Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Jepang di zaman sekarang termasuk sebagai Negara modern di Asia yang menjadi salah satu super power ekonomi dunia. Jepang yang menganut sistem pemerintahan demokratis, dan menghormati dominasi kekuasaan sipil, serta memiliki kemampuan teknologi berhasil menyaingi kemampuan ilmu

pengetahuan Barat. Kemampuan Jepang sekarang erat hubungannya dengan pengalaman panjang negaranya. Jepang mengalami perjalanan panjang sejarahnya. Sepanjang 19301940an, Jepang menjadi kekuatan ekspansionis1. Jepang mempunyai beberapa alasan, mengapa Jepang bersemangat untuk merebut berbagai wilayah baru dan melibatkan diri dalam PD II. Karena Jepang didukung oleh angkatan bersenjata yang kuat, besarnya pertumbuhan penduduk, kekecewaan terhadap isi kesepakatan dalam LBB (Liga Bangsa-bangsa) setelah PD I2, kekecewaan Jepang pada hasil Konferensi Angkatan Laut di Washington, adanya cita-cita Hakko-ichiu3, dan terutama karena Jepang tidak mempunyai sumber daya alam untuk

1 Kekuatan ekspansionis adalah kekuatan suatu negara yang suka merebutkan negara-negara atau propinsi-propinsi lain dan selalu ingin terus memperluas wilayahnya ke mana pun ia mampu. (Dikutip dari buku Fadhli Aulia, menjadi pemenang seperti bangsa Jepang, Pinus, yogyakarta, 2007 hal. 20) 2 Salah satu isi kesepakatan dalam LBB yang membuat Jepang kecewa ialah dalam salah satu pasal harusnya ada pernyataan seluruh ras di dunia adalah sama derajatnya. Namun kalimat tersebut tidak dicantumkan, saat itu orang Eropa merasa yakin bahwa ras mereka lebih unggul daripada orang non Eropa. (dikutip dari Fadhli Aulia, Ibid, hal. 22) 3 Hakko-ichi-u adalah cita-cita membangun keluarga besar dimana anggotanya terdiri dari negaranegara di dunia ini, dengan Jepang sebagai pemimpinnya. (dikutip dari: Fadhli Aulia, Ibid hal. 24)

kebutuhan rakyatnya. Alasan tersebut membuat Jepang mencoba melebarkan sayap dan melakukan beberapa pertempuran untuk mengguasai daerah-daerah di Asia Timur dan Tenggara. Gambaran suasana politik di Asia Timur pada tahun 1930-an ditandai dengan semakin banyaknya kerawanan akibat hubungan Jepang-China. Atas

dorongan ekspansi, Jepang sering terlibat bentrokan dengan Negara lain. Konflik pun mulai menandai perjalanan dan perkembangan militer Jepang yang agresif, misalnya: Insiden Manchuria (1931), Insiden Shanghai (1932), Insiden Charhar (1934), Insiden Kereta Api di Peking (1935), Insiden Langfang (1937), dan Insiden Lukuochiao Jembatan Marco Polo (1937).4 Ekspansi yang dilakukan militer Jepang yang sangat agresif membuat kekhawatiran negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Akhirnya negara barat berusaha membatasi pasokan bahan mentah ke Jepang. Padahal Jepang pada saat itu sangat memerlukan pasokan bahan mentah seperti getah, minyak dan biji timah yang mayoritas terdapat di Asia Tenggara yang pada saat itu dikuasai oleh negara-negara Barat. Hal tersebut ternyata membuat Jepang menjadi terdesak dan terpaksa menyerang tanah jajahan imperialis barat di Asia Tenggara.5 Jepang dan Amerika Serikat berusaha untuk menyelesaikan masalah tentang keberadaan mereka di Lautan Pasifik dan Asia Timur. Saat yang sama juga Jepang telah merencanakan untuk melakukan penyerangan terhadap Amerika Serikat. Tanggal 7 Desember 1941, pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di
4 5

Irsan Abdul, Budaya & perilaku politik Jepang di Asia, Refika aditama, Bandung, 2002, hal. 41 Fadhli Aulia, Menjadi Pemenang Seperti Bangsa Jepang, Pinus, Yogyakarta, 2007, hal 28-29

Pearl Harbour, Hawai di serang secara tiba-tiba tanpa dilakukannya pernyataan terlebih dahulu. Serangan Jepang yang melumpuhkan Pearl Harbour menjadikan Amerika terhalang untuk menuju ke penjuru Pasifik termasuk ke Jepang, dengan tujuan mencari bahan mentah. Serangan ini berarti Jepang telah melibatkan diri dalam Perang Dunia II secara langsung.6 Serangan yang dilakukan Jepang terhadap pangkalan Amerika tersebut membuat tentara Amerika menyerang Jepang dengan menjatuhkan bom atom nya ke dua kota besar di Jepang yaitu Nagasaki dan Hiroshima, pada 6 Agustus 1945 yang meluluhlantahkan kedua kota tersebut. Peristiwa tersebut menjadikan akhir dari PD II. Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat dan bersedia menerima perjanjian perdamaian jenis apapun yang dipaksakan oleh Amerika dan Sekutunya. Penandatanganan penyerahan Jepang tanpa syarat dilakukan di atas kapal USS Missouri di Teluk Tokyo pada tanggal 2 September 1945. Adapula isi perjanjian tersebut adalah, Kepulauan Jepang diduduki oleh Amerika (sampai 1952), Kepulauan Kurilen dan Schalin Selatan diserahkan kepada Rusia. Manchuria dan Taiwan diserahkan kepada China, kepulauan Jepang Jepang diserahkan kepada Amerika Serikat, Korea akan dimerdekakan tetapi untuk sementara waktu dibagi dua: daerah Utara diserahkan kepada Rusia dan daerah Selatan kepada Amerika, penjahat perang harus dihukum, Jepang harus membayar kerugian perang.

Hendarsah Amir, 11 Macan Asia Musuh Amerika, Galang Press, Yogyakarta, 2007. hal. 17

Kekalahan perang itu disamping menimbulkan banyak kehancuran fisik dan benda, juga mengakibatkan pukulan psikis yang amat berat. Bangsa Jepang yang selalu mendengungkan bahwa ia keturunan dewa-dewa yang tinggal di tanah Nippon yang suci, harus mengakui keunggulan bangsa lain dan tanahnya diduduki dan dikotori. Maka tidaklah mengherankan kalau terjadi satu pukulan yang traumatis yang dialami rakyat Jepang sebagai akibat kekalahan perang itu. Hal tersebut diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Jepang satu-satunya bangsa di dunia yang dijatuhi bom atom dua kali dalam Perang Dunia II itu. Akibatnya rakyat Jepang menjadi amat benci kepada peperangan dan terhadap kaum militer yang menyebabkan Jepang kalah perang. Agar Jepang tidak lagi dapat menyerang bangsa-bangsa lain, maka diadakan proses demiliterisasi segera setelah tentara AS menduduki wilayah Jepang. Itu juga menyangkut disusunnya konstitusi baru bagi Jepang yang harus menjamin bahwa Jepang di masa depan tidak akan lagi menjadi bangsa yang dikuasai kaum militer dan tidak akan mempunyai politik yang agresif. Maka dimuatlah dalam Konstitusi baru itu pada Bab II pasal 9 tentang penolakan perang: Dengan maksud yang sesungguh-sungguh untuk menciptakan perdamaian Internasional berlandaskan keadilan dan ketertiban, maka rakyat Jepang untuk selamanya menolak perang sebagai hak bangsa berdaulat dan menolak pula penggunaan ancaman atau kekuatan sebagai cara untuk mengatasi persengketaan Internasional. Untuk mewujudkan maksud tersebut angkatan darat, laut, dan Udara maupun potensi perang lainnya tidak akan pernah diadakan. Hak berperangan bagi negara tidak diakui.7

Suryohadiprojo Sayidiman, Jurnal Studi Jepang Vol I/No1 tahun 1991 Kebijaksanaan Pertahanan Jepang, Tiara Wacana Yogya, 1991

Kebijaksanaan Pertahanan Keamanan Jepang sejak berakhirnya PD II dibentuk sebagai reaksi terhadap perang itu sendiri. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II membuat Jepang pada posisi tawar lebih rendah. Amerika memaksa Jepang merubah konstitusinya, dimana Jepang menjadi negara yang pasifis dan konsekuensinya Jepang hanya memperbolehkan memiliki angkatan bela diri (Japan Self Defense Force)8. Pasal 9 konstitusi 1947 Jepang, membatasi wewenang SDF dengan hanya memiliki kekuatan minimum untuk keperluan mempertahankan diri. Sehingga berakibat keamanan dan survival Jepang sangat tergantung dari jaminan security AS, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam US-Japan Mutual Security Treaty (MST). Pada saat memperoleh kembali kedaulatannya tahun 1952, di Jepang terdapat berbagai pendapat mengenai bagaimana Jepang harus melaksanakan kebijakan politik luar negerinya. Kondisi global dan regional pada saat itu ternyata tidak memungkinkan Jepang melepaskan diri dari kepentingan strategi global AS maupun kepentingan regional AS di kawasan Asia Pasifik. Sedangkan kondisi internal yang dihadapi Jepang adalah berlakunya konstitusi yang pada dasarnya dibuat untuk kepentingan AS sebagai pemenang perang9. Visi pertahanan Jepang sejak memperoleh kedaulatannya kembali tahun 1952 dari AS sampai sekarang, adalah untuk menjaga dan mempertahankan survival negara serta mendukung strategi AS menghadapi perkembangan politik global maupun regional. Orientasi kebijakan pertahanan Jepang ditentukan oleh

Ketergantungan Militer Jepang terhadap Amerika dalam http://republikbabi.com/2007/05/12/ketergantungan-militer-jepang-pada-amerika/ diakses. Hari Senin, tanggal 17 Desember 2007 9 Irsan Abdul, Budaya & perilaku politik Jepang di Asia, Refika aditama, Bandung, 2002, hal.70

persepsi ancaman dan gangguan terhadap wilayahnya serta stabilitas keamanan di wilayah Asia Timur. Karenanya tidaklah mengejutkan apabila Jepang telah benar-benar enggan memainkan peran politik atau militernya di pentas internasional. Kebijaksanaan Jepang secara spontan dan unilateral mengambil tindakan tegas untuk membatasi aktivitas-aktivitas militernya. Hal ini telah berlangsung demikian lama sebagai interpretasi atas artikel 9 kontitusinya yang secara tegas menolak perang sebagai kedaulatan bangsa, menolak akan digunakannya kekuatan senjata dalam menyelesaikan pertikaian internasional dan tidak mengakui adanya potensi perang. Jepang juga telah menyatakan taat pada tiga prinsip non nuklir yaitu tidak memiliki, tidak memproduksi dan tidak mengijinkan masuknya senjata-senjata nuklir ke wilayah Jepang. Dan mengadopsi kebijaksanaan pertahanan yang efektif bagi SDF serta melarang eksport senjata pertahanannya di bawah 1% GNP Meskipun konsep ini bersumber dari tentara perang AS dan khususnya Jendral Douglas MacArthur sebagai panglima, namun karena memang rakyat Jepang mengalami pukulan traumatis, maka konsep pemikiran itu sepenuhnya diterima oleh mayoritas rakyat Jepang. Dan selanjutnya sikap rakyat sesuai dengan itu dan cenderung dapat disebut pasifis. Amerika sebagai sekutu Jepang dan telah lama menguasai Jepang, membuat Jepang ketergantungan terhadap militer Amerika. Hal ini dapat terlihat dari pengadaan perlengkapan senjata militer. Perangkat-perangkat lunak pada perlengkapan tempur Jepang berasal dari Amerika. Karena hak cipta perangkat dan membatasi anggaran belanja

lunak tersebut dijaga ketat oleh AS, maka tenaga teknisi Jepang tidak boleh memperbaiki kerusakan yang ada. Walaupun Jepang memproduksi 90% dari kebutuhan militernya, teknologi-teknologi tersebut memiliki lisensi dari Amerika, dan teknisi Jepang tidak boleh untuk mempelajari dan menduplikat teknologi tersebut. Dari sini dapat dilihat bahwa ketergantungan militer Amerika dan Jepang sangatlah erat. Kebijakan pertahanan keamanan yang dibuat Jepang setelah PD II tersebut membuat Jepang sangat minim akan pertahanan keamanan wilayahnya. Dengan semakin berkembangnya teknologi di dunia, maka negara-negara maju mulai memperkuat pertahanan keamananya dengan mempersiapkan persenjataan untuk mengantisipasi keamanan Negara nya. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Jepang untuk tetap pada kebijakan pertahanan nya setelah PD II. Kedudukan Pasukan Bela Diri Jepang yang masih dianggap belum berperan sebagai angkatan bersenjata dalam pengertian sebenarnya. SDF tetap dianggap belum berfungsi sebagai pasukan sebagaimana layaknya angkatan bersenjata seperti Negara-negara lain. Berdasarkan konstitusi (pasal 9), Jepang tidak diperkenankan memiliki kekuatan militer. Perlindungan terhadap

keamanannya masih berada dalam naungan (umbrella) AS, terutama untuk menghadapi kemungkinan terjadinya invasi dari luar, khususnya bahaya perang nuklir. Faktor penting dalam penentuan kebijakan pertahanan Jepang di akhir tahun 1970-an, bahwa AS justru mendukung agar Jepang memiliki angkatan bersenjata regular, yang berarti dapat menyetujui perubahan pada pasal 9

konstitusi 1947, dan pada tahun 1980, berlangsung pembahasan tentang system pertahanan stratejik Jepang yang disebut Comprehensive Security, yang menekankan pentingnya kerja sama dengan AS. Sebagai upaya menjamin keamanan di Jepang tidak hanya membentuk pasukan bela diri tetapi juga mengadakan kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat. Inilah awal dari keterikatan Jepang terhadap Amerika dari segi Pertahanan. Dasar bagi kerjasama keamanan AS-Jepang adalah Perjanjian Keamanan (Security Treaty) yang ditanda tangani pada 8 September 1951 di San Francisco.10 Banyak yang tidak setuju dengan perjanjian ini, maka pada kunjungan PM. Nobusoke Khisi ke AS pada September 1958 dicapai kesepakatan mereview perjanjian tersebut. Pada tanggal 19 Januari 1960 ditandatangani perjanjian keamanan ASJepang yang baru di Washington Treaty of Mutual Cooperation and Security Between the United State of America and Japan. Treaty ini mewajibkan AS untuk mempertahankan Jepang dan menjamin bahwa suatu serangan bersenjata terhadap Jepang akan dihadapi secara langsung, tidak hanya oleh SDF sendiri tetapi juga oleh kekuatan militer Amerika Serikat.11 Adanya revisi perjanjian keamanan 1960, adalah alassan satu-satunya yang melandasi Jepang untuk kemudian terus mempertahankan aliansinya dengan
10 Pasal I perjanjian keamanan antara Amerika dan Jepang yang ditandatangani pada 8 September 1951 menyatakan bahwa Jepang memberikan dan Amerika Serikat menerima hak, untuk mendatangkan pasukan berdasarkan perjanjian damai dan perjanjian keamanan, dan menempatkan kekuatan darat, udara dan lautnya, di dalam dan disekitar Jepang. Kekuatan tersebut akan diperlengkapi dan memberikan kontribusi untuk memelihara perdamaian internasional dan keamanan di Timur jauh dan menjaga Jepang terhadap serangan senjata, termasuk bantuan yang diberikan atas permintaan pemerintah Jepang untuk meredakan kekacauan dan gangguan dalam negeri dalam skala besar, yang menyebabkan dorongan atau campur tangan kekuatan dan kekuasaan dari luar. Dikutif dari artikel Ren Xiangqun dari Akedemi Ilmu Militer, PLA 11 Defence Agency, Japanese White Paper, 1989, hal.67

Amerika, aliansi ini diperuntukkan karena konstitusi Jepang melarang perkembangan militer sehingga Jepang membutuhkan payung untuk berlindung. Sedangkan Amerika yang sejak awal mempunyai kekuasaan yang jauh lebih besar dalam pembentukan perjanjian keamanan ini mempunyai kepentingan yang bisa dilaksanakan melalui aliansi ini. Sebagai contohnya adalah kepentingan Amerika terhadap kawasan Asia (khususnya Asia Pasifik), yang dapat dilihat perkembangannya dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang bisa mengancam hagemoninya. Jepang telah berhasil mempertahankan kebijakan pertahanan minimalisnya hingga akhir Perang Dingin. Hal ini dikarenakan Jepang lebih bertumpu pada Doktrin Yoshida yang mengutamakan pembangunan ekonomi dan menyandarkan keamanan negaranya pada payung perlindungan Amerika Serikat. Namun berakhirnya Perang Dingin dan hilangnya musuh bersama yang menjadi dasar persekutuan Jepang-Amerika. Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin pesat tidak

memberikan pilihan lain bagi Jepang untuk tetap mempertahankan konsep pertahanan lama Minimum Necessary Basic Defense Force. Jepang perlu membangun kekuatannya sendiri dan berusaha melakukan normalisasi kebijakan pertahanannya. Banyaknya tuntutan terhadap Jepang untuk segera menjadi Negara normal kembali, yang dimaksud Negara normal, merupakan sebuah refleksi dari kemandirian dalam melaksanakan kebijakan politik maupun pertahanan Jepang yang terbebas dari proteksi AS, maupun ikatan-ikatan isi konstitusi yang

cenderung membelengu kemandirian politik keamanan dan pertahanan Jepang.12 Akibatnya Jepang ingin bebas dari proteksi dan belengu militer Amerika. Jepang ingin membagun kekuatan militer sendiri dan bebas dari campur tangan militer Amerika (umbrella AS). Langkah awal yang diusulkan adalah merevisi konstitusi yang membatasi Jepang untuk mengembangkan kemampuan militernya. Selain itu, peningkatan ancaman keamanan non-konvensional (terorisme) terhadap AS di berbagai kawasan menyebabkan AS terpaksa mengatur ulang penggelaran (deployment) pasukannya di seluruh dunia. Dorongan dari alasan tersebut menyebabkan keinginan Jepang meningkatkan pertahanan Negaranya. Konstitusi Jepang yang melarang kekuatan militernya secara offensit (menyerang) telah membatasi ruang gerak militer Jepang. Maka Jepang berusaha terus menjaga keamanan wilayahnya dengan memperkuat sistem pertahanan tanpa harus melanggar konstitusi yang telah ada, dengan menggunakan sistem defensif yaitu dengan mempertahankan keamanan wilayahnya. Akibat dari kondisi geografik Jepang sebagai Negara kepulauan yang letaknya terpencil dari daratan benua Asia dan yang seringkali menghadapi bencana alam serta perasaan ancaman dari daratan Asia, telah menjadikan bangsa Jepang di satu pihak memiliki sense of survival yang tinggi, ada sekitar 25 negara yang sudah memiliki ataupun sedang berusaha untuk memperoleh rudal balistik dan di pihak lain adanya perasaan curiga karena kekhawatiran akan

12

Abdul Irsan, Ibid, hal. 72

ancaman keamanan dari daratan Asia yang mengembangkan militer dan pertahanan keamanan dengan teknologi senjata nuklir.13 Perkembangan teknologi dan ekonomi yang semakin maju, menjadikan Negara-negara ingin memiliki pertahanan keamanan yang akan melindungi Negaranya dari kehancuran yang disebabkan serangan dari Negara lain. Untuk melindungi Negaranya dari serangan dari pihak lain, perlu adanya pertahanan militer yang bisa menghindari seragan yang dapat menimbulkan kehancuran Negara tersebut. Pertahanan keamanan anti rudal Jepang secara formal telah memulai kerjasama sistem pertahanan rudal dengan Amerika Serikat pada bulan Desember 1998, ketika kabinet menyetujui riset teknologi gabungan dari sistem Navy Theater Wide Defense (NTWD).14 Presiden AS saat itu, Bill Clinton merupakan pemakarsa sistem ini, yang kemudian NTWD dibagi dalam dua wilayah administrasi, National Missile Defense (NMD) untuk melindungi wilayah Amerika, dan Theater Missile Defense (TMD) untuk memproteksi kekuatan Amerika yang menyebar di luar negeri dan Negara-negara sekutu AS. Untuk kepentingan pertahanan ini anggaran belanja militer AS menjadi meningkat. Sistem pertahanan perang angkatan laut ini akan diangkut dengan kapal perang perusak milik Amerika. Para pasukan pertahanan lapis atas ditujukan untuyk membendung serangan rudal di wilayah ketinggian. Peningkatan NTW ini akan dilakukan melalui latihan menengah berbasis laut di bawah pemerintahan

Abdul Irsan, Ibid, hal 50 NTWD adalah sistem untuk menangkal rudal balistik selama dalam perjalanan dengan sebuah rudal standart yang dibuat perusahaan Aegis ship, sedangkan TMD merupakan konsep pertahanan rudal dengan wilayah terbatas
14

13

Amerika. Sedangkan untuk pertahanan lapis bawah atau dataran rendah, sebagai interceptor agen pertahanan Jepang, akan menggunakan rudal patriot Advanced Capability 3 (PAC 3), yang saat ini telah dikembangkan oleh Amerika. Pasukan angkatan darat juga digunakan apabila ada serangan senjata jarak pendek. Amerika dan Jepang pada Desember 1999, telah menandatangani perjanjian Joint technology research untuk Navy Thester Wide (NTW) dan Theater Ballistic Missile Defense (TBMD). Selanjutnya AS mempersenjatai kembali Jepang melalui perdagangan bilateral di bidang senjata dan teknologi pertahanan, khususnya kerjasama sistem pertahanan rudal. Jepang benar-benar mempersenjatai militernya dengan konfigurasi system pertahanan lapis atas Jepang. Kecemasan Jepang terhadap perubahan tatanan internasional menjadikan Jepang membentuk perisai pertahanan anti rudal balistik untuk menangkal apabila terjadi serangan yang tiba-tiba dari negara lain. Kecemasan ini beralasan mengingat pada tahun 2004, melanjutkan kerjasama dalam Joint technology research maka AS dan Jepang telah menandatangani kerjasama pembuatan pertahanan anti rudal balistik.15 Dalam buku putih pertahanan jepang 2006, ancaman keamanan yang mendapat perhatian Jepang diantaranya adalah terorisme internasional,

penyebaran senjata pemusnah missal, situasi di Irak dan konflik regional. Makin kompleksnya isu keamanan Jepang di dunia tanpa melanggar konstitusi 1947.

15

Jepang dan Asia Timur pasca Koizumi dikutip dari Koran Kompas tanggal 22 September 2006

selain itu ada desakan kuat dari Amerika agar Jepang turut berbagi beban keamanan internasional dan regional. Sistem anti rudal Jepang telah dilakukan uji cobanya pada Desember 2007, sebuah kapal Jepang berhasil menembak jatuh rudal balistik tiruan di dekat Hawaii. Untuk meningkatkan peran payung perlindungannya, Jepang

menempatkan perisai anti rudalnya dikapal-kapal perang di berbagai samudera guna melacak keberadaaan peluru kendali musuh dan menghancurkannya apabila terjadi serangan, supaya tidak mengenai sasaran. Dengan uji coba perisai pertahanan tersebut, maka Jepang telah resmi memiliki pertahanan anti rudal balistik wilayah untuk menangkal apabila negaranya mengalami serangan rudal balistik. Perisai pertahanan ini membuat rakyat Jepang bisa merasa lebih aman apabila ada serangan rudal.

B. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu pokok permasalahan berikut ini: Mengapa Jepang menjalin kerjasama pertahanan anti rudal balistik dengan Amerika Serikat?

C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan penyebab Jepang membangun pertahanan anti rudal balistik bekerjasama dengan Amerika Serikat.

D. Kerangka Dasar Pemikiran Kerangka dasar penulisan ini bertujuan untuk membantu penulis menentukan tujuan dan arah penulisan serta memilih konsep dalam menyusun hipotesa. Untuk menjawab dan menjelaskan permasalahan diatas, penulis menggunakan kerangka pemikiran yang berkaitan erat dengan judul ini yaitu: Teori Pembuatan Keputusan Luar negeri (Decision Making Theory) Definisi keputusan adalah, dalam istilah David Easton, output (keluaran) system politik, yang dengan system itu nilai-nilai dialokasikan dalam masyarakat secara otoritatif (dengan penggunaaan kekuasaan). Menganalisa politik luar negeri memerlukan kerangka berpikir yang dapat memberikan penjelasan saintifik terhadap fenomena tersebut. Politik luar negeri adalah salah satu sarana untuk melakukan eksplanasi teoritik yang komperensif dalam memahami perilaku Jepang dalam mengambil keputusan untuk membentuk pertahanan anti rudal balistik bekerjasama dengan Amerika. Penggunaan konsep ini diharapkan bermanfaat untuk menjelaskan faktor-faktor atau yang menyebabkan Jepang meningkatkan pertahanan keamanannya denagn pembangunan pertahanan anti rudal balistik. Bagaimananpun luasnya penelaahan tentang motivasi peningkatan pertahanan Jepang, tetapi pada batasan bahwa politik luar negeri merupakan suatu tindakan yang terencana dan sudah diperhitungkan untung dan rugi nya serta baik dan buruknnya. Suatu mekanisme bagi

suatu politik untuk beradaptasi dengan lingkungan geo-politiknya dan untuk mengendalikan lingkungan itu demi tercapai tujuannya.16 Kebijakan luar negeri seperti diungkapkan Jack C. Plano dan Roy Olton dirumuskan sebagai berikut: Foreign policy is strategy of plan course of action developed by the decision makers of a state vis a vis other state or international antities aimed at achieving specific goals defined intern of national interest. Sementara itu Jack C. plano dan Roy Olto mendefinisikan kepentingan nasional sebagai: The fundamental objective ultimate determinant that guides the decision maker of a state in making foreign policy. The national interest of a state is typically a highly generalized conception of those elements that constitute the state most vital need. These include self preservation, independence, territorial integrity, military security, and economic well-being.17 Adapula untuk menganalisa sebuah kebijakan luar negeri, penulis menggunakan Decision Making Theory (Teori Pembuatan Keputusan), khususnya Foreign Policy Decision Making. Teori Pembuatan Keputusan mengidentifikasikan sejumlah besar variabel yang relevan dan

mengemukakan saling berkaitan yang mungkin ada dari berbagai variabel tersebut. Teori ini mengarahkan perhatian secara langsung bukan kepada Negara sebagai abstraksi metafisika, atau kepada pemerintah, atau bahkan kepada institusi besar yang disebut eksekutif, melainkan berusaha menonjolkan perilaku manusia khusus pembuat keputusan yang

sesungguhnya membentuk kebijaksanaan pemerintah, yaitu mereka yang


Tulus Warsito, Teori-teori Politik Luar Negeri: Relevansi dan Keterbatasannya, Biagraf Publishing: Yogyakarta, 1998, hal. 25 17 Jack C. Plano and Ray Olton, The International Dictionary, Holt Rinchari, Winston Inc, Western Michigan University: New York, 1973, hal. 127
16

tindakan negara. Tindakan negara adalah tindakan yang diambil oleh mereka yang melakukannya atas nama negara.18 Menurut Teori Pembuatan Keputusan, politik luar negeri bisa dipandang sebagai output dari tiga pertimbangan yang mempengaruhi para pembuat keputusan. Tiga pertimbangan itu adalah: kondisi politik dalam Negeri, kemampuan ekonomi dan militer, dan konteks internasional, yaitu posisi khusus negara tersebut dalam hubungan dengan negara lain dalam system internasional itu.19 Untuk lebih jelasnya, ilustrasi bagan di bawah ini akan menjelaskan interaksi faktor-faktor yang mempengaruhi proses

pengambilan keputusan luar negeri.

Bagan I Proses Pengambilan Keputusan Luar Negeri International Context

Economy-Military Condition

Decision Maker

Foreign Policy Action

Domestic Politic
Sumber: William D. Coplin, Introduction to International Politics, A Theoretical Overview (terjemahan M. Marbun), CV. Sinar Baru, Bandung, 1991, hal. 30
18

James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff Jr, Contending Theories of International Relations, A Comprehensiv Study, terjemahan Amien Rais, Harwanto Dahlan dan Tulus Warsito, Yogyakarta, Fisipol UMY, 1995, hal. 373 19 William D. Coplin, pengantar Politik Internasional; Suatu telaah Teoritis, edisi ke-2, Bandung, Sinar baru, 1992, hal.30

Dari bagan di atas dapan dilihat bahwa ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri suatu negara. Untuk itu penulis akan menerapkan ketiga faktor tersebut dalam menganalisa peningkatan pertahanan keamanan anti rudal balistik Jepang.

a. Kondisi politik dalam negeri Kondisi domestik memiliki pengaruh dalam menentukan output kebijakan luar negeri suatu negara, termasuk budaya dan sistem politik yang berjalan beserta variabel-variabel yang mempengaruhinya. Dalam kasus Jepang, konteks situasi lokal yang mendasari pembuatan pertahanan anti rudal balistik adalah karena kekuatan militer Jepang yang sangat minim persenjataan menjadikan Jepang harus meningkatkan pertahanannya untuk kestabilan kemananan wilayahnya. Pada suatu tingkat, ide yang berlaku adalah bahwa perbedaan antara sistem politik autokratis dan sistem politik demokratis, sangat mempengaruhi penyusunan politik luar negeri. Pada tingkat lain, banyak penulis yang berargumentasi bahwa stabilitas sistem politik berperan dalam keputusan politik luar negeri20. Politik luar negeri merupakan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional. K. J. Holsti menyebutkan konsep tujuan sebagai

20

William D. Coplin, ibid hal.170

suatu gambaran depan dan rangkaian kondisi dikemudian hari yang ingin diwujudkan pemerintah melalui pembuatan kebijakan luar negeri, dengan menggunakan pengaruh diluar negeri dan dengan mengubah atau mendukung sikap negara lain.21 Pada kondisi dalam negeri yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan terletak pada birokrasi yang ada di negara tersebut, partai yang berpengaruh dominan terhadap negara, dan kepentingan yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. Adanya kelompok-kelompok yang dominan di dalam birokrasi pemerintahan Jepang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam skripsi ini penulis lebih membicarakan pada aspek kondisi militer ekonomi dan konteks internasional dalam menjawab pokok permasalahan yang ada dalam skripsi.

b. Kondisi militer dan ekonomi Kepentingan ekonomi dan kondisi militer suatu negara sangat mempengaruhi lahirnya sebuah kebijakan luar negeri. Dalam kasus ini peningkatan militer dan pertahanan keamanan Jepang dipengaruhi pula oleh motivasi Jepang untuk melindungi kepentingan ekonominya. Kondisi ekonomi dan militer memainkan peran penting dalam proses penyusunan politik luar negeri, dengan memberikan
K. J. Holsti, International Politics, edisi bahasa Indonesia Politik Internasional: Kerangka untuk Analisa, diterjemahkan oleh M. Thahir Azhari, Earlangga, Jakarta, 1998 hal.137
21

dukungan dan tuntutan kepada para pengambil keputusan politik luar negeri. Lippman menggungkapan gagasan itu ketika ia berkata bahwa komitmen suatu negara harus diimbangin oleh

kemampuannya. Pernyataan ini menyiratkan bahwa suatu negara harus memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk menopang politik luar negerinya22. Dilihat dari sudut ekonomi, Jepang merupakan salah satu negara yang paling maju di dunia. GDP (produk domestic bruto)23 adalah kedua tertinggi di dunia, dan industri Jepang banyak yang terkenal di seluruh dunia karena mempunyai mutu dan kualitas yang terbaik. Bidang yang memberikan harapan bagi pertumbuhan perekonomian Jepang salah satunya adalah perobotan. Dalam bidang teknologi, Jepang memimpin dunia. Salah satu nya adalah ASIMO24, yang berteknologi maju dan bisa saja untuk hidup berdampingan dengan manusia. Dalam bidang perekonomian jepang bisa dikatakan sebagai negara yang kemajuannya sangat pesat. Dengan mempunyai perekonomian yang kuat Jepang bisa mensejahterakan rakyatnya. Perekonomian Jepang memang berkembang pasat tapi ini berbanding terbalik, dengan militer Jepang yang sangat minimum
22 23

Ibid hal.172 Yaitu nilai semua barang dan jasa yang dihasilkan di Jepang dalam setahun 24 Robot humanoid, berbentuk seperti manusia yang dikembangkan oleh perusahaan Honda

untuk wilayah dengan perekonomian maju seperti Jepang. Sebagian besar anggaran militer jepang difokuskan terhadap kemajuan perekonomian nya. Dengan perekonomian Jepang tersebut, Jepang bisa membangun kekuatan militernya sendiri untuk kestabilan wilayahnya. Karena ekonomi dan militer adalah faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan luar negeri pemerintahnya. Kekuatan ekonomi Jepang yang besar sebaiknya didukung dengan pertahanan keamanannya yang secara maksimal untuk terciptanya rasa aman terhadap masyarakatnya. Faktor militer yang maksimal dapat menghilangkan rasa ancaman dari negara lain yang memiliki kekuatan militer yang maksimal dalam mempertahankan keamanannya.

c. Konteks internasional Posisi khusus suatu negara dalam hubungannya dengan situasi internasional kontemporer sangat mempengaruhi atas sikap apa yang diwujudkan sebuah negara atas situasi yang terjadi. Dalam kasus Jepang, konteks situasi internasional yang mendasari pembuatan pertahanan anti rudal balistik adalah untuk

mempertahankan keamanan wilayahnya. Adanya persepsi ancaman atas peningkatan persenjataan pemusnah massal di wilayah Asia timur.

Adanya perubahan tatanan internasional menjadikan Jepang berusaha menyeimbangi perubahan tersebut untuk menjaga kestabilitas keamanan negaranya. Tatanan internasional yang mengarah terhadap pengembangan senjata pemusnah masal dan peningkatan militer tersebut, menjadikan Jepang ikut serta memperbaiki tatanan militer dalam negeri. Usaha yang dilakukan Jepang adalah dengan membuat perusal anti rudal bekerjasama dengan Amerika, yang memiliki kekuatan militer yang kuat. Ketiga faktor tersebuh mempengaruhi adanya pengambilan keputusan luar negeri dalam sebuah Negara. Keputusan tersebut diambil melihat dari sisi baik dan buruknya untuk negara tersebut. Sebuah negara mengambil keputusan luar negeri yang menyangkut rakyatnya, dilakukan dengan pertimbangan yang meminimalkan kerugian dan keburukan yang akan menimpa negaranya.

Pengambilan keputusan dilakukan dengan adanya pertimbanganpertimbangan situasi di Jepang. Dalam konteks tatanan internasional dalam pengambilan keputusan luar negari, konteks tersebut juga didukung oleh adanya persepsi ancaman. Maka penulis akan menjelaskan tentang pengertian persepsi ancaman dan peranannya pada konteks internasional di bawah ini: Teori persepsi berangkat dari asumsi dasar bahwa tingkah laku seseorang akan dipengaruhin oleh cara yang memandang,

menilai dan menafsirkan lingkungan fisik maupun sosialnya, harta dan bagaimana ia memandang dan menilai kedudukannya sendiri. Naluri dan kepribadian adalah segi-segi individual yang bersifak statik, sedangkan persepsi dan citra yang dimiliki individu bersifat dinamik, karena persepsi seringkali berubah. Persepsi mempengaruhi perilaku, ketika kita bereaksi terhadap dunia disekitar kita, menurut Kenneth Boulding, sebenarnya kita bereaksi terhadap citra kita tentang dunia. Sedangkan dunia nyata dan persepsi kita tentang dunia nyata mungkin berbeda. kita harus mengakui bahwa orang-orang yang menentukan kebijaksanaan dan tindakan Negara-negara tidak melakukan tanggapan terhadap fakta-fakta situasi yang obyektif.tetapi terhadap citra mereka tentang situasi ituyang menentukan perilaku kita adalah persepsi kita tentang dunia, bukan kenyataan dunia itu.25 Persepsi itu memainkan peran dalam menentukan perilaku suatu Negara. Thomas Franck dan Edward Weisband yang menekankan pentingnya citra juga berpendapat bahwa: cara dua Negara saling melihat satu sama lain sering menentukan cara mereka berinteraksi, suatu pole kerjasama yang sistematik tidak mungkin berkembang diantara Negara-negara yang mungkin berkembang diantara Negara-negara yang masih beranggapan lawan sebagai jahat, agresif dan tidak bermoral.26

Kenneth Boulding, dikutif dalam Sullivan, International relations theories and evidence, prentice hall, Engelwood Cliff, 1976, hal. 40 26 Masoed mohtar, Studi hubungan internasional Tingkatan analisa dan teorisasi, pusat antar universitas studi sosial universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1989, hal. 19

25

Jadi, orang melakukan tindakan berdasarkan apa yang mereka ketahui. Tanggapan seseorang pada suatu situasi tergantung pada bagaimana ia mendefinisikan situasi itu. Perbedaan dalam perilaku manusia berkaitan dengan perbedaan dalam cara orang memandang kenyataan. Contohnya: Sukarno melakukan politik konfrontasi terhadap Malaysia karena ia memandangnya sebagai proyek imperalis Amerika. Dan karena ia menggangap bahwa kekuatan militer kedua Negara besar itu telah melakukan pengepungan terhadap Indonesia. Hubungan antara citra, persepsi dan perilaku internasional Bruce Russett dan Harvey Starr menjelaskan sebagai berikut.27 Tahapan pertama dalam proses pembuatan keputusan politik luar negeri adalah timbulnya suatu situasi, Yaitu timbulnya suatu masalah. Tetapi sebelum situasi itu muncul untuk ditanggapi oleh para pembuat keputusan, ada tiga hal yang terjadi. Pertama, pasti ada semacam stimulus atau rangsangan dari lingkungan yang disebut trigger even. Kedua, tentu ada upaya mempersepsi stimulus itu. Ini adalah proses yang diterapkan oleh individu untuk menyeleksi, menata, dan menilai informasi yang masuk tentang dunia sekitarnya. Ketiga, harus ada upaya menafsirkan stimulus yang telah dipersepsi itu. Persepsi dan penafsiran itu sangat tergantung pada citra yang ada dalam benak si pembuat keputusan.
Uraian diambil dari Bruce Russett dan Harvey Starr, World Politics: menu for Choler, Frecmat, 1985, bab 12
27

Dari ketakutan atau kekhawatiran Jepang terhadap negaranegara yang memiliki dan mampu untuk memproduksi senjata nuklir, dapat dikatakan bahwa Jepang sudah melihat dan memperkirakan ancaman-ancaman yang jelas mengenai aksi penyerangan terhadap Jepang di masa yang akan datang apabila terjadi konflik. Perkembangan rudal balistik adalah merupakan suatu persoalan keamanan, karena menyangkut satelit-satelit roket dan juga waktu penyerangan yang sangat singkat dan menimbulkan dampak yang fatal, yang membuat rudal-rudal ini atraktif untuk pengiriman senjata NBC (Nuclear Biological or Chemical). Walaupun secara relatif kurang akurat, hal ini tidak mengurangi keefektifan yang cukup besar untuk pengiriman senjata NBC terhadap fasilitas-fasilitas militer atau target-target kota besar. Disamping lima kekuatan nuklir yang dideklarasikan, ada sekitar 25 negara yang sudah memiliki ataupun sedang berusaha untuk memperoleh rudal balistik. Korea Utara merupakan ancaman yang serius dengan kemampuan rudal balistiknya, Korea Utara adalah negara yang telah menjual teknologi rudal balistiknya dan fasilitas-fasilitas produksi, sebagaimana Korut telah menjual rudalrudalnya yang telah dirakit ke luar negeri. Sebagian besar penyebaran tersebut telah meliputi rudal balistik jarak pendek (Short-Range Ballistic Missiles = SRBMs).

Lima tahun berikutnya rudal balistik jarak menengah (MediumRange Ballistic Missiles = SRBMs) akan disebarkan oleh Korea Utara yang bernama No-dong-1, yang diperkirakan telah beroperasi, ketika rudal tingkat dua Taepo-dong telah diuji terbang pertama kalinya pada tanggal 31 Agustus 1998 dengan sebuah roket berbahan baker padat dan pada tingkat ketiganya telah dicoba untuk menempatkan satelit kecil (seberat 15 kg) yang ditempatkan pada orbit bumi yang rendah (low-earth orbit). Sehungan dengan hal ini rudal-rudal lainnya juga bermunculan seperti rudal balistik jarak sedang (IntermediateRange Ballistic Missiles = IRBMs), dan rudal balistik antar benua (Inter Continental Ballistic Missiles = ICBMs). Peluncuran rudal Korea Utara yang dinamai Taepo-dong-1 telah mempertunjukkan bahwa Pyongyang telah berhasil dalam pengembangan rudal bertingkat. Cina adalah negara di sekitar Jepang yang akhir-akhir ini bergerak di bidang ICBM yang dapat merupakan sebuah ancaman terhadap negara Jepang dan Amerika. Dilihat dari pengembangan program persenjataan rudal tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri terhadap Jepang, dikarenakan Jepang Pasca PD II hanya memiliki kekuatan Militer yang minimalis dan juga adanya prinsip Non nuklir.

Pengembangan rudal oleh negara sekitarnya tersebut membuat Jepang harus memiliki strategi dalam mempertahankan keamanan

wilayahnya. Dengan alas an inilah Jepang mulai membangun pertahana anti rudal balistik bekerjasama dengan Amerika. Proses pengambilan keputusan oleh pemerintah Jepang dipengararuhi oleh tiga faktor yang dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan, ketiga faktor tersebut dijadikan sebuah pedoman dalam pengambilan keputusan untuk menjalankan kepentingan nasional yang terbaik untuk masyarakat Jepang dan dunia. Dalam skripsi ini, penulis lebih menekankan jawaban dari pokok permasalahan pada dua faktor utama yaitu militer serta perekonomian dan pengaruh konteks internasional.

E. Hipotesa Dari pokok permasalahan yang dikemukakan diatas serta dengan menggunakan kerangka pemikiran teoritis yang dipakai maka dapat ditarik kesimpulan sementara sebagai berikut: Jepang menjalin kerjasama pertahanan anti rudal balistik(ABM) dengan Amerika Serikat karena: Perubahan konteks Internasional yang dipengaruhi persepsi Jepang mendorong Jepang dalam meningkatkan peranan militernya dan munculnya ancaman militer dari Negara-negara Asia Timur, terutama China dan Korea Utara.

F. Jangkauan Penelitian Jangkauan Penelitian dimulai dari perubahan konstitusi Jepang, yang meminimalkan militer Jepang dan hanya boleh memiliki Pasukan Bela Diri untuk pertahanan Jepang tahun 1945 sampai terjadi kesepakatan pertahanan keamanan anti rudal balistik Jepang-AS, disertai ancaman yang diterima Jepang terhadap perkembangan militer di kawasan Asia Timur.

G. Metodologi Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif. Selanjutnya isi dari penulisan ini merupakan upaya memverifikasikan hipotesa dengan fakta-fakta yang berupa data sekunder dan literature (buku, jurnal, majalah, artikel, makalah, website, harian).

H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan untuk memperoleh penyajian yang konsisten dan terarah amat perlu uraian yang disusun secara sistematis sehingga terbentuk suatu uraian yang disusun secara sistematis sehingga terbentuk suatu uraian dalam suatu satu kesatuan yang menyeluruh. Dalam sistematis penulisan ini ingin dijabarkan bahwa terbentuknya skripsi ini terbagi dalam empat bagian : Pertama pendahuluan, kedua pengertian, ketiga bagian isi, keempat bagian penjelasan, dan terakhiur penutup dan kesimpulannya.

Bab I : Merupakan pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Pokok Permasalahan, Kerangka Dasar Pemikiran, Hipotesa, Jangkauan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan ini sendiri memberikan gambaran singkat mengenai apa yang akan dibahas dalam penulisan ini. Bab II : Merupakan gambaran Kebijakan Minimalis pertahanan keamanan Jepang sebelum dan pasca perang dunia II dan perkembangannya. Bab ini dimulai dengan gambaran pertahanan keamanan Jepang sebelum dan pasca PD II kemudian Pengaruh militer Amerika di Jepang pasca PD II, diikuti dengan prinsip kebijakana pertahanan keamanan, upaya untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Jepang serta alasan Amerika dalam pengurangan pasukaan militernya di Asia dan Eropa, awal perjanjian pertahanan anti rudal balistik Jepang. Bab III : Merupakan gambaran Jepang sebagai negara nomor satu di wilayah Asia, bab ini dimulai dengan Jepang sebagai negara super power ekonomi di Asia dan dunia serta anggraran pertahanan Jepang, dan teknologi Jepang yang modern dan maju. Bab IV : Merupakan gambaran hubungan Jepang dengan lingkungan regionalnya dan keadaan dalam negerinya, bab ini dimulai dengan persepsi dalam negeri Jepang terhadap ancaman disekitar negaranya, hubungan Jepang dengan China dan Korea Utara, serta ancaman yang ditimbulkan oleh China dan terutama ancaman nuklir Korea Utara.

Bab V

: Merupakan kesimpulan dari seluruh penjelasan dan argument

dari bab-bab terdahulu Daftar Pustaka Lampiran

Anda mungkin juga menyukai