Anda di halaman 1dari 1

SEKILAS MENGENAI ANALISIS DAMPAK SUBSIDI BBM Kebijakan subsidi pemerintah dalam bentuk BBM dan listrik yang

hingga saat ini masih diberlakukan menuai perdebatan dan kritik dari berbagai kalangan. Kita semua tahu bahwa subsidi, secara jangka panjang, tentu saja merugikan bagi masyarakat. Namun, masih banyak juga masyarakat yang belum mengerti mengenai dampak dari subisdi ini. Sebenarnya bagaimana analisis mengenai dampak dari subisdi ini? Berikut akan diulas secara sekilas saja, apa dampak positif dan negatifnya. Dampak positif yang merupakan tujuan dari pemerintah dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak langsung dan tidak langsung. Secara langsung, dengan membeli BBM bersubsidi, dapat dirasakan bahwa pengeluaran untuk BBM menjadi berkurang sehingga daya beli masyarakat meningkat. Secara tidak langsung, harga barang kebutuhan semakin murah karena biaya operasional untuk membuat produk semakin kecil. Oleh karena itu, daya beli dan taraf hidup masyarakat diharapkan meningkat sehingga masyarakat semakin sejahtera. Namun, tentu saja tidak dapat disimpulkan begitu saja karena perlu didefinisikan dulu, masyarakat mana yang sejahtera. Point penting disini bahwa subsidi dihitung berdasar penggunaan volume BBM bukan perbedaan pendapatan. Berdasarkan kajian Bank Dunia (2011), 54 % penggunaan BBM oleh pengguna komersil (transportasi & bisnis) dan sisanya pengguna pribadi. Kemudian, setengah dari masyarakat berpenghasilan tinggi mengkonsumsi 84% bensin bersubsidi dan sisanya masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, secara spesifik tujuan dari pemerintah justu untuk mensejahterakan golongan masyarakat yang berbisnis dan berpenghasilan tinggi. Secara garis besar, dampak negatif dapat digolongkan menjadi lima. Pertama, harga yang sangat murah memicu masyarakat untuk boros energi dan cenderung konsumtif. Berapa banyak BBM dibuang hanya untuk menunggu kemacetan, polusi, dan global warming. Kedua, lemahnya persaingan harga energi alternatif terhadap fossil menyebabkan tidak berkembangnya energi alternatif beserta implementasinya. Ketiga, ketergantungan impor BBM terhadap APBN. Contohnya, inflasi ketika harga minyak dunia naik karena APBN tidak mampu menutup, bahkan hingga hutang atau potong anggaran pendidikan, pertahanan, infrastruktur, dll. Selain itu, peningkatan kebutuhan BBM subsidi (ex. premium) melebihi kapasitas kilang Pertamina (10,58 jt kilo liter/th) meningkatkan kebutuhan impor premium. Impor dapat menaikkan kurs dollar sehingga mau tidak mau BI harus menyuntikkan dana hingga 2 Triliun untuk menstabilkan rupiah. Keempat, penyelundupan dan pengoplosan BBM, seperti pada kasus elpiji 3 kg (subsidi) dan 12 kg (non-subsidi). Berdasarkan informasi BPH Migas, kasus penyelundupan naik hingga 1015 % penjualan BBM pada Januari-April 2011. Kelima, ketika terjadi krisis energi fossil (seperti pada tahun 1970an) atau global warming yang mengancam, energi alternatif belum siap untuk memenuhi kebutuhan energi karena tidak adanya infrastuktur yang mendukung. Tentu saja itu akan dialami oleh anak cucu kita. Namun, apakah kita peduli? Melihat dampak yang demikian tentu saja subsidi harus dihapus maupun dipotong secara bertahap. Untuk itu masih dibutuhkan studi lebih lanjut bagaimana dampak penghapusan subsidi secara keseluruhan dan penanganannya. (aaputra, 12208050)

Anda mungkin juga menyukai