Anda di halaman 1dari 7

Sejarah islam di indonesia Islam telah dikenal ke Nusantara atau Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad 7 Masehi)

meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar melalui jalur perdagangan para pedagang muslim yang berlayar ke kawasan ini dan singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara berlangsung beberapa abad kemudian. Setelah itu, terjadilah interaksi yang cukup "kental" antara para pedagang Arab dan masyarakat Indonesia dalam akulturasi Bangsa Arab dengan bangsa Indonesia, melalui pendekatan ekonomi (transaksi perdagangan), penghapusan kasta-kasta dan menggantikannya ke dalam derajat yang sama, pendekatan dakwah, ikatan perkawinan dan ajaranajaran tasawuf. Dalam sejarah Islam pernah mengalami kemajuan dan kemunduran. Kemajuan Islam terjadi pada masa Khalifah Abbasiah dan Muawwiyah berkuasa. Islam mengalami kemunduran pada fase akhir Muawwiah di Andalusia (Spanyol) setelah dikalahkan oleh tentara ratu Issabella dan raja Ferdinand yang menguasai benteng terakhir Islam di Granada. Selain itu, pasukan Tar-Tar dan Mongol melakukan penyerangan dengan memporakporandakan Baghdad. Di Negeri Seribu Satu Malam itu mereka membunuh para fuqoha, ulama dan cendikiawan muslim. Pada saat yang sama, Islam di Nusantara malah berkembang pesat dan satu per satu daerah kekuasaan kerajaan di Indonesia masuk Islam. Banyak raja-raja di Indonesia yang semula memeluk agama Hindu-Budha mulai memasuki agama Islam. Perkembangan Islam di Nusantara ibarat (Islam) "mukjizat", karena mampu menggantikan kepercayaan-kepercayaan dan agama masyarakat Indonesia yang sangat kuat. Selain itu, pada saat Islam di kawasan pusat-pusat kekuasan Islam seperti Baghdad, Spanyol dan lain-lain sedang mengalami kemunduran. Di Indonesia, saat itu, proses masuknya Islam terhindar dari peperangan yang besar, bahkan interaksi antara penyebar Islam dan masyarakat di Nusantara berjalan dengan cara halus dan baik. Padahal, tantangan penyebaran Islam di Nusantara cukup besar karena masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan animisme dan agama Hindu-Budha sangat kuat. Kondisi itu mengingatkan akan awal masuknya Islam di tanah Arab yang kebanyakan menyembah berhala dan kepercayan paganisme. Tapi, mengapa proses interaksi kebudayaan Islam dan Indonesia dapat berjalan lancar di masyarakat Nusatara? Karena para pedagang Arab itu cerdik memadukan kebudayaan Islam dengan kebudayaan tradisional. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada tahun 100 H (718 M), saat raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim su-rat kepada Khalifah 'Umar bin 'Abdul

'Aziz dari Khilafah Bani Umayyah, meminta mengirimi da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: "Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbubumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya." Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindarvarman, yang semula Hindu, masuk Islam sehingga Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M, Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha. Hubungan Nusantara dengan Khilafah Islamiyah Para pengemban dakwah Islam di Nusantara merupakan utusan langsung khalifah. Pada tahun 808 H/1404 M Walisongo diutus oleh Sultan Muhammad I (Sultan Muhammad Jala-bi/Celebi) dari Kesultanan Utsmani yang dilakukan selama 1 periode. Mereka itu adalah: Maulana Malik Ibrahim (Turki), ahli tata pemerintahan negara, Maulana Ishaq/Syekh Awwalul Islam (Samarqand), Maulana Ahmad Jumadil Kubra (Mesir), Maulana Muhammad al-Maghrabi (Maroko), Maulana Malik Israil (Turki), Maulana Hasanuddin (Palestina), Maulana Aliyuddin (Palestina), Syekh Subakir (Persia) Antara tahun 1349-1406 M, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Jawa diantar oleh Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudera Pasai. Antara tahun 1421-1436 M, datanglah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim (Samarqand), yang lebih dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi, dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja'far Shadiq/Sunan Kudus (Palestina), dan Syarif Hidayatul-lah (Palestina) cucu Raja Siliwangi Padjajaran (Sunan Gunung Jati) untuk menggantikan da'i yang telah wafat. Mulai tahun 1463 M, banyak da'i dari Jawa yang menggantikan da'i yang wafat atau pindah tugas. Mereka itu adalah: Raden Paku (Sunan Giri), putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga), putra Adipati Wilatikta, Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); Raden Qasim Dua (Sunan Drajat), putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Dilihat dari gelar mereka, dapat dilihat bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur dan baik di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit sehingga kesultanan terbentuk dengan mudahnya. Hubungan Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah terlihat pada tahun 1563 M, dengan dikirimnya seorang utusan penguasa Muslim di Aceh ke Istambul

untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk Islam jika kekhilafahan Utsmaniyah menolong mereka. Namun, bantuan tersebut tertunda selama dua bulan, karena adanya pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Akhirnya, dibentuklah sebuah armada yang terdiri dari 19 ka-pal perang dan sejumlah kapal yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk memban-tu masyarakat Aceh yang terkepung. Namun, bantuan tersebut hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh, karena kapal yang lain dialihkan untuk tugas perluasan kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Kapal yang tiba tersebut mengangkut pembuat senjata, penembak, teknisi, senjata dan peralatan perang lainnya. Peristiwa tersebut dapat ditemui di dalam berbagai arsip dokumen sejarah negara Turki. Tahun 1048 H/1638 M, Abdul Qadir dari Kesultanan Banten, dianugerahi gelar Sultan Abdulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu, dan tahun 1051 H/1641 M, Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram, meperoleh gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami oleh Syarif Makkah. Tahun 1638 M, Sultan Abdul Kadir Banten mengirim utusan membawa misi mengha-dap Syarif Zaid di Makkah, misi tersebut sukses sehingga Kesultanan Banten merupakan kera-jaan Islam dan termasuk Dar al-Islam dibawah pimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Tahun 1652, Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan dari Turki beserta sejumlah alat tembak (meriam) beserta amunisi kepada Kesultanan Aceh setelah adanya per-mintaan dari kesultanan. Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, dari pengiriman da'i hingga bantuan militer, telah dapat dilihat dengan jelas. Hubungan tersebut juga dapat dilihat pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudera Pasai Darussalam serta pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Mataram oleh Syarif Makkah. Islamlah yang menyatukan daerah di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat tidak adanya nafsu saling menguasai di antara kerajaankerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan-kerajaan layaknya sebuah provinsi-provinsi dalam naungan Daulah Khilafah yang berpusat di Timur Tengah. Kondisi sebelum Islam masuk Indonesia juga terlihat pada saat ini dimana umat Islam terbagi-bagi dalam national-state (negara kebangsaan). Setiap negara hanya memikirkan dirinya sendiri, bahkan ikut serta dalam penindasan negara lain. Seperti halnya yang dilakukan oleh Indonesia yang memberi dukungan suara dalam penindasan terhadap Iran soal reaktor Nuklir. Ataupun Arab Saudi yang menyediakan tanahnya sebagai pangkalan termewah Amerika di Timur Tengah untuk menyerang

Iraq dan Afganistan. Padahal satu abad yang lalu mereka masih satu kesatuan yang saling bahu membahu dalam naungan Islam. Peperangan terjadi di Nusantara juga bukan dengan masyarakat asli sendiri, melainkan dengan para penjajah asing seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris. Nafsu para penjajah asing untuk menguasai Nusantara dengan cara paksa, serakah dan merampok kekayaan masyarakat telah mengakibatkan perlawanan dari rakyat yang hebat dan tak terelakan. Bagi masyarakat yang telah memeluk agama Islam, mereka yakin bahwa perang itu bukan sebatas mempertahankan harga diri dan keluarga, tapi tanah air dan agama sebagai Jihad fi Sabilillaah. Islam dan Politik di Indonesia Islam datang ke Indonesia membawa berbagai macam perubahan tidak hanya dibidang spiritual namun juga dibidang sosial dan politik. Lebihlebih lagi dalam kebangkitan perlawanan nasionalisme dan patriotik melawan kolonialisme-imperialisme bangsa Eropa. Sudah menjadi konsesus umum dari berbagai para ilmuan sosial,baik di Barat maupun di Timur,bahwa bangkitnya Islam pada abad ke-8 M telah membangun dunia baru dengan dasar pemikiran ,cita-cita, kebudayaan dan peradaban baru . kebudayaan dan peradaban baru yang berdaya mengembangkan ilmu pengetahuan di segala bidang, dengan beragam cabang-cabangnya. Seperti halnya dengan tiap-tiap peradaban dunia , maka peradaban Islam yang berkembang selama tujuh abad (abad 7 - 14 M) akhirnya mengalami kemunduran. Menurut Stoddard (1922) sebab kemunduran dunia Islam adalah superstition and mysticism (ketakhayululan dan mistik) yang merusak Tauhid. Sedangkan menurut Kohn(1922) kemunduran umat Islam disebabkan oleh: abuses, empty formalism and decadence ( penyalahgunaan, formalisme yang kosong, dan dekadensi) Ahli sosiologi Muslim, Khaldun(1406) menyatakan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah akibat pola kehidupan yang hedonis, arogan, dan ekploitasi terhadap rakyatnya sendiri. Akibatnya adalah keropos dalam ketahanan fisik dan dekadensi moral. Jiwa ashobiah (collective solidarity) dalam segala kehidupan baik kehidupan group solidarity atau civic solidarity dilupakan. Faktor lain kemunduran Islam adalah disebabkan oleh kolonialisasi bangsa-bangsa Kristen-Eropa; yang mula-mula di Semenanjung Iberia (Andalusi Spanyol) dan serangan Bangsa Monggol dan Tartar dari Asia

Tenggah. Dalam masa itu Bangsa Eropa justru mengalami proses transisi yang hebat dengan diinspirasi hasil kajian terhadap kebudayaan Yunani kuno melalui perpustakaan Dunia Islam di Cordoba, Granada dan Alexandaria. Eropa mengalami masa Renaisance. Perkembangan yang luar biasa tersebut dilanjutkan dengan proses dari masyarakat feodal ke masyarakat fruh Kapitalismus yang kemudian melahirkan nafsu kolonialisme dan imperialisme. Kerajaan Islam di Malaka jatuh dibawah kolonialisme Portugis tahun 1511 dan kerajaan Islam di manila 1571. Selama dekade awal abad 20, gagasan nasionalisme merupakan fokus perdebatan politik di dunia Islam. Sebagaian intelektual Muslim tidak setuju dengan gagasan tersebut dengan alasan prinsip kedaulatan rakyat bertentangan dengan prinsip hukum Tuhan dan prinsip ummah . Muhammad Iqbal, penyair dan filosof Asia Selatan, menegaskan bahwa Islam menghendaki satu kesatuan umat Islam yang tidak yang tidak terbatas , dan menyebut kolonialisme Barat sebagai biang keladi hancurnya persatuan dunia Islam. Walaupun demikian Iqbal pada akhirnya sadar bahwa upaya membangun kembali satu bentuk komunitas politik umat Islam yang bersifat universal sudah tidak mungkin lagi , karena itu masing-masing wilayah umat Islam harus berjuang meraih kemerdekaannya. Hingga kini sebagian kecil umat Islam masih tetap menentang prinsip negara kebangsaan ( nationstate) yang menurut mereka lebih mendudukan hukum manusia diatas hukum Allah SWT. Kendati demikian kecendrungan umum pada saat ini bagi umat islam adalah menerima legitimasi negara model negara kebangsaan dan mengarahkan politik mereka dalam konteks negara kebangsaan tersebut. Nasionalisme tidaklah dijahit dari sepotong pakaian seragam. Ide-ide religius juga memainkan peranan kunci dalam sejumlah gerakan nasionalisme pada abad 20, termasuk di Eropa Barat-meskipun banyak teori Barat yang menyatakan sebaliknya. Sebagai konsekuensinya konsep nasionalisme menjadi lahan perdebatan yang seru di dunia Islam. Lebih dari seabad umat Islam bergumul dengan persoalan bagaimana mempertemukan politik Islam dengan gagasan kebangsaan dan kewarganegaraan. Ini terbukti pada kasus di Indonesia dalam pertarungan antara nasionalisme sekuler dan nasionalisme Islam, perdebatan selama abad 20 adalah menyangkut persoalan peranan Islam dalam konteks gagasan dan praktek berbangsa. Organisasi massa modern pertama, Sarikat Islam (SI) didirikan pada tahun 1912, ditujukan untuk mengangkat hak-hak politik kaum pribumi yang dengan cepat memperoleh jumlah pengikut yang besar di Nusantara terutama di pulau Jawa.

SI didirikan untuk kepentingan pedagang pribumi Muslim dalam menghadapi pedagang Cina. SI awalnya bergantung pada seruan Islam. Akan tetapi ketika memperoleh jumlah pengikut yang banyak, SI terlibat dalam konflik ideologis antara pendukung politik Islam konvensional dengan ideologi Marxisme-Sosialisme dan nasionalisme sekuler. Pada tahun 1921 pertentangan antara kedua faksi ini sampai pada tahap kritis dengan terpentalnya wakil-wakil sayap kiri SI. Pada masa berikutnya kalangan kiri ( SI Merah) dan Kubu Islam (SI Putih) bersaing menguasai cabang-cabang SI lokal dan membuat berantakan perjuangan kaum pribumi dalam merebut kemerdekaan. Dengan merosotnya peranan SI kepemimipinan perjuangan nasionalisme beralih ke tangan kaum nasionalis non-religius, diantaranya adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1927 dibawah pimpinan seorang Ir. Soekarno, PNI merupakan organisasi yang berbasiskan kebangsaan multietnik, bukan nasionalisme agama. Nasionalisme merupakan ide asing yang tidak pernah dikenal dalam Islam dahulu. Sebelum masuknya Islam di nusantara, perasaan kedaerahan sangatlah kuat. Banyak peperangan yang terjadi antar kerajaan-kerajan di Indonesia. Setelah masuknya peradaban dan kebudayaan Islam di Indonesia, maka barulah dikenal persatuan di Indonesia dengan landasan "aqidah Islam". Persatuan yang terjadi tidak hanya karena adanya kepentingan antar wilayah, namun disatukan oleh Islam dengan nama "Daulah Khilafah Islamiyah" atau Negara Khilafah Islam. Konsep Khilafah bukanlah konsep kedaerahan namun merupakan konsep global yang menyatukan wilayah-wilayah dengan landasan aqidah Islam. Oleh karena itu tidaklah aneh ketika kita menyaksikan bahwa Khilafah Islam telah berhasil menyatukan sepertiga dunia di bawah satu bendera, yaitu bendera Islam. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Andalusia (Spanyol) sampai dengan Kepulauan Maluku di Timur. Penyatuan ini tidak terjadi begitu saja, namun merupakan buah dari usaha dakwah Islam yang merupakan kewajiban dari Khilafah. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa terdapat hubungan Nusantara dengan kekhilafahan yang terjadi pada masa perkembangan Islam di Indonesia. Sebagai warga Indonesia, kita tidak boleh melupakan hubungan tersebut, karena Islam-lah yang telah menyatukan Nusantara ini yang berupa kepulauan menjadi sebuah Negara yang bersatu sehingga tidak ada lagi perbedaan dari setiap daerah. Mereka telah terikat sebagai saudara yang seiman. Namun setelah Khilafah Islam runtuh (1924), wilayah Islam terbagibagi menjadi lebih dari 50 negara. Tidak hanya itu, kita menyaksikan

banyak yang saling bertikai dan batasan dari setiap kelompok (kelompok Islam) yang berbeda pendapat. Dan dari masyarakat Islam sendiri kita melihat adanya kompromi agama dengan agama lain. Mereka dengan tanpa merasa berdosa telah mengikuti kebiasaan dari orang-orang kafir dengan alasan toleransi antar agama. Disamping perpecahan yang terjadi, negara pun turut campur dalam pengkeroposan pemahaman Islam di tengah-tengah umat. Hal tersebut membuat umat Islam tidak peduli lagi dengan agamanya sendiri. Seperti adanya usaha untuk menghapus Perda Syariat Islam yang merebak akhirakhir ini. Dengan mengetahui sejarah Islam di Indonesia, wajarlah sebagai umat Islam kita ikut serta dalam usaha membangkitkan Islam di muka bumi ini.

Anda mungkin juga menyukai