Anda di halaman 1dari 6

REALITAS VISUAL DALAM MERUBAH GAYA HIDUP MASYARAKAT

Oleh: Arief Hanafi

A.

Pendahuluan
Perkembangan teknologi pada abad ke-20 telah mencapai suatu masa di mana

realitas semu yang diwujudkan melalui pencitraan digital menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Hiper-realitas visual, merupakan ungkapan di mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata (Martadi, 2003: 81). Dalam perkembangan kebudayaan yakni pada abad- 21, televisi menjadi loncatan dalam merubah kehidupan sosial. manusia dengan segala kemampuanya meletakkan televisi menjadi kebutuhan yang harus ada. manusia abad ke-21 mengisi kehampaan spiritualnya dengan jutaan citra semu, rayuan palsu (iklan di televise), simulakrum realitas; nabi-nabi virtual, Tuhan-tuhan digital, dan surga-surga cyber. Televisi menjadi semacam ruang fantasi, yaitu ruang tempat citraan muncul dan menghilang dengan kecepatan tinggi, yang merayu manusia untuk memasuki jaringan ekstasi kecepatan dan kegilaan serta histeria gaya hidup yang diciptakannya. Begitu kuatnya pengaruh iklan di televise. Bayangkan saja ketika kita masuk dalam realitas dunia visual, maka kita akan disuguhi oleh ratusan bahkan ribuan produk-produk kapitalis gaya baru. Begitu cepat perkembangan budaya manusia dirubah. Menurut Boudrillard untuk mendukung masyarakat agar memanfaatkan hasil-hasil produksi yang sebesar-besarnya, kaum kapitalis menciptakan sistem komunikasi yang disebutnya dengan kode sign. Kode ini akan dikomunikasikan kepada konsumen melalui sistem pemasaran dan iklan yang sangat gencar (Maksum, 2010: 337). Sebagai contoh, ketika kita melihat iklan sampo di televise, maka kita akan melihat wacana yang sangat kuat. Dan ini menimbulkan fenomena menarik pada iklan shampo. Paradigma rambut indah adalah panjang, lebat, hitam, berurai dengan figur (biasanya wanita) yang rupawan, sebagai kesimpulan pemahaman tentang keuntungan dari penggunaan sebuah produk shampo. Tidak berhenti di situ saja, dalam perkembanganya, Muncullah kemudian kejenuhan terhadap pola pendekatan ilustrasi iklan shampoo, yang cenderung pada naturalitas

kehidupan. Ketika budaya iklan mencari sesuatu yang baru, maka muncullah adegan tembakmenembak, ledakan bom, regu tembak, dan lain lain. Bahkan mengimitasi adegan sebuah film fiksi ilmiah. Beranjak pada masyarakat modern kapitalistik seperti saat ini, maka kita akan dihidangkan dengan berbagai iklan yang menunjukkan sebuah studi analisis ilmiah. Iklan di berbagai detergen misalnya, kotoran yang ada dalam kain tidak lagi dikikis dari permukaan, tetapi di buang dari sel-selnya yang paling rahasia, tentunya dengan animasi-animasi yang sangat apik sehingga terlihat seolah-olah nyata dalam realitas kehidupan (Barthes, 2010: 177).

B. Realitas Menuju Hiperrealitas


Menurut Baudrillard dunia realitas dan dunia hiper-realitas media/ televisi/ internet sudah sulit dibedakan, kedua-duanya sama-sama nyata. Pendapat senada dikemukakan oleh Arthur K & David Cook yang menyatakan bahwa televisi telah berkembang menjadi realitas kedua (Martadi, 84: 2003). Ketika Boudrillard memeletakkan televise pada realitas kedua, maka disini dapat dilihat betapa kuatnya pengaruh televise dalam membentuk realitas dalam masyarakat. disini televise bisa dikatakan melebihi alam realitas masyarakat. karena iklan dalam televise tersebut dapat dilihat lebih nyata. Yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiper-realitas yang sedang kita jalani bersama ini. Kita tanpa sadar tertarik pada pengaruh meleburnya realitas dengan fantasi, saat kita asyik tenggelam dalam tontonan TV atau film. Kita mungkin tertarik dengan iklan yang menngambarkan rambut yang sangat indah karena sampo yang di pakainya. Sehingga dengan kemampuan seadanya kita membeli produk baru itu untuk diri kita. Tubuh ini seolah buatan produk-produk kapitalis, hingga ujung rambut ke ujung kepala. pada saat kita keluar dari kondisi tersebut maka kita pun kembali tersadar akan dunia sesungguhnya. Dalam hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas fantasi, yakni saat kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat mencermati dan memahami persoalan termasuk permasalahan ini (Martadi, 84: 2003).

C. Dua Ekonomi Televisi dalam Membentuk Gaya Hidup Masyarakat Jhon Fiske (1987) berpendapat bahwa komoditas budaya (termasuk televisi), yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus: ekonomi financial dan

ekonomi cultural. Disini ekonomi financial menaruh perhatian pada nilai tukar dan ekonomi cultural menaruh perhatian pada nilai guna. Kalau kita melihat seseorang memakai barang sesuai kebutuahanya, apa yang ia buthkan maka disitulah nilai tukar berlangsung. Konsumen memang benar-benar menginginkan barang tersebut untuk dikonsumsi. Berbeda dengan konsep nilai guna, disini kita melihat masyarakat yang cenderung hedonis. Ketika kebutuhan manusia telah terpenuhi maka di situlah kebutuhan-kebutuhan pelengkap dinginkanya secara bersambung. Disinilah letak perbedaanya.

D. Konsumsi dalam Kehidupan Masyarakat Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang dikonsumsi. Masyarakat konsumen dengan budaya konsumsi yang dipegangnya melihat tujuan dan totalitas hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi. Eksistensinya dijalankan dan dipertahankan hanya dengan semakin dan terus menerusnya mengkonsumsi berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi (Kushhendrawati, 2006: 53). Seseorang dapat kita kategorikan mempunyai status sosial yang tinggi ketika ia memiliki baju merk X suatu contoh. Dengan adanya iklan yang mengena pada semua lapisan masyarakat, maka disitulah masyarakat mengkonstruksi sedemikian rupa untuk dapat mengkategorikan seseorang dalam ststus sosial. Jadi eksistensi manusia tidak hanya pada apa yang melekat pada dirinya teteapi lebih jauh dari itu, orang lain juga akan dinilai menurut standar yang dipakainya itu. Kalau kita melihat dalam perspektif Marx dan Engels, transisi dan feodalisme ke kapitalisme adalah suatau tarnsisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan manuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan . selain itu, di dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang itu, barang hasilm produksi itu di jual di pasar dengan perolehan keuntungan. Maka dari itu untuk membeli hasil produknya para buruh harus membelinya dengan uang (Storey, 2006: 144). Jadi masyarakat konsumen dalam prespektif ini terletak pada buruh itu sendiri. Dan tidak ketinggalan untuk menjembatani antara masyarakat dan produk adalah iklan. Tentunya dengan sangat persuasive sangat membantu perolehan keuntungan dalam sistem kapitalis itu sendiri.

Herbert Marcuse (1968) menjelaskan bahwa ideology konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu bentuk control sosial. Mereka menemukan jiwa mereka di dalam mobil, perangkat wi-fi, rumah bertingkat, perlengkapan dapur. Hal ini mengikatkan individu pada masyarakatnya telah berubah (Storey, 2006: 145). Disini menurut Marcuse, pengiklan mendorong untuk menciptakan kebutuhan palsu dalam masyarakat Dalam pemikiran Baudrillard, gaya hidup konsumsi dalam masyarakat konsumen ini tercipta karena perubahan fokus perhatian dalam kapitalisme itu sendiri, di mana manajemen produksi dalam kapitalisme klasik telah digantikan menjadi manajemen konsumsi dalam kapitalisme global (perubahan dari mode of production menuju mode of consumption). Masyarakat yang telah menjadi masyarakat konsumen akan melihat iklan (advertising) sebagai guru dan teladan moral yang harus diikuti. Karena iklan yang adalah ujung tombak kapitalisme sebagai guru dan teladan moralitas, maka moralitas yang berkembang dalam masyarakat adalah moralitas hedonis (Baudrillard dalam,Kushhendrawati 2006: 54).

E. Penutup Suatu hasil perenungan bukan berasal dari sesuatu yang kosong, tetapi dari ada sebagai sesuatu yang direnungkan. Berdasarkan teori di atas yang tentunya diawali oleh data empiris sebelumnya, ditambah refleksi kritis, maka tentunya suatu teori harus dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam hal ini ada suatu fenomena budaya yang tampak dalam realitas sosial di mana masyarakat di saat ini menjadi sangat konsumtif sehingga mereka dinamai masyarakat konsumen. Lalu pertanyaannya mengapa mereka menjadi konsumtif? Hal tersebut berikut jawabannya telah penulis kemukakan di atas. Bahwa masyarakat konsumen adalah masyarakat yang hidup dan diciptakan oleh kapitalibme global di era globalisasi. Era globalisasi seperti kita ketahui merupakan era yang canggih teknologi komunikasi sehingga dunia seakanakan menjadi satu tanpa ada hal-hal yang dapat ditutuptutupi. Untuk itu dunia menjadi terbuka bagi siapa saja dan bebas diinterpretasikan. Masyarakat menjadi semakin liberal dan demokratis, padahal globalisasi berkecenderungan penghomogenisasian. Maka akibatnya masyarakat kehilangan kekritisannya Masyarakat yang telah sangat menikmati ketergantungan pada teknologi dalam hal ini iklan yang ditayangkan

disetiap momentum kehidupan melalui kebebasan media massa semakin lama semakin membentuk kepribadiankepribadian baru, masyarakat menjadi individualism baru. Masyarakat hanya menjadi mayoritas yang diam tanpa mampu merefleksi diri oleh kekuatan sihir iklan demi iklan yang dijejalkan pada dirinya sebagai tanda dan simbol. Tugas masyarakat hanya menikmati diri dengan melahap barang-barang komoditi. Itu berarti proses alienasi sedang berlangsung dalam masyarakat konsumen. Di sana mode of production bergeser menjadi mode of consumption.

Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Yogyakarta: Jalasutra. Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Storoy, Jhon. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta. Jalasutra. Martadi. 2003. Hiperrealitas Visual. Nirmana Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 80 95. Mulyawan, I Nyoman, 2006. Makna dan Pesan Iklan Media Cetak Kajian Hiper Semiotika. Vol. 15, No. 28, Maret 2008 Hagijanto, Andrian D. 2002. Metode Dramatisasi Pada Iklan Sebagai Wacana Budaya Populer. Nirmana Vol. 4, No. 1, Januari 2002: 52 61
Kushendrawati, Selu Margaretha. 2006. Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme Global: Fenomena Budaya Dalam Realitas Sosial. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2, Desember 2006: 49-57.

Anda mungkin juga menyukai