Anda di halaman 1dari 6

Di Pinggir Konflik: Kekerasan, Politik dan Kehidupan Sehari-hari di Indonesia Bagian Timur

Sebuah Pengantar
Nils Bubandt dan Andrea Molnar
Konflik-konflik berdarah yang menyertai Indonesia setelah jatuhnya Orde Baru cenderung terjadi di Indonesia bagian Timur, dengan pengecualian daerah Aceh. Saat ini banyak analisis akademis, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris yang telah mulai menguraikan aspekaspek politis, sosial dan diskursif dari konflik-konflik di Timor Timur, Maluku, Maluku Utara, Poso, Kalimantan dan Papua.1 Penelitian-penelitian ini telah mulai meninggalkan penelaahanpenelaahan yang terlalu sederhana dan kerap sarat bias yang muncul segera setelah terjadinya konflik. Penelitian-penelitian tersebut mulai memberikan gambaran tentang konteks etnografis yang lengkap dan lebih rumit dari perang di Indonesia bagian Timur. Gambaran ini memperlihatkan tercampur baurnya provokasi politik, ketegangan ekonomi, provokasi diskursif, dan adaptasi lokal terhadap bentuk-bentuk identifikasi berdasarkan agama sukubangsa yang memberikan dorongan dan motif berbeda untuk ikut serta dalam setiap kerusuhan individual yang bergejolak di berbagai wilayah Indonesia Timur setelah tahun 1999. Walaupun setiap bentrokan/pertikaian (bahkan dalam satu wilayah konflik seperti Maluku atau Poso) seringkali bersifat unik secara politis dan pengalaman, mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Setiap kerusuhan memupuk berkembangnya perasaan paranoia nasional yang disebarluaskan oleh media. Dalam prosesnya, setiap pertikaian/bentrokan menaburkan bibit-bibit kekerasan di tempat lainnya. Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk lebih memahami secara sungguhsungguh keterkaitan yang rumit antara konteks global, nasional, dan lokal dalam kerusuhankerusuhan tersebut. Meskipun telah ada kemajuan, masih terlalu banyak kajian-kajian akademis (baik asing maupun Indonesia) tentang kekerasan pasca Soeharto yang masih menggunakan kerangka teoretis yang sangat sederhana. Salah satu versi pendekatan simplisistik ini adalah ahli kulturalis yang melihat konflik sebagai hasil esensi kebudayaan atau peredaman kebudayaan oleh politik Orde Baru. Masalah mengintisarikan kebudayaan telah lama dibahas dalam antropologi. Namun, penjelasan ahli esensialis cenderung masih digunakan dalam analisis-analisis konkrit. Bentuk penyederhanaan laintidak banyak dikritik namun merusakterjadi dengan penggunakan teori politik sederhana seperti yang digunakan dalam jurnalisme popular. Kecenderungannya adalah melihat konflik terjadi di antara pelaku-pelaku yang mudah diidentifikasi.2 Motif politik dari para pelaku tersebut digambarkan tidak ambigu; taktik mereka jelas dan selalu berhasil. Di
1

Lihat antara lain Anderson (2001); Bertrand (2003); Bubandt (2000); Colombijn dan Lindblad (2002); Coppel (2004); Goss dan Lange (akan datang); Hefner (2002); Tanter dkk. (2001); van Klinken (2001); Wessel dan Wimhofer (2000). Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA telah memuat banyak analisis bermutu dalam bahasa Indonesia.
2

Lihat Keen (1999).

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

iii

akhir kajian, orang yang melakukan kejahatan diketahui, dan kasus pun nampaknya terpecahkan. Hal yang kurang dari kajian-kajian tersebut adalah ketebalan etnografik, suatu pengertian tentang cara terjadinya kekerasan di suatu tempat tertentu, pada waktu tertentu melalui perombakan dunia kehidupan normal.3 Hal yang juga luput adalah deskripsi terperinci tentang motif-motif ambigu para pelaku konflik, akibat yang tidak terduga dari tindakan mereka, perombakan subjektivitas melalui proses sosial politik, dan bentuk-bentuk baru identitas yang dihasilkan, serta keterkaitan antara narasi dan ketakutan sosial di tingkat global, nasional, dan lokal. Singkatnya, saat ini masih kurang penelitian-penelitian yang mendalam secara etnografik dan cukup baik secara teoretis untuk menangkap berbagai tingkatan dan proses rumit yang terkait dalam terjadinya konflik berdarah.4 Dalam arti ini, mempelajari konflik dan kekerasan seharusnya tidak berbeda dengan mempelajari proses budaya dan politik dalam situasi biasa. Teori sosial yang digunakan seharusnya sama. Memang benar, bahwa korban jiwa dan sosial akibat konflik berdarah dan kehancuran kehidupan normal oleh pengalaman traumatis membuat kekerasan sangat berbeda dari kehidupan biasa. Meskipun demikian, secara teoretis, pelaku, motif, aksi, diskursus, dan representasi harus dianalisis dengan cara yang sama, dan bukan mendahulukan teori antropologi setiap saat kekerasan terjadi. Kecenderungan untuk melihat kekerasan sebagai hasil pilihan rasional, pragmatisme yang keras, atau realpolitik membuat simbolisme politik, keragaman rasionalitas, dan konstruksi sosial dari pilihan-pilihan tersebut tetap buram. Para ahli antropologi telah lama berhenti melihat kekerasan sebagai sesuatu yang khas atau unik bagi kebudayaan tertentu. Dengan kecanggihan dan perekaan ulang teori kebudayaan, kita sekarang seharusnya dapat melokalisir kekerasan. Kita tidak lagi begitu saja menerima penjelasan pragmatisme politik. Sebaliknya kita sekarang harus meneliti cara pragmatisme terbentuk, cara pilihan menjadi rasional, dan cara taktik politik dibuat, sehingga nampak wajar. Sebuah kajian antropologis tentang kekerasan politis dimulai, kita yakin, dengan melihat kekerasan sebagai perluasan dari atau modalitas lain dari kondisi sosial politik yang normal, bukan sebagai sesuatu yang unik. Mary Steedly mengingatkan bahwa fokus akademis pada kekerasan politis di Asia Tenggara adalah hasil dari cara-cara baru berkomunikasi. Internet dan media elektronik lainnya dengan mudah menimbulkan perasaan krisis berkepanjangan di kalangan akademisi dengan membuat kekerasan nampak dramatis dan dengan cara-cara baru.5 Hal ini membuat kita buta terhadap aspek kehidupan sehari-hari yang terlihat banal dan memberikan bias elitis:
Karena kecenderungannya untuk menyoroti elemen-elemen berbahaya, kekerasan, sesuatu yang baru, dan teror, komunikasi internet dapat mengaburkan aspek-aspek biasa dari kehidupanhal-hal yang tetap berlangsung bahkan dalam situasi darurat. Lebih jauh lagi, dengan melibatkan kita secara langsung pada pengalaman dan pandangan individu-individu yang bertempat tinggal di pusat-pusat kosmopolitan Asia Tenggara, internet dapat membuat kita tidak mempedulikan mayoritas masyarakat non-urban yang tidak terhubung dengan internetmereka yang tinggal di pedesaan, peternakan, daerah berbukit, daerah kumuh, dan bahkan lingkungan menengahkecuali jika konflik terjadi di sana.6

3 4 5 6

Lihat Nordstrom (1997). Lihat Brass (1997); Hansen (2001); Malkki (1995); van der Veer (1994). Lihat Steedly (1999:445). Lihat Steedly (1999:445).

iv

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

Edisi khusus ANTROPOLOGI INDONESIA ini berusaha menyajikan pemahaman yang berbeda mengenai kekerasan di Indonesia bagian Timur dengan fokus tidak pada kerusuhan-kerusuhan itu sendiri, tetapi pada berbagai perspektif dan konsekuensi kerusuhan yang tetap marginal buat media massa. Kajian-kajian dalam edisi ini memberikan gambaran tentang komuniti yang berada di pinggir konflik-konflik yang besar, namun tetap bereaksi terhadap, dan mengkhawatirkan adanya konflik-konflik tersebut. Kajian-kajian ini mengikuti jejak orang-orang yang terbawa arus pengungsi yang muncul di awal kerusuhan, serta menggambarkan usaha orang-orang yang terpindahkan dalam menyesuaikan diri dengan tempat dan situasi baru sekaligus mengatasi masa lalu yang penuh trauma. Terakhir, kasus-kasus ini menggambarkan proses-proses politik yang timbul akibat konflik, upaya-upaya untuk membangun kembali perasaan komunitas melalui kerja LSM lokal dan penghidupan kembali tradisi. Walaupun kajian tentang masyarakat, praktik-praktik, persepsi dan perpolitikan dalam edisi ini terjadi di luar ruang dan waktu konflik itu sendiri, kajian-kajian itu erat terkait dengan kekerasan tersebutmuncul dari kekerasan sebagai suatu akibat yang mungkin tidak dikehendaki, atau sebagai tanggapan dan penyesuaian terhadap kabar berita tentang kekerasan tadi. Kajian-kajian ini menyoroti cara konflik yang berkobar terus di seputar kehidupan sehari-hari komuniti mengganggu dan merekonstruksi segala yang biasa. Pemahaman masyarakat lokal akan keseharian, dalam banyak kasus studi yang dipaparkan di edisi ini terganggu oleh konflik. Robert Barnes menunjukkan tentang cara penduduk daerah Witihama di Adonara pada tahun 2000 dan 2001 sangat memikirkan konflik di Maluku dan bekas propinsi di Timor Timur. Akibatnya mereka mempertahankan kewaspadaan terhadap ancaman kontaminasi dengan menghambat arus pengungsi dan menekankan solidaritas antaragama. Di Sulawesi Utara, yang merupakan tuan rumah bagi 35.000 pengungsi dari Maluku Utara, strategi pertahanan semacam itu tidak memungkinkan. Sebagaimana yang didiskusikan oleh Chris Duncan, arus pengungsi tersebut menciptakan ketegangan antara orang Minahasa setempat dan para pengungsi Maluku Utara ketika kecemburuan sosial di kedua kelompok diperlihatkan dengan berkembangnya sikap saling curiga. Nuansa religius dari konflik di Maluku Utara dan Maluku bagaimana pun juga menjadi beban fikiran masyarakat Minahasa setelah tahun 2000 dan mengakibatkan, pada awalnya, diterimanya pengungsi dengan tangan terbuka. Keteganganketegangan sosial muncul dengan sendirinya melawan rasa iba yang berlatarbelakang politis ini. Pada saat yang sama, berita tentang kekerasan meresap masuk ke dalam ide-ide lokal tentang sejarah dan kepemilikan (harta milik). Persepsi bahwa konflik Maluku bersifat religius juga terdapat dalam aspek informal kehidupan orang Minahasa. Gabriele Weichart menunjukkan bagaimana pengertian orang Minahasa tentang selera dan masakan Minahasa diinterpretasi ulang dalam kerangka sejarah suku bangsa lokal dan pembentukan identitas daerah. Penekanan pada sejarah suku lokal dan identitas, bagaimanapun juga hanya masuk akal bila ditampilkan dengan latar belakang konflik agama di Poso, Maluku dan Maluku Utara serta proses desentralisasi. Eriko Aoki menunjukkan cara perang Indonesia bagian Timur dipribumikan dalam kerangka kosmopolitanisme Austronesia di pegunungan Flores. Meski Flores tidak memiliki unsur utama penyebab konflik: persaingan politik atas sumber daya alam dan modal sosial, Aoki berargumentasi bahwa dalam penolakan orang Flores terhadap kekerasan juga terkandung unsur kebudayaan. Kategori-kategori ekskulivis yang membangun perbedaan antara komunitas atas dasar agama atau suku bangsa secara sadar ditolak demi tradisi fleksibilitas sosial dan toleransi yang telah

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

lama ada dan digunakan oleh mayarakat Flores dalam pengalamannya sebagai migran selama berabad-abad. Strategi yang lain digunakan oleh orang Bugis, yang melarikan diri dari kekerasan di Maluku Tengah. Seperti ditunjukan Blair Palmer dalam artikelnya, pengungsi Buton yang kembali dari Ambon ke Buton akibat kekerasan Ambon, menolak melihat diri mereka sendiri sebagai pengungsi. Mereka menganggap diri mereka sebagai migran yang kembali ke tanah kelahiran. Alasannya adalah bahwa label migran memiliki prestise yang lebih tinggi dan membantu usaha mereka untuk berintegrasi dengan masyarakat Buton ketika berhadapan dengan kecurigaan masyarakat setempat. Kajian-kajian ini mendukung gagasan Steedly bahwa bahkan ditengah-tengah keadaan darurat, keseharian secara terus menerus disusun ulang, karena tanpa penyusunan ulang tersebut, kehidupan sosial tidak dapat bertahan. Kehidupan sehari-hari yang biasa dan kekerasan yang luar biasa dengan kata lain saling membangun dan menyesuaikan. Perasaan normal dikacaukan oleh berita tentang kekerasan dan oleh ketakutan bahwa kekerasan akan menyebar; meskipun demikian kekerasan juga dinarasikan sesuai dengan pemahaman lokal tentang diri dan waktu. Kekerasan hari ini akan menjadi narasi mitologis besok. Tradisi atau adat di kebanyakan komunitas Indonesia adalah sebuah label yang mengacu pada pemikiran kosmoligikal tentang kehidupan yang normal (the universe of accepted normalcy). Adat adalah cakrawala dari keteraturan dunia yang masuk akal, seperti diturunkan oleh para leluhur. Adat, bagaimanapun jugasetidaknya sejak jaman kolonialmenjadi alat politik yang refleksif. Oleh karena bersifat doxic (dalam pengertian Pierre Bourdieu, perasaan yang masuk akal tanpa perlu diucapkan) dan sekaligus merupakan penemuan politik modern, adat mendapatkan perhatian kembali dengan pecahnya perang Indonesia Timur dan bertransformasinya keadaan politik setelah Soeharto. Dua alasan pentingnya adat ini didiskusikan dalam dua artikel yang mengawali edisi khusus ini. Nicola Frost menyoroti usaha LSM Maluku untuk menggunakan adat Maluku sebagai alat rekonsiliasi dan rekonstruksi masyarakat madani. Tantangan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut adalah, seperti yang dinyatakan oleh Frost, untuk menghindari pengintisarian adat dalam proses tersebut. Tujuannya adalah untuk membiarkan adat melahirkan pluralisme dan toleransi yang sesungguhnya dan bukan alat baru untuk menciptakan ketidakmampuan bertoleransi dan kebekuan baru. Berdasarkan bahan lapangan yang diperoleh dari Ternate, Nils Bubandt berpendapat bahwa politik adat yang serupa muncul di Maluku Utara dan bahkan di seluruh Indonesia. Politik tradisi yang baru ini, menurut Bubandt adalah hasil perubahan bentuk global pemerintahan, fokus politik yang kuat pada identitas kesukubangsaan dan agama di era reformasi dan kesediaan lokal untuk menggunakan identitasidentitas tersebut untuk mengumpulkan dukungan di lanskap politik terbaru berupa desentralisasi. Politik baru tentang tradisi ini memainkan peranan yang kompleks baik dalam melahirkan perang di Indonesia Timur, maupun dalam usaha-usaha untuk merekonsiliasi komunitas-komunitas yang terkena dampak politik. Edisi ini bersumber dari makalah-makalah yang disajikan dalam panel How will Eastern Indonesia maintain Unity in Diversity? Responses to Religious-Ethnic Discord, Refugees and Regional Autonomy in East Indonesia selama Simposium Internasional ke-3 yang diadakan oleh Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA di Kampus Universitas Udayana, Bali, 1619 Juli 2002. Editor-editor tamu edisi ini mengucapkan terima kasih kepada Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, Departemen Antropologi, Universitas Indonesia atas inisiatif dan kerja kerasnya saat

vi

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

mengadakan simposium internasional. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Udayana atas keramahannya. Terdapat banyak kontributor yang menyajikan makalahnya dalam panel yang melatarbelakangi terbitnya edisi ini. Semuanya sangat mengagumkan, tetapi kami harus membatasi jumlah artikel agar sesuai dengan tema, sekaligus memperhatikan batasan ruang yang disediakan oleh Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA. Bagaimanapun juga, kami ingin berterima kasih kepada semua kontributor panel yang membuat sesi simposium ini sangat berarti. Terakhir, hal yang bersifat lebih pribadi, Andrea dan Nils pada awalnya mengusulkan panel mengenai isu-isu terakhir di Indonesia Timurdidukung sepenuhnya oleh Yunita T. Winarto (Pemimpin Redaksi Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA yang lalu)sebagai cara sederhana untuk membayar hutang akademis kami kepada mentor dan mantan pembimbing kami, Professor James Fox, seorang perintis sejati di bidang antropologi Indonesia Timur. Topik edisi ini telah mengalami perubahan beberapa kali dari gagasan awalnya, tetapi kami yakin bahwa argumen edisi ini, yaitu untuk melihat kekerasan dan konflik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan melainkan justru terkait erat dengan aspek keseharian, mitologi dan ritual kehidupan merupakan bukti tanggung jawab atas hutang kami kepada Bapak James Fox.

Referensi
Anderson, B. (peny.) 2001 Violence and the State in Suhartos Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. Bertrand, J. 2003 Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Brass, P. 1997 Theft of an Idol. Text and Context in the Representation of Collective Violence. Princeton: Princeton University Press. Bubandt, N. 2000 Conspiracy Theories, Apocalyptic Narratives and the Discursive Construction of the Violence in Maluku, Antropologi Indonesia 63(24):1531. Colombijn, F., dan T. Lindblad (peny.) 2002 Roots of Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Press. Coppel, C. (peny.) 2004 Violent Conflicts in Indonesia. Analysis, Representation, Resolution. London: Taylor and Francis. Goss, J. dan K. Lange (peny.) akan datang What Went Wrong? Explaining Communal Violence in Eastern Indonesia. Hansen, T.B. 2001 Wages of Violence: Naming and Identity in Postcolonial Bombay. Princeton: Princeton University Press.

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

vii

Hefner, R. 2002 Global Violence and Indonesian Muslim Politics, American Anthropologist 104(3):754765. Keen, D. 1999 Whos it Between?. Ethnic War and Rational Violence, dalam T. Allen dan J. Seatton (peny.) The Media of Conflict: War Reporting and Representations of Ethnic Violence. London: Zed Books. Hlm.81101. Malkki, L. 1995 Purity and Exile. Violence, Memory, and National Cosmology among Hutu Refugees in Tanzania. Chicago: The University of Chicago Press. Nordstrom, C. 1997 A Different Kind of War Story. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Steedly, M.M. 1999 The State of Culture Theory in the Anthropology of Southeast Asia, Annual Review of Anthropology 28:43153. Tanter, R., M. Selden, dan S.R. Shalom (peny.) 2001 Bitter Flowers, Sweet Flowers: East Timor, Indonesia and the World Community. Lanham: Rowman and Littelfield Publishers. van der Veer, P. 1994 Religious Nationalism. Hindus and Muslims in India. Berkeley: University of California Press. van Klinken, G. 2001 The Maluku Wars of 1999. Bringing Society Back In, Indonesia 72:126. Wessel, I., dan G. Wimhfer (peny.) 2000 Violence in Indonesia. Hamburg: Abera.

viii

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

Anda mungkin juga menyukai