Anda di halaman 1dari 16

KELUARGA DALAM KONSTRUKSI FILSAFAT ISLAM Oleh : Abdul Halim, SHI.

1 Unit sosial dasar masyarakat Islam adalah keluarga. Jika Islam dapat digambarkan sebagai jiwa masyarakat Islam, keluarga dapat dilihat secara kiasan sebagai raganya. Selama beribu-ribu tahun, keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik orang. Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 dan khususnya abad ke-20 sangat membebani unit ini, namun keluarga, bersama iman Islam, tetap sentral tempatnya dalam kehidupan orang dari segenap kelas sosial, dalam konteks desa dan kota, dan di segenap negara Muslim.2 Konsep keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah ada keluarga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya meskipun dalam waktu yang amat singkat. Dalam perspektif teologis hanya ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah sistem keluarga. Adam sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin lakilaki dan Hawa sebagai manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dua orang inilah yang berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk Tuhan. Adam dan Hawa melakukan semacam kesepakatan dan berkomitmen (mitsaqan galiza) untuk bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain baik dalam hal kebutuhan biologis maupun kebutuhan emosional.3 Manusia dan Keluarga
1

Penulis adalaha Calon Hakim (Angkatan II MARI) pada Pengadilan Agama

Kotabaru
2 Elizabeth Warnock Fernea, Keluarga, dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ed: John L. Esposito, (eds terjemahan), Mizan, 2001, hlm. 154. 3 Potensi manusia dijelaskan oleh alQuran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa Q.S. alBaqarah (2): 30-39

Manusia adalah sebuah produk yang dikeluarkan dari sebuah sistem produksi yang bernama keluarga. Manusia sebagai suatu produk yang terkait erat dengan sistem produksinya, yang jika sistemnya berjalan dengan baik maka baik pulalah produk yang dihasilkannya dan jika sistemnya tidak baik maka begitu pula produk yang dihasilkannya dan selebihnya bisa dipastikan jika sistem itu tidak berjalan atau tidak ada, maka tidak pernah ada hakikat seorang manusia. Keluarga bisa diibaratkan seperti sebuah unit sistem produksi yang paling sederhana. Dimana ada sebuah sistem yang mengatur agar sebuah kinerja saling berhubungan menghasilkan sebuah produk. Baik-buruknya produk itu sangat bergantung pada baik buruknya manajemen perusahaan dan serta komitmen pada karyawannya. Hanya bedanya perusahaan memiliki tiga unsur produksi yang terpisah yaitu; alat, bahan baku dan pelaku produksi atau karyawan. Sistem produksi keluarga memiliki tiga elemen tersebut, menyatu secara alamiah dalam diri pelaksana produksi (manusia) itu sendiri yang memiliki alat serta bahan baku produksi sekaligus. Jika dalam perusahaan, manusia menciptakan sebuah produk yang berbentuk benda mati, sedangkan dalam keluarga, manusia memproduksi manusia. Sepertiga awal kehidupannya seorang manusia pada umumnya lebih terikat secara emosional dengan keluarga dimana dia dilahirkan, tumbuh dan berkembang, karena dalam fase ini seorang manusia masih dalam wilayah tanggungjawab orang tua sebagai pelaksana produksi untuk menjadikannya produk yang sebagus-bagusnya (objek peradaban). Kemudian pada fase berikutnya, yaitu duapertiga akhir kehidupannya

seorang manusia mulai mengambil alih peran selaku (subjek peradaban) yang pada fase sebelumnya dipegang oleh orang tuanya. Dalam tinjauan antropologi budaya, keluarga merupakan mekanisme yang dibentuk dan dipertahankan manusia untuk mengatur reproduksi dan menyeimbangkan antara kehidupan dan kebutuhannya. J.J. Bachofen, seorang antropolog Jerman dalam bukunya Das Mutterrecht (1861) melakukan penelitian dengan banyak bahan bukti yang diambilnya dari masyarakat Yunani dan Romawi klasik dan juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa Asia, Afrika dan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Bachofen berkesimpulan, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan promiscuitas, dimana manusia hidup tak ubahnya seperti sekawanan binatang, laki-laki dan perempuan berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada saat itu. Keadaan ini dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si Ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat, karena yang dikenal hanya ibu, tapi tidak mengenal ayah. Dalam kelompok keluarga seperti ini ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari dengan demikian timbul adat exogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan keluarga dalam masyarakat manusia.

Tingkatan selanjutnya terjadi karena para pria tidak puas dengan keadaan ini, mereka lalu mengambil calon-calon istri dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok mereka sendiri. Dengan demikian, keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria. Hal ini menimbulkan secara lambat laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu maka timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu exagomi, berubah menjadi endogamy karena berbagai sebab. Endogamy atau perkawinan dalam batasbatas kelompok menyebabkan banyak anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.4

Keluarga, Masyarakat dan Negara Pada dasarnya hidup manusia, adalah pengalaman bersama; hidup manusia, bahkan di dalam unsur-unsurnya yang paling individual merupakan kehidupan bersama; dan tingkah laku manusia di dalam strukturnya yang selalu asasi selalu merajuk kepada pribadi lain. dengan kata lain bahwa manusia adalah anak masyarakat5 yang tersimbol dengan ikatan-ikatan keluarga.

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, UI Press, Cet II, Jkarta 1987, hlm. 38. Hardono Hadi, JAtidiri Manusia: Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm. 117
4 5

Karena posisi keluarga sangat strategis, Taqiyuddin an Nabhani (Penulis Nizam Al Islam) memasukkannya ke dalam kerangka sistem sosial (Nizam al Ijtimai) An Nabhani membedakan istilah sistem sosial (nizam al Ijtimai) dari sistem kemasyarakatan (anzimat al mujtama) dari bukunya Nizam al ijtimai fi al Islam (sistem sosial dalam Islam). Sistem sosial adalah seperangkat pertautan yang mengatur pertautan antara pria dan wanita atau sebaliknya, dan mengatur hubungan yang muncul antar keduanya, serta segala sesuatu yang menyangkut hubungan tersebut. Adapun sistem sosial merupakan peraturan bagi masyarakat yang mengatur hubungan antar manusia yang hidup dalam masyarakat, tanpa memperhatikan pertemuan atau perpisahan diantara anggota masyarakat tersebut.6 Dalam konteks sosial manusia merupakan anak masyarakat yang memiliki ciri khas dan nilai-nilai tersendiri secara riil dan konkret sebagaimana dihayati oleh orang tua. Sedangkan diri konteks sejarah manusia pada awal eksisitensinya merupakan anak sejarah karena masyarakat yang melahirkan merupakan salah satu rantai dari tradisi yang sudah hidup dari generasi ke generasi yang ditiangi unit-unit keluarga.7 Denga kata lain, keluarga merupakan simbol-simbol dari tali sejarah manusia dari generasi ke generasi yang lain. Sistem sosial atau masyarakat yang ditegakkan oleh individu-individu yang lahir dari keluarga senantiasa mengarah pada kesinambungan, yaitu pemeliharaan

kesinambungan atau pemulihan kesinambungan setelah terjadi pergolakan. Dalam diri manusia ada perasaan-perasaan yang secara otomatis aktif menantang setiap hal yang mengancam atau mengganggu kestabilan. Kesinambungan adalah akibat proses mekanis,

74
7

Ahmadie Thaha, Keluarga, dalam Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. Ibid; hlm. 119

tanpa ada sifat otomatis yang dalam diri manusia tersebut maka akan mudahlah sesuatu yang dapat menghantam kestabilan menimpa masyarakat dan akhirnya merugikan tatanan itu sendiri.8 Masyarakat dan kebudayaan di mana si anak hidup merupakan kesinambungan dari masyarakat dimana orang tua mereka berkembang dari masa kanak-kanak menjadi manusia dewasa. Orang tua dan masyarakatnya mempunyai sejarahnya masing-masing. Kalau anak adalah sekaligus anak orang tua dan masyarakat, maka boleh dikatakan bahwa anak dan manusia pada umumnya adalah anak sejarah. Hal ini menjadi nyata di dalam tradisi dimana anak disebarkan, tradisi merupakan hasil dari warisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi yang lain. maka dapat dimengerti kalau mengubah tradisi, baik, maupun buruk merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan, karena akarnya sudah tertanam begitu dalam dan bercabang-cabang. Maka mudah dipahami bahwa dalam diri manusia dan masyarakatnya terdapat kecenderungan untuk melestarikan tradisi yang sudah ada.9 Sebagai contoh, diakui atau tidak, emansipasi wanita di Barat memang terbukti merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Negara-negara maju seperti Jerman, Jepang dan Singapura kini tengah berupaya mengatasi apa yang mereka sebut sebagai krisis demografis. Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan dipastikan akan berdampak sangat buruk bagi masa depan negara bersangkutan. Menurut laporan majalah Stern (no. 27, edisi 28 Juni 2005) jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian
8 9

K.J. Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta, 1993. hlm. 73 Ibid; hlm. 118

seperti sekarang ini, maka pada tahun 2060 Jerman diprediksi akan menjadi tempat penampungan generasi tua jompo, menjadi land ohne kinder. Barangkali terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminisme di Barat berangsur-angsur surut dan kini nyaris tinggal wacana. Nampak telah terjadi semacam kejenuhan, keresahan dan rasa bersalah karena melawan naluri dan mengingkari kodrat sendiri. Tanpa keluarga populasi manusia tidak akan berkembang sekaligus tak terkendali. Satu sisi, keluarga bertujuan untuk mengembangkan manusia dan sisi lainnya keluarga bertujuan untuk membatasi populasi tersebut. Mungkinkah sebuah tujuan yang kontradiktif ini bisa diatasi dengan sebuah sistem keluarga. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Pertanyaan seperti ini mungkin bisa terjawab ketika kita bisa membayangkan seorang yang tak mau berkeluarga karena tidak ingin melakukan reproduksi, kalau ini dilakukan secara massif maka bisa dipastikan akan mengancam populasi manusia. Dan sebaliknya bagi seorang yang tak ingin berkeluarga kemudian dia melakukan hubungan seks tanpa aturan dan dengan siapa saja dan ini artinya proses produksi illegal tanpa batas yang akan mengancam stabilitas populasi manusia itu sendiri, karena sedikit demi sedikit jumlah manusia akan bertambah jauh lebih dari proporsional dan akan menciptakan ketidakseimbangan ekosistem. Dan akhirnya juga akan mengalami kepunahan. Sebagai sesama makhluk hidup sah-sah saja jika kita menganalogikan manusia dengan binatang. Binatang dari jenis apapun pastilah tak setua sejarah kehidupan binatang secara keseluruhan. Sebagian besar jenis binatang hanya hidup pada penggalan waktu tertentu dalam sejarah kehidupan, tapi bukankah binatang juga berkeluarga dan

melakukan proses reproduksi dan mengapa manusia bisa bertahan begitu lama? Karena orientasi binatang hanya pada pemenuhan hasrat seksual yang bersifat biologis dan sedikit emosional pada pasangan ataupun keturunan sedangkan konsep keluarga manusia tak hanya berorientasi masalah hasrat biologis atau emosional semata, konsep keluarga manusia lebih komplek karena menyangkut masalah sosial, psikologis, agama, negara bahkan keberlangsungan peradaban manusia secara keseluruhan. Keluarga adalah sekolah tempat putra-puteri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, dan kasih sayang, ghirah (kecemburuan positif) dan sebagainya. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah dan suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakan mereka pada saat hidupnya dan setelah matinya.10 Disinilah konsep keluarga mengalami perkembangan dari bentuknya yang paling sederhana, Agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam pematangan dan pengokohan konsep keluarga ini. Contoh yang paling konkrit adalah dalam Islam. Syekh Muhammad Syaltut menggambarkan keluarga sebagai batu bata dari bangunan bangsa, sebagai elemen dasar dari sebuah sistem yang komplek posisinya sangatlah penting. Karena itulah semua agama menempatkan urusan perkawinan sebagai landasan dasar terbentuknya keluarga di tempat yang terhormat dan utama. Begitu juga umat-umat yang mengenal nilai-nilai hidup, semuanya mengambil perhatian penuh

10

www.Insist.com, akses tanggal 18 Maret 20060

terhadap konsep keluarga karena merupakan panggilan kejadian manusia dan kehendak alam.

Islam tentang Keluarga Islam menolak pembentukan keluarga yang tidak didasari atas perkawinan yang sah. Islam memberikan perhatian besar pada penataan keluarga, terbukti bahwa seperempat bagian fikih yang dikenal dengan Rub al Munakahah adalah mengenai penataan keluarga, mulai dari persiapan, pembentukan sampai pada pengertian hak dan kewajiban setiap unsur dalam keluarga kesemuanya dimaksudkan supaya pembentukan keluarga mencapai tujuannya seperti disebutkan dalam AlQuran.11 AlQuran menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan pembuatan bersama, bahkan kebangkitan dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar maruf nahi munkar.12 Tidak heran jika alQuran mempunyai perhatian khusus terhadap konsep keluarga yang dari padanyalah gagasan di atas bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Ada beberapa ayat yang berbicara tentang tujuan perkawinan dalam alQuran antara lain; alBaqarah : 187, 223; alMaarij: 29-31; alMuminun: 5-7; asySyura: 11; anNahl: 72;

11

Ahmadie Thaha, Keluarga, dalam Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve,

hlm. 73.

Zainal Abidin Alawy, Prinsip-prinsip Agama dalam Pembentukan Keluarga, Mimbar Hukum No. 53 Tahun XII, 2001. hlm. 66
12

arum: 21; anNisa: 19; anNur: 33 yang secara kronologis turunnya ayat sesuai dengan konsep makiyah-madaniyah versi Noldeke13 yang dijabarkan sebagai berikut: alMaarij: 29-31 Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istriistri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas Ayat tersebut di atas pada periode makkah awal ini berisi tentang perintah untuk menjaga kehormatan dengan menjaga kemaluan dengan hanya melakukan hubungan badan dengan istri-istri yang sah saja. Dan masih diperbolehkan untuk menggauli budakbudak perempuan milik pribadi. Dan larangan dibatasi diluar dari itu. alMuminun: 5-7 Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istriistri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela, barang siapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itu orang-orang yang melampai batas Ayat 5-7 alMuminun yang berada pada periode makiyah tengah memuat ayat yang persis sama redaksinya dengan ayat alMaarij pada periode tengah makiyyah di atas. Dan sepertinya konsepnya belum ada perubahan. AnNahl: 72 Allah memberikan istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan dari mereka anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik

13

2001, hlm. 85

Taufiq Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah AlQuran, Forum Kajian Agama dan Budaya,

10

Arum: 21 Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum berpikir

asSyura: 11 Dia pencipta langit dan bumi, dan menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan binatang ternak berpasang-pasangan pula, dijadikannya kamu berkembang biak dengan jalan itu, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat Masuk pada periode makkah akhir ini lebih banyak lagi dibicarakan tentang

perkawinan, anNahl 71 berbicara masalah keturunan (anak-anak) yang akan lahir dari perkawinan. arum 21 berbicara masalah hikmah perkawinan dengan tujuan ketenteraman dan kedamaian dalam keluarga, as Syura 11 berbicara tentang masalah reproduksi sebagai salah satu tujuan perkawinan. Dari sini Allah mulai menjelaskan arti penting sebuah keluarga yaitu melestarikan keturunan dan hidup tentram dalam keluarga. alBaqarah 187 Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istriistrimu, mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak menahan nafsumu, karena ityu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu 223 Istri-istrimu seperti tanah tempatmu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu menghendaki anNisa 1 Hai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari seorang diir, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan

11

dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan 9 Dan hendaklah takut kepada Allahorang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah anNur 33 Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNyadan Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian Pada periode Madaniyah al Baqarah 187 dan 223 berbicara bahwa perkawinan juga sebagai pemenuhan hasrat seksual dan perintah untuk menggauli istri-istri dengan layak. AnNisa 1 dan 9 berbicara tentang kewajiban orang tua terhadap kehidupan anakanaknya dan larangan menelantarkannya, anNur 33 berbicara tentang masalah jika seseorang tidak mampu untuk menikah maka dia diharuskan menahan diri dan menjauhi pelacuran. Terlihat keberanjakan yang cukup jelas pada periode ini yaitu seperti ayat-ayat sebelumnya yang seolah menjadi istri hanya sebagai objek saja pada periode ini tampak sekali bahwa Allah menganjurkan hubungan yang seimbang antara suami dan istri layaknya partner dalam bekerja dan kepada keduanya juga diserahi tugas untuk bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anak mereka. Dan pada ayat terakhir Allah memberikan suatu kelonggaran bagi manusia bagi mereka yang tidak mampu untuk kawin untuk bersabar dan menahan diri serta berusaha menjaga kesucian diri dan Allah telah melarang hubungan badan dengan budak-budak perempuan selain istri-istri yang sah.

12

Dari uraian tentang ayat-ayat pernikahan di atas maka dapat dipetakan secara jelas mengenai tahapan konseptualnya. Islam menempatkan perkawinan di dalam satu keluarga yang dinamakan keluarga yang merupakan janji setia yang teguh dan menggambarkan perpaduan kedua belah pihak (suami-istri) sebagaimana perpaduan persekongkolan di atas landasan satu hati, satu rasa dan satu jiwa. Di samping itu, dinyatakan pula sebagai dasar menyambung keturunan anak dan cucu dan sebagai unsur pertama dalam pembentukan keluarga. Maka dari sini timbullah cabang, dahan dan ranting berbentuk bangsa dan suku-suku untuk saling berkenalan, bekerjasama dan saling bantu membantu.14 Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya: Pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang di belantara kehidupan; orang dapat menemukan pasangan hidup yang akan berbagi kesenangan dan penderitaan. Gairah seksual merupakan keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus menikmati kepuasan seksual dengan cara yang benar dan wajar. Orang-orang yang tidak mau kawin seringkali menderita

ketidakteraturannya baik secara fisik maupun psikologis. Ketidakteraturannya


14

Taufiq Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah AlQuran, Forum Kajian Agama dan Budaya,

2001, hlm. 85

13

semacam itu dan juga persoalan-persoalan tertentu merupakan akibat langsung dari penolakan kaum muda terhadap perkawinan. Reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Melalui

perkawinan, perkembangbiakan manusia akan berlanjut. Anak-anak adalah hasil dari perkawinan dan merupakan faktor-faktor penting dalam memantapkan pondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi orangtua mereka. Tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan jelek dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting.15 Dalam upaya menjaga status keluarga yang istimewa dan menjaga kelestariannya serta memaksimalkan tujuan-tujuannya maka, dibutuhkan sejumlah syarat dan rukun. Dalam Islam syarat dan hukum perkawinan pada hakekatnya bertujuan agar terjamin keutuhan ikatan lahir dan batin tersebut dan pada akhirnya agar tercapai kehidupan yang tentram damai dan penuh cinta dan kasih sayang sebagai tujuan perkawinan.16 Adapun jalinan perekat bagi bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban yang disyariatkan Allah terhadap Ayah; Ibu, suami dan istri serta anak-anak. Semua kewajiban itu tujuannya adalah untuk menciptakan suasana aman, bahagia dan sejahtera bagi seluruh masyarakat bangsa.17

15 16

hlm. 36.
17

Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Isteri Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, Academia & Tazzafa, Yogyakarta, 2005. Quraish Shihab, Membumikan AlQuran, cet.XXII, Mizan, Bandung, 2001.hlm.255

14

Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan

keterbelakangannya adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut.18 Kesimpulan Allah menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan pemikiran setiap insan dan hendaknya darinya dapat ditarik pelajaran berharga. Menurut pandangan AlQuran, kehidupan kekeluargaan, disamping menjadi salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Ilahi, juga merupakan nikmat yang harus dapat dimanfaatkan sekaligus disyukuri.19 Rumah tangga merupakan kelompok terkecil di dalam sebuah negara. Ia dibentuk oleh dua atau lebih individu. Andainya negara diibaratkan seperti rumah, maka rumah tangga ialah asas atau tapaknya. Dalam memperjuangkan sebuah negara Islam, asas inilah yang perlu di bangun terlebih dahulu. Jika asasnya kukuh, akan kukuhlah negara yang ditegakkan nanti. Tetapi jika sebaliknya, negara yang dapat ditegakkan itu tidak akan bertahan lama. Ia akan runtuh kembali sebelum mencapai matlamatnya. Pengaturan kesinambungan dalam kehidupan keluarga dituntut oleh ajaran Islam. Hal tersebut lahir dari rasa cinta terhadap anak keturunan dan tanggungjawab terhadap generasi.20

18 19 20

Ibid; 253 Ibid; Ibid; 257

15

Daftar Pustaka Al Quran al Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indnonesia. Ahmadie Thaha, Keluarga, dalam Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia:Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996. Elizabeth Warnock Fernea, Keluarga, dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ed: John L. Esposito, (eds terjemahan), Mizan, 2001 Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami Istri K.J.Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta, 1993 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, UI Press, cet II, Jakarta, 1987 Khoiruddin Nsution, Hukum Perkawinan I, Academia & Tazaffa, Yogyakarta, 2005 Quraish Shihab, Wawasan AlQuran, cet. VII, Mizan, Bandung, 1998. ____________, Membumikan AlQuran, cet. XXII, Mizan, Bandung, 2001. Zainal Abidin Alawy, Prinsip-prinsip Agama dalam Pembentukan Keluarga, Mimbar Hukum No. 53 Thn. XII 2001

16

Anda mungkin juga menyukai