Anda di halaman 1dari 5

KAIDAH-KAIDAH

MENGENAL BIDAH

Pada dasarnya bidah menurut syariat harus
memiliki 3 kriteria, dan sesuatu tidak dapat
disebut bidah tanpa terpenuhi 3 kriteria
tersebut.
Adapun kriteria tersebut adalah:
1. AL-IHDATS (Mendatangkan perkara
baru yang dibuat/dikarang)
2. Perkara baru tersebut disandarkannya
kepada perkara agama
3. Tidak adanya sandaran perkara baru
tersebut pada pokok/asal syariat baik
khusus maupun umum

1) Al-Ihdats adalah mendatangkan suatu
perkara baru yang dibuat-buat/dikarang
tanpa yang mendahuluinya baik mutlak
maupun tinjauan satu sisi.
Dalilnya:


Siapa yang mengadakan perkara baru
pada urusan kami ini yang perkara itu
bukan termasuk darinya, maka perkara itu
tertolak.(HR. Bukhari Muslim)

Kriteria ini memasukkan semua yang
dibuat-buat baik yang tercela maupun
yang terpuji baik urusan agama maupun
selainnya. Ihdats bisa ada pada agama
bisa pula urusan duniawi.

2) Disandarkan ihdats pada urusan agama
Dalilnya:


Pada urusan kami ini




Kriteria ini mengeluarkan urusan baru
yang tidak didasarkan kepada agama
(contoh naik mobil, pakai baju batik,
handphone, naik pesawat, pakai sendok
makan dan lain sebagainya. Demikian
pula kemaksiatan-kemaksiatan bentuk
baru, kecuali kalau dilakukan dalam
rangka niat taat kepada Allah atau dapat
mengantarkan kepada sangkaan bahwa
hal itu termasuk urusan agama

3) Tidak adanya sandaran bagi perkara baru
yang diadakan ini pada dalil syari baik
dengan cara penyandaran khusus
maupun umum.
Dalilnya:


Perkara itu bukan termasuk darinya

Dan dalil lainnya yaitu:


Siapa yang beramal dengan suatu
amalan yang urusan (agama) kami tidak
berjalan diatasnya maka amalan tersebut
tertolak. (HR. Muslim)

Kriteria ini mengeluarkan segala perkara
baru yang berkaitan dengan agama tetapi
memiliki dalil syari baik secara umum
maupun khusus.
Seperti pengumpulan Al-Quran oleh
para sahabat berlandaskan dalil umum
yaitu surat:
. _ .l. . .l .' _
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (QS. Al-
Hijr:9)

Catatan: mengumpulkan Al-Quran
adalah bahagian memelihara



Dan berlandaskan dalil syariy bersifat
khusus yaitu diadakannya shalat tarwih
secara berjamaah pada zaman Umar bin
Khattab dan lain-lain.

Suatu amalan bidah tidak lepas dari 3
hal:
1. Pendekatan diri kepada Allah dengan
sesuatu yang tidak disyariatkan
2. Keluar dari aturan agama/syariat
3. Mengantarkan ke bidah atau
membuka jalan ke bidah

Adapun yang termasuk bidah karena
melakukan sesuatu yang tidak
disyariatkan yaitu:

Kaidah pertama
Setiap ibadah yang berlandaskan hadits
maudhu (palsu) yang disandarkan
kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi
Wa Ala Alihi Wa Sallam maka itu
adalah Bidah.
Contoh:
Hadits-hadits maudhu (palsu) dan dhaif
jiddan yang berkenaan dengan
keutamaan surah-surah Al-Quran,
menuntut ilmu, keutamaan puasa, doa-
doa wudhu, adzan dan iqamat
menguburkan mayit, penggunaan bedug
sebelum adzan, tawasul yang bidah.

Kaidah kedua
Setiap amalan yang berlandaskan
pendapat semata dan hawa nafsu maka
itu adalah bidah.
Contoh:
Ahli shufi yang berpegang pada mimpi-
mimpi dan kejadian luar biasa, berdzikir
dengan Allah Allah, atau dhamir
Huwa Huwa, berdoa kepada para
malaikat, nabi, orang shaleh.




Kaidah ketiga
Jika rasulullah shollallahu Alaihi Wa
Ala Alihi Wa Sallam meninggalkan
suatu ibadah yang ada, padahal faktor
dan sebab yang menuntut untuk
dikerjakannya ada, sementara faktor
penghalangnya tidak ada, maka
melaksanakan ibadaha tersebut adalah
bidah
Contoh:
Melafazkan niat shalat, adzan di
kuburan, shalat setelah sai.

Kaidah keempat
Semua ibadah yang tidak dilakukan oleh
As-Salaf Ash-Sholeh dari kalangan
shahabat, tabiin dan tabiut tabiin atau
mereka tidak menukilnya (tidak
meriwayatkannya) atau tidak menukilnya
dalam kitab-kitab mereka atau tidak
pernah menyinggung masalah tersebut
dalam majelis-majelis mereka, maka jenis
ibadah itu adalah bidah dengan syarat
faktor penuntut untuk mengerjakan
ibadah itu ada dan faktor penghalangnya
tidak ada.
Contoh:
Shalat Raghaaib, adzan di masjid di sisi
mimbar, shalawat sebelum adzan, sujud
setelah salam yang bukan sujud sahwi,
shalat 2 rakaat setelah keluar dari kamar
mandi, shalat dua rakaat setelah shalat
subuh (tanpa sebab)

Kaidah kelima
Setiap ibadah yang bertentangan dengan
kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syariat
ini, maka itu adalah bidah.
Contoh:
Adzan pada Idul Fitri/Adha, menshalati
jenazah di tempat pemandiannya.






Kaidah keenam
Setiap taqarrub kepada Allah dengan
adat kebiasaan atau muamalat dari sisi
yang tidak diakui oleh syari (Pembuat
Syariat), maka itu adalah bidah. (Al-
Itishom 2/79-82)
Contoh:
Bertakarrub kepada Allah dengan diam,
tidak memakan roti atau daging, berdiri
di bawah terik matahari dengan tidak
berteduh (dengan niat ibadah).

Kaidah ketujuh
Semua taqarrub kepada Allah dengan
mengamalkan sesuatu yang dilarang oleh
Allah Subhanahu Wa Taala adalah
bidah.
Contoh:
Takarrub kepada Allah dengan
mendengarkan alat-alat musik atau
berdansa.

Kaidah kedelapan
Setiap ibadah yang di dalam syariat
berdasarkan bentuk (dibatasi dengan
tata cara) tertentu, maka menambah
bentuk (tata cara) ini adalah bidah.
Contoh:
1. Menyalahi waktu seperti berkurban
pada tanggal 1 Dzulhijjah, aqiqah
nanti nenek-nenek.
2. Menyalahi tempat seperti hajji di
bawakaraeng, itikaf bukan di masjid.
3. Menyalahi jenis berkurban dengan
ayam, kuda.
4. Menyalahi jumlah bilangan,
menambah rakaat shalat wajib
(contoh: shalat subuh 3 rakaat).
5. Menyalahi tata cara seperti memulai
wudhu dengan kedua kaki.






Kaidah kesembilan
Setiap ibadah mutlak yang telah tetap
dalam syariat dengan dalil umum, maka
membatasi kemutlakan ibadah ini dengan
waktu dan semacamnya sehingga
memberikan anggapan bahwa
pembatasan inilah yang diinginkan oleh
syariat tanpa ada dalil umum yang
menunjukkan terhadap pembatasan ini,
maka dia adalah bidah.
Contoh:
Berjabat tangan setiap selesai shalat lima
waktu, mengaji dan shalawat sebelum
masuk waktu shalat, shalat malam khusus
nisfu syaban, puasa khusus 27 Rajab.

Kaidah kesepuluh
Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
ibadah dengan menambah padanya
melebihi ukuran yang telah disyariatkan,
demikian pula tasyaddud (menyusahkan
diri) serta tanaththu (memberatkan diri)
dalam pelaksanaan ibadah tersebut maka
itu adalah bidah.
Contoh:
Melaksanakan Qiyamul Lail semalam
suntuk dan tidak mau tidur, puasa
sepanjang tahun, puasa 24 jam selama
3 hari, melontar jumrah dengan batu
besar, beristinja dengan berlebihan,
berwudhu berlebihan.




Memahami Kaidah-Kaidah Bidah
(Ustadz Abdul Hakim bin Amir
Abdat)

Dalam kajian ini Al-Ustadz Abdul Hakim
membahas secara rinci tentang memahami
kaidah-kaidah bidah merujuk dari kitab
yang beliau tulis Risalah Bidah . Secara
ringkas saya tuliskan beberapa kaidah bidah
yang beliau turunkan dalam kitab Risalah
Bidah (hal.91)

Kaidah pertama: Ketahuilah! Bahwa
bidah itu dosa, dan kesesatannya tidak tetap
pada satu tingkatan atau satu derajat. Akan
tetapi bidah itu bertingkat-tingkat atau
berderajat dosa dan kesesatannya. Kalau kita
lihat dari besar dan kecilnya, bidah itu
terbagi menjadi tiga tingkatan:
1. Sebagian bidah ada yang tegas-tegas
mencapai tingkatan syirik dan kufur.
2. Sebagiannya lagi haram, atau masih di
perselisihkan tentang syirik dan
kekufurannya.
3. Sebagiannya lagi haram dan telah
disepakati bahwa dia itu tidak sampai
pada tingkatan syirik atau kufur. (Dari
sini kita mengetahui bahwa tidak ada
bidah yang makruh apalagi wajib atau
sunnah!)
Kaidah kedua: Setiap bidah itu maksiat
dan tidak sebaliknya, (yakni setiap maksiat
itu bidah). Contohnya: Zina, dia itu maksiat
akan tetapi bukan bidah. Maulid, dia itu
bidah dan pasti maksiat!.
Kaidah ketiga: Bidah haqiqiyah dan
bidah idhafiyyah
Yang dimaksud dengan bidah haqiqiyah
ialah: Satu macam bidah yang tidak
ditunjuki oleh dalil syari (al-kitab, sunnah,
dan ijma)dari segala jurusannya, baik
secara jumlah (garis besarnya) atau secara
tafsil (terperinci). Contohnya: seperti orang
yang mengaku menjadi nabi atau mengaku
mendapat wahyu atau mengingkari
kehujjahan sunnah Nabi shallallahualaihi
wa sallam dan lain-lain.
Adapun yang di maksud dengan bidah
idhafiyyah ialah: Satu macam bidah, yang
apabila dilihat dari satu sisi, disyariatkan
atau ada dalilnya, akantetapi apabila dilihat
dari sisi yang lain, maka dia serupa dengan
bidah haqiqiyyah. Contonya: seperti
orang-orang yang berkumpul untuk Yasinan
setiap malam Jumat. Dilihat dari satu sisi di
syariatkan, yaitu membaca al-Quran
termasuk di dalamnya surat Yasin. Akan
tetapi dilihat dari sisi yang lain tidak syak
lagi tentang bidahnya. Karena menentukan
cara dan waktunya setiap malam Jumat
sama sekali tidak ada asal-usulnya dari
Agama yang mulia ini.
Kaidah keempat: Bidah itiqadiyyah dan
bidah amaliyyah
Yang di maksud dengan bidah
itiqadiyyah ialah: Meyakini sesuatu yang
menyalahi dengan keyakinan Nabi
shallallahualaihi wa sallam dan para
Shahabat beliau. Sama saja, apakah
keyakinan tersebut bersama perbuatan
(amal) atau tidak. Contonya seprti
bidahnya Syiah, Mutazilah, Jahmiyyah
dan lain-lain.
Adapun yang di maksud dengan bidah
amaliyyah ialah: Setiap perbuatan ibadah
di dalam agama yang tidak pernah di
syariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau
mensyariatkan ibadah di dalam agama yang
tidak pernah di syariatkan Allah dan Rasul-
Nya. Krena setiap ibadah yang tidak pernah
di perintahkan oleh Agama dengan perintah
wajib atau sunnat, maka sesungguhnya dia
masuk ke dalam bidah-bidah amaliyyah.
Kaidah kelima: Setiap bidah itu sesat,
meskipun dianggap baik oleh manusia.
Berkata Abdullah bin Umar: Setipa bidah
itu sesat meskipun di anggap baik oleh
manusia.
Perkataan diatas keluar atau terbit dari mata
air nabawiyyah bahwa: Setiap bidah itu
sesat. Kalimat kullu (setiap) mencakup
segala sesuatu yang tersebut sesudahnya
yaitu bidah. Dan kalimat bidah
dengan bentuk nakirah yang menunjukkan
keumumannya. Dan dia tidak dapat
dikhususkan atau di kecualikan, kecuali
dengan tanda pengecualian. Misalnya:
Setiap bidah itu sesat , kecuali bidah
hasanah. Akan tetapi di dalam hadits setiap
bidah itu sesat, tidak ada tanda
pengecualian.




Oleh karena itu ia tetap di dalam
keumummannya, bahwa setiap bidah itu
sesat. Yang dengan tegas menafikan adanya
pembagian bidah kepada hasanah dan
sayyiah.
Inilah yang difahami oleh para Shahabat,
diantaranya Abdullah Bin Umar yang
mengatakan bahwa setiap bidah itu
sesat, meskipun dianggap baik oleh
manusia . Tidak ada yang menyalahi
kaidah ini, kecuali ulama yang tergelincir di
dalam memahami sunnah atau mereka yang
jahil terhadap Al-Quran, Sunnah dan Ijma
Shahabat serta bahasa Arab.
Kaidah keenam: Setiap kesesatan itu
tempatnya di neraka . (secara ringkas)
Bahwa hadits diatas bersama saudara-
saudaranya termasuk di dalam hadits-hadits
mengenai ancaman (waid). Bahwa setiap
kesesatan itu tempatnya tidak lain di dalam
neraka. Ini tidak berarti bahwa setiap orang
yang mengerjakan bidah pasti sesat dan
masuk neraka. Berbeda hukum atas amal
dengan pelaku. Oleh karenahadits diatas
merupakan hadits ancaman, maka
perinciannya sebagai berikut:
Adakalanya orang mengerjakan bidah dia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut
bidah, atau adakalanya dia tidak
mengetahui bahwa yang di kerjakan itu
adalah perbuatan bidah. Kalau dia telah
mengetahui yakni telah tegak kepadanaya
hujjah bahwa perbuatan tersebut bidah,
akan tetapi dia tetap di dalam bidahnya,
maka orang yang seperti ini tidak ragu telah
masuk dengan sempurna kedalam hadits
diatas.
Dan kalau dia tidak mengetahui - karena
belum tegak kepadanya alasan dan hujjah
yang dilakukan itu bidah, maka dia tidak
berdosa dan sesat, meskipun p;erbuatannya
tetap wajib di katakan sebagai bidah dan
kesesatan. Dan dengan sendirinya dia tidak
masuk kedalam ancaman hadits di atas.
Kecuali, kalaupun mau dikatakan berdosa
hanya terbatas karena dia tidak mau
menuntut ilmu dan bertanya kepada ahlinya.
Kaidah ketujuh: Setiap orang yang
mengerjakan bidah belum tentu dia sebagai
ahli bidah (mubtadi). Karena adakalanya
dia jahil atau dia seorang mujtahid yang
salah dalam ijtihadnya. Akan tetapi orang
yang terus menerus di dalam bidahnya
sesudah nyata baginya kebenaran lantaran
mengikuti (taqlid) kepada nenek moyang
atau kaumnya atau golongannya dan dia
berpaling dan menentang kebenaran atau
tidak menerimanya, karena tidak
sesuaidengan fahamnya atau madzhabnya
(taashshub), maka orang seperti ini tidak
syak/ragu lagi masuk ke dalam golongan
ahlul bidah (mubtadi).
Kaidah kedelapan (terakhir): Pegangan
ahlul bidah. Adapun yang menjadi
pegangan ahlul bidah banyak sekali
diantaranya:
1. Hadits-hadits dhaif (lemah) dan
maudhu (palsu) dan hadits-hadits yang
batil dan munkar bersama hadits yang
tidak ada asal usulnya (laa ashla lahu)
2. Menolak hadits-hadits yang telah tsabit
(shahi dan hasan) dengan beberapa cara
yang sangat lemah seperti:
Mempertentengkan hadits dengan
Quran atau hadits dengan akal atau
hadits dengan ilmu pengetahuan(!?)
3. Men-tawil ayat-ayat Al-Quran
4. Berpegang pada keumuman ayat yang
mereka sangka denagn sebab kejahilan,
bahwa ayat tersebut umum dan mutlak,
untuk menolak sejumlah hadits shahih
yang datang secara rinci yang tidak
terdapat hukumnya di dalam A-Quran
5. Berpegang dengan sebagian ayat atau
hadits dan meninggalkan sebagian ayat
dan hadits yang lain.
6. Mengikuti hawa nafsu
7. Menolak kebenaran
8. Kejahilan (kebodohan), dan lain-lain.
selesai

Anda mungkin juga menyukai