. Sunnah adakalanya menerangkan ayat Al Quran yang masih mujmal dan adakalnya menambah hukum yang tidak diaatur secara jelas dalam al Quran. 2. Kehujjahannya. Sunnah sebagai sumber hukum dan untuk mengistimbatkan hukum syara. Dalil yang menunjukan demikian adalah dari Syara antara lain; a. Ayat Al Quran misalnya : i. Surat An Nisa ayat 59. ii. Surat An Nisa ayat 80. b. Ijma para sahabat, para sahabat senantiasa ta'at kepada Allah. c. Akal, banyak sekali ayat al Quran yang masih mujmal oleh karena itu memerlukan tafsir dari As sunnah 3. Fungsi As Sunah dalam menetapkan hukum a. Menguatkan hukum yang telah disyariatkan dalam al Quran b. Menerangkan apa yang telah disyariatkan di dalam Al Quran, yakni mejelaskan ayat al Quran yang masih mujmal, mengkususkan yang masih umum dan menbatasi yang masih mutlak c. Mensyariatkan yang belum ada di dalam Al Quran

ijma'
A. Pengertian Ijma menurut bahasa adalah sepakat atas sesuatu , sedangkan ijma secara istilah para ulama Ushul fiqh adalah kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah rasulullah wafat atas hukum syara pada peristiwa yang terjadi. Dalam difinisi tersebut bahwa ijma baru akan terbentuk apabila ada kesepakatan dari para ulama, dan waktunya sesudah wafat Nabi Muhammad karean pada masa Nabi masih hidup ketetapan hukum langsun meruju kepadanya akan tetapi setelah beliu wafat harus ada kesepakan dari beberapa ulama. B. Rukun ijma 1. Adanya beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa tertentu. 2. Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara mengenai suatu perkara hukum pada waktu terjadinya tampa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka. 3. Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau perbuatan 4. Kesepatan dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir, apabila hanya sebagian saja dari mereka maka tidak terjadi ijma Menurut Abdul Wahab Khalaf ijma tidak mungkin terjadi apabila diserahkan hanya kepada seseorang, dan munkin terjadi apabila diserahkan kepada pemerintah islam, masing-masing ditanya pendapatnya, dan mujtahid mengukapkan pendapatnya dan kebetulan pendapatnya mereka sama, maka pendapat itu menjadi ijma dan hukum di ijmakan itu menjadi hukum syara yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin. C. Macam-macam ijma 1. al ijma as Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapatnya masing secar jelas, baik dengan perkatan ataupun dengan tulisan atau dengan perbuatan. 2. al ijma as Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau karena malu, akan tetapi diamnya itu karena karena betul-betul tidak menangapi atas pendapat yang lain, baik menyetujuai atau menolaknya D. Kedudukan dan kehujjahanya. Para ulama menetapkam bahwa kedudukan ijma sebagai hujjah terletak dibawah deretan Al Quran dan As Sunah. Ijma tidak boleh menyalahi nas yang qati jumhur ulama mengatatakan bahwa hanya ijma sharih saja dapat dijadikan sebagi hujah syariah, akan tetapi ulama hanafiah menbolehkan hujah sukuti sebagai menjadi hujjah Kebanyakan ulama berpendapat nilai kehujjahan ijma adalah dzanni

ijtihad
A. Pengertian Ijtihad menurut bahasa adalah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapatkan suatu urusan atau sesuatu perbuatan. sedangkan menurut istilah pencurahan segenap kesangupan untuk mendapat hukum syara amali dan dalil-dalil yang masih tafsili. Dasar dasar yang dipergunakan diperbolehkan untuk berijtihad adalah surat An-Nisa ayat 59; Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taattilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu , ulil Amri disini diartikan sebagai para Mujtahid. B. Syarat-syarat melakukan Ijtihad Tingkatan-tingkatan Mujtahid 1. Mujtahid fi Asyari : yaiti mujthid yang memiliki syarat-syarat secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syara, tampa terikat oleh sesuatu mazhab. 2. Mujtahid Muntasib adalah mujtahid yang memilki syarat-syarat secar sempurna dan ia melakukan ijtihad dan ia mengikuti jalan-jalan yang telah ditetapkan oleh para imam mazhabnya ia hanya memengangi dasar-dasar yang

ditetapkan oleh imam mazhabnya tetapi ia mungkin berselisih dalam masalah furu yang telah ditetapkan oleh imam mazhab. 3. Mujtahid fi al-Mazhab adalah Mujtahid yang mengikuti usul imam mazhabnya dan ia juga mengikuti dalam masalah furu, akan tetapi ia mampu melakukan ijihad dalam masalah-masalah yang belum atau tidak ditetapkan oleh imam mazhab. 4. Mujtahid Murajih yaitu Mujtahid yang selalu terikat yang selalu terikat oleh usul-usul imamnya dalam masalah furu hanya saja ia mampu jika ada masalh yang dipersilisihkan dikalangan mazdhabnya , ia mampu melakukan tarjih (menetapkan dalil yang lebih kuat) untuk menentukan man pendapat yang lebih kuat atau man pendapat yng lebih utama untuk digunakan.

Qiyas
Al Qiyass A.Pengertian Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya B. Rukun qiyas 1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya). 2. Al Faru, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan ). 3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al faru( cabang). 4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum. Syarat-syarat illat a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra. b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu dan tidak mudah berubah. c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya. d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum yang bukan asl. C. Kehujahhan Qiyas Jumhur ulama menerima qiyas menjadi hujjah dalam keadaan; a. Apabila hukum asl dinas-kan illahnya. b. Apabila qiyas itu merupakan salah satu dari pada Qiyas-qiyas yang dilakukan Rasulullah. Dalam dua macam ini para ulama sepakat menetapkan bahwa keduanya menjadi hujjah syariah, dan qiyas selain kedua tersebut para ulama bebeda pendapat ada yang menerima dan dan adapula yan menolak sebagai hujjah syariiyyah, diantara golongan yang menolak qiyas adalah An Nazzam dari golongan Zahiriyah dan segolongan ulama Syiah.

Tujuan dan Kadar Kebutuhan Mempelajari Ushul Fiqh


Dari yang kami jelaskan di atas, maka jelaslah bahwa tujuan diletakkannya ilmu ushul fiqh adalah untuk mengetahui hukum syariah perbuatan, melalui peletakan kaidah dan metode agar seorang mujtahid terhindar dari kesalahan. Fiqh dan ushul fiqh mempunyai tujuan yang sama, yakni hukum syariah. Hanya saja, ushul fiqh berperan menetapkan metode dan kaidah pencetusan hukum, sedangkan fiqh yang melakukan pencetusan hukum melalui metode dan kaidah yang ditetapkan oleh ushul fiqh. Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh tidak dibutuhkan lagi karena pintu ijtihad sudah ditutup, karena menurut kami pintu ijtihad terbuka sampai hari kiamat kelak, tentu dengan syarat-syarat yang berlaku. Ulama yang berfatwa bahwa pintu ijtihad sudah tertutup adalah dikarenakan dulu mereka melihat fenomena kelancangan orang bodoh terhadap syariah Allah, mencetuskan hukum berdasarkan nafsu dan menyebarkannya di antara orang yang tidak memahami ushul fiqh. Orang yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad juga tetap membutuhkan ilmu ini. Mereka cukup mempelajari kaidah-kaidah ushul fiqh hingga rujukan yang digunakan mujtahid sebagai landasan pendapat mereka, dasar-dasar madzhab mereka, dan sesekali dapat membandingkan dan mengunggulkan (tarjih) salah satu pendapat dan mengeluarkan hukum sesuai dengan metode yang digunakan para imam mujtahid dalam menetapkan dan mencetuskan hukum. Sebagaimana hukum syariah yang tidak bisa lepas dari ilmu ini, pengacara, hakim, dosen dan sebagainya juga tidak bisa lepas dari ushul fiqh dalam memutuskan suatu hukum. Karena kaidah dan dalil yang ditetapkan ushul fiqh (seperti qiyas dan dalilnya, kaidah ushul untuk menafsirkan nash, cara penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya, segi pengambilan dalil dan kaidah untuk mengunggulkan [tarjih] satu di antara dalil) adalah salah satu hal yang harus dikuasai oleh orang yang berkompeten dalam memutuskan suatu hukum dan untuk mengetahui tafsir dan hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itulah mengapa Fakultas Syariah dan Hukum di Irak, Syiria, Mesir dan Negara lain tetap mengajarkan ilmu ini kepada mahasiswanya.

Anda mungkin juga menyukai